Anda di halaman 1dari 35

PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA KRONIS DENGAN

KOLESTEATOMA LUAS
Ahmad Hifni, Yuli Doris Memy, Abla Ghanie

BAGIAN IKTHT-KL FK UNIVERSITAS SRIWIJAYA /


DEPARTEMEN IKTHT-KL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2016

ABSTRAK
Otitis media kronis (OMK) merupakan salah satu penyakit infeksi pada
telinga yang sering ditemukan. Prevalensi OMK di dunia berkisar antara 1 sampai
46% dan paling sering ditemukan pada negara negara berkembang. OMK dengan
kolesteatoma merupakan salah satu penyebab utama terjadinya komplikasi yang bila
tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi berbahaya seperti
komplikasi intratemporal dan intrakranial. Penatalaksanaan OMK dengan
kolesteatoma memerlukan intervensi operasi agar tercapai telinga yang kering dan
aman sehingga memungkinkan eradikasi penyakit dan kekambuhan dapat dicegah.
Dilaporkan satu kasus OMK dengan kolesteatoma pada perempuan usia 30
tahun yang telah ditatalaksana dengan mastoidektomi radikal modifikasi dan
didapatkan kolesteatoma yang luas pada temuan intra operasi.

Kata kunci : Otitis media kronis, kolesteatoma luas, mastoidektomi modifikasi

Abstract
Chronic otitis media ( COM ) is one of the infectious diseases that are often found in
the ear. The prevalence of COM in the world ranging from 1 to 46 % , and most often
found in developing countries. COM with cholesteatoma is one of the main causes of
the complications that if not handled properly will lead to dangerous complications
such as intratemporal and intracranial complications . Management of patients with
chronic suppurative otitis media with cholesteatoma require surgical intervention in
order to reach the dry ears and safe allowing the eradication of disease and
recurrence can be prevented.
Reported one case COM with cholesteatoma in women aged 30 years who
had been treated by radical modified mastoidektomy and obtained extensive
cholesteatoma on intra findings operation.

Keywords : Chronic otitis media, broad cholesteatoma, modified mastoidectomy

PENDAHULUAN
Otitis media kronis (OMK) adalah radang kronis telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otore) tersebut
selama lebih dari 2 bulan, baik terus menerus maupun hilang timbul. OMK
merupakan penyakit telinga yang sampai saat ini masih sering dijumpai di Indonesia.
Pada OMK dapat terjadi kelainan patologis seperti jaringan granulasi maupun
kolesteatoma yang merupakan sumber infeksi sehingga telinga tidak dapat kering
yang disertai adanya gangguan pendengaran akibat perforasi membran timpani dan
rusaknya tulang pendengaran.1,2,3,4
Otitis media kronis (OMK) dianggap sebagai salah satu penyebab tuli yang
terbanyak, terutama di negara-negara berkembang. Angka prevalensi OMK di negara-
negara Asia Tenggara seperti di Thailand berkisar 0,9% sampai 4,7% sedangkan
angka prevalensi di India cukup tinggi yaitu 7,8%. Di Indonesia angka prevalensi
OMK secara umum adalah 3,9% yang termasuk dalam negara dengan OMK
berprevalensi tinggi.5,6
Kolesteatoma adalah suatu lesi kistik yang terbentuk dari epitel skuamosa
berlapis berkeratin berakumulasi di telinga tengah atau area pneumatisasi lain dari
tulang temporal. Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada
tahun 1858. Kolesteatoma tidak mengandung lemak dan juga tidak selalu terdiri dari
kolesterin. Walaupun istilah keratoma lebih sesuai secara patologi namun
kolesteatoma telah umum digunakan dan telah diterima oleh para ahli THT.2,7
OMK dengan kolesteatoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis dapat berupa gangguan pendengaran
unilateral, otore yang berbau busuk yang menetap atau berulang lebih dari 2 bulan.
Gejala klinis kadang-kadang disangkal sampai terjadinya komplikasi yang serius.
Pada pemeriksaan otoskopi adanya perforasi membran timpani di daerah atik,
marginal atau total serta adanya polip dan jaringan granulasi. Pemeriksaan
pendengaran didapatkan jenis dan derajat ketulian berupa tuli konduktif atau tuli
campur. Pemeriksaan pencitraan dengan foto polos mastoid dan tomografi komputer
temporal menunjukkan adanya gambaran kolesteatoma.6,7

2
Penatalaksanaan OMK seringkali dibutuhkan tindakan pembedahan. Tujuan
pembedahan adalah untuk eradikasi jaringan patologis sehingga telinga menjadi
kering dan bebas infeksi, mencegah rekurensi dan memperbaiki fungsi pendengaran.
Untuk kasus OMK dengan kolesteatoma yang disertai dengan gangguan pendengaran
yang bersifat konduktif dapat dilakukan eradikasi jaringan patologis dengan teknik
rongga terbuka (mastoidektomi radikal modifikasi/timpanoplasti dinding runtuh) dan
sekaligus dilakukan rekonstruksi pendengaran baik dalam satu maupun dua tahap
pembedahan.5,7,8

ANATOMI TELINGA
Telinga merupakan salah satu indera yang dimiliki manusia yang cukup
penting, karena tanpa adanya pendengaran maka seseorang juga akan mengalami
kesulitan dalam berbicara. Telinga merupakan organ yang bersifat sensori yang sangat
kompleks jika dibandingkan dengan organ sensori lainnya. Secara anatomi, pada
dasarnya telinga dibagi menjadi 3 bagian secara garis besar, yaitu telinga luar, telinga
tengah dan telinga dalam. Telinga dalam sendiri nanti akan terbagi menjadi dua
bagian, yaitu koklea yang berfungsi dalam pendengaran dan juga aparatus vestibuli
yang berperan dalam keseimbangan. Telinga luar dan telinga tengah akan
menyalurkan suara menuju koklea, yang dimana pada koklea suara tersebut akan
dipisahkan berdasarkan frekuensinya sebelum mengalami transduksi oleh sel-sel
rambut pada koklea yang akan mengubah rangsangan suara tersebut menjadi stimulus
neural pada saraf yang bertanggung jawab atas pendengaran yaitu saraf kranial ke
VIII yaitu nervus vestibulocochlear. 1,3,4,6
Telinga luar pada dasarnya sebagian terbentuk dari kartilago yang dilapisi
oleh kulit pada bagian luar dan tulang yang langsung dilapisi oleh kulit pada bagian
dalam. Bagian luar dari telinga ini disebut juga sebagai aurikula yang dimana terdapat
banyak bagian dari aurikula yang memiliki nama masing-masing. Dalam fungsi
pendengaran terdapat cekungan pada telinga luar yang disebut juga sebagai concha
yang sangat berperan penting dalam mengumpulkan dan mengantarkan suara yang
akan berujung pada koklea. Bentuk dari kartilago yang menyusun telinga luar setiap

3
orang dapat berbeda-beda, oleh karena itu dalam menangani trauma yang berada pada
telinga luar, harus sangat diperhatikan untuk mempertahankan struktur ini. 1,3,4,6

Gambar 1. Anatomi Telinga3

Kanalis telinga luar memiliki panjang 2,5 cm dan diameter 0,6 cm, dan kanal
ini berbentuk seperti S, dimana pada bagian medial terbentuk dari tulang tengkorak
yang membentuk terowongan yang berbentuk bulat dan pada bagian lateral terbentuk
dari kartilago yang juga membentuk terowongan yang berbentuk bulat, namun
dengan seiring bertambahnya usia bagian kanalis telinga yang terbentuk dari kartilago
akan mengalami perubahan bentuk, sehingga kanalis pada daerah ini akan berubah
menjadi oval. Selain perubahan bentuk dari kartilago, dengan penambahan umur akan
menyebabkan kanalis telinga luar ini akan semakin menyempit.1,3,4,6
Liang telinga dilapisi oleh epitel yang mensekresikan serumen dan disertai
oleh rambut pada permukaannya. Pada epitel yang melapisi kanalis telinga ini tidak
terdapat kelenjar keringat. Oleh karena epitel pada liang telinga ini tidak seperti epitel
pada daerah lainnya yang sering tergosok secara natural, maka epitel didaerah ini
dapat membersihkan sel kulit yang mati dan juga serumen yang berada pada kanalis
telinga, kegagalan dalam pembersihan sendiri dari sel epitel ini merupakan salah satu
teori yang berkembang dalam patofisiologi dari terjadinya kolesteatoma. Terdapat dua

4
sel yang berperan dalam pembentukan serumen yaitu kelenjar sebaseus dan kelenjar
serumen. Serumen sendiri terdiri dari dua jenis yaitu serumen yang bersifat basah dan
serumen yang bersifat kering.1,3,4,6
Bagian kedua dari telinga adalah telinga bagian tengah yang terdiri dari
membran timpani dan juga 3 tulang yang berperan penting dalam pendengaran yaitu
maleus, inkus, dan stapes. Pada telinga tengah juga terdapat dua otot kecil, yaitu otot
tensor timpani dan juga otot stapedius yang akan berperan dalam refleks akustik.
Pada telinga tengah juga terdapat korda timpani yang merupakan cabang dari nervus
fasialis yang melewati telinga tengah yang dimana korda timpani ini akan
menginervasi 2/3 depan dari lidah. Pada telinga tengah juga terdapat tuba Eustaschius
yang akan menghubungkan telinga tengah dengan faring. 1,3,4,6

Gambar 2.Anatomi rongga telinga tengah 3

Rongga telinga tengah pada dasarnya berbentuk seperti kubus dengan enam
sisi yang dimana dinding posterior dari kubus ini sedikit lebih besar daripada dinding
anteriornya. Salah satu struktur penting yang berada pada telinga tengah adalah
membran timpani. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari
arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut
pars flaksida (membran Shrapnell) sedangkan bagian bawah pars tensa (membran

5
propia). Pars flaksida hanya berlapis dua yaitu bagian luar yang merupakan lanjutan
epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti
epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara
radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.1,3,4,6
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu
pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.
Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah
yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani
dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus
dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-
depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak
perforasi membran timpani.1,3,4,6
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari
luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga
tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani,
maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada
tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian. Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis
gepeng yang terletak pada lamina propria yang tipis yang melekat erat pada
periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang
melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara.1,3,4,6
Struktur penting terakhir yang berada pada telinga tengah adalah tuba
Eustachius. Tuba Eustachius ini berguna untuk menghubungkan ruang telinga tengah
dengan nasofaring. Dua pertiganya yang berada didekat nasofaring merupakan
kartilago dan sepertiga sisanya adalah tulang. Saluran ini dilapisi oleh epitel saluran
pernafasan. Fungsi tuba Eustachius adalah sebagai saluran udara dari nasofaring ke
telinga tengah untuk menyeimbangkan tekanan dari kedua sisi membran timpani.
Organ ini menutup secara pasif pada saat istirahat dan membuka jika ada kontraksi

6
dari otot tensor veli palatini yang dimana kontraksi dari otot ini dipersarafi oleh
nervus trigeminal (N.V), sehingga tuba ini akan terbuka secara singkat pada saat
menelan. Organ ini juga dapat dibuka paksa dengan cara meningkatkan tekanan udara
di nasofaring dengan cara melakukan manuver Valsava. Disfungsi dari tuba
Eustachius yang pada umumnya disebabkan karena adanya oklusi dimuara tuba ini
dapat mengakibatkan timbulnya tekanan negatif yang akan berujung pada akumulasi
cairan serosa diruang telinga tengah. 1,3,4,6
Telinga tengah dapat juga dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu
mesotimpanum, hipotimpanum, epitimpanum. Yang menjadi batasan dari ketiga
kompartemen ini adalah kanalis auditori eksternal. Epitimpanum sendiri berada
superior dan medial dari kanalis auditori eksternal. Hipotimpanum terletak inferior
dan medial dari kanalis auditori eksternal, sedangkan yang terakhir adalah
mesotimpanum terletak di medial dari eksternal auditori kanal. Mesotimpanum terdiri
dari stapes, prosesus longus dari inkus, gagang dari maleus, dan tingkap bulat serta
tingkap lonjong. Tuba Eustachius juga keluar dari bagian anterior kompartemen
mesotimpanum ini. Terdapat dua resesus yang mengalami ekstensi ke posterior yaitu
resesus fasial dan juga sinus timpani. Resesus fasialis dan sinus timpani merupakan
lokasi tersering dari kolesteatoma yang bersifat persisten setelah operasi telinga yang
bersifat kronis. Resesus fasialis berada lateral dari nervus fasialis, dibatasi oleh fossa
incudis di superior dan korda timpani dibagian lateral. Sinus timpani berada diantara
nervus fasialis dan dinding tengah dari mesotimpanum dan lokasi ini sangat sulit
diakses ketika dilakukan operasi. 1,3,4,6
Epitimpanum berada diatas dari prosesus brevis dari malleus dan didalam
kompartemen epitimpanum terdapat kepala dari malleus badan dari inkus, dan
beberapa ligamentum serta lipatan dari mukosa. Terdapat cekungan pada tulang
timpani yang disebut sebagai notch of Rivinus yang berada diatas jaringan fibrosa ini.
Hipotimpanum merupakan kompartemen terakhir dari telinga tengah yang terletak
inferior dan medial dari dasar kanalis telinga yang terbentuk dari tulang.
Hipotimpanum merupakan cekungan dari tulang yang ireguler yang jarang terlibat
dalam kolesteatoma.1,3,4,6,9

7
Bagian terakhir dari telinga adalah telinga bagian dalam yang terdiri dari
organ-organ akhir (end organ) pendengaran (koklea) dan keseimbangan (labirin).
Koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran. Labirin osseus terdiri dari
vestibulum dan tiga kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Endolimfe yang mempunyai komposisi elektrolit mirip cairan intraseluler, terdapat di
dalam suatu sistem tertutup kontinu di dalam koklea dan labirin membraneseus.
Perilimfe yang susunan elektrolitnya mirip dengan cairan ekstraseluler dan cairan
serebrospinal, mengelilingi endolimfe yang terdapat di dalam membran dan tidak
berhubungan dengan endolimfe, kecuali pada keadaan patologis.1,3,4,6

Gambar 3. Struktur telinga dalam 3

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa.
Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissners membrane)
sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak
organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel
rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.1,3,4,6

8
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Bagian yang menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang
ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung
kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfa. Karena
pengaruh gravitasi maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut
dan menimbulkan rangsangan pada sel reseptor. Sakulus berhubungan dengan
utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju
endolimfa. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap makula
sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing
kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung
sel-sel rambut krista. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap
dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Baik koklea maupun labirin menerima
pasokan darah dari cabang terminal arteri basilaris.1,3,4,6
Dibelakang dari rongga telinga tengah terdapat antrum mastoid yang
merupakan penonjolan dari tulang temporalis dan rongga mastoid ini berhubungan
dengan telinga tengah melalui aditus ad antrum. Rongga mastoid merupakan sebuah
rongga yang berbentuk seperti segitiga dengan puncaknya mengarah ke kaudal.
Antrum mastoid ini memiliki panjang 12-15 mm, tinggi 8-10 mm dan lebar antara 6-8
mm. Pada bagian superior atau atap mastoid antrum dibatasi oleh tegmen timpani,
dinding medial dan lantai dari rongga mastoid ini dibatasi oleh pars petrosa dan pars
mastoidea dari tulang temporalis, bagian lateral dari rongga mastoid ini dibatasi oleh
squama bagian luar dari pars mastoidea, pada bagian medial dari rongga mastoid
terdapat aditus ad antrum yang menghubungkan rongga mastoid dengan telinga
tengah. Pada saat bayi baru lahir ketebalan dari dinding antrum hanya 1-2 mm saja
namun ketika dewasa ketebalannya dapat mencapai 9-10 mm. Seperti dikatakan
sebelumnya bahwa rongga mastoid berbentuk seperti segitiga yang puncaknya akan
mengarah ke kaudal dan bagian ini merupakan prosesus mastoideus.1,3,4,6
Rongga mastoid merupakan sel udara mastoid (mastoid air cell) terbesar yang
berada dibagian petrosa dari tulang temporal. Sel mastoid ini sendiri memiliki banyak

9
sekali ukuran, dari yang kecil hingga yang besar. Pada bagian atas dan depan dari
tulang temporal bentuk dari sel udara mastoid ini cenderung ireguler dan berukuran
besar dan mengandung udara, namun jika kita mengarah kebagian bawah maka
ukuran dari sel udara mastoid ini akan semakin mengecil dan bahkan pada bagian
apex sel udara mastoid yang berada disana berukuran sangat kecil atau bahkan malah
mengandung sumsum tulang.1,3,4,6,9

FISIOLOGI PENDENGARAN
Fisiologi pendengaran diawali di telinga luar, dimana pinna bertindak sebagai
pengumpul suara. Kanalis auditori eksternal mempunyai bentuk yang dapat
mengamplifikasi suara yang berfrekuensi antara 2000 sampai 4000 Hz, ketika suatu
bunyi yang berfrekuensi diantara 2000-4000 Hz masuk ke dalam kanalis akan
mengalami amplifikasi sebanyak 10-15 dB. Oleh karena itu bunyi dengan frekuensi
ini merupakan bunyi yang paling berpotensi untuk menyebabkan terjadinya trauma
akustik.3,4,6
Pada telinga tengah terdapat malleus, inkus, dan stapes yang saling
berhubungan satu dengan lainnya. Dasar dari malleus menempel pada membran
timpani dan pada leher dari malleus terdapat muskulus tensor timpani. Bagian kepala
dari malleus akan berartikulasi dengan permukaan anterior dari badan inkus didalam
epitimpanum. Inkus memiliki prosesus pendek yang berproyeksi kebelakang dan
prosesus longus yang akan berartikulasi dengan kepala dari stapes. Stapes sendiri
merupakan tulang yang berbentuk seperti sanggurdi. Otot stapedius yang menempel
dengan tulang stapes ini dapat diukur dengan audiometri impedansi, yang akan
berguna sebagai alat bantu klinis.2,3,6
Udara yang sampai pada telinga bagian dalam, dimana udara tersebut akan
menyebabkan perubahan pada cairan perilimfa ataupun endolimfa, hanya 0,1 persen
energi saja yang disalurkan, sedangkan 99,9 persen dari energi ini akan terefleksikan,
oleh karena itu akan menyebabkan hilangnya intensitas bunyi sekitar 30 dB. Oleh
karena itu telinga tengah akan mengkompensasi kehilangan energi yang akan terjadi
ditelinga tengah, karena membran timpani memiliki luas permukaan 17x lebih luas

10
dari dasar dari stapedius yang akan menyebabkan multifikasi dari energi bunyi yang
disalurkan dari telinga luar.1,3,6
Vibrasi dari suara akan ditransmisikan melewati kanalis auditori eksternal dan
melewati telinga tengah ke telinga dalam dengan melalui stapes, yang akan
menyebabkan gelombang akan terbentuk sepanjang membran basalis dan organ Corti.
Puncak dari gelombang yang disalurkan sepanjang membrana basalis bergantung
pada frekuensi sumber bunyi, yang dimana ini akan menyebabkan defleksi dari
stereosilia karena adanya pergesekan dengan membran tektorial. Ini akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi sel-sel rambut dan akan menyebabkan
timbulnya aksi potensial pada saraf auditori. Ditempat inilah terjadi konversi dari
energi mekanikal yang berasal dari gelombang akan diubah menjadi energi
elektrokemikal yang akan dilanjutkan ke nervus kranialis yang ke VIII, yaitu nervus
vestibulokoklear. Aktivitas elektrik yang terjadi di organ Corti dapat diukur dan
disebut sebagai koklear mikrofonik dan sama halnya dengan aktivitas elektrik yang
berada pada neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai aksi potensial.1,3,4,6
Pada bagian lateral dari duktus koklear terdapat ligamen spiral, yang berguna
sebagai jangkar pada sisi lateral dari membran basalis dan mengandung stria
vaskularis, yang dimana merupakan satu-satunya epitel yang bervaskular. Dua dari
tiga tipe sel yang berada pada stria vaskularis sangat kaya akan mitokondria dan
memiliki luas permukaan yang besar jika dibandingkan dengan volume sel tersebut.
Stria vaskularis ini memiliki konstruksi sebagai sistem transport cairan dan elektrolit,
yang dimana diperkirakan berperan penting dalam pengaturan komposisi elektrolit
dari endolimfa dan juga bertindak sebagai sumber listrik sekunder dari organ Corti.
Oleh karena sumber dari nutrisi sel berasal dari darah, namun sirkulasi darah pasti
akan menyebabkan timbulnya bunyi, maka stria vaskularis ini beradaptasi dengan
menyediakan nutrisi ke organ Corti dengan suplai vaskularisasi yang jauh dari organ
Corti.3,4,6
Terdapat kurang lebih 30.000 neuron aferen yang menginervasi 15.000 sel
rambut yang berada pada koklea. Setiap sel rambut ini akan diinervasi oleh banyak
neuron. Terdapat juga 500 neuron eferen menginervasi setiap koklea, yang dimana

11
neuron-neuron ini juga akan bercabang, sehingga menyebabkan satu sel rambut
memiliki banyak eferen nerve ending. Serabut saraf dari nervus koklear akan menuju
bagian dorsal dan ventral koklear nuclei, yang dimana hampir semua serabut yang
berasal dari nuklei akan mengalami penyilangan pada midline dan naik ke kolikulus
inferior kontralateral, namun beberapa juga naik ke kolikulus inferior ipsilateral. Dari
kolikulus inferior, jalur dari auditori akan menuju corpus geniculate medial dan akan
diteruskan ke korteks auditori yang berada dilobus temporal area 4. Oleh karena
banyak neuron yang mengalami persilangan maka jika terdapat lesi pada bagian
sentral dari jalur auditori akan menimbulkan kehilangan pendengaran pada kedua
telinga.3,4,6

DEFINISI KOLESTEATOMA
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel
(keratin). Kolesteatoma dapat juga diartikan sebagai adanya epitel skuamosa pada
telinga tengah, mastoid atau epitimpanum. Normalnya, celah telinga tengah dilapisi
oleh berbagai jenis epitel di berbagai regio seperti kolumnar bersilia di bagian
anterior dan inferior, kuboidal di bagian tengah dan pavement-like di bagian atik.
Telinga tengah tidak dilapisi oleh epitel skuamosa berkeratin sehingga adanya epitel
skuamosa pada telinga tengah, mastoid atau epitimpanum disebut kolesteatoma.
Istilah kolesteatoma pertama sekali diperkenalkan oleh seorang ahli anatomi
kebangsaan Jerman yang bernama Johannes Muller pada tahun 1838 dimana kata
kolesteatoma berasal dari kata cole berarti kolesterol, esteado berarti lemak dan oma
yang berarti tumor, yang bila digabungkan berarti suatu tumor yang terbentuk dari
jaringan berlemak dan kristal dari kolesterol. Istilah lain yang digunakan antara lain
pearl tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829 margaritoma oleh Craigie pada tahun
1891, epidermoid kolesteatoma oleh Causing pada tahun 1922 dan keratoma oleh
Shuknecht pada tahun 1974.1,2,5,7

KEKERAPAN KOLESTEATOMA

12
Angka kejadian dari kolesteatoma sangat beragam berdasarkan pada
penelitian yang telah dilakukan dibeberapa negara. Di Skotlandia ditemukan angka
kejadian sebesar 13 per 100.000 penduduk mengalami kolesteatoma sedangkan di
Amerika Serikat ditemukan angka kejadian yang lebih rendah yaitu 7 per 100.000
pertahunnya. Di Israel angka kejadian dari penanganan operasi yang dilakukan pada
pasien dengan kolesteatoma sebesar 66 dari 100.000 penduduk. 9,10
Angka kejadian dari kolesteatoma ini beraneka ragam yang dimana salah satu
penyebabnya adalah praktek medis yang berbeda-beda disetiap negara, seperti
contohnya di Israel ditemukan adanya penurunan kejadian dari kolesteatoma, ketika
pada pasien yang menderita otitis media kronis dilakukan penanganan dengan
penggunaan grommets ataupun aural ventilation tube. WHO mengelompokkan
angka prevalensi OMK negara-negara berdasarkan klasifikasi WHO regional,
dikategorikan angka prevalensi 1%-2% adalah rendah dan angka prevalensi 3-6%
adalah tinggi. Dari data tersebut dilaporkan angka prevalensi di negara-negara Asia
Tenggara, Thailand berkisar 0,9% sampai 4,7% sedangkan angka prevalensi di India
tinggi yaitu 7,8%. Angka ini berasal dari survei di Tamil Nadu yang lebih rendah
dibandingkan dengan survei sebelumnya yang berkisar dari 16%-34%. 6,9,10
Perbandingan angka kejadian kolesteatoma antara laki-laki ataupun perempuan
tidak jauh berbeda dengan perbandingan sebesar 3:2. Kolesteatoma yang terjadi pada
anak-anak ditemukan akan lebih sering berdampak pada tuba eustachius, anterior
mesotimpanum, sel retrolabirin dan prosesus mastoid jika dibandingkan dengan orang
dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan pemeriksaan histologi diketahui bahwa
kolesteatoma yang terjadi pada anak pada umumnya bersifat lebih agresif. Yousuf M
dkk melaporkan penelitian di Bangladesh dari Januari 2003 sampai Februari 2004
didapatkan dari 100 pasien dengan otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma
lebih banyak pada kelompok umur 11-20 tahun dengan frekuensi pada laki-laki lebih
tinggi dibandingkan wanita dengan ratio 2,33:1. Di Indonesia angka prevalensi OMK
di Indonesia secara umum adalah 3,9%. Berdasarkan data WHO, Indonesia belum
termasuk daftar klasifikasi namun melihat klasifikasi WHO tersebut, Indonesia
termasuk dalam negara dengan OMK berprevalensi tinggi.6,10,11 Di RSMH palembang

13
didapatkan OMK 450 pasien yang didiagnosis OMK dari Januari-Desember 2015, 54
pasien diantaranya merupakan OMK dengan kolesteatoma

KLASIFIKASI KOLESTEATOMA
Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi kolesteatoma kongenital dan
kolesteatoma didapat (acquired). Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan
sekunder.

A. Kongenital
Kolesteatoma kongenital terjadi sebagai konsekuensi dari epitel skuamosa
yang terjebak dalam tulang temporal selama proses embriogenesis. Kolesteatoma
kongenital biasanya ditemukan di anterior mesotimpanum. Kolesteatoma kongenital
paling sering ditemukan pada anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dan jika
membesar, kolesteatoma dapat menyumbat tuba Eustachius, memproduksi cairan
telinga tengah kronis dan mengakibatkan tuli konduktif. Kolesteatoma juga dapat
meluas ke arah posterior dan mengelilingi tulang-tulang pendengaran hingga
menyebabkan tuli konduktif. Tidak seperti tipe kolesteatoma lainnya, kolesteatoma
kongenital sering ditemukan pada bagian belakang membran timpani yang masih
utuh dan terlihat normal. Anak biasanya tidak memiliki sejarah infeksi telinga
berulang, tidak pernah dioperasi telinga sebelumnya, dan tidak memiliki sejarah
perforasi membran timpani.1,2,11,12

B. Didapat primer (Primary acquired)


Kolesteatoma didapat primer terjadi karena retraksi membran timpani, retraksi
ke dalam medial pars flaksida ataupun ke dalam epitimpanum (scutum) yang terjadi
secara progresif. Selama proses ini berlangsung, dinding lateral epitimpanum
(scutum) secara perlahan mengalami erosi sehingga terjadi kerusakan pada dinding
lateral epitimpanum yang perlahan-lahan meluas. Membran timpani terus mengalami
retraksi kearah medial hingga melewati tulang pendengaran dan ke dalam
epitimpanum dan sering menyebabkan terjadinya kerusakan pada tulang

14
pendengaran. Bila kolesteatoma mengarah ke posterior ke dalam aditus ad antrum
dan mastoid, erosi dari tegmen mastoid dan atau erosi dari lateral kanalis
semisirkularis sehingga dapat menyebabkan ketulian dan vertigo.1,2,11

C. Didapat Sekunder (Secondary acquired)


Kolesteatoma didapat sekunder terjadi karena konsekuensi langsung terhadap
cedera pada membran timpani. Kerusakan ini dapat dalam bentuk perforasi yang
terjadi karena otitis media akut atau trauma, atau dapat terjadi karena manipulasi
operasi pada membran timpani. Prosedur sederhana seperti timpanostomi dapat
mengakibatkan implantasi epitel skuamosa ke dalam telinga tengah hingga
menyebabkan terbentuknya kolesteatoma. Perforasi posterior marginal paling sering
menyebabkan formasi kolesteatoma. Walaupun perforasi tipe central jarang
mengakibatkan kolesteatoma, perforasi sentral juga dapat mengakibatkan
kolesteatoma.1,2,13

Bluestone membagi kolesteatoma berdasarkan stadium sebagai berikut: stadium


1, kolesteatoma terbatas pada telinga tengah (epitimpanum, mesotimpanum,
hipotimpanum) tanpa erosi rangkaian tulang. Stadium 2, sama seperti stadium 1 tetapi
terdapat erosi pada satu atau lebih osikel. Stadium 3, telinga tengah dan sel
pneumatisasi udara mastoid terlibat tanpa erosi osikel. Stadium 4, sama seperti
stadium 3 tetapi ada erosi satu atau lebih osikel. Stadium 5, kolesteatoma ekstensif
telinga tengah, mastoid dan bagian lain dari tulang temporal. Perluasan tidak fatal
yang dapat dijangkau untuk pengangkatan operasi, dan satu atau lebih osikel yang
terlibat, fistula labirin mungkin ada atau tidak ada. Stadium 6, sama seperti stadium 5
tetapi kolesteatoma berlanjut melewati tulang temporal. Stadium Bluestone ini
dipakai sebagai pedoman untuk mencatat temuan intraoperatif mengenai stadium
kolesteatoma pada operasi timpanomastoid di Indonesia.14,15

PATOGENESIS KOLESTEATOMA

15
Patogenesis kolesteatoma yang pasti masih belum jelas dan masih
diperdebatkan. Banyak teori yang dikemukakan para ahli namun beberapa teori yang
predominan adalah invaginasi, metaplasia, implantasi, invasi epitelial dan hiperplasia
sel basal atau pertumbuhan papilare.1,2,13
Teori invaginasi sebagai suatu mekanisme pembentukan kolesteatoma atik
didapat primer. Faktor yang berhubungan dengan pembentukan retraksi kolesteatoma
membran timpani adalah terganggunya fungsi tuba Eustachius dan inflamasi kronis
telinga tengah, seperti OMK. Tekanan telinga tengah negatif yang kronis
menyebabkan retraksi area struktur yang paling lemah dari pars flaksida membran
timpani. Bila retraksi telah terbentuk yang mengakibatkan sempitnya anatomi pasase
dan terganggunya pola migrasi normal epitel skuamosa dan pembersihan debris
keratin. Kantung retraksi yang dalam dan di antara lipatan celah mukosa sehingga
tidak bisa dibersihkan sendiri akan menghasilkan akumulasi debris keratin dalam
kantung kolesteatoma. Inflamasi dan infeksi kronis menyebabkan perubahan biokimia
lingkungan lokal yang membantu perkembangan kolesteatoma selanjutnya,
pertumbuhan dan migrasi epitel skuamosa dan aktivitas osteoklas yang meningkat
mengakibatkan resorpsi tulang. Respon inflamasi lokal selanjutnya menghambat
fungsi tuba Eustachius, meningkatkan edema mukosa dan sekresi mukus dan jalur
drainase dalam tulang temporal menjadi sempit. Proliferasi dan superinfeksi bakteri
strain otopatogen seperti Pseudomonas, Streptokokus, Stafilokokus proteus,
Enterobakter dan bakteri anaerob pada akumulasi debris membentuk suatu biofilm
yang mengakibatkan infeksi kronis dan proliferasi epitel. 1,2,13
Teori metaplasia menjelaskan mengenai sel kuboid yang sehat bertransformasi
ke epitel sel skuamosa pada inflamasi kronis. Teori ini tidak menjelaskan letak
kolesteatoma yang paling banyak pada bagian posterosuperior telinga tengah
walaupun inflamasi mukosa difus terjadi pada seluruh ruang telinga tengah. Teori
implantasi mengusulkan bahwa epitel sel skuamosa salah tempat masuk ke dalam
telinga tengah secara iatrogenik berhubungan dengan operasi, trauma, benda asing,
pemasangan pipa ventilasi atau setelah miringotomi. Teori invasi atau migrasi
dimana epitel kulit liang telinga luar tumbuh ke arah dalam melalui perforasi

16
marginal pada membran timpani dan ketika berada di kavum timpani menstimulasi
pembentukan kolesteatoma.1,2,13

Gambar 4. . Berbagai teori proses pembentukan kolesteastoma2

Penelitian yang dilakukan oleh Massuda dan Oliveira juga mendapatkan bukti
fisiopatologis yang menyokong migrasi dari epitel yang berasal dari tepi perforasi
yang terjadi pada membran timpani sebagai penyebab dari terjadinya kolesteatoma.
Percobaan ini dilakukan dengan cara membuat sebuah perforasi dari membran
timpani dan diberikan latex dengan 50% propyleneglycol akan menyebabkan
terjadinya kolesteatoma pada 80-90% bahan percobaan. Keadaan lainnya yang juga
akan mendukung untuk terjadinya pembentukan kolesteatoma adalah kejadian
inflamasi baik pada fase akut ataupun kronis dimana banyak dihasilkan sitokin-
sitokin yang disebabkan karena terdapatnya benda asing pada percobaan ini oleh
karena itu dari percobaan ini disimpulkan bahwa migrasi dari sel epitel yang
berkeratin pada tempat terjadinya perforasi dari membran timpani dan disertai oleh
keadaan lingkungan yang sedang mengalami inflamasi merupakan penyebab utama
dari terjadinya kolesteatoma sekunder ini. Teori hiperplasia sel basal berpendapat
bahwa stimulus inflamasi yang kronis mencetuskan proliferasi sel basal dalam

17
epidermis membran Sharpnell. Kolesteatoma berkembang dari pertumbuhan papilare
sel basal melalui membran basal 1,2,12,14
Goycoolea MV dkk, melakukan penelitian untuk mengevaluasi faktor-faktor
yang berperan dalam patogenesis kolesteatoma pada OMK meliputi epitel yang rusak,
jaringan granulasi, terkumpulnya efusi, adesi dan migrasi epitel skuamosa. Penelitian
ini dilakukan pada tulang temporal kucing, chinchilla dan manusia. Hasil penelitian
mendukung teori migrasi, yang menunjukkan bahwa pada orang yang predisposisi
kolesteatoma terbentuk diperlukan faktor pencetus trigger (proses inflamasi),
jembatan (jaringan granulasi dan efusi yang terkumpul) dan transmigrasi epitel
skuamosa. Kolesteatoma pada manusia meluas dengan menggunakan jaringan ikat
sebagai penghubung.16,17

Gambar 5. Patogenesis Kolesteatoma2

MEKANISME KERUSAKAN TULANG OLEH KOLESTEATOMA

18
Terdapat dua mekanisme bagaimana terjadinya osteolisis pada kolesteatoma
telinga tengah yaitu resorbsi tulang akibat penekanan dan disolusi enzim pada tulang
oleh cytokine mediated inflammation. Nekrosis akibat penekanan pertama kali
disebutkan oleh Steinbru pada tahun 1879 dan Walsh pada tahun 1951, sedangkan
resorpsi tulang secara langsung dideskripsikan oleh Chole dkk pada tahun 1985.
Chole mengimplant silicon pada telinga tengah gerbil tanpa kolesteatoma dan
hasilnya menunjukan adanya resorpsi tulang di area yang mengalami penekanan.
Mereka mengestimasi bahwa tekanan 50-120mm Hg menghasilkan resorpsi tulang
oleh osteoclast. Tidak jelas bagaimana aktivasi oleh tekanan memicu osteoclast
melakukan perusakan tulang pada kolesteatoma. Namun perusakan tulang yang
dipicu oleh enzym dan sitokin telah dipelajari pada 2 abad terakhir. Matrix
metalloproteinase (MMP), suatu enzim dari zinc metalloenzymes yang mendegradasi
matrix ekstraselular telah diketahui terdapat pada kolesteatoma. MMP-2 dan MMP-9
terdapat pada lapisan epitel suprabasal kolesteatoma. 2,13,18
IL-1, IL-8 merupakan mediator interselular penting untuk aktivitas osteoclast
dan berdasarkan penelitian jumlah keduanya meningkat pada sel kolesteatoma yang
dikultur dibandingkan dengan pada sel normal. Yan juga menemukan bahwa monosit
dapat memproduksi sel dengan aktivitas mirip osteoclast yang memproduksi asam
fosfat yang dapat memicu demineralisasi tulang. Penelitian terakhir oleh Jung
menunjukan adanya kemungkinan peran Nitric oxide sebagai mediator fungsi
osteoclas. Penemuannya mengindikasikan peran Nitric Oxide pada resorpsi tulang
yang dimediasi oleh osteoclast. Studi-studi diatas menunjukan pentingnya osteolisis
dan mekanisme regulasinya pada perusakan tulang yang ditemukan pada
kolesteatoma telinga tengah.2,13

DIAGNOSIS OMK DENGAN KOLESTEATOMA


OMK dengan kolesteatoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang teliti diperlukan untuk
mengungkap gejala klinis yang sering tidak tampak pada pasien dengan OMK dengan
kolesteatoma. Kolesteatoma dapat asimptomatik selama awal perkembangan.

19
Hilangnya pendengaran yang progresif biasanya unilateral mungkin disangkal sampai
kolesteatoma menjadi terinfeksi sekunder oleh kontaminasi air atau infeksi saluran
nafas atas yang menghasilkan suatu otore yang berbau busuk. Bila kolesteatoma
terinfeksi atau adanya destruksi tulang, sekret menjadi purulen dan berbau busuk.
Pasien kadang-kadang akan menyangkal penyakit tersebut sampai berkembangnya
komplikasi, onset nyeri hebat, sekret bercampur darah, vertigo, sakit kepala, bengkak
belakang telinga, kelumpuhan saraf fasialis dan gambaran polip pada meatus
akustikus eksternus.1,3,15,19
Pemeriksaan fisik penting untuk mengevaluasi adanya kolesteatoma. Telinga
harus dibersihkan dengan aplikator kapas atau alat penghisap sekret (sunction)
selanjutnya digunakan otoskop atau endoskop. Penemuan yang khas adalah otore
purulen, polip dan jaringan granulasi. Adanya perforasi membran timpani di daerah
atik, marginal dan total. Kolesteatoma dapat terlihat di sekitar perforasi terutama pada
area atik atau Sharpnell dan pada regio posterosuperior dimana biasanya
kolesteatoma berhubungan dengan erosi tulang liang telinga luar. Jaringan granulasi
dapat timbul dari tulang dinding terluar atik yang terkena atau skutum serta dinding
posterior meatus akustikus eksternus. Polip yang terdiri dari massa granulasi yang
edema menonjol melalui defek pada daerah atik dan bila semakin membesar akan
keluar ke meatus akustikus eksternus. Jika penyakit ini sangat luas, seluruh atik dan
mastoid akan terisi jaringan granulasi dan tulang yang mendasarinya akan menjadi
nekrotik yang meliputi area yang luas. Kolesteatoma yang terinfeksi
dikarakteristikkan dengan otore yang berbau busuk. Abses superiosteal dapat
berkembang di belakang kolesteatoma atau inflamasi dimana terjadi blok aditus ad
antrum atau dari suatu kolesteatoma yang luas yang mengerosi korteks mastoid.
1,3,15,20

Audiogram pasien OMK dengan kolesteatoma biasanya menunjukkan adanya


penurunan pendengaran tergantung status liang telinga luar, membran timpani dan
rangkaian tulang pendengaran. Tuli konduksi bila hanya terbatas pada telinga tengah.
Tuli konduktif lebih dari 35 dB mengindikasikan adanya diskontinuitas osikel,
biasanya sekunder dari destruksi prosesus longus inkus atau kapitulum stapes.

20
Penurunan pendengaran dapat hanya tuli konduktif ringan saja walaupun ada erosi
inkus bila suara yang masuk melalui kolesteatoma langsung ke stapes. Adanya tuli
sensorineural harus diwaspadai kemungkinan fistula labirin.1,3,15,20
Pemeriksaan Tomografi Komputer (CT scan) temporal dilakukan bila
dicurigai adanya kolesteatoma untuk menentukan perluasan namun tidak disarankan
sebagai pemeriksaan rutin untuk diagnosis otitis media kronis. Tomografi komputer
sangat berguna khususnya pada pasien yang diduga adanya kolesteatoma di telinga
tengah yang tidak dapat dilihat karena adanya jaringan granulasi. Tomografi
komputer potongan tipis (1 mm) proyeksi koronal dan aksial tanpa kontras bernilai
untuk evaluasi preoperasi. Variasi anatomi tulang temporal yang berhubungan dengan
hal tersebut diantaranya gambaran erosi skutum, perluasan antrum dengan sel udara
yang rusak dan karakteristik densitas jaringan lunak. Gambaran lainnya adalah
destruksi osikel, erosi kanalis fasialis, rendahnya tegmen timpani, dan erosi masuk ke
kapsul otikus, khususnya di atas kanalis semisirkularis.1,3,5,20

PENATALAKSANAAN OMK DENGAN KOLESTEATOMA


Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang efektif pada OMK dengan
kolesteatoma. Tujuan awal dari terapi OMK dengan kolesteatoma adalah menurunkan
derajat inflamasi dan aktivitas infeksi pada bagian telinga yang terinfeksi. Untuk
mengatasi inflamasi dan infeksi dapat diatasi sementara dengan pemberian
antimikroba topikal dan aural toilet dimana infeksi umumnya disebabkan oleh
organisme sebagai berikut : Pseudomonas aeruginosa, Streptococci, Staphylococci,
Proteus, dan Enterobacter. Antimikroba yang umum dipakai adalah golongan
ofloxacin atau neomycin-polymyxin B. Apabila telinga tengah terpapar, dikemukakan
bahwa penggunaan aminoglikosida bersifat ototoksik dan berbahaya walaupun belum
ada studi yang adekuat yang mendukung teori tersebut namun, untuk kepentingan
pasien, dianjurkan untuk menghindari penggunaan agen ototoksik dan tetap
menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa klinisi juga menggunakan steroid
topikal untuk menurunkan inflamasi, namun studi lebih lanjut masih diperlukan untuk

21
menilai efektivitas dari penggunaan agen ini. Pada beberapa kasus, infeksi yang
berlangsung tidak sepenuhnya teratasi. 13,18
Tujuan dari terapi pembedahan pada OMK dengan kolesteatoma adalah
mengangkat atau menyingkirkan kolesteatoma. Terapi definitif OMK dengan
kolesteatoma yang harus dicapai adalah membuat telinga kering dan aman, eradikasi
penyakit serta membuat kondisi anatomi untuk mencegah kekambuhan maka semua
proses yang dapat menyebabkan erosi tulang, inflamasi kronis dan infeksi harus
dibuang secara permanen. Semua matriks kolesteatoma harus diangkat atau
dieksteorisasi. Perbaikan pendengaran merupakan tujuan sekunder. Kegagalan untuk
memperbaiki pendengaran bukan merupakan suatu komplikasi. Tujuan terapi yang
lebih spesifik dari suatu kolesteatoma yang terinfeksi adalah mengobati komplikasi
yang terjadi seperti abses ekstradural, abses serebri, kelumpuhan saraf fasialis dan
labirinitis. Pengangkatan tulang, mukosa, polip, granulasi dan kolesteatoma untuk
drainase dan mencegah perluasan penyakit ke struktur penting sekitarnya. Tujuan
lainnya adalah menghentikan sekret secara permanen, mempertahankan anatomi yang
normal bila memungkinkan serta mempertahankan atau memperbaiki
pendengaran.18,21,22
Intervensi operasi yang dilakukan dengan membuat insisi di belakang telinga,
membuang infeksi dari tulang mastoid di belakang telinga dan mengangkat
kolesteatoma dari ruang telinga tengah dan sel udara mastoid. Ada dua tehnik operasi
mastoidektomi yang dilakukan untuk mencapai tujuan definitif otitis media kronis
dengan kolesteatoma adalah mastoidektomi dinding utuh atau Canal Wall Up (CWU)
dan mastoidektomi dinding runtuh atau Canal Wall Down (CWD) yang termasuk
mastoidektomi radikal modifikasi. Eradikasi kolesteatoma di kavum timpani dan
kavum mastoid pada tingkat tertentu akan memerlukan apakah mastoidektomi
dinding utuh atau mastoidektomi dinding runtuh. Pemilihan kedua tehnik masih
menjadi perdebatan para ahli karena kelebihan dan kekurangannya. Keputusan untuk
melakukan mastoidektomi dinding utuh atau mastoidektomi dinding runtuh harus
berdasarkan secara individual pada setiap pasien. Faktor yang terpenting adalah
lokasi dan penyebaran kolesteatoma. Adanya defek pada tulang dinding posterior

22
liang telinga luar, kerelaan pasien, adanya komplikasi otitis media atau kolesteatoma,
adanya keganasan, status pendengaran pasien dan kondisi medis umum pasien. 23,24
Mastoidektomi dinding utuh dipopulerkan oleh Wiliam Hause. Prosedur ini
mencoba menghindari masalah umum dengan kavitas yang besar pada mastoidektomi
radikal seperti sepanjang hidup memerlukan pembersihan telinga, kecenderungan
stimulasi kalori dengan air dingin atau udara, pembatasan terkena air sewaktu mandi
dan berenang. Mastoidektomi rongga tertutup mempertahankan anatomi normal
telinga dan mempertahankan dinding posterior liang telinga luar dengan atau tanpa
timpanostomi posterior. Hasil pendengaran membaik dengan prosedur ini
dibandingkan mastoidektomi radikal modifikasi standar. Namun tehnik ini lebih
terbatas dan sulit untuk mengeradikasi kolesteatoma secara keseluruhan sehingga
seringkali memerlukan operasi tahap kedua untuk menyingkirkan kolesteatoma
rekuren atau residual dan rekontruksi tulang pendengaran.23,24,25
Prosedur mastoidektomi radikal atau mastoidektomi dinding runtuh
menurunkan dinding posterior liang telinga luar terhadap saraf fasialis secara vertikal
dan marsupialisasi mastoid ke liang telinga luar. Semua sel pneumatisasi mastoid
yang dapat dicapai dieksenterasi. Mastoidektomi radikal meruntuhkan dinding batas
antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid sehingga menjadi
suatu ruangan, dilakukan pada pasien dengan ruang telinga tengah terbatas dan tuba
Eustachius tersumbat. Hasil anatomi setelah operasi mastoidektomi yang diharapkan
adalah kavitas secara total ditutupi epitel skuamosa dalam keadaan kering dan
pembersihan spontan. 23,26,27

23
Gambar 6. Perbandingan prosedur pembedahan pada OMK dengan
kolesteatoma18

Kos dkk di Switzerland melaporkan suatu penelitian selama 24 tahun untuk


mengevaluasi jangka panjang hasil anatomi dan fungsional dari operasi
mastoidektomi dinding runtuh pada OMK dengan kolesteatoma dan otomastoid
kronis yang resisten terhadap terapi konservatif. Penelitian ini menunjukkan hasil
anatomi dan fungsional yang memuaskan, angka komplikasi rendah. Kavitas kering
dan pembersihan spontan dicapai pada 95% kasus. Level pendengaran preoperatif
membaik dan tetap pada 70% kasus.28,29

PROGNOSIS
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun
terkadang membutuhkan tindakan operasi yang berkali-kali. Karena penanganan dari
kolesteatoma dengan pembedahan pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh
karena itu komplikasi yang timbul dari pertumbuhan kolesteatoma yang tidak
terkontrol sangatlah jarang terjadi. Pada penanganan canal-wall-down
mastoidektomi, akan memberikan angka persentase rekurensi ataupun persistensi
yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari kolesteatoma hanya terjadi pada 5%
atau bahkan lebih sedikit. Oleh karena itu tehnik ini jauh lebih menguntungkan jika
dibandingkan dengan prosedur canal wall-up yang memiliki angka rekurensi antara

24
20-40%. Meskipun begitu, karena tulang-tulang pendengaran dan ataupun membran
timpani tidak dapat mengalami resolusi secara sempurna kembali kedalam keadaan
normal, kolesteatoma tetap secara relatif merupakan penyebab yang cukup sering dari
tuli konduktif yang bersifat permanen.29,30

KASUS
Dilaporkan seorang wanita berusia 30 tahun beralamat di luar kota, datang
berobat ke klinik THT-KL RSMH Palembang dengan keluhan utama yaitu keluar
cairan berbau dari telinga kanan. Dari anamnesis didapatkan 1 tahun yang lalu
penderita mengeluh keluar cairan dari telinga kanan. Cairan berbau, kental dan
berwarna kuning kehijauan. Pasien juga mengeluh gangguan pendengaran pada
telinga kanan dan pusing berputar ada. Mual, muntah dan sakit kepala tidak
dikeluhkan oleh penderita. Adanya riwayat keluar cairan dari telinga kanan sejak 15
tahun yang lalu, hilang timbul disertai gangguan pendengaran pada telinga kanan.
Riwayat mulut mencong tidak ada. Riwayat kejang tidak ada. Riwayat operasi telinga
kanan sebelumnya tidak ada.

Gambar 7. Gambaran Otoskopi Telinga Kanan

Dari pemeriksaan fisik dengan otoskopi didapatkan pada telinga kanan liang
telinga lapang, terdapat sekret mukopurulen, tampak gambaran jaringan granulasi
pada bagian atik membran timpani dan terdapat perforasi subtotal pada membran
timpani. Telinga kiri dalam normal. Pemeriksaan nervus kranialis tidak ada kelainan

25
saraf fasialis. Pada pemeriksaan tes fungsi pendengaran dengan audiometri nada
murni didapatkan hasil pada telinga kiri ambang pendengaran normal dan pada
telinga kanan didapatkan tuli konduktif derajat ringan (37 dB). Pemeriksaan foto
polos mastoid didapatkan kesan mastoiditis kronis dextra. Pada pemeriksaan
tomografi komputer (CT Scan) mastoid potongan aksial dan koronal dengan kontras
dengan ketebalan irisan 2 mm pada tanggal 06 Juli 2015 didapatkan kesan pada
mastoid kanan berupa pneumatisasi air cell mastoid menghilang, tampak sklerotik.
Meatus akustikus eksternus terbuka. Tampak massa di kavum timpani yang meluas ke
atik dan mendestruksi antrum mastoid. Tegmen timpani intak, tidak tampak erosi.
Tulang tulang pendengaran intak dan sebagian besar tertutup oleh massa. Koklea
dan kanalis semisirkularis tidak tampak erosi. Dari pemeriksaan vestibuler sederhana
didapatkan pada tes Romberg tidak ditemukan adanya kelainan sedangkan pada tes
Romberg dipertajam, pasien jatuh ke kanan dan pada stepping test bergeser ke kanan.
Pemeriksaan disdiadokinesis dan tes tunjuk hidung-jari dapat dilakukan dengan baik.
Pasien didiagnosis dengan OMK dengan kolesteatoma. Pasien kemudian dipersiapkan
untuk rencana operasi mastoidektomi.

Gambar 8. Pemeriksaan CT Scan Potongan Axial Koronal

26
Tanggal 4 Agustus 2015 dilakukan operasi mastoidektomi radikal modifikasi.
Pada intraoperatif tampak daerah antrum mastoid dipenuhi oleh jaringan granulasi,
sklerotik dan kolesteatoma. Pada daerah kavum timpani juga ditemukan kolestetaoma
yang luas. Tulang pendengaran masih intak dengan inkus tidak terlihat lagi. Tegmen
mastoid utuh, sinus sigmoid, saraf fasialis dan kanalis semisirkularis tidak terpapar.
Kavitas mastoid dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding posterior
diruntuhkan dan kemudian dilakukan meatoplasti. Dilakukan rekonstruksi membran
timpani dengan fascia secara underlay. Dilakukan rekonstruksi osikel dengan bone
graft dari maleus yang dipasang menempel pada kaput stapes dan graft membran.
Terapi setelah operasi diberikan IVFD RL gtt 20 x/m, seftriakson injeksi 2 x 1 gr
( IV), ketorolak drip 1 ampul/kolf RL.
Pada hari pertama setelah operasi, keadaan umum pasien stabil, mulut mencong
tidak ada, perdarahan tidak ada. Verban elastis mastoid diganti verban mastoid. Terapi
diteruskan IVFD RL gtt 20 x/m, seftriakson injeksi 2 x 1 gr (IV). ketorolak drip 1
ampul/kolf RL. Hari ke-7 setelah operasi luka operasi di belakang telinga mulai
mengering, pus tidak ada, dilakukan angkat jahitan regio mastoid sebagian. Pasien
diperbolehkan pulang dengan terapi oral: kapsul sefiksime 2 x 200 mg, kapsul asam
mefenamat 3 x 500mg, tetes telinga ofloksasin 2 x gtt 5. Pasien dianjurkan kontrol
rawat jalan teratur di klinik dokter spesialis THT-KL.

(a)
(b)

Gambar 9. (a). Teleendoskopi membran


timpani minggu ke-4. (b). Teleendoskopi membran timpani bulan ke-7
Pada minggu ke-4 setelah operasi pasien kontrol kembali tampak luka operasi
pada regio mastoid kanan baik. Pada pemeriksaan telinga tampak kavitas mastoid

27
yang besar seperti pada operasi mastoidektomi, debris pada kavitas dibersihkan
sehingga tampak epitelisasi. Evaluasi pada bulan ke-7, liang telinga kering dan
membran timpani terbentuk dengan baik. Penderita tidak mengeluh adanya cairan
yang kembali keluar dari telinga. Tes fungsi pendengaran dengan audiometri
didapatkan hasil perbaikan pendengaran dimana hasil pendengaran telinga kanan
hampir mendekati normal yaitu sebesar 26,25 dB.

DISKUSI
Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 30 tahun dengan keluhan keluar
cairan kental berbau dari telinga kanan, penurunan pendengaran unilateral, vertigo
serta riwayat otore yang berulang pada waktu kecil. Pada pemeriksaan otoskopi
didapatkan adanya sekret yang mukopurulen pada liang telinga dan tampak gambaran
jaringan granulasi pada bagian atik membran timpani disertai perforasi subtotal pada
membran timpani. Diagnosis ditegakkan adalah otitis media kronis AS dengan
kolesteatoma. Sesuai dengan beberapa kepustakaan, pada pasien ini ditemukan tanda
dan gejala klinis dari OMK dengan kolesteatoma yaitu keluar cairan kental dan
berbau disertai gangguan pendengaran serta pusing berputar. Penderita OMK dengan
kolesteatoma dapat terjadi gangguan pusing berputar akibat adanya penyebaran
infeksi kolesteatoma yang masuk ke daerah kanalis semisirkularis. Pada pemeriksaan
otoskopi, penemuan yang khas adalah adanya otore purulen, jaringan granulasi dan
kolesteatoma dengan letak perforasi membran timpani di daerah atik, marginal,
subtotal ataupun total. Kolesteatoma dapat terlihat di sekitar perforasi terutama pada
area atik atau Sharpnell dan pada regio posterosuperior dimana biasanya
kolesteatoma berhubungan dengan erosi tulang liang telinga luar. Jaringan granulasi
dapat timbul dari tulang dinding terluar atik yang terkena atau skutum serta dinding
posterior meatus akustikus eksternus.1,11,14,15

Pada pemeriksaan tomografi komputer didapatkan gambaran jaringan patologis


di kavum timpani yang meluas ke atik dan mendestruksi antrum mastoid. Tegmen
timpani intak, tidak tampak erosi. Tulang tulang pendengaran intak dan sebagian
besar tertutup oleh jaringan patologis. Sadoghi dkk melaporkan pemeriksaan

28
tomografi komputer pada kasus OMK dengan kolesteatoma merupakan salah satu
pemeriksaan yang penting karena pada pemeriksaan TK dapat memberikan gambaran
yang jelas mengenai penyebaran penyakit pada telinga tengah dan rongga mastoid,
pneumatisasi sel mastoid, gambaran tulang pendengaran dan kerusakan struktur
sekitar akibat kolesteatoma sehingga dapat berguna untuk evaluasi sebelum tindakan
operasi. Prata dkk juga melaporkan pemeriksaan TK pada kasus OMK mempunyai
angka sensitivitas sebesar 72,3% dalam mengidentifikasi kolesteatoma dan
perluasannya serta angka sensitivitas sebesar 56,67% untuk mengidentifikasi tulang-
tulang pendengaran.31,32
Hasil pemeriksaan audiometri didapatkan tuli konduktif derajat ringan (37 dB).
Tuli konduktif pada penderita ini masih dalam derajat ringan, kemungkinan hal ini
terjadi akibat struktur tulang pendengaran yang masih baik atau dapat juga akibat
kolestetaoma yang memenuhi kavum timpani yang dapat berperan sebagai
penghantar suara sehingga fungsi pendengaran masih cukup baik. Roland dan
Meyerhoff melaporkan bahwa gangguan konduksi pendengaran dapat terjadi oleh
karena lepasnya tulang pendengaran yang diakibatkan oleh karena erosi sendi
inkudostapedial, tidak adanya inkus, tidak adanya inkus dan supra struktus stapes,
tidak adanya inkus dan stapes termasuk basis stapes. Hal ini sesuai dengan temuan
intraoperasi pada pasien ini dimana rantai tulang pendengaran sudah terputus dan
tidak ditemukan lagi adanya inkus. Destruksi dari tulang pendengaran pada kasus
OMK dengan kolesteatoma dapat terjadi karena pressure necrosis dan adanya enzim
enzim yang dihasilkan oleh kolesteatoma merusak tulang pendengaran. 1,14,18,19
Pada kasus diatas dilakukan operasi mastoidektomi radikal modifikasi. Pada
operasi tersebut selain dilakukan eradikasi jaringan patologi juga dilakukan upaya
pemulihan pendengaran, mengingat gangguan pendengaran pada kasus diatas masih
konduksi. Upaya pemulihan pendengaran dilakukan dengan miringoplasti dan
osikuloplasti. Osikuloplasti merupakan usaha rekonstruksi tulang-tulang pendengaran
yang mengalami kerusakan, agar didapatkan peningkatan pendengaran. Upaya
osikuloplasti yang dikerjakan tergantung dari kondisi tulang pendengaran yang
tersisa. Pada follow up pasca operasi, Pada follow up pasca operasi, didapatkan

29
pertumbuhan tandur gendang telinga dan liang telinga yang kering serta dilakukan
kembali pemeriksaan audiometri dimana didapatkan terjadi perbaikan pendengaran
dan peningkatan air conduction sebesar 10 dB. Beberapa penulis telah melaporkan
hasil operasi mastoidektomi radikal modifikasi. Handoko melaporkan 57 kasus
operasi mastoidektomi radikal modifikasi berupa telinga kering sebesar 86 % (49
kasus), dengan hasil peningkatan pendengaran pasca bedah sebesar 35,1 % (20 kasus)
dan peningkatan pendengaran pasca bedah ini dipengaruhi oleh kelengkapan struktur
stapes (p<0,05). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Puspitowati yang melaporkan 47 kasus yang dilakukan operasi mastoidektomi radikal
modifikasi dengan hasil telinga kering sebesar 89,4 %, pertumbuhan tandur gendang
telinga sebesar 85,1 % dan peningkatan pendengaran pasca bedah yang dicapai
adalah sebesar 48,9 %.26,27,30,33,34

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Meyer TA, Strunk CL, Lambert PR. Cholesteatoma. In : Bailey BJ, Johnson
JT, Shawn D editor. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 4th Edition.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins 2006; 2(9):2081-2092.
2. Semaan MT, Megerian CA. The pathophysiology of cholesteatoma.
Otolaryngol Clin N Am 2012;39:1143-1159
3. Gulya AJ. Anatomy of the Ear and Temporal Bone. In : Glasscock ME, Gulya
AJ, Shambaugh GE. Glasscock-Shambaugh Surgery of The Ear. 5 th ed.
Ontario : BC Decker Inc 2003;35-57.
4. Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of the Auditory and Vestibular Systems. In :
Snow JB, Ballenger JJ. Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery. 16th Edition. London: BC Dekker Inc 2003; 1-23.
5. Telian SA, Schmalbach. Chronic Otitis Media. In : Snow JB, Ballenger JJ.
Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th
Edition. London: BC Dekker Inc 2003; 261-273.
6. Aerin J. Chronic Suppurative Otitis Media. Switzerland : Child and
Adolescent Health and Development Prevention of Blindness and Deafness
World Health Organization 2014; 1-28
7. Sudhoff H, Hildmann H. Cholesteatoma Surgery. In : Sudhoff H, Hildmann
H. Middle Ear Surgery. Bochum: Springer 2006; (14): 67-72
8. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis: Pengetahuan dasar, terapi medik,
mastoidektomi, timpanoplasti. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 2005;1-178
9. Dr. Jose Aerin. Chronic Suppurative Otitis Media: Burden of Illness and
Management Option. Switzerland : Child and Adolescent Health and
Development Prevention of Blindness and Deafness World Health
Organization 2004; 1-46
10. Alabbasi AM, Alsaimary IE, Najim JM. Prevalence and patterns of chronic
suppurative otitis media and hearing impairment in Basrah city. Journal of
Medicine and Medical Science 2010;1(4): 129-133.
11. Yousuf M, Majunder KA, Kamal A, Shumon AM, Zaman Y. Clinical study on
chronic suppurative otitis media with cholesteatoma. Bangladesh J
Otorhinolaryngol 2011;17(1):42-47.

31
12. Chole RA. Chronic Otitis Media, Mastoiditis and Petrositis. In: Flint PW,
Haughey BH, Lund LJ, et al, eds. Cummings Otolaryngology: Head & Neck
Surgery. 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier 2010; 157:1-14
13. Chang CYJ. Cholesteatoma. In: Lalwani. Current Diagnosis and Treatment in
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Newyork : Mc GrawHill Lange
2008; 666-672.
14. Luxford WM, Syms MJ. Chronic suppurative otitis media with cholesteatoma.
In : Alper CM, Bluestone CD, Casselbrant ML, Dohar JE, Mandel EM editor.
Advanced Therapy of Otitis Media. London: BC Decker Inc 2004; 59:295-8.
15. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of Mastoid and Petrosa. In : Bailey
BJ, Johnson JT, Shawn D editor. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 4th
Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins 2006; 2094-2111.
16. Goycoolea MV, Hueb MM, Muchow D, Paparella MM. The theory of the
trigger, the bridge and the transmigration in patogenesis of acquired
cholesteatoma. Acta Otolaryng (Stockh) 2009; 119:244-248.
17. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th. New Delhi : Elsevier,
2009;3-40
18. Shenoi P.M. Management of Chronic Suppurative Otitis Media. In: Kerr AG,
Grover T, Booth JB Editor. Scott- Browns Otolaryngology. 5 th ed, London:
2002; 3:190-216.
19. Roland PS, Meyerhoof JD. Chronic Suppurative Otitis Media: a clinical
overview.ENT-Ear, Nose & Throat Journal 2002;81:8-10.
20. Slattery WH. Pathology and clinical course of inflammatory disease of the
middle ear. In : Glasscock ME, Gulya AJ, Shambaugh GE. Glasscock-
Shambaugh Surgery of The Ear. 5 th ed. Ontario : BC Decker Inc 2003; 429-
433
21. Fish U, May J. Mastoidectomy. In : Fish U, May J. Tympanoplasty,
Mastoidectomy and Stapes Surgery. Newyork : Thieme Medical Publisher Inc
2014; (5): 146-150.
22. Tos M, Lau T. Late result surgery in different cholesteatoma type. ORL J
Otorhinolaryngol Relat Spec 2009;51(1):33-49.
23. Yoar MA, El-Kholy A, Jafari B. Surgical Management of Chronic Suppurative
Otitis Media: A 3-year Experience. Annals of African Medicine 2014; 5(1):
24-27

32
24. Sengupta A, Anwar T, Ghosh D, Basak B. A study of surgical management of
chronic suppurative otitis media with cholesteatoma and its outcome. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg 2010; 62(2): 171-176.
25. Haynes DS. Surgery for chronic ear disease. Supplement to ENT-Ear, Nose &
Throat Journal 2011: 8-11.
26. Ajalloueyan M. Modified Radical Mastoidectomy: Techniques to decrease
failure. Medical Journal of Islamic Republic of Iran 2009; 13(3): 179-183
27. Artuso A, Di Nardo W, De Corso E, Marchese MR, Quaranta. Canal wall
down tympanoplasty surgery with or without ossiculoplasty in cholesteatoma:
hearing results. Acta Otorhinolaryngol Ital 2014;24:2-7.
28. Kos MI, Montandon P, Castrillon R, Guyot JP. Anatomic and functional long-
term result of canal wall-down mastoidectomy. Ann Otol Rhinol Laryngol
2014;113:872-876.
29. Mukherjee P, Saunders N, Liu R, Fagan P. Long-term outcome of modified
radical mastoidectomy. The Journal of Laryngology & Otology 2009; 118:
612-616.
30. Eero V, Jukka V. Hearing result of surgery for acquired cholesteatoma. ENT:
Ear, Nose & Throat Journal 2015;74(3):160-166.
31. Sadoghi M, Yazdani N, Sharifian Y, Saidi M, Izadparasti Y. The Validity of
Computed Tomography in Complicated Chronic Otitis Media. Iran. J. Radiol.,
Spring 2013, 4(3) 175
32. Prata S, Antunes M, Carlos E, Ricardo F, Bruno T. Comparative Study
Between Radiological and Surgical Findings of Chronic Otitis Media. Intl.
Arch. Otorhinolaryngol., So Paulo Brazil. 2011 ; v.15 : p. 72-78..
33. Puspitowati E, Evaluasi hasil timpanoplasti dengan mastoidektomi tehnik
rongga terbuka dan tertutup di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Karya akhir
untuk memperoleh ijazah keahlian THT. 45-46.
34. Handoko E. Hasil Mastoidektomi radikal modifikasi pada otitis media kronis
dengan kolesteatoma di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Karya akhir untuk
memperoleh ijazah keahlian THT. 44.

33
1. Pertimbangan pemilihan modifikasi ?
2. Kenapa menggunakan teknik underlay ?

34
3.

35

Anda mungkin juga menyukai