Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi
pendapatan. Distribusi pendapatan cenderung membaik pada kasus pertumbuhan ekonomi yang
terjadi sebagai akibat peningkatan pendapatan secara signifikan pada sektor tradisional.
Sebaliknya distribusi pendapatan semakin memburuk karena peningkatan pendapatan sektor
modern. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas setiap individu dimana satu individu
atau kelompok mempunyai produktivitas lebih tinggi dibanding individu atau kelompok lain.
Ketimpangan atau kesenjangan pendapatan merupakan indikator dari distribusi pendapatan
masyarakat di suatu daerah atau wilayah pada waktu tertentu. Di perkotaan, ketimpangan
cenderung lebih tinggi daripada di pedesaan, demikian juga di kota-kota besar.
Permasalahan ketimpangan pendapatan tidak dapat dipisahkan dari permasalahan
kesejahteraan atau kemiskinan yang lazim terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Di
negara-negara miskin yang menjadi perhatian utama adalah masalah pertumbuhan versus
distribusi pendapatan. Banyak pihak yang merasakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi
justru gagal mengurangi bahkan menghilangkan besarnya kemiskinan absolut di Negara Sedang
Berkembang.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Bagaimana analisa indeks dan perkembangan distribusi pendapatan ukuran?
1.2.2 Bagaimana analisa mengenai distribusi fungsional?
1.2.3 Bagaimana analisa mengenai kebijakan distribusi pendapatan?
1.2.4 Bagaimana analisa mengenai kemiskinan dalam aspek data dan kebijakan?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk memahami tentang perkembangan distribusi pendapatan ukuran.
1.3.2 Untuk mengetahui tentang distribusi fungsional.
1.3.3 Untuk mengetahui kebijakan distribusi pendapatan.
1.3.4 Untuk mengetahui kemiskinan dalam aspek data dan kebijakan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANALISA MENGENAI INDEKS DAN PERKEMBANGAN DISTRIBUSI


PENDAPATAN

1
Para ekonom membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan. Kedua ukuran
tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima
masing-masing orang dan distribusi Fungsional atau distribusi kepemilikan factor-faktor
produksi. Dari dua jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indicator untuk menunjukan
distribusi pendapatan masyarakat.

2.1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran

Distribusi pendapatan perorangan atau distribusi ukuran pendapatan. Ukuran ini secara
langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga.
Cara mendapatan pendapatan itu tidak dimasalahkan. Yang perlu diperhatikan disini adalah
banyaknya pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbenya, entah itu
berasal dari gaji atau berasal dari sumber lain seperti bunga tabungan, laba, hasil sewa, hadiah
ataupun warisan. Lokasi sumber pendapatan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang
pendapatan yang menjadi sumber pendapatan ( pertanian , manufaktur , perdagangan, jasa) juga
diabaikan.

Biasanya, populasi dibagi menjadi lima kelompok atau kuintil (quintiles) atau sepuluh
kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan yang diperoleh,
kemudian menetapkan beberapan proporsi yang diterima oleh maing-masing kelompok dari
pendapatan nasional total. Contoh, perhatikan tabel 5.1 tabel ini memperlihatkan distribusi
pendapatan yang walaupunn datanya hipotesis, namun bisa ditemui dinegara berkembang. Tabel
5.1 : Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa Pendapatan-
Kuintil dan Desil

2
Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu (atau
lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan
berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang tertinggi
(15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan penjumlahan dari
pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2 dalam tabel tersebut.
Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-
masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen
populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal ini
adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima 9
persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi terendah (kuintil 1 dan 2)
hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke lima)
dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.

Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran , yakni : 1).
Rasio Kutnezs, 2). Kurva Lorenz dan 3). Koefisien Gini

1. Rasio Kutnezs

3
Rasio Kutnezs yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua
kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di suatu
Negara . Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat ditemukan
dalam kolom ke3, yaitu perbandingan Antara pendapatan yang diterima oleh 20% anggota
kelompok teratas dan 40% anggota kelompok terbawah. Rasio ketimpangan dalam contoh ini
adalah 14 dibagi dengan 51 hasilnya sekitar 0,28.

2. Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menunjukan hubungan kuantitatif actual antara presentase penerima


pendapatan dengan presentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama ,
misalnya setahun.

Pada peraga 1 , garis horizontal menunjukan presentasi kumulatif penerimaan pendapatan,


sedangkan sumbu vertical menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima oleh masing-
masing presentase kelompok penduduk. Masing-masing sumbu berakhir pada titik 100%,
sehingga dia membentuk bujur sangkar. Satu garis diagonal ditarik dari titik nol pada sudut kiri
bawah menuju ke sudut kanan atas. Pada setiap titik yang terdapat pada garis diagonal itu,
presentase pendapatan yang diterima persis sama dengan presentase jumlah penerimanya.

Pada peraga 1, memakai data tabel desil yakni sumbu vertical dan horizontalnya dibagi
menjadi sepuluh bagian yang sama, sesuai dengan sepuluh kelompok desil.pada titik a, 40%
penduduk termisikin menerima hanya 14% dari jumlah pendapatan, pada titik b, 50% penduduk
menerima 19,1% dari jumlah pendapatan pada titik c, 80% menerima pendapatan hanya
menerima 49% dari total pendapatan. Menghubungkan titik a,b,c, dan titik lainnya akan
membentuk kurva Lorenz seperti peraga 1 :

4
Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (garis pemerataan sempurna), maka
makin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya semakin parah ketidak merataannya
atau ketimpangan distribusi pendapatan di satu negara, maka bentuk kurva Lorennya pun akan
semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah

3. Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat

Pada peraga 2, rasio ini adalah rasio daerah A yang diberi warna agak gelap dengan luas
segitiga BCD. Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antar 0
( pemerataan sempurnal) hingga satu ( ketimpangan sempurna) . pada prakteknya, koefisien gini
untuk Negara-negara yang detrajat ketimpangannya tinggi berkisar antar 0,50 hingga 0,70,
sedangkan sedangkan untuk Negara-negara yang distribusi pendapatannya relative merata,
angkanya berkisar antar 0,20 hingga 0,35. Koefisien Gini untuk distribusi pendapatan hipotesis
kita pada tabel 10.1 diatas mendekati 0,61 ( menunjukan distribusi pendapatannya yang angat
timpang ).

5
2.2 DISTRIBUSI PENDAPATAN FUNGSIONAL

Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh
masing-masing factor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan
fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan presentase pendapatan tenaga kerja secara
keseluruhan, bukan sebagai unit usaha atau factor produksi yang terpisah secara individual, dan
membandingkannya dengan presentasi pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa,
bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik).
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga per
satuan unit dari masing-masing factor produksi. Apabila harga-harga unit factor produksi
tersebut dikalikan dengan kuantitas factor produksi yang digunakan yang bersumber dari asumsi
utilitas factor produksi secara efisien. Maka, kita bisa menghitung total pembayaran atau
pendapatan yang diterima oleh setiap factor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan
permintaan terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini
dikalikan dengan seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah
keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni total
pengeluaran upah (total wage bill).

Peraga 3 memberikan ilustrasi sederhana tentang teori distribusi tradisional mengenai


pendapatan fungsional. Dalam peraga tersebut, diasumsikan bahwa terdapat dua factor produksi,
yaitu modal yang persediaannya dianggap tetap, da tenaga kerja yang merupakan datu-satunya
factor produksi variable. Berdasarkan asumsi pasar yang kompetitif, permintaan terhadap tenaga
kerja akan ditentukan oleh produksi marjinal terhadap tenaga kerja yang bersangkutan (yang

6
artinya tambahan tenaga kerja akan terus direkrut sampai ke satu titik dimana nilai produksi
marjinalnya sama dengan upah riil mereka). Artinya, semakin lama jumlah tenaga kerja yang
diminta akan semakin sedikit. Kurva permintaan terhadap tenaga kerja dengan kemiringan yang
negative itu diperlihatkan oleh garis DL pada peraga 3. Kemudian jika dipadukan dengan kurva
penawaran tenaga kerja tradisional noeklasik yang mempunyai kemiringan positif, yakni S L ,

maka akan dioeroleh tingkat upah ekuilibrium sebesar WE dan tingkat ekuilibrium tenaga kerja
sebesar LE. output nasional total diwakili oleh luas bidang OREL E. Pendapatan nasional tersebut
dibagi menjadi dua yaitu OWE ELE untuk tenaga kerja dalam bentuk upah, dan sisanya WERE,
yang merupakan laba si pemilik (imbalan yang diperoleh oleh pemilik modal). Karena itu dalam
perekonomian pasar kompetitif yang memiliki fungsi produksi dengan skala pengembalian ayng
tetap (constant return to scale), dimana jika semua input digandakan, maka outputpun akan
berlipat dua, harga masing-masing factor produksi akan ditentukan oleh kurva penawaran dan
permintaan terhadap factor yang bersangkutan, dan himpunan segenap factor produksi itulah
yang akan membentuk total produksi nasional. Pendapatan didistribusikan menurut Fungsinya,
sehingga tenaga kerja menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan pemilik modal
menerima laba. Ini merupakan sebuah teori yang rapi dan logis, karena setiap factor menerima
pembayaran atau pendapatan sesuai dengan kontribusi mereka pada output nasional, tidak lebih
dan tidak kurang.

Relevansi teori fungsional menjadi kurang tajam karena tidak memperhitungkan


pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan diluar pasar yang menentukan harga factor-
faktor produksi.

7
2.3 ANALISIS MENGENAI KEBIJAKAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Beberapa pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk memperbaiki distribusi


pendapatan dan juga untuk memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan yaitu:

1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan khusus


dirancang untuk mengubah harga-harga relative faktor produksi. Kebijakaan ini dapat
berupa:
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan
regional.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran.
Misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak bagi
pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi),
penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor
barang-barang modal. Semua kebijaksanaan ini mengakibatkan harga modal terlalu
murah, yang akibat akhirnya para pengusaha akan memilih teknologi produksi yang
padat modal, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk dan jumlah orang
miskin akan bbertambah. Penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat
bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu Negara meraih pemerataan
pendapatan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin.
2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini akan
sangat tergantung pada distribusi kepemilikan asset (sumber daya atau faktor produksi) di
antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal financial
seperti saham dan juga obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan
kesehatan yang lebih baik. Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria) 1960, yang membatasi jumlah kepemilikan tanah pertanian. Pajak deviden
obligasi dan pajak terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan
bantuan sekolah samapai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi
masyarakat miskin. Akan tetapi kebijakan-kebijakan pemerataan dan pengentasan
kemiskinan ini sering memerlukan kebijaksanaan pelengkap, tanpa kebijaksanaan
pelengkap tersebut kebijaksanaan pemerataan dan pengentasan dan kemiskinan tidak bisa
berjalan seperti yang diharapkan.

8
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Salah satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan
yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan merupakan pajak property perorangan
dan perusahaan yang bersifat progresif, dan biasanya dikenakan kepada mereka yang
kaya raya. Banyaknya kebijaksanaan progresif berubah secara ajaib menjadi pajak yang
regresif dalam pelaksanaannya.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik.
Transfer langsung dilakukan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang miskin
yang berhak untuk menerima.

Meskipun pemerintah Indonesia telah berusaha untuk melaksanakan berbagai program


pemerataan distribusi dan program pengentasan kemiskinan yang telah dijelaskan diatas, ternyata
masih banyak ketimpangan distribusi yang masih berada di Indonesia dan masih belum
memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin yang luput dari program, di samping dalam
jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk menyaring orang-orang yang benar-benar tidak
mampu dengan orang-orang yang sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang disediakan.

2.4 ANALISA MENGENAI KEMISKINAN DALAM ASPEK DAN KEBIJAKAN

Kemiskinan adalah penduduk miskin yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil
minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan internasional. Kemiskinan absolut dapat dan
memang terjadi dimana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan walaupun kadarnya
berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.

2.4.1 Mengukur Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per-kepala (headcount). H
untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis
kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai bagian dari
populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala, H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada
tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh
dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari

9
penetapan level ini adalah standar hidup minimum di mana seseorang hidup dalam kesengsaraan
absolut manusia, yaitu ketika kesehatan seseorang sangat buruk.

Beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan indikator jurang kemiskinan (proverty gap)


yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di
bawah. Pada peraga di bawah ini, meskipun negara A dan B, 50% penduduknya sama-sama
berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih lebar daripada
yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi
kemiskinan absolut penduduknya.

Kekurangan pendapatan total atau jurang kemiskinan total (total poverty gap=TPG) dari kaum
miskin didefinisikan sebagai :

H
TPG= (YpYi)
i=1

TPG adalah jumlah uang per hari yang diperlukan untuk mengangkat perekonomian
untuk mengangkat perekonomian setiap orang miskin di negara itu sampai pada standar
pendapatan minimum yang telah ditentukan. Jika dihitung atas dasar per kapita, kekurangan
pendapatan rata-rata, atau jurang kemiskinan rata-ratanya, (average poverty gap) adalah :

APG=TPG/H

10
Ukuran kekurangan pendapatan dalam hubungannya dengan garis kemiskinan dapat
diukur menggunakan jurang kemiskinan yang dinormalisasi (normalized poverty gap = NPG) =
APG/Yp sebagai ukuran kekurangan pendapatan, ukuran ini berkisar antara nol dan satu,
sehingga ukuran ini bermanfaat jika kita menginginkan ukuran jurang tanpa unit, agar
perbandingan antar negara atau antar waktu lebih baik.

Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yaitu :

1. Anonimitas dan indepedensi : ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada
siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang
banyak atau sedikit
2. Monotonisitas : jika anda memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di
bawah garis kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang
terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu
lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut monotonitas yang kuat
(strong monotonicity).
3. Sensitivitas distribusional : jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang
kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.

Indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi ke empat kriteria di atas adalah indeks
Sen dan bentuk tertentu dari Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) yang sering disebut
sebagai kelas P dari ukuran kemiskinan. P dapat ditulis sbb :

H
1 (YpYi )
P=
N i=1 Yp

Dimana Yi adalah pendapatan dari orang miskin yang ke i, Yp adalah garis kemiskinan
dan N adalah jumlah penduduk. Indeks P mempunyai bentuk yang berbeda-beda tergantung
pada nilai . Jika =0, maka pembilangnya sama dengan H dan ia menjadi sama rasio headcount
H/N. Jika = 1 maka akan diperoleh jurang kemiskinan yang dinormalisasi. Jika = 2 ukuran
yang dihasilkan adalah

P2 = (H/N) {NPG2 + (1 NPG)2 (CVp)2}

11
Dimana NPG = APG/Yp, CVp = koefisien variasi pendapatan antar kaum miskin. Rumus P2 ini
berisi ukuran CVp dan memenuhi empat kriteria kemiskinan diatas.

2.4.2 Cakupan Kemiskinan Absolut

Jumlah dan persentase penduduk miskin untuk 1976-1999, dan garis kemiskinan di
Indonesia untuk tahun 2005 sampai dengan 2007 disajikan dalam dua tabel berikut

Tabel 5.4

Penduduk Miskin
Tahun % dari jumlah Jumlah (juta
penduduk orang)
1976 40,08 54,2
1978 33,31 47,2
1980 28,56 42,3
1981 26,85 40,6
1984 21,64 35
1987 17,42 30
1990 15,08 27,2
1993 13,67 25,9
1996 11,34 22,5
1998 20,3 49,5
1999 23 48,5

Table 5.5
Garis Kemiskinan
Jumlah
(Rp/kapita/bulan)
Pendud Persentase
Daerah/ Non
uk penduduk
tahun Bahan Bahan
Jumlah miskin miskin
makanan makan
(juta)
an
Perkotaa
n
150
2005 103 992 46 807 799 12,4 11,37
175
2006 126 527 48 797 324 14,29 13,36
2007 132 258 55 683 187 13,56 12,52

12
941
Pedesaa
n
117
2005 84 014 33 245 259 22,7 19,51
131
2006 103 180 28 076 256 24,76 21,9
146
2007 116 265 30 572 837 23,61 20,37
Kota +
Desa
129
2005 91 072 38 036 108 35,1 15,97
152
2006 114 619 38 228 847 39,05 17,75
166
2007 123 992 42 704 696 37,17 16,58

Dari tabel 5.4 ternyata bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan persentase
penduduk miskin dari lebih dari 40% dari jumlah penduduk (sekitar 54 juta orang) pada tahun
1976 menjadi sekitarr 11,34% dari jumlah penduduk (sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996,
untuk kemudian sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi sekitar 23% dari jumlah
penduduk (sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah itu terus mengalami penurunan
sehingga menjadi 16% dari jumlah penduduk (sekitar 37 juta orang) pada tahun 2007 (tabel 5.5).
Dapat dikatakan bahwa persentase yang cukup tinggi dari seluruh penduduk Indonesia (16-18%)
masih berada di bawah garis kemiskinan dan merupakan tugas yang berat bagi pemerintah
sekarang kalau kita perhatikan kutipan pada awal bab ini bahwa urusan yang belum terselesaikan
pada abad 21 adalah pemberantasan kemiskinan atau masalah kemiskinan menjadi tujuan
pembangunan milenium dewasa ini di Indonesia.

2.4.3 Pertumbuhan dan Kemiskinan

Terdapat lima alasan mengapa kebijaksanaan yang ditujukan untuk mengurangi


kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan.

13
Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin
tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya,
dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai banyak anak sebagai
sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti. Faktor-faktor ini secara bersama-sama
menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil daripada jika distribusi pendapatan lebih
merata.

Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan
fakta bahwa tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara yang sekarang sudah
maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal karen hematnya atau hasrat
mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian yang besar dari pendapatan mereka di
dalam perekonomian negara mereka sendiri.

Ketiga, pendapatan yang redah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh golongan
miskin, yang tercermin dari kesehatan gizi, dan pendidikan yang rendah, dapat menurunkan
produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak langsung
menyebabkan perekonomian tumbuh lambat. Strategi yang ditujukan untuk meningkatkan
pendapatan dan standar hidup golongan miskin tidak saja akan memperbaiki kesejahteraan
mereka, akan tetapi juga akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan seluruh ekonomi.

Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan


permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan pakaian secara
menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya
untuk barang-barang mewah impor. Meningkatkan permintaan untuk barang-barang buatan lokal
memberikan rangsangan yang lebih besar kepada produksi lokal, memperbesar kesempatan kerja
lokal, dan menumbuhkan investasi lokal. Permintaan seperti ini akan menciptakan kondisi bagi
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan partisipasi rakyat banyak di dalam pertumbuhan itu.

Kelima, penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang
lebih sehat karena merupakan insentif materi ekspansi dan prikologis yang kuat bagi meluasnya
partipasipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya kesenjangan pendapatan
dan kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong negatif materi dan psikologis yang sama
kuatnya terhadap kemajuan ekonomi. Kondisi terakhir bahkan dapat menciptakan penolakan

14
masyarakat luas terhadap kemajuan dan ketidaksabaran terhadap laju pembangunan atau
terhadap kegagalan untuk mengubah kondisi material mereka.

Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penanggulangan


kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan. Golongan miskin dapat berpartisipasi dan
berkontribusi terhadap pertumbuhan dan jika mereka dapat melaksanakan hal tersebut,
penurunan tingkat kemiskinan yang cepat akan konsisten dengan pertumbuhan yang
berkelanjutan.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.1.1 Distribusi pendapatan perorangan atau distribusi ukuran pendapatan. Ukuran ini secara
langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah
tangga. Yang perlu diperhatikan disini adalah banyaknya pendapatan yang diterima
seseorang. Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi
ukuran , yakni : 1). Rasio Kutnezs, 2). Kurva Lorenz dan 3). Koefisien Gini.

3.1.2 Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan presentase
pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit usaha atau factor
produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan presentasi
pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing
merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik).

3.1.3 Beberapa pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk memperbaiki distribusi
pendapatan dan juga untuk memerangi kemiskinan, yaitu: erbaikan distribusi pendapatan
fungsional melalui serangkaian kebijakan khusus dirancang untuk mengubah harga-harga
relative faktor produksi, perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif
kepemilikan asset, pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang
progresif, dan pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan
jasa publik.

3.1.4 Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per-kepala (headcount).
Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yaitu : anonimitas dan indepedensi,
monotonisitas, serta sensitivitas distribusional. Indeks kemiskinan yang terkenal yang
memenuhi ke empat kriteria di atas adalah indeks Sen dan bentuk tertentu dari Indeks

16
Poster-Greer-Thornbeck (FGT) yang sering disebut sebagai kelas P dari ukuran
kemiskinan. Terdapat lima alasan mengapa kebijaksanaan yang ditujukan untuk
mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan.

3.2 SARAN

Demikian paper yang dapat penulis sajikan, apabila ada kesalahan dalam penulisan juga
kekurangan dalam segi pembahasan mohon dimaklumi. Dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar dapat memperbaiki paper
ini selanjutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Nehen, I.K. 2012. Perekonomia Indonesia. Denpasar: UUP, Bab 5

18

Anda mungkin juga menyukai