Soppeng termasuk salah satu daerah penghasil beras yang utama di Propinsi
Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008 jumlah produksi padi di Kabupaten Soppeng
sebanyak 257 450 ton dengan produktivitas 7 317 ton/ha. Hasil produksi padi di
Kabupaten Soppeng sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 disajikan pada Tabel 11.
industri merupakan bidang yang paling sedikit digeluti yakni hanya sebesar
2.83%.
Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Soppeng pada tahun 2007
mengalami pertumbuhan sebesar 5.37%, angka pertumbuhan tersebut berada
dibawah pertumbuhan tahun 2006 sebesar 6.63%. (BPS Kab. Soppeng tahun
2009). Salah satu indikator yang paling penting adalah produk domestik regional
bruto (PDRB), yaitu jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh
penduduk Kabupaten Soppeng dalam kurun waktu satu tahun. Kemajuan
perekonomian suatu daerah dapat ditentukan dengan produksi yang diukur
melalui PDRB. Besaran PDRB digunakan sebagai indikator utama untuk menilai
kinerja perekonomian suatu wilayah teutama terkait dengan kemampuan daerah
dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Produk Domestik Regional
Bruto dihitung menurut harga konstan, maka selama periode tahun 2006-2007
PDRB atas dasar harga konstan meningkat sebesar 5.37 persen dari Rp. 953.61
milyar menjadi Rp. 1 004.85 milyar.
dengan luas pemanfaatan lahan untuk sawah dan perkebunan yang masih tinggi
serta dukungan ketersediaan sumber daya air dan prasarana irigasi.
Kondisi lingkungan di Kabupaten Soppeng cukup memprihatinkan. Hal ini
disebabkan dengan adanya lahan kritis seluas 14 494.36 ha. (KLH Kab. Soppeng,
2010). Lahan kritis ini disebabkan oleh meningkatnya tingkat kerusakan hutan
yang ditandai dengan sistem hidrologi sungai yang fluktuatif, pada musim hujan
terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan.
Kerusakan hutan di Kabupaten Soppeng pada umumnya disebabkan oleh
kegiatan ladang berpindah, yaitu membuka lahan untuk ditanami tanaman
ekonomi sehingga fungsi lahan berubah menjadi lahan perkebunan. Data pada
Status Lingkungan Hidup Kabupaten Soppeng 2010 menunjukkan bahwa 53%
dari total luas hutan yang ada di Kabupaten Soppeng rusak akibat kegiatan ladang
berpindah. Kerusakan hutan tersebut merupakan penyebab utama terjadinya banjir
yang sering terjadi di Kabupaten Soppeng.
Hidrologi
Pengetahuan tentang kondisi hidrologi pada suatu daerah aliran sungai
sangat penting dalam upaya pengelolaan sungai. Kondisi hidrologi suatu wilayah
dipengaruhi oleh kondisi iklim serta topografi dan geologinya. Data iklim pada
Sungai Lawo disajikan berdasarkan hasil pengukuran dari tahun 1985 hingga
63
Kondisi iklim juga ditandai dengan curah hujan pada suatu wilayah. Data
yang diperoleh dari Stasiun pengamat Lapajung yang terletak pada DAS Lawo
untuk tahun 1985 hingga tahun 2008 menunjukkan rata-rata curah hujan bulanan
sebesar 154 mm. Adapun rata-rata curah hujan bulanan dalam kurun waktu
tersebut disajikan pada Gambar 16.
64
300
245
250
205 209
200
Curah Hujan (mm)
176 172
167
157
142 144
150
125
100
59
47
50
0
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Gambar 16. Grafik fluktuasi rata-rata curah hujan bulanan Tahun 1985 - 2008
Vegetasi
Jenis vegetasi penutupan lahan dalam suatu wilayah DAS sangat
berpengaruh terhadap tingkat resiko lingkungan yang akan terjadi seperti erosi.
banjir dan sedimentasi. Vegetasi penutupan lahan merupakan salah satu
komponen pembentuk DAS yang berperan penting terhadap keberlangsungan
66
ekosistem DAS itu sendiri. Kaitannya dengan fungsi yang dijalankan maka
vegetasi mempunyai pengaruh yang sangat besar terutama dalam menahan
pukulan butir-butir air hujan dan menyimpan untuk sementara air yang
diterimanya yaitu pada lapisan serasah yang selanjutnya akan menyerap dan
memperlambat tingkat aliran permukaan.
Tipe vegetasi penutupan lahan di wilayah DAS Lawo antara lain
pemukiman, hutan, persawahan, kebun campuran, tegalan/ladang, belukar dan
sebagian adalah rawa. Kondisi hutan di wilayah hulu DAS Lawo masih dalam
status hutan lindung. sehingga kondisinya perlu dipertahankan fungsi lindungnya
agar tetap terjaga. Namun disisi lain kerapatan pohon sudah mulai berkurang.
disebabkan karena terjadinya penebangan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan belum sadar akan pentingnya pelestarian hutan.
Sedangkan jenis penutupan lahan lainnya tersebar diseluruh wilayah DAS lawo.
Pemukiman sebagian terdapat di bagian hulu DAS, dan secara umum
tersebar di bagian tengah dan hilir DAS. Kebun campuran dan tegalan/ladang
tersebar dari hulu-hilir umumnya terdapat di wilayah tengah DAS. Sedangkan
persawahan sebagian terdapat di bagian hulu dan tengah DAS dengan luasan
tertentu. Rawa hanya terdapat di bagian hilir DAS. Jenis penutupan lahan pada
DAS Lawo disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Jenis tutupan lahan pada DAS Lawo
Penutupan Lahan Luas (Ha) %
Permukiman 306.34 1.8
Hutan 4 584.56 26.8
Belukar 878.37 5.1
Kebun Campuran 1 405.21 8.2
Persawahan 5 775.97 33.8
Rawa 76.53 0.4
Ladang/tegalan 4 077.47 23.8
Jumlah 17 104.45 100.0
Sumber: Bappeda Kab. Soppeng. 2007
Gambar 17. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2001
Gambar 18. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2008
Gambar 17 dan Gambar 18 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 debit
maksimum yang terjadi pada Sungai Lawo lebih kecil dari 40 m3/s. sedang pada
tahun 2008 debit maksimum yang terjadi sebesar 110 m3/s. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi perbedaan aliran yang sangat besar antara tahun 2001 dan 2008.
Adapun tingkat kekritisan DAS dapat dilihat berdasarkan rasio debit maksimum
dan minimum. Berdasarkan data curah hujan tahun 2008 diperoleh debit
minimum sebesar 1.404 m3/s sedang debit maksimum sebesar 110 m3/s. sehingga
diperoleh rasio sebesar 78.57 atau mengindikasikan bahwa DAS Lawo masih
69
dalam kondisi sedang. Hal ini sesuai dengan uraian Nugroho (2010) bahwa jika
Qmaks/Qmin antara 40-80, maka DAS tersebut dinilai dalam kondisi kualitas
sedang.
Wilayah kajian pada Sungai Lawo berawal pada daerah hulu sungai yaitu
tepatnya pada Kampung Seppang Kecamatan Lalabata dan berakhir pada Desa
Bakke Kecamatan Ganra. Panjang sungai yang menjadi wilayah penelitian adalah
16 400 m dengan luas daerah tangkapan adalah 76.54 km2.
Kondisi erosi tebing pada Sungai Lawo merupakan masalah dan
menyebabkan kerugian akibat kehilangan lahan. Terjadinya erosi tebing
dipengaruhi akibat kondisi tanah yang jenuh pada musim hujan dan menyebabkan
meningkatnya massa tanah. Akibatnya beban pada tanah meningkat dan akan
terjadi kelongsoran. Erosi tebing sungai juga dipengaruhi oleh kecepatan air.
vegetasi di sepanjang tebing sungai. kegiatan bercocok tanam di pinggir sungai.
kedalaman dan lebar sungai. bentuk alur sungai dan tekstur tanah (Asdak, 2007).
Kondisi tebing Sungai Lawo yang dideskripsikan dengan kejadian erosi
dan tidak erosi. Kejadian erosi tebing dapat diamati dua cara yaitu berdasarkan
adanya akar pohon yang nampak pada tebing sungai (Walker et al., 1992) serta
kondisi tidak adanya vegetasi pada tebing. Berdasarkan hasil pengamatan pada 83
titik pembacaan. diperoleh gambaran bahwa pada sisi kanan sungai erosi tebing
yang terjadi lebih kecil dibandingkan pada sisi kanan sungai. Secara detail
kejadian erosi tebing disepanjang sungai dapat dilihat pada Gambar 19.
jenis tata guna lahan tidak dilakukan perlindungan tebing sungai secara struktural.
Secara parsial deskripsi kejadian erosi tebing sungai disajikan pada Gambar 20.
100.0
87.5
90.0 84.2 83.3
80.0
70.0
Erosi Tebing (%)
60.0 55.0
50.050.0
50.0 46.246.2
36.4 36.8
40.0
30.0
16.7
20.0 10.0
10.0 0.0 0.0
0.0
Seppang Lawo Cenrana Paowe Talumae Ganra Bakke
Kiri 46.2 55.0 87.5 36.4 50.0 84.2 16.7
Kanan 46.2 10.0 0.0 0.0 50.0 36.8 83.3
Gambar 20. Kondisi erosi tebing pada setiap lokasi di Sungai Lawo
Gambaran kejadian erosi tebing di Seppang, Talumae, Ganra, dan Bakke
terjadi di sisi kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada wilayah ini
dengan banyak meander merupakan faktor utama penyebab erosi tebing. Kondisi
morfologi sungai yang memiliki meander mengakibatkan aliran air yang terjadi
mengarah ke daerah tertentu di sisi luar belokan. Pada kondisi ini, aliran air akan
berusaha bergerak keluar sehingga kecepatan air di sisi luar belokan akan lebih
besar dibanding di sisi dalam belokan. Akibatnya. pada sungai yang memiliki
tebing dengan kondisi tanah yang tidak stabil akan cenderung terjadi kelongsoran
pada tebing di bagian luar belokan sungai. Proses kelongsoran tebing ini terjadi
akibat adanya proses gerusan yang terus menerus di dasar tebing sebagai reaksi
perubahan dasar terhadap kondisi pola aliran di belokan (Sujatmoko, 2006)
Kondisi Dasar Sungai
Dasar sungai tersusun oleh material yang terangkut secara alamiah oleh
aliran air dan mengendap pada daerah tertentu. Forman dan Gordon (1983) dalam
Waryono (2008) menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering
mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata.
kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya, sering
terendapkan material yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal
tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya.
71
Kondisi dasar sungai Lawo bervariasi dari hulu ke hilir. Pada wilayah
pengukuran sepanjang 16 400 meter terdapat 243% panjang sungai yang dasarnya
terbentuk oleh batuan dengan ukuran 5 mm20 mm. Hal ini sesuai dengan
Gambar 21.