Bab 2
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan
aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa
detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda
sesuai dengan daerah yang terganggu. Menurut WHO: stroke adalah
terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak
dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah
otak. Menurut Neil F. Gordon: stroke adalah gangguan potensial yang fatal
pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh manusia
yang dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif
lama sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama oksigen
pengangkut bahan makanan yang dibutuhkan pada otak dan otak adalah
pusat control system tubuh termasuk perintah dari semua gerakan fisik.
Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh darah
cerebral yang tidak sehat sehingga bisa disebut juga cerebral arterial
disease atau cerebrovascular disease. Cedera dapat disebabkan oleh
sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan
penyempitan atau pecahnya pembuluh darah, semua ini menyebabkan
kurangnya pasokan darah yang memadai (Irfan, 2010).
2.1.2 Epidemiologi
Di antara penyakit-penyakit neurologi yang terjadi pada orang
dewasa, stroke menduduki rangking pertama baik pada frekuensinya
maupun pada pentingnya (emergensi) penyakit tersebut. Lebih dari 50
8
persen kasus stroke merupakan penyebab dirawatnya penderita di bangsal
neurologi (Victor & Ropper, 2001). Di Amerika Serikat Stroke menduduki
peringkat ke-3 penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker.
Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang stroke di antaranya
400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita stroke
hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid) dengan
175.000 orang mengalami kematian (Victor & Ropper, 2001). Di Indonesia
penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh Survey ASNA di 28 Rumah
Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut
yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study), dan dilakukan survey
mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan mortalitas dan
morbiditasnya. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil
usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun
berjumlah 54,2% dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach dkk., 2007).
9
menjadi perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma
subdural/ ekstradural (Goldszmidt et al., 2003).
a. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang
tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh
sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik (Gofir, 2009). Jenis
perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak,
baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial,
pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat
hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau
pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh
darah otak tersebut. Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya
aneurysma congenital pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal
(Misbach dkk., 2007).
b. Stroke Iskemik
Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya
disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing-masing akan
mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood flow
(CBF). Nilai normal CBF adalah 5060 ml/100 mg/menit. Iskemik terjadi
jika CBF < 30 ml/100mg/menit. Jika CBF turun sampai < 10 ml/mg/menit
akan terjadi kegagalan homeostasis, yang akan menyebabkan influks
kalsium secara cepat, aktivitas protease, yakni suatu cascade atau proses
berantai eksitotoksik dan pada akhirnya kematian neuron. Reperfusi yang
terjadi kemudian dapat menyebabkan pelepasan radikal bebas yang akan
menambah kematian sel. Reperfusi juga menyebabkan transformasi
perdarahan dari jaringan infark yang mati. Jika gangguan CBF masih antara
1530 ml/100mg/menit, keadaan iskemik dapat dipulihkan jika terapi
dilakukan sejak awal (Wibowo dkk., 2001).
10
Stroke iskemik akut adalah gejala klinis defisit serebri fokal dengan
onset yang cepat dan berlangsung lebih dari 24 jam dan cenderung
menyebabkan kematian. Oklusi pembuluh darah disebabkan oleh proses
trombosis atau emboli yang menyebabkan iskemia fokal atau global. Oklusi
ini mencetuskan serangkaian kaskade iskemik yang menyebabkan kematian
sel neuron atau infark serebri (Adam et al., 2001; Becker et al., 2006).
Aliran darah ke otak akan menurun sampai mencapai titik tertentu yang
seiring dengan gejala kelainan fungsional, biokimia dan struktural dapat
menyebabkan kematian sel neuron yang irreversible (WHO, 1989; Adam et
al., 2003; Bandera et al., 2006).
11
b. Stroke embolik
Stroke embolik terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga
jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil, fragmen
fragmen dari jantung mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis.
Dengan demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya tergantung pada
bagian mana sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan
di percabangan arteri sebelum tersangkut. Embolisme dapat terurai dan
terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga gejalagejala mereda.
Namun, fragmenfragmen tersebut kemudian tersangkut di sebelah hilir dan
menimbulkan gejalagejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik
memiliki risiko yang lebih besar terkena stroke hemoragik, karena terjadi
perdarahan petekie atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang
mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah emboli pertama.
Perdarahan tersebut disebabkan karena struktur dinding arteri sebelah distal
dari okulasi embolus melemah atau rapuh karena perfusi. Dengan demikian,
pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau
kapiler di pembuluh tersebut. Stroke kriptogenik adalah stroke iskemik
akibat sumbatan mendadak pembuluh intrakranium besar tetapi tanpa
penyebab yang jelas (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
12
1. Transient ischemic Attack (TIA)
Adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya
berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau
emboli. TIA sebenarnya tidak termasuk ke dalam kategori stroke
karena durasinya yang kurang dari 24 jam.
2. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Seperti juga pada TIA gejala neurologis dari RIND juga akan
menghilang, hanya saja waktu berlangsung lebih lama, yaitu lebih dari
24 jam, bahkan sampai 21 hari. Jika pada TIA dokter jarang melihat
sendiri peristiwanya, sehingga pada TIA diagnosis ditegakkan hanya
berdasar keterangan pasien saja, maka pada RIND ini ada kemungkinan
dokter dapat mengamati atau menyaksikan sendiri. Biasanya RIND
membaik dalam waktu 24 - 48 jam. Sedangkan PRIND (Prolonged
Reversible Ischemic Neurological Deficit) akan membaik dalam
beberapa hari, maksimal 3 - 4 hari.
3. Stroke In Evolusion (Progressing stroke)
Pada bentuk ini gejala/ tanda neurologis fokal terus memburuk setelah
48 jam. Kelainan atau defisit neurologik yang timbul berlangsung
secara bertahap dari yang bersifat ringan menjadi lebih berat. Diagnosis
progressing stroke ditegakkan mungkin karena dokter dapat mengamati
sendiri secara langsung atau berdasarkan atas keterangan pasien bila
peristiwa sudah berlalu.
4. Complete Stroke Non-Haemmorhagic
Completed Stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada
sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi. Kelainan neurologi
yang muncul bermacam-macam, tergantung pada daerah otak mana
yang mengalami infark (Gofir, 2009).
13
2.1.4 Patofisiologi
Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai
yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya.
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini
akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar
daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan
jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi-
fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik. Tingkat iskeminya
makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat
dikelilingi oleh suatu daerah hyperemic akibat adanya aliran darah kolateral
(luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi
sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat di reperfusi dan sel-sel otak
berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tak
terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami
kematian.
Dipandang dari segi biologi molekuler, ada dua mekanisme kematian
sel otak. Pertama proses nekrosis, suatu kematian berupa ledakan sel akut
akibat penghancuran sitoskeleton sel, yang berakibat timbulnya reaksi
inflamasi dan proses fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua
adalah proses apoptosis atau silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami
penciutan atau shrinkage tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. Nekrosis
seluler dipicu oleh exitotoxic injury dan free radical injury akibat bocornya
neurotransmitter glutamate dan aspartat yang sangat toksik terhadap
struktur sitoskeleton otak. Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar
membran lipid sel dengan segala akibatnya. Kematian Apoptotic mungkin
lebih berkaitan dengan reaksi rantai kaskade iskemik yang berlangsung
14
lebih lambat melalui proses kelumpuhan pompa ion Natrium dan Kalium,
yang diikuti proses depolarisasi membran sel yang berakibat hilangnya
kontrol terhadap metabolisme Kalsium dan Natrium intraseluler. Ini
memicu mitokondria untuk melepaskan enzim caspase-apoptosis (Misbach
dkk., 2007).
15
memberikan informasi karena adanya penurunan kemampuan kognitif atau
bahasa (Fagan and Hess, 2008).
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah bertahuntahun, berupa :
10. Nyeri kepala saat terjaga, kadangkadang disertai mual dan
muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium
11. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
12. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat
13. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus
14. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler (Corwin, 2001).
19
d. Merokok
Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika
Serikat pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada
penyesuaian untuk faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian),
ini menunjukkan bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke
yang berakhir dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et
al, 2011).
e. Pemakaian Alkohol
Sebuah meta-analisis terhadap 35 penelitian dari tahun 1966
hingga 2002 melaporkan bahwa dibandingkan dengan bukan pengguna
alkohol, individu yang mengkonsumsi < 12 g per hari (1 minuman
standar) alkohol memiliki adjusted RR yang secara signifikan lebih
rendah untuk stroke iskemik (RR: 0,80; 95% CI: 0,67 hingga 0,96),
demikian juga individu yang mengkonsumsi 12 hingga 24 g per hari (1
hingga 2 standar minum) alkohol (RR: 0,72; 95% CI: 0,57). Tetapi,
individu yang mengkonsumsi alkohol > 60 g per hari memiliki adjusted
RR untuk stroke iskemik yang secara signifikan lebih tinggi (RR: 1,69;
95% CI: 1,3 hingga 2,1) (Hankey et al., 2006).
f. Obesitas
Sebuah penelitian kohort observasional prospektif terhadap
21.144 lakilaki Amerika Serikat yang di follow-up selama 12,5 tahun
(rerata) untuk kejadian 631 stroke iskemik menemukan bahwa BMI
30 kg/mm3 berhubungan dengan adjusted relative risk (RR) sroke
iskemik sebesar 2,0 (95% CI: hingga 2,7) dibandingkan dengan laki
laki dengan BMI < 30 kg/mm3 (SeungHan et al., 2003).
g. Serangan Iskemik Sepintas (TIA)
Dennis et al. (1989) meneliti risiko stroke rekuren pada pasien
dengan TIA dan stroke minor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
20
risiko stroke rekuren dan atau kematian lebih tinggi pada minor
ischemic stroke (stroke iskemik ringan) walaupun perbedaan yang
signifikan hanya pada kematian. Perbedaan prognosis yang tampak
mungkin disebabkan karena prognosis yang baik pada pasien dengan
amaurosis fugax di antara pasien dengan transient ischemic attack.
h. Penyakit Jantung
Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak
menyerang pria dewasa, AF ditemukan pada 11,5% populasi di
negaranegara barat dan merupakan salah satu faktor risiko independen
stroke. AF dapat menyebabkan risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali
lipat daripada pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang didasari oleh AF
sering diikuti dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan
penurunan kemampuan fungsi daripada stroke karena penyebab yang
lain. Risiko stroke karena AF meningkat jika disertai dengan beberapa
faktor lain, yaitu jika disertai usia > 65 tahun, hipertensi, diabetes
melitus, gagal jantung, atau riwayat stroke sebelumnya seperti yang
dikategorikan dalam CHAD. Pada CHAD umur > 65 tahun, gagal
jantung, hipertensi, dan DM dinilai 1 point setiap kali ditemukan dan
riwayat stroke atau emboli sebelumnya dinilai 2 point (Gage et al.,
2004).
i. Peningkatan Kadar Hematokrit
Berdasarkan penelitian La Rue et al. (1987), pasien dengan kadar
hematokrit tinggi memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena infark
lakuner, tetapi tidak untuk stroke oleh karena trombus atau emboli atau
stroke perdarahan. Diduga kenaikan hematokrit akan meningkatkan
viskositas darah dan ada hubungan terbalik antara viskositas dengan
aliran darah otak. ADO yang rendah viskositas yang tinggi berakibat
konsumsi oksigen oleh jaringan otak akan berkurang, dan jelas lebih
21
rendah pada daerah yang disuplai oleh arteriarteri yang kecil yang
tidak memiliki kolateral seperti yang terjadi pada infark lakunar. Dalam
penelitian tersebut juga ditemukan kenaikan hematokrit secara
signifikan disertai kenaikan tekanan darah sistolik.
j. Peningkatan Kadar Fibrinogen
Penelitian metaanalisis (Rothwell., 2004) terhadap 3 penelitian
prospektif dengan 5.113 pasien TIA dan stroke iskemik minor yang di
followup selam 5 tahun mengungkapkan bahwa kadar fibrinogen
pasien di atas median berhubungan dengan risiko stroke iskemik,
dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang berada di bawah median
(HR: 1,34; 95% CI: 1,13 hingga 1,60). Terdapat hubungan lebih kuat
pada pasien dengan sindrom lakunar (HR: 1,42; 95% CI: 1,131,78)
dibandingkan lakunar (HR: 1,09; 95% CI: 0,80 hingga 1,49) tetapi
hasilnya tidak terlalu signifikan (p = 0,018).
k. Migren
Migren dan penyakit serebrovaskuler memiliki hubungan dalam
cara yang berbeda. Migren merupakan kemungkinan penyebab untuk
stroke seperti dalam migrainous infarction. Nyeri kepala mungkin
adalah sebuah gejala dari penyakit serebrovaskuler dan juga faktor
risiko untuk stroke. Banyak gangguan serebrovaskuler seperti
perdarahan serebri, trombosis sinus vena, diseksi arteri karotis atau
vertebralis, dan stroke iskemik yang mungkin muncul dengan atau
diikuti nyeri kepala. Konsep stroke yang dipicu migrain telah
digambarkan dengan baik oleh migrainous infarction, yang telah
dijelaskan dengan baik dalam klasifikasi International Headache
Society (IHS) yang telah direvisi, dan mewakili gambaran paling kuat
hubungan antara stroke iskemik dan migren adalah patent foramen
ovale (PFO) yang mungkin memainkan sebuah peranan patogenesis
22
dalam kedua gangguan ini. Hubungan antara migren dan artery
dissection (CAD) dilaporkan di dalam beberapa penelitian terbaru.
Migren lebih sering pada pasien dengan CAD. Hal ini mendukung
hipotesis bahwa penyakit dinding arteri yang mendasari mungkin
adalah kondisi menyebabkan predisposisi untuk migren (Agostoni et
al., 2004).
23
2.1.9 Penatalaksanaan Terapi
Perawatan stroke terdiri dari perawatan medis dan nonmedis.
Perawatan medis pada awal serangan bertujuan menghindari kematian dan
mencegah kecacatan. Setelah itu, perawatan medis ditujukan untuk
mengatasi keadaan darurat medis pada stroke akut, mencegah stroke
berulang, terapi rehabilitatif untuk stroke kronis, dan mengatasi gejala sisa
akibat stroke. Terapi stroke secara medis antara lain dengan pemberian
obat-obatan, fisioterapi, dan latihan fisik untuk mengembalikan kemampuan
gerak sehari-hari (Wiwit S., 2010).
25
Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk
pengurangan stroke iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang
direkomendasikan dengan grade A yaitu t-PA dengan onset 3 jam dan
aspirin dengan onset 48 jam (Fagan and Hess, 2008).
a. Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA)
Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh
darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin (komponen pembekuan
darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai risiko, yaitu perdarahan. Hal ini
disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang menyumbat
pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam pembuluh
darah. Selain itu, tPA hanya bermanfaat jika diberikan sebelum 3 jam
dimulainya gejala stroke. Pasien juga harus menjalani pemeriksaan lain,
seperti CT scan, MRI, jumlah trombosit, dan tidak sedang minum obat
pembekuan darah (Wiwit S., 2010).
Tabel 2.1 karakteristika pasien stroke yang mungkin sesuai untuk
terapi tissue plasminogen aktivator intravena
Usia 18 tahun
Diagnosis stroke iskemik menyebabkan defisit neurologis yang secara klinis jelas
Tidak ada stroke atau trauma kepala dalam 3 bulan sebelumnya
Tidak ada pembedahan mayor dalam 14 hari sebelumnya
Tidak ada riwayat perdarahan intracranial
Tekanan darah sistolik 185 mmHg
Tekanan darah diastolik 110 mmHg
Tidak ada gejala yang hilang dengan cepat atau gejala stroke yang ringan
Tidak ada gejala yang memungkinkan munculnya dugaan perdarahan subarakhnoid
26
Lanjutan
Tidak ada perdarahan gastrointestinal atau perdarahan traktus urinarius dalam 21 bulan
sebelumnya
Tidak ada pungsi arteri pada lokasi yang noncompressible dalam 7 hari sebelumnya
Waktu protrombin 15 detik atau international normalized ratio 1,7 tanpa penggunaan
obat antikoagulan
Waktu partial-protrombin dalam rentang normal, jika heparin diberikan selama 48 jam
sebelumnya
Hitung trombosit 100.000/mm3
Konsentrai glukosa darah > 50 mg/dl (2,7 mmol/I)
Tidak ada kebutuhan untuk langkah agresif dalam menurunkan tekanan darah hingga batas
yang telah disebutkan di atas
(Gofir, 2009)
b. Antiplatelet
The American Heart Association/ American Stroke Association
(AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan
sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel
maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan
terapi antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2008).
Berbagai obat antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol, dipiridamol,
tiklopidin, dan klopidogrel telah dicoba untuk mencegah stroke iskemik.
Agen ini umumnya bekerja baik dengan mencegah pembentukan
tromboksan A2 atau meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat
membangun kembali keseimbangan yang tepat antara dua zat, sehingga
mencegah adesi dan agregasi trombosit. Belum ada data penelitian yang
merekomendasikan obat golongan antiplatelet selain dari aspirin. Aspirin
merupakan antiplatelet yang lebih murah, sehingga akan berpengaruh pada
tingkat kepatuhan jangka panjang. Bagi pasien yang tidak tahan terhadap
aspirin karena alergi atau efek samping pada saluran cerna yaitu mengiritasi
27
lambung, dapat direkomendasikan dengan penggunaan klopidogrel.
Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal dengan penurunan
resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian
asetosal. Kombinasi asetosal dan klopidogrel tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan dan tidak menunjukkan hasil yang
signifikan dengan pemberian tunggal klopidogrel (Tatro, 2008).
c. Pemberian Neuroprotektan
Pada stroke iskemik akut, dalam batasbatas waktu tertentu sebagian
besar jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan
adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Cara
kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu saja
kebutuhan oksigen selsel neuron. Dengan demikian neuron terlindungi dari
kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau eksitotoksisitas
yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya timbul setelah
cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, serebrolisin
(CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium neuron dan juga
memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
Beberapa diantaranya adalah golongan penghambat kanal kalsium
(nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat (aptiganel, gavestinel,
selfotel), agonis GABA (klokmethiazol), penghambat peroksidasi lipid
(tirilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan aktivator metabolik
(sitikolin). Pemberian obat golongan neuroprotektan sangat diharapkan
dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian (McEvoy, 2008).
d. Pemberian Antikoagulan
Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial
dan sejarah stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah
satu resiko tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang dilakukan Eropa
28
Atrial Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien yang
mengalami fibrilasi atrial nonvalvular dan sebelumnya pernah mengalami
stroke atau TIA. Pasien pada kelompok plasebo, mengalami stroke, infark
miokardium atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun, 8% per tahun
pada kelompok warfarin dan 15% per tahun pada kelompok asetosal. Ini
menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada penggunaan
antikoagulan (Fagan & Hess, 2008).
Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah
stroke iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan
(heparin, LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan
komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan
baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial
fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan
risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke
iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologic atau
sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi
(PERDOSSI, 2007).
29
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi
Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan
darah manusia. Tekanan darah itu sendiri didefinisikan sebagai tekanan
yang terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah dipompa oleh
jantung ke seluruh anggota tubuh. Penyakit hipertensi lebih akrab disebut
sebagai penyakit darah tinggi. Penyakit ini sebenarnya sebuah hipertensi
arteri yang diakibatkan tekanan darah yang meningkat secara kronis.
Penyakit ini terjadi tanpa gejala yang dapat meningkatkan penyakit stroke,
aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, sampai kerusakan ginjal (Wiwit
S., 2010).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg sampai lebih dari
140 mmHg atau aliran tekanan darah diastolik 90 mmHg sampai lebih dari
90 mmHg pada individu. Hipertensi berat meningkatkan stroke hingga 7
kali lipat, dan hipertensi perbatasan meningkatkan risiko hingga 1,5 kali
lipat (Goldszmidt et al., 2011).
2.2.2 Epidemiologi
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin
meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi
kemungkinan besar juga akan bertambah, di mana baik hipertensi sistolik
maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih
dari separuh orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Selain itu, laju
pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam dekade
terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi dan pengendalian tekanan darah
ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi (Yogiantoro, 2006).
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal
dari negara-negara yang sudah maju. Dari data The National Health and
30
Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun
1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%
yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi
peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 19881991. Dan
hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi
(Yogiantoro, 2006).
Di Indonesia belum ada penelitian nasional multicenter yang
menggambarkan prevalensi secara tepat. Boedhi Darmojo dalam tulisannya
yang dikumpulkan dari berbagai penelitian melaporkan bahwa 1,8-28,6%
penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah pasien hipertensi. Pada
umumnya prevalensi pasien hipertensi berkisar antara 8,6-10%. Berdasakan
penelitian Susalit E., terlihat adanya kecendrungan bahwa masyarakat
perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat
pedesaan. Sedangkan berdasarkan penelitian Syakib Bakri, prevalensi
terjadinya hipertensi pada masyarakat kelompok industri 11,75%, pada
nelayan 9,75%, dan pada kelompok petani sekitar 7,92%. Data di atas
menggambarkan bahwa masalah hipertensi perlu mendapatkan penanganan
yang tepat dan baik, mengingat prevalensi yang tinggi dan komplikasi
ditimbulkan cukup berat. Berdasarkan uji klinik diketahui bahwa dengan
penatalaksaan yang baik dapat mengurangi insiden stroke 35-40%, infark
miokard 20-25%, dan gagal jantung > 50% (Yusuf, 2008).
2.2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan
yaitu:
a) Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95%
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti genetik, lingkungan,
31
hiperaktivitas sususan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin,
peningkatan Natrium dan Kalsium intraseluler, dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polositemia (Mansjoer, 2001).
b) Hipertensi Sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya tidak diketahui, seperti penggunaan estrogen,
penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer,
dan sindrom cushing, feokromositoma, koarketasioaorta serta
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan (Mansjoer, 2001).
2.2.4 Patofisiologi
Mengenal patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidak
pastian. Sebagian kecil pasien (2%-5%) menderita penyakit ginjal atau
adrenal sebagai penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak
dijumpai penyebabnya dan keadaan ini dinamai hipertensi esensial.
Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan
darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi esensial. Mungkin banyak faktor yang saling berkaitan
ikut berperan dalam terjadinya peningkatan tekanan darah, dan faktor-faktor
ini dapat berbeda pada masing-masing pasien (Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2008).
Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal
pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik
(TDD) < 80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit
tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung
meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua
tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diberi
terapi obat (Anonim, 2006).
32
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur 18 tahun
menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah
Darah (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 160 100
(JNC, 2003)
Dari hasil penelitian pada penduduk desa dan kota didapatkan bahwa
faktor herediter (turunan) juga ada peranannya, bersifat poligenik, di
samping pengaruh faktor lingkungan (Davies, 1983). Faktor yang telah
banyak diteliti ialah: asupan-garam, obesitas, resistensi terhadap insulin,
sitem rennin-angiotensin, dan sistem saraf simpatis. Selama beberapa tahun
terakhir faktor-faktor lain dievaluasi, termasuk faktor genetik, disfungsi
endothelial (yang bermanifestasi pada perubahan endotelin dan oksida-
nitrogen) I, berat badan lahir yang rendah dan nutrisi intrautenin dan
anomaly neurovascular (Beevers, 2001).
2.2.5 Patogenesis
Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan suatu
penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dianamis antara faktor
genetik, lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai
perkalian antara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan
meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal,
meningkatnya saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin angiotensin
33
aldosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfunsi endotel
merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi
(Soemantri & Nugroho, 2006).
34
2.2.8 Penatalaksanaan Terapi
Ada 9 kelas obat antihipertensi. Diuretik, penyekat beta,
penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor
angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat
antihipertensi utama (Depkes., 2006).
Tabel 2.3 Obat Antihipertensi
Kelas Obat Kisaran dosis harian Frekuensi dosis
(mg)
Diuretic tiazid
Klortalidon (higroton) 12,5 25 1
Hidrokortiazid 12,5 25 1
Indapamid 1,25 2,5 1
Metolazon 0,5 1
Diuretic loop
Bumetanid 0,2 2 2
Furosemid 20 80 2
Torsemid 2,5 5 1
Diuretic potassium sparing
Amilorid 5 1 atau 2
Spironolakton 25 50 2 atau 3
Triamteren 50 100 1 atau 2
Beta-bloker
Atenolol 25 50 1
Betaxolol 5 20 1
Bisoprolol 2,5 10 1
Metoprolol 50 100 1 atau 2
Nadolol 40 80 1
Propanolol 40 120 2
Timolol 10 40 1
Betabloker dengan ISA
Acebutolol 200 800 2
Carteolol 2,5 5 1
Penbutolol 20 1
Pindolol 10 40 2
Alfa/beta bloker
35
Kelas Obat Kisaran dosis harian Frekuensi dosis
(mg)
Carvedilol 12,5 25 2
Labetalol 200 800 2
ACE inhibitors
Benazepril 10 20 1 atau 2
Captopril 12,5 100 2
Enalapril 2,5 20 1 atau 2
Fisinopril 10 20 1
Lisinopril 5 20 1
Moexipril 7,5 - 30 1
Quinapril 5 40 1
Ramipril 1,5 - 10 1
Angiotensin receptor blockers
Candesartan 8 32 1
Eprosartan 400 - 800 1 atau 2
Irbesartan 150 - 300 1
Losartan 25 - 100 1 atau 2
Olmesartan 20 40 1
Telmisartan 20 80 1
Valsartan 80 - 320 1
Calcium antagonis, calcium channel blocking
agents
Diltiazem 180 360 2
Verapamil 180 480 1 atau 2
Calcium antagonist, dihydropyridines
Amlodipin 5 20 1
Felopodipin 5 20 1
Isradipin 2,5 5 2
Nicardipin 20 40 3
Nifedipin 30 120 1
Nisoldipin 20 60
36
2.2.9 Hubungan Hipertensi dan Stroke
Hipertensi merupakan satu dari beberapa faktor risiko stroke iskemik.
Berdasarkan banyak penelitian berbagai klinis dan meta-analisis
menunjukkan bahwa dengan mengendalikan hipertensi akan mengurangi
risiko terjadinya stroke. Hipertensi juga diduga memicu terjadinya
aterosklerosis, namun aterogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Diduga
tekanan darah tinggi merusak endotel dan menaikkan permeabilitas dinding
pembuluh darah terhadap lipoprotein. Tidak hanya itu, diduga beberapa zat
yang dikeluarkan oleh tubuh seperti renin, angiotensin dan lainlain dapat
menginduksi perubahan seluler yang menyebabkan aterogenesis (Sacco.,
2000).
Pada orang normal terdapat suatu sistem autoregulasi arteri serebral.
Bila tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi
vasospasme (vasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik
menurun, pembuluh serebral akan menjadi vasodilatasi. Dengan demikian,
aliran darah ke otak tetap konstan. Batas atas tekanan darah sistemik yang
masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi adalah 200 mmHg untuk
tekanan darah sistolik dan 110120 mmHg untuk tekanan darah diastolik
(Becker., 2008).
Ketika tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan
berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan
darah. Bila tekanan darah cukup tinggi selama berbulanbulan atau
bertahuntahun akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh
serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi
tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh darah serebral tidak dapat
berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari
tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka
perfusi kejaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik
37
serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka
tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi
hiperemia, edema, dan kemungkinan terjadi perdarahan pada otak (Becker.,
2008).
Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dengan diameter
1 mm. Mikroaneurisma ini dikenal dengan aneurisma dari Charcot-
Bouchard dan terutama terjadi pada arteria lentikulostriata. Pada lonjakan
tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah atau mengejan, aneurisma
bisa pecah. Hipertensi yang kronis merupakan salah satu penyebab
terjadinya disfungsi endotelial dari pembuluh darah. Pada keadaan normal,
endotelial menunjukkan fungsi dualistik. Sifat ini secara simultan
mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor (angiotensin II,
endotelin-I, tromboksan A-2, dan radikal superoksida) serta vasodilator
(prostaglandin dan nitrit oksida). Faktorfaktor ini menyebabkan dan
mencegah proliferasi sel sel otot polos pembuluh darah secara seimbang.
Keseimbangan antara sistem antagonis ini dapat mengontrol secara optimal
fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi endotel, terjadi
vasokonstriksi, proliferasi selsel otot polos pembuluh darah, agregasi
trombosit, adhesi lekosit, dan peningkatan permeabilitas untuk
makromolekul, seperti lipoprotein, fibrinogen dan imunoglobulin. Kondisi
ini akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis memegang
peranan penting untuk terjadinya stroke infark (Becker, 2008).
40
2.2.12 Obat Obat yang Digunakan
1. Diuretic Thiazide
Obat golongan diuretik menurunkan tekanan darah dengan jalan
membantu tubuh menyingkirkan kelebihan cairan dan natrium melalui
urinasi. Golongan ini adalah yang paling tua dan paling banyak digunakan
daripada obat antihipertensi lain. Diuretik tertentu, yaitu kelompok tiazid
dapat berperan sebagai vasodilator dengan membuka pembuluh darah. Efek
samping antara lain keletihan, keram kaki, lemah, encok (jarang),
peningkatan gula darah, terutama pada penderita diabetes, dan penurunan
libido dan atau impotensi. Diuretik terbagi ke dalam tiga subkategori:
Diuretik tiazid (Klorotizida, Klortalidon, Hidroklorotiazid, Politiazid,
Indapamid, Metolazon), Loop Diuretic (Bumetanida, Furosemida,
Torsemida), Diuretic Hemat-Kalium (Amilorida, Triamteren) (Kowalski,
2010).
2. - Blocker
Obat golongan penyekat beta, istilah lengkapnya adalah beta
adrenergic blocker, melambatkan detak jantung dan pompa darah, sehingga
menurunkan tekanan darah. Golongan ini secara rutin diresepkan kepada
pasien yang pernah mengalami serangan jantung (myocardial infarction
atau MI), karena hasil penelitian membuktikan bahwa konsumsi obat-obatan
ini, setidaknya satu tahun setelah MI, dapat mencegah serangan kedua.
Penyekat beta juga digunakan untuk mengatasi gangguan irama jantung
yang dikenal sebagai aritmia. Mekanisme kerjanya adalah menyekat efek
dari senyawa yang merangsang jantung, yaitu adrenalin, dengan
menurunkan produksi adrenalin dalam otak; oleh karenanya, golongan ini
memiliki efek mediasi pusat terhadap tekanan darah. Penyekat beta sering
dikombinasi dengan senyawa antihipertensi lain. Efek samping yang
diketahui, antara lain, penurunan kapasitas olah raga, lesu, letih, dan
41
impotensi. Contoh: Asebutolol, Atenolol, Betaksolol, Bisoprolol/
hidroklorotiazid, Karteolol, Metoprolol, Nadolol (Kowalski, 2010).
3. Kombinasi dan Blocker
Obat-obatan ini memberi manfaat dari kelas alfa dan beta dan biasanya
diresepkan kepada seseorang yang menderita kerusakan otot jantung setelah
serangan jantung. Efek samping yang paling sering muncul adalah pening
ketika bangkit dari duduk atau posisi berbaring karena penurunan drastis
tekanan darah (kondisi ini disebut hipotensi postural atau orthostatic
hypotension. Penyesuaian dosis akan sangat membantu) (Kowalski, 2010).
Penghambat reseptor adrenergik ini memiliki aktivitas terhadap reseptor
dan . Karena onset kerjanya yang cepat, mudah dititrasi, dan mempunyai
efek yang minimal terhadap vaskularsisasi sistem saraf pusat, labetalol.
Pemberian intravena merupakan salah satu obat yang direkomendasikan
untuk manajemen peningkatan tekanan darah pada pasien stroke akut yang
dipilih untuk menggunakan tissue plasminogen activator. Contoh: labetalol
dan carvedilol (Pedelty L. & Gorelick P.B., 2006).
4. 1- Blocker
Kelompok obat ini secara selektif menghambat senyawa darah khusus
yang menyebabkan arteri mengalami penyempitan. Penghambatan tersebut
memungkinkan peningkatan aliran darah dan penurunan tekanan darah
dengan merelaksasi arteri. Efek samping, antara lain pening, mengantuk,
peningkatan kecepatan jantung, atau kemerosotan tekanan darah yang
menyebabkan pusing ketika bangkit dari kursi atau tempat tidur. Contoh:
Doksazosin, Prazosin, Terazosin (Kowalski, 2010).
5. ACE Inhibitor
Dengan menghambat kerja enzim yang mengaktifkan angiotensin.
Penghambat EPA mencegah penyempitan pembuluh darah dan menurunkan
resistensi aliran darah, yang pada akhirnya menurunkan tekanan darah. Efek
42
samping yang mungkin adalah kemerahan pada kulit atau reaksi alergi lain,
hilang selera makan, batuk kering kronis, dan kerusakan ginjal. Selain
gejala-gejala tersebut, penghambat EPA secara umum ditoleransi dengan
baik. Contoh: Benazepril, Kaptopril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril,
Moeksipril (Kowalski, 2010).
6. Calcium Channel Blocker (CCB)
Kategori obat antihipertensi ini, disebut juga antagonis kalsium.
Mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri. Ini
akan membatasi penyempitan arteri, memungkinkan aliran darah yang lebih
lancar untuk menurunkan tekanan darah. Golongan obat ini juga diresepkan
untuk mengatasi gangguan irama jantung disertai nyeri dada yang disebut
sebagai angina pektoris (biasanya disebut angina saja). Efek samping
meliputi jantung berdebar, bengkak pada pergelangan kaki, ruam,
konstipasi, sakit kepala, dan pening. Setiap obat dalam golongan ini
memiliki efek samping khusus. Contoh: Amlodipin, Bepridil, Diltiazem,
Felodipin, Nifedipin, Nimodipin, Nisoldipin (Kowalski, 2010).
7. Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)
Pentingnya angiotensin II dalam mengatur fungsi kardiovaskular
menyebabkan perkembangan antagonis nonpeptide dari reseptor angiotensin
II tipe 1 (AT1) untuk penggunaan klinis. Losartan, candesartan, irbesartan,
valsartan, telmisartan, dan eprosartan telah disetujui untuk pengobatan
hipertensi. Obat-obat tersebut merupakan antagonis reseptor angiotensin
AT1 yang sangat aktif pada pemberian per oral dan antagonis kompetitif
khusus pada reseptor angiotensin AT1 yang dapat ditoleransi dengan baik.
Reseptor angiotensin II dibagi menjadi dua subtipe yang berbeda, yaitu tipe
1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) terletak
terutama dalam jaringan pembuluh darah, miokard, otak, ginjal, dan sel
glomerulosa adrenal yang mensekresi aldosteron. Reseptor angiotensin II
43
tipe 2 (AT2) ditemukan di medula adrenal, ginjal, sistem saraf pusat, dan
memiliki peran dalam pengembangan vaskular (Horiuchi et al., 1999).
Angiotensin II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS
(Renin Angiotensin Aldosteron System) yang melibatkan ACE (Angiotensin
Converting Enzym), dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain
seperti chymase. ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen yang
dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat angiotensin II dari
semua jalan. Oleh karena perbedaan ini, ACEI hanya menghambat sebagian
dari efek angiotensin II. ARB bertindak sebagai antagonis reseptor
angiotensin II dengan cara memblok reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1)
yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui pada manusia:
vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon
antidiuretik dan konstriksi arteriol efferent dari glomerulus. ARB tidak
memblok reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi efek yang
menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan
jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan
penggunaan ARB (Anonim, 2006).
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan
hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin
yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Pemberian jangka panjang tidak
mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2007).
Berdasarkan studi A Combined Role of Calsium Channel Blockers and
Angiotensin Reseptor Blckers in Stroke Prevention (Peran Kombinasi
Kalsium Channel Blocker dan Angiotensin Receptor Blockers dalam
Pencegahan Stroke), telah dikaitkan dengan perkembagan dan kemajuan
penyakit serebrovaskular pada pasien dengan hipertensi. Angiotensin II
44
diperkirakan dapat mendorong remodeling, menghambat endotelium-
dependen relaksasi dan mengganggu darah di barier otak. Sehingga
penggunaan ARB ini dapat untuk cerebroprotection. Menurut hipotesis
yang diusulkan oleh Boutitie et al dalam uji klinik, ARB dapat memberikan
perlindungan terhadap stroke selain menurunkan tekanan darah karena
mereka menghambat efek angiotensin I pada sirkulasi serebral, tetapi disini
dikatakan memungkinkan angiotensin II untuk berpotensi memberikan
perlindungan terhadap stroke melalui reseptor angiotensin II (Wang, 2009).
ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan
dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah
yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi
antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI, Kebanyakan ARB mempunyai
waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1 kali / hari. Tetapi
kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling
pendek dan diperlukan dosis pemberian 2 kali / hari agar efektif
menurunkan tekanan darah (Anonim, 2006).
Perbandingan interaksi obat dari semua golongan angiotensin reseptor
bloker menunjukkan bahwa losartan memiliki potensi tertinggi untuk
interaksi obat karena dimetabolisme oleh isoenzim sitokrom P450.
Sedangkan pada valsartan, irbesartan, dan candesartan tidak ditemukan
adanya interaksi obat yang signifikan (Barreras et al., 2003).
ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan
obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB
tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI,
ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi
ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada
penggunaan ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema;
45
tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada
perempuan hamil (Anonim, 2006).
Berdasarkan sebuah penelitian Efficacy and Safety of a Fixed
Combination of Irbesartan/ Hydrochlorothiazide in Chinese Patients with
Moderate to Severe Hypertension penelitian dilakukan secara prospektif
untuk meneliti efikasi dan keamanan dari kombinasi irbesartan/
hidroklorothiazid pada pasien cina dengan hipertensi berat. Penelitian
dilakukan pada pasien berusia 1875 tahun dengan tekanan darah sistolik
bervariasi pada setiap pasien yaitu antara 160199 mmHg dan tekanan
darah diastolik antara 100119 mmHg. Dari hasil penelitian setelah tindak
lanjut selama 12 minggu, kontrol tingkat tekanan darah mencapai tujuan
yakni 57,3%. Terjadi penurunan secara signifikan pada prevalensi
mikroalbuminuria dan hipertrofi ventrikel kiri dari awalnya 33,4% dan
50,4% menjadi 23,4% dan 41,3%. Namun, terdapat 4 pasien (2,0%)
dilaporkan memiliki efek samping yang serius (Huang et al., 2013).
Pada penelitian Efficacy of Combination Therapy with Telmisartan
Plus Amlodipine in Patients
with Poorly Controlled Hypertension dilakukan terapi kombinasi obat
antihipertensi golongan ARB (telmisartan) dan golongan CCB (amlodipine)
pada pasien hipertensi tidak terkontrol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kombinasi telmisartan (40 mg) dan amlodipine (5 mg) dapat
mengurangi tekanan darah yang signifikan pada 12 minggu dari tekanan
darah awal sebesar 143,7/82,3 mmHg menjadi 135,4/77,5 mmHg (Bekki et
al., 2010).
Elizabeth et al. (2010) menyatakan bahwa selama 15 tahun terakhir,
telah dilakukan berbagai studi dengan losartan. Dalam studi tersebut, telah
ditunjukkan manfaat dalam mengendalikan hipertensi, penurunan
46
proteinuria, memperlambat perkembangan diabetes nefropati tipe 2, dan
penurunan resiko stroke pada populasi tertentu.
Obat-Obat Golongan ARB (Angiotensin Reseptor Bloker)
1. Losartan
48
eliminasi sekitar 5 sampai 9 jam. Setelah dosis oral, valsartan diekskresikan
sekitar 83% dalam feses dan 13% dalam urin. Valsartan merupakan
reseptor angiotensin II antagonis, yang digunakan dalam pengobatan
hipertensi, mengurangi angka kematian kardiovaskular pada pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri, dan dalam pengobatan gagal jantung. Efek hipotensi
terjadi dalam waktu 2 jam, mencapai puncaknya dalam waktu 4 sampai 6
jam, dan berlangsung selama lebih dari 24 jam. Efek hipotensif maksimum
dicapai dalam waktu 2 sampai 4 minggu. Pada hipertensi, valsartan
diberikan dalam dosis awal 80 mg sekali sehari. Dosis valsartan
ditingkatkan, jika perlu, untuk 160 mg sekali sehari, dosis maksimum
adalah 320 mg sekali sehari. Dosis awal yang lebih rendah dari 40 mg sekali
sehari dapat digunakan pada pasien usia lanjut lebih dari 75 tahun, dan pada
mereka dengan penurunan volume intravaskular. Pada gagal jantung,
valsartan diberikan dalam dosis awal 40 mg dua kali sehari (Sweetman,
2009).
3. Irbesartan
49
irbesartan terjadi 1,5 sampai 2 jam setelah dosis oral. Irbesartan terikat pada
protein plasma sekitar 96%. Irbesartan mengalami metabolisme di hati,
terutama oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C9, sebagai metabolit aktif.
Irbesartan diekskresikan tanpa merubah obat dan metabolit melalui empedu
dan urin, sekitar 20% dari dosis oral atau intravena diekskresikan dalam
urin, dengan kurang dari 2%. Waktu paruh eliminasi adalah sekitar 11
sampai 15 jam. Irbesartan digunakan untuk pengobatan hipertensi, termasuk
pengobatan penyakit ginjal pada pasien diabetes hipertensi. Irbesartan juga
termasuk pengobatan untuk gagal jantung. Puncak efek hipotensi dalam
waktu 3 sampai 6 jam dan berlangsung setidaknya selama 24 jam. Efek
hipotensif maksimum dicapai dalam waktu 4 sampai 6 minggu setelah
memulai terapi. Pada hipertensi, irbesartan diberikan dalam dosis 150 mg
sekali sehari ditambah, kalau perlu, sampai 300 mg sekali sehari. Dosis
awal yang lebih rendah dari 75 mg sekali sehari dapat dipertimbangkan
pada pasien usia lanjut lebih dari 75 tahun, untuk pasien dengan penurunan
volume intravaskular, dan mereka yang menerima hemodialisis. Untuk
pengobatan penyakit ginjal dalam tipe hipertensi penderita diabetes 2,
irbesartan harus diberikan dalam dosis awal 150 mg sekali sehari,
meningkat menjadi 300 mg sekali sehari selama perawatan.
Meskipun irbesartan tampaknya ditoleransi dengan baik pada anak-
anak dengan hipertensi dan telah terbukti menurunkan tekanan darah dalam
studi kecil, catatan informasi dari produk lisensi US, dosis hingga 4,5 mg/kg
sekali sehari tidak efektif pada anak usia 6 sampai 16 tahun dan tidak lagi
merekomendasikan penggunaan pada pasien tersebut. Pada anak-anak
dengan penyakit ginjal kronis, irbesartan telah dilaporkan dapat mengurangi
tekanan darah dan proteinuria. Dosis awal adalah 37,5 mg sekali sehari
untuk anak-anak dengan berat 10 sampai 20 kg, 75 mg sekali sehari pada
orang dengan berat 21 hingga 40 kg, dan 150 mg sekali sehari pada orang
50
dengan berat lebih dari 40 kg, dosis bisa dua kali lipat jika respon tekanan
darah tidak memadai (Sweetman, 2009).
4. Candesartan Cilexetil
51
candesartan ialah 5-9 jam, dan tidak ada akumulasi yang bermakna setelah
dosis ganda diberikan (konsentrasi plasma 3-17%). Klirens plasma total
candesartan sekitar 0,37 ml/ min/kg, dengan klirens renal sekitar 0,19 ml/
min/kg. Setelah pemberian oral CC, sekitar 20-30% diekskresi dalam urin
dan 60-70% dalam feses. Volume distribusi candesartan ialah 0,1 L/kg
(Chung et al., 1999).
Pengaruh CC pada hyperplasia intima, secara eksperimental diteliti
oleh Miyakzaki et al., (1999). CC secara bermakna menekan pembentukkan
hyperplasia intima pada arteri karotis dan fermoralis, sementara enalapril
secara bermakna menekan hyperplasia intima pada arteri femoralis, tetapi
tidak pada arteri karotis. Pada suatu studi klinis yang melibatkan 15
penderita stroke dengan hipertensi, CC 2-8 mg sekali sehari yang diberikan
selama 8 minggu dapat mempertahankan aliran darah otak (ADO) di
samping menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Pengaruh CC
pada hemodinamik menunjukkan bahwa CC menurunkan resistensi
vaskuler sistemik di samping mempertahankan curah jantung dan denyut
nadi (McClellan & Goa, 1998).
52
5. Telmisartan
53
6. Eprosartan
55