Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

KATARAK KOMPLIKATA

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Lab/ SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD dr. Soebandi

Disusun Oleh:
Hanif Nur Riestyanto 122011101084
Habibbur Rochman S.122011101082

Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro Sp.M
dr. Iwan Dewanto Sp.M

LAB/KSM ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2017

1
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 2
2.1 Anatomi Lensa ...................................................................... 2
2.2 Fisiologi Lensa....................................................................... 4
2.2.1 Visual Pathways ........................................................... 4
2.2.2 Refraksi ........................................................................ 4
2.2.3 Akomodasi ................................................................... 5
2.3
Katarak Komplikata .............................................................. 7
2.3.1 Definisi.......................................................................... 7
2.3.2 Etiologi.......................................................................... 7
2.3.3 Patofisiologi.................................................................. 7
2.3.4 Manifestasi Klinis......................................................... 11
2.3.5 Jenis Katarak Komplikata............................................. 12
2.3.6 Faktor Risiko................................................................. 16
2.3.7 Penatalaksanaan............................................................ 18
2.3.8 Komplikasi.................................................................... 24
BAB 3. KESIMPULAN............................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 27

2
1

BAB I
PENDAHULUAN

Katarak adalah penurunan transparansi dari lensa mata secara progresif


yang terkait dengan pertambahan usia, kelainan lokal maupun sistemik, serta
trauma (Bowling, 2016). Menurut Riskesdas 2013, angka kejadian katarak di
Indonesia sebesar 1,8% yang prevalensinya paling tinggi di Sulawesi Utara
(3,7%), diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Prevalensi katarak terendah
ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti Sulawesi Barat (1,1%).
Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani
operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak
yang dideritanya dan mereka tidak tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/
direhabilitasi, serta karena tidak dapat membiayai operasinya (Kemenkes, 2013).
Angka kebutaan di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara
dan Indonesia menyumbang penderita katarak di usia produktif yaitu sekitar 45
tahun, bila dibandingkan negara-negara seperti USA yang angka kejadian katarak
mulai usia 60 tahun. Jadi kejadian katarak di Indonesia lebih cepat 10-15 tahun
daripada negara lain (Kemenkes, 2013).
Katarak dapat terjadi secara kongenital ataupun secara degeneratif yang
disebut juga katarak senilis. Telah didapatkan persentase katarak sebanyak 50%
pada usia 65 tahun dan meningkat hingga 70% pada usia lebih dari 75 tahun.
Katarak juga dapat terjadi akibat trauma tumpul atau trauma tajam yang dapat
menembus segmen anterior, sehingga jika sampai mengenai kapsul anterior lensa
dan lensa pecah, maka akan mengakibatkan gejala radang berat, sehingga perlu
dilakukan aspirasi. (Vaughen, 2007).
Selain disebabkan faktor diatas, terdapat juga katarak komplikata. Katarak
komplikata adalah katarak yang terjadi akibat gangguan keseimbangan susunan
sel lensa oleh faktor fisik atau kimiawi atau terjadi karena adanya proses inflamasi
atau penyakit degeneratif dari segmen anterior atau posterior mata (Ilyas, 2007).
Katarak komplikata bisa menyebabkan penurunan penglihatan bahkan kebutaan.
2

Oleh karena itu sangat penting untuk membahas katarak komplikata lebih
mendalam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Lensa


Lensa adalah salah satu media refraktif pada mata yang berfungsi
memfokuskan gambar pada retina, yang memiliki kekuatan refraktif 10-20 dioptri
(Lang, 2000). Bentuk lensa adalah biconveks dan transparan. Memiliki kurvatura
posterior dengan radius 6 mm, dan kurvatura anterior dengan radius 10 mm.
Lensa memiliki ketebalan 4 mm dan beratnya akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia sampai lima kali beratnya lensa saat kelahiran. Sedangkan
lensa dewasa memiliki berat sekitar 220 mg. Diameter ekuator lensa dewasa
adalah 9-10 mm. Sedangkan lebarnya sekitar 3,5-4,0 mm pada kelahiran dan akan
meningkat ekstrim sekitar 4,75-5,0 mm pada usia tua.
Lensa terletak di chamber posterior mata diantara permukaan posterior iris
dengan corpus vitreous, difiksasi oleh zonule fibers yang berinsersi pada lensa
mengelilingi equator. Zonule fibers menghubungkan lensa dengan corpus siliari
yang berfungsi untuk mempertahankan posisi lensa (Lang, 2000).

Gambar 1. Lensa berbentuk bikonkaf yang terfiksasi oleh zonula zinii.


Lensa terletak di antara iris dan corpus vitreous (Lang, 2000)
3

Lapisan terluar lensa adalah kapsul. Kapsul lensa adalah suatu membran
basalis yang mengelilingi substansi lensa. Substansi lensa terdiri dari nukleus dan
korteks. Nukleus lensa memiliki konsistensi lebih keras daripada bagian
korteksnya. Sel-sel epitel dekat ekuator lensa membelah sepanjang hidup dan
terus berdiferensiasi membentuk serat-serat lensa baru sehingga serat-serat lensa
yang lebih tua dipampatkan ke nukleus. Serat-serat muda yang kurang padat
disekeliling nukleus menyusun korteks lensa. Korteks terletak antara kapsula
lensa dan nukleus yang mengandung serat-serat lembut.
Serat-serat lensa terdiri dari protein gel yang homogen dan dibungkus
membran plasma. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar subepitel
terus diproduksi sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang
elastik (Vaughen, 2007). 65% lensa terdiri dari air dan sekitar 35% nya terdiri dari
protein dan sedikit mineral.

Gambar 2. Lensa dengan tampak struktur kapsul, lapisan kortikal dan


nukleus yang terletak ditengah lensa (Besty J., 2012)
4

Lensa tidak disuplai oleh pembuluh darah (avaskular) dan tidak


mempunyai persarafan, sehingga nutrisi lensa didapat dari aqueous humor.
Namun metabolisme terutama bersifat anaerob akibat rendahnya kadar oksigen
terlarut didalam aqueous (Vaughen, 2007).
.
2.2 Fisiologi Lensa
2.2.1 Visual pathways

Gambar 3. Principal visual pathways from the eyes to the visual cortex
(Sherwood, 2012)

Sinyal dari saraf penglihatan meninggalkan retina melalui saraf optikus


lalu kemudian menuju ke chiasma opticus, Di chiasma opticus terjadi penyilangan
ke sisi yang berlawanan dari nasal halves of retina dimana disana juga terjadi
penyatuan sabut-sabut dari retina temporal untuk membentuk tractus opticus.
Sabut-sabut dari setiap traktus akan bersinaps di nucleus geniculatum lateral
dorsalis dari thalamus dan dari sana sabut-sabut tersebut melewati optic radiation
menuju ke korteks visual primer di daerah fissure calcarina pada area lobus
oksipital medius (Sherwood, 2012)

2.2.2 Refraksi
Cahaya yang melewati satu medium ke medium yang lain yang berbeda
densitas disebut refraksi atau bengkok. Derajat refraksi pada suatu medium
tergantung perbandingan densitas dari dua media disebut sebagai refractive index
5

atau indeks refraksi. Indeks refraksi udara adalah 1.00, sedangkan indeks refraksi
kornea adalah 1.38 dan indeks refraksi aqueous humor dan lensa adalah 1.33 dan
1.40. Sementara indeks refraksi terbesar adalah udara-kornea, maka sebagian
besar cahaya direfrkasikan di kornea.

Gambar 4. Gambar yang terbentuk di retina tampak terbalik


(Sherwood, 2012)

Derajat refraksi juga tergantung pada kurvatura yang menghubungkan dua


media refraksi. Kurvatura kornea tetap, namun kurvatura lensa dapat bervariasi.
Refractive properties dari lensa dapat mengontrol dengan baik untuk
memfokuskan cahaya ke retina. Hasil dari refraksi cahaya tersebut, gambar yang
terbentuk pada retina adalah terbalik dengan sisi yang berlawanan (kanan menjadi
kiri, dan sebaliknya) (Sherwood, 2012).

2.2.3 Akomodasi
Salah satu fungsi dari lensa selain sebagai media refraksi adalah sebagai
akomodasi. Ketika mata normal melihat sebuah objek, sinar parallel dari suatu
cahaya akan terefraksi ke suatu titik atau fokus sehingga bayangan jatuh tepat di
retina. Namun jika kemampuan refraksi konstan, dengan berpindahnya objek
menjadi didepan mata atau lebih jauh dari mata, maka bayangan dapat jatuh
dibelakang atau didepan retina (Fox, 2003).
Kemampuan mata untuk menjaga agar bayangan jatuh tepat di retina
dengan menjaga jarak antara mata dan variasi objek disebut akomodasi.
6

Akomodasi dihasilkan dari kontraksi otot siliari yang berfungsi sebagai sfingter
untuk mengatur luasnya pupil. Kontraksi otot siliari tersebut dikontrol dari sinyal
saraf parasmpatis yang ditransmisikan ke mata melalui nukleus saraf
okulomotorius di brain stem (Hall, 2006). Ketika otot siliari relaksasi maka akan
menyebabkan kontraksi dari zonula zinii sehingga dapat menarik lensa yang
menyebabkan lensa memipih. Ini merupakan kondisi ketika melihat objek sejauh
20 feet atau lebih pada mata normal.

Gambar 6. Perubahan bentuk lensa saat akomodasi.


(a) Lensa memipih pada saat distant vision, terjadi relaksasi otot siliari dan kontraksi ligamen
suspensori. (b) Lensa tampak lebih spheris saat close-up vision, sabut-sabut otot siliari kontraksi
dan ligamen suspensori relaksasi.

Ketika objek semakin dekat ke mata, otot siliari akan berkontraksi yang
akan menyebabkan relaksasi dari zonula zinii, sehingga menyebabkan lensa
menjadi lebih cembung dan bulat yang menunjukkan elastisitas lensa, dengan
proses ini bayanganpun dapat tetap jatuh dibelakang retina (Fox, 2003).
7

2.3 Katarak Komplikata


2.3.1 Definisi
Terdapat banyak pendapat mengenai batasan dan penyebab dari katarak
komplikata. Dalam Vaughan (2007) disebutkan bahwa katarak komplikata terjadi
karena adanya penyakit intraokular yang mempengaruhi fisiologi dari lensa.
Galloway et al. (2006) menyebutkan katarak komplikata adalah katarak yang
terjadi karena penyakit lain baik dari penyakit mata atau bukan penyakit mata
(sistemik/penggunaan obat).
Pendapat lain mengatakan bahwa katarak komplikata adalah katarak yang
terjadi akibat gangguan keseimbangan susunan sel lensa oleh faktor fisik atau
kimiawi atau terjadi karena adanya proses inflamasi atau penyakit degeneratif dari
segmen anterior atau posterior mata (Ilyas, 2007)

2.3.2 Etiologi
Kanski (2007) menyebutkan bahwa penyakit mata yang dapat
menyebabkan katarak komplikata contohnya adalah uveitis anterior yang kronik,
glaukoma sudut tertutup, miopia yang tinggi, serta gangguan herediter pada
fundus (misalnya retinitis pigmentosa). Dalam Kurana (2007) ditambahkan
beberapa penyakit mata yang mungkin menyebaban katarak komplikata, yaitu
ablasio retina dan tumor intraokular.
Dalam Galloway et al (2006) disebutkan penyakit atau kondisi lain (selain
penyakit mata) yang dapat menyebabkan katarak komplikata, misalnya diabetes
mellitus, gangguan kelenjar parathyroid, dan Downs syndrome. Penggunaan obat-
obatan (kortikosteroid, amiodarone, phenotiozide, antikolinergik) juga dapat
menyebabkan katarak komplikata.

2.3.3 Patofisiologi
Pada katarak komplikata karena penyakit intraokular, yang paling sering
adalah karena uveitis. Raju dan Sivan (2010) meneliti katarak komplikata yang
disebabkan oleh uveitis dan mendapatkan hasil bahwa uveitis penyebab katarak
8

komplikata terutama adalah uveitis anterior yang kronis. Dalam Kurana (2007)
disebutkan pada uveitis anterior misalnya iridocyclitis, terjadi beberapa perubahan
pada lensa, yaitu:
1. Penghamburan pigmen pada kapsula anterior lensa oleh karena sel radang.
2. Dapat terjadi penumpukan eksudat di lensa.
3. Pada akhirnya akan terbentuk katarak komplikata, sebagai komplikasi dari
iridocyclitis yang menetap. Tanda-tanda yang nampak yaitu adanya
polychromatic luster dan bentukan bread-crumb.

Gambar 7. Katarak komplikata karena uveitis (Lang, G.K., 2000)

Mekanisme kekeruhan lensa pada glaukoma adalah karena adanya


peningkatan tekanan intraokuler yang merusak central lentikuler epithelial cell
serta degenerasi epitel korteks di anterior. Pada glaukoma akut, kapsul berubah
bentuk menjadi bergelombang tetapi tetap utuh yang disebut fibrous metaplasia
dan hyperplasia (Slamovits et al, 2014), (Cambell, 2014).
Secara histologis sel epitel menjadi lebih gepeng, multilayered, rapuh,
mudah rusak dan keruh. Bersamaan dengan terjadinya perubahan-perubahan di
bagian anterior, kortekspun mengalami degenerasi sitoplasma dan menjadi
encer. Degenerasi sitoplasma ini berupa vacuolated dan edema. Kekeruhan
yang terjadi pada awalnya tidak merata, terutama di area aksial tampak sebagai
warna keputihan seperti milky, kadang-kadang star shape. Tanda-tanda diatas
adalah patognomonik dengan peningkatan tekanan intraokuler yang akut dan
9

berat. Pembentukan katarak pada glaukoma terjadi secara bertahap (Slamovits


et al, 2014), (Cambell, 2014).
Secara klinis, setelah serangan akut glaukoma akibat tekanan
intraokuler yang sangat tinggi terlihat bercak-bercak ireguler di kapsul anterior,
berwarna keputihan di area pupil. Kekeruhan di area aksial korteks
menyebabkan penderita kesulitan membaca pada cahaya terang. Keluhan
penderita berupa penglihatan terganggu dan sangat silau ((Slamovits et al,
2014), (Cambell, 2014).
Pada myopia tinggi, lebih dari minus 6 dioptri sering terjadi komplikasi
katarak sub kapsular posterior. Mekanisme terjadinya disebabkan oleh penyakit
di bagian posterior sel-sel lensa seperti inflamasi vitritis, myopia degenerasi,
degenerasi di retina termasuk rinitis pigmentosa yang mengakibatkan migrasi
dan degenerasi sel-sel ekuator ke posterior pole. Proses migrasi ini tidak cukup
dengan satu stimulus. Pada cataractogenesis yang berperan adalah proses
degenerasi, seperti pada retinitis pigmentosa katarak terjadi karena faktor
degenerasi retina (Steeten, 2008).
Pada katarak komplikata karena penyakit sistemik, paling sering terjadi
karena diabetes mellitus. Patofisiologinya diduga karena adanya enzim aldose
reductase yang mengkatalisa gula reduksi menjadi sorbitol. Penumpukan
sorbitol dalam sel-sel lensa mengakibatkan perubahan osmotik sehingga lensa
banyak mengandung air, indeks bias lensa berubah sehingga daya refraksi
berkurang, diikuti dengan degenerasi serat-serat protein lensa sehingga terjadi
kekeruhan pada lensa. Sebenarnya sorbitol di dalam lensa pada akhirnya akan
diubah menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehydrogenase, namun karena
produksi sorbitol lebih cepat daripada konversinya menjadi fruktosa, pada
akhirnya sorbitol dalam lensa akan terakumulasi dan menyebabkan katarak
(Pollreisz dan Schmidt-Erfurth, 2010)
Menurut Jobling dan Augusteyn (2002), kortikosteroid dapat
menghambat growth factor yang terdapat pada aqueous humor, sehingga sel
epitelial lensa di bagian anterior yang harusnya mendapat asupan growth factor
dari aliran aqueous humor menjadi kekurangan growth factor. Dalam kondisi
seperti ini, sel epitelial yang harusnya tumbuh menjadi sel fiber dan bermigrasi
10

ke tengah lensa menjadi abnormal. Sel epitelial akhirnya tidak tumbuh menjadi
sel fiber dan akan bermigrasi ke polus posterior lensa, kemudian akhirnya
membentuk agregat protein yang merupakan awal dari kekeruhan lensa.
Gambar 8. Susunan lensa dan pertumbuhan lensa normal
(Jobling and Augustey, 2002)

Gambar 9. Susunan lensa dan pertumbuhan lensa abnormal efek kortikosteroid.


(Jobling and Augustey, 2002)

2.3.4 Manifestasi Klinis


11

Gejala utama adalah berkurang hingga hilangnya kemampuan penglihatan.


Transparansi lensa yang berkurang mengakibatkan pandangan kabur, namun tanpa
nyeri. Pandangan kabur baik jarak jauh dan dekat. Pada lensa terdapat agregat
protein yang menghamburkan cahaya, dan mengurangi transparansi lensa. Adanya
gangguan pada protein lensa menyebabkan lensa berubah warna menjadi
kekuningan atau kecoklatan (Vaughan, 2007).
Pada umumnya katarak komplikata bermula sebagai katarak kortikal
posterior, dimana perubahan pada lensa biasanya nampak pada kapsula posterior.
Tipe katarak komplikata yang paling sering didapat adalah tipe subskapsular
posterior (Raju dan Sivan, 2010).
Kekeruhan kataraknya biasanya ireguler pada bagian terluarnya, dan
densitasnya tidak sama. Bila diamati dengan slit lamp, kekeruhan lensa akan
nampak seperti bentukan breadcrumb (remah roti). Tanda khas lainnya ialah
adanya partikel berwarna yang iridescent (berbeda warna bila dilihat dari sudut
lain) yang disebut polichromatic lustre dengan warna merah, hijau, dan biru. Di
bagian lain dari korteks lensa dapat nampak bayangan kekuningan yang difus,
kemudian kekeruhan perlahan-lahan akan menyebar ke bagian korteks lain dan
akhirnya seluruh korteks menjadi keruh. Gambaran akhirnya berupa kekeruhan yg
putih seperti kapur, dengan deposisi kalsium (Kurana, 2007).

2.3.5. Jenis Katarak Komplikata

Dikenal 2 bentuk yaitu bentuk yang disebabkan kelainan pada polus


posterior mata dan akibat kelainan pada polus anterior bola mata. Katarak pada
polus posterior terjadi akibat penyakit koroiditis, retinitis pigmentosa, ablasi
retina, kontusio retina dan myopia tinggi yang mengakibatkan kelainan badan
kaca. Biasanya kelainan ini berjalan aksial dan tidak berjalan cepat didalam
nucleus, sehingga sering terlihat nucleus lensa tetap jernih. Katarak akibat miopia
tinggi dan ablasi retina memberikan gambaran agak berlainan. Katarak akibat
kelainan polus anterior bola mata biasanya diakibatkan oleh kelainan kornea berat,
iridoksiklitis, kelainan neoplasma dan glaukoma. Pada iridoksiklitis akan
mengakibatkan katarak subkapsularis anterior. Pada katarak akibat glaukoma akan
terlihat katarak disiminata pungtata subkapsular anterior (katarak Vogt). Katarak
12

komplikata akibat hipokalsemia berkaitan dengan tetani infantil,


hipoparatiroidisme. Pada lensa terlihat kekeruhan titik subkapsular yang sewaktu-
waktu menjadi katarak lamellar. Pada pemeriksaan darah, terlihat adanya kadar
kalsium yang turun (Slamovits, 2014)

Berdasarkan penyebabnya, katarak dapat digolongkan menjadi:

a. Katarak akibat glaukoma

Glaukoma adalah sekelompok gangguan yang melibatkan beberapa


perubahan atau gejala patologis yang di tandai dengan peningkatan tekanan
intraocular (TIO) dengan segala akibatnya. Glaukoma memberikan gambaran
klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik
dengan defek lapang pandangan mata (American Academy of Ophthalmology
Staff, 2014).

Glaukoma dapat timbul secara perlahan dan menyebabkan hilangnya


pandangan ireversibel tanpa timbulnya gejala lain yang nyata atau dapat timbul
secara tiba-tiba dan menyebabkan kebutaan dalam beberapa jam. Jika peningkatan
TIO lebih besar dari pada toleransi jaringan, kerusakan terjadi pada sel ganglion
retina, merusak diskus optikus sehingga menyebabkan atrofi saraf optik dan
hilangnya pandangan perifer (American Academy of ophthalmology Staff, 2014).

Glaukoma pada saat serangan akut dapat mengakibatkan gangguan


keseimbangan cairan lensa subkapsul anterior. Bentuk kekeruhan ini berupa titik-
titik yang tersebar sehingga dinamakan katarak pungtata subkapsular diseminata
anterior atau dapat disebut menurut penemunya katarak Vogt, bisa juga kekeruhan
seperti porselen/susu tumpah di meja pada subkpasul anterior. Katarak ini bersifat
reversibel dan dapat hilang bila tekanan bola mata sudah terkontrol (Konyama,
1998), (Clark, 2014)

b. Katarak Akibat Uveitis

Seperti semua proses radang, uveitis anterior ditandai dengan adanya


dilatasi pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi
13

perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini


akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit
lamp) hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil
dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses
keradangan akut (Fisher, 1987).

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang di dalam bilik mata depan yang disebut hipopion, ataupun migrasi
eritrosit ke dalam bilik mata depan, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang
berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada
endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Jika tidak mendapatkan
terapi yang adekuat, proses keradangan akan berjalan terus dan menimbulkan
berbagai komplikasi (Fisher, 1987).

Pada uveitis, katarak timbul pada subkapsul posterior akibat gangguan


metabolisme lensa bagian belakang. Kekeruhan juga dapat terjadi pada tempat iris
melekat dengan lensa (sinekia posterior) yang dapat berkembang mengenai
seluruh lensa. Kekeruhan dapat bermacam-macam, dapat difus, total, atau hanya
terbatas pada tempat sinekia posterior (Konyama, 1998), (Clark, 2014).

c. Katarak Akibat Miopia Maligna

Miopia adalah suatu kelainan refraksi di mana sinar cahaya paralel yang
memasuki mata secara keseluruhan dibawa menuju fokus di depan retina. Miopia
umum disebut sebagai kabur jauh / terang dekat (shortsightedness) (Slamovits,
2014).

Katarak miopia di karenakan karena terjadi degenerasi badan kaca, yang


merupakan proses primer, yang menyebabkan nutrisi lensa terganggu, juga karena
lensa pada miopia kehilangan transparansi sehingga menyebabkan katarak.
Dilaporkan bahwa pada orang dengan miopia onset katarak muncul lebih cepat
(Clark, 2014) (Slamovits, 2014).
14

d. Katarak Akibat Diabetes Mellitus

Katarak diabetes merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit


diabetes mellitus. Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan sistemik, seperti
salah satunya pada penyakit diabetes melitus. Katarak ini dapat terjadi pada umur
pubertas atau dewasa muda, tampak sebagai kekeruhan berupa bercak-bercak
salju di lensa sedangkan katarak pada orang tua dengan diabetes, biasanya bukan
katarak diabetika tetapi katarak senilis, yang di percepat oleh diabetes melitus.
Katarak pada pasien diabetes mellitus dapat terjadi dalam 3 bentuk:

- Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia nyata, pada


lensa akan terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa berkerut.
Bila dehidrasi lama akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang
bila terjadi rehidrasi dan kadar gula normal kembali.

- Pasien diabetes juvenile dan tua yang tidak terkontrol, dimana terjadi
katarak serentak pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake
atau bentuk piring subkapsular.

-
Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara
histopatologi dan biokimia sama dengan katarak pasien nondiabetik.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia
terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa. Pada mata
terlihat peningkatkan insidens maturasi katarak yang lebih pada pasien
diabetes. Jarang ditemukan true diabetic katarak. Pada lensa akan
terlihat kekeruhan tebaran salju subkapsular yang sebagian jernih dengan
pengobatan. Diperlukan pemeriksaan tes urine dan pengukuran darah gula
puasa (Konyama, 1998), (Clark, 2014).

e. Katarak Akibat Galaktosemia

Galaktosemia adalah penyakit yang disebabkan oleh defisiensi galaktosa


1-fosfat uridililtransferase. Enzim ini penting untuk mengubah galaktosa menjadi
glukosa, karena laktosa yang merupakan gula utama susu adalah disakarida yang
15

mengandung glukosa dan galaktosa.Galaktosemia merupakan penyakit resesif


autosom pada metabolisme galaktosa yang terdapat pada sekitar 1 dalam 60.000
bayi baru lahir. Bayi dengan galaktosemia dalam urinenya akan terdapat
galaktosa, tetapi bukan glukosa. Oleh karena itu diagnosis dapat ditegakkan
dengan mencari zat yang terdapat pada urine (galaktosa) menggunakan clinitest,
sedangkan pemeriksaan glukosa dalam urine negatif (Steeten, 2014).

Katarak galaktosemia di duga terjadi karena penimbunan gula dan gula


alkohol dalam lensa (terutama pada pasien hiperglikemia). Kadar glukosa
meningkat dan mendorong pembentukan sorbitol (oleh aldosa reduktase) dan
fruktosa. Akibatnya, terjadi peningkatan tekanan osmotik di lensa. Kadar glukosa
dan fruktosa yang tinggi juga menimbulkan glikosilasi nonenzimatik protein
lensa. Akibat peningkatan tekanan osmotik dan glikosilasi protein lensa, lensa
menjadi tidak tembus cahaya dan keruh yang dikenal sebagai katarak. Katarak
pada bayi dengan galaktosemia besifat reversibel dengan manajemen terapi yang
lebih awal (Clark, 2014), (Steeten, 2014)

2.3.6. Faktor Risiko

Sebagian besar penelitian di berbagai dunia menjelaskan faktor risiko pada


insidensi katarak, terutama katarak kongenital antara lain seperti usia, jenis
kelamin, ras, pendidikan, diabetes, refraksi, dan merokok (Chang et al, 2011).
a. Usia
Bertambahnya usia adalah faktor risiko yang signifikan untuk semua
jenis katarak dan operasi katarak. Efek penuaan kemungkiann
mennggambarkan kontribusi dari beberapa faktor, seperti akumulasi
kerusakan dari lingkungan, kerusakan mekanisme pertahanan dan
perbaikan, serta predisposisi genetic (Hennis et al, 2004), (Kanthan et
al, 2008).
b. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih sering terkena katarak dibandingkan dengan wanita.
Banyak penelitian menyebutkan terdapat penurunan risiko yang terkait
16

dengan jenis kelamin perempuan untuk katarak jenis Posterior Sub-


Capsular (Hiller et al, 1986), (Klein et al, 2008).
c. Ras
Terdapat penurunan risiko pada ras kulit putih dibandingkan dengan
ras kulit non-putih, yang kebanyakan orang Amerika keturunan Afrika.
Temuan ini sesuai dengan data dari Studi Eye Barbados, yang
mempelajari populasi yang 93% hitam dan terdapat risiko yang lebih
tinggi terjadinya kekeruhan pada kortikal antara ras kulit hitam
dibandingkan dengan ras kulit putih (Leske et al, 2004). Begitu juga
Penelitian Evaluasi Mata Salisbury (SEE), dimana 26,4% dari populasi
adalah kulit hitam, menunjukkan risiko yang lebih tinggi pada katarak
jenis kortikal dibandingkan ras kulit putih (West et al, 1998).
d. Edukasi
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan penurunan
risiko katarak dalam studi populasi yang berbeda di seluruh dunia.
Mekanisme yang mendasari hubungan ini masih belum diketahui,
meskipun pendidikan sering digunakan sebagai penanda status sosial
ekonomi dan mungkin mencerminkan berbagai perbedaan gaya hidup
dan paparan lingkungan (Klein et al, 1994), (Leske et al, 1997),
(Delcourt et al, 2000)
e. Merokok
Perokok memiliki risiko lebih tinggi secara signifikan terhadapa
terjadinya katarak kortikal dan mantan perokok memiliki risiko lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok (Hiller
et al, 1997). Temuan ini didukung dengan banyak studi cross-sectional
dan prospektif yang besar Penelitian lain bahkan telah menunjukkan
bahwa ada hubungan respons-dosis dan bahwa berhenti merokok dapat
mengurangi risiko katarak. Secara keseluruhan, merokok adalah salah
satu yang paling konsisten menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi untuk kemajuan katarak (Christen et al, 1992).
f. Diabetes
Pasien dengan diabetes ditemukan memiliki risiko lebih tinggi secara
signifikan pada katarak kortikal dan PSC, serta operasi katarak (Klein
et al, 1998). Durasi diabetes yang lebih lama dapat meningkatkan
risiko katarak (Tan et al, 2008).
17

g. Refraksi
Miopia dasar ( -1.0D) dihubungkan dengan peningkatan risiko
katarak nuklear dan PSC dan operasi katarak, bila dibandingkan
dengan hypermeteropia (Leske et al, 1991). Banyak studi dengan
populasi yang besar telah melaporkan hubungan antara gangguan
refraksi dan risiko katarak dan/atau operasi katarak (Chang et al,
2005). Blue Mountains Eye Study (BMES) tahun 2002 dan SEE
Project tahun 2005 melaporkan peningkatan risiko yang signifikan dari
katarak nuklir dan PSC pada pasien dengan myopia (Younan et al,
2002). Selain itu, BMES juga melaporkan peningkatan risiko operasi
katarak pada pasien sebanding dengan tingkat keparahan miopia
(Wong et al, 2001)

2.3.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan katarak komplikata adalah mengikuti penatalaksanaan


katarak pada umumnya, disertai penatalaksanaan pada penyakit yang mendasari
katarak komplikata tersebut. Penyakit intraokuler yang sering menyebabkan
kekeruhan pada lensa misalnya uveitis, glaukoma, myopia yang tinggi, ataupun
diabetes mellitus. Dimana penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:

a. Uveitis

Pada uveitis, katarak timbul pada subkapsul posterior akibat


gangguan metabolisme lensa bagian belakang. Kekeruhan juga dapat
terjadi pada tempat iris melekat dengan lensa, yang dapat berkembang
mengenai seluruh lensa. Katarak yang disebabkan oleh uveitis bersifat
reversibel.

Tiga bulan sebelum dilakukan tindakan operasi, tanda-tanda


inflamasi tidak ditemukan. Bila inflamasinya kronis dan gejalanya terus
menerus ada tetapi ringan, dapat diberikan kortikosteroid topikal dan
nonsteroid anti inflamasi secara bersama-sama sebelum dan sesudah
18

operasi. Beberapa kepustakaan mengatakan adanya synekia posterior atau


membran inflamatoir/eksudat, serta kemungkinan terjadinya uveitis yang
reaktifasi merupakan penyebab kesulitan operasi. Oleh karena itu sebelum
dan sesudah operasi sebaiknya diberikan steroid selama beberapa minggu.
Waktu untuk operasi katarak harus tepat. Sebaiknya dilakukan pada saat
visus masih 6/60 (Slamovits, 2014).

Katarak oleh karena uveitis yang bersamaan dengan glaukoma


sebaiknya dilakukan operasi glaukoma terlebih dahulu setelah itu baru
dilanjutkan dengan operasi katarak. Penggunaan steroid golongan
dexametason tetes mata untuk jangka panjang pada kasus-kasus uveitis
kronis dapat meningkatkan tekanan intraokuler (Slamovits, 2014).

Pasca operasi terjadi rehabilitasi visus yang cepat dan stabil dalam
waktu 6 minggu. Deteksi terhadap komplikasi secepatnya sehingga
dapat dilakukan koreksi. Penggunaan kortikosteroid pasca operasi
bervariasi (Slamovits, 2014).

b. Glaukoma

Pada serangan glaukoma akut dapat mengakibatkan gangguan


keseimbanan cairan lensa sehingga menyebabkan gangguan metablisme
lensa subkapsular anterior. Katarak oleh karena glaukoma bersifat
reversibel juga, dan dapat hilang apabila tekanan bola mata sudah
terkontrol.

Terapi medikamentosa seperti miotikum dapat menambah


penurunan visus dan dapat mempercepat proses kekeruhan lensa. Operasi
katarak tanpa disertai dengan operasi anti glaukoma dilakukan pada
penderita glaukoma yang masih dapat dikendalikan dengan obat-obatan,
19

tekanan intraokuler terkontrol dengan obat-obatan dan pada penderita


glaucomatous optic nerve tidak berat (Slamovits, 2014), (Cambell, 2014)

Katarak ekstraksi yang diikuti dengan pemasangan IOL


menghasilkan perbaikan visus, asalkan kontrol terhadap glaukomanya
baik. Pada beberapa kasus, hanya dengan operasi katarak dapat
menyebabkan status glaukoma stabil (Hutchinson, 2014).

Operasi kombinasi filtrasi dengan operasi katarak dilakukan pada


open angle glaucoma dengan katarak yang saat itu dibutuhkan operasi
katarak walaupun glaukomanya masih terkontrol dengan obat-obatan,
penderita glaukoma disertai katarak yang tidak dapat lagi dikontrol dengan
medikamentosa, terdapat drug intolerance, penderita dengan mata lainnya
aphakia atau pseudophakia dan hasil visus baik (Slamovits, 2014),
(Cambell, 2014).

Indikasi lain untuk operasi kombinasi katarak dengan filtrasi


adalah severe glaucomatous nerve damage yang tidak mampu bertahan
pada kenaikan TIO setelah operasi, kontrol glaukoma yang buruk dengan
obat-obatan, serta drug intolerance (Hutchinson, 2014).

c. Myopia Tinggi dan Hereditary Vitreo Retinal Disorder

Penderita myopia tinggi mempunyai resiko terjadinya ablasio


retina yang sering terjadi 6 bulan pasca operasi katarak. Insiden terjadinya
ablasio retina 2 3 % serta lebih tinggi lagi bila terjadi prolaps vitreus
pada proses operasi. Oleh karena itu sangat penting menilai segmen
posterior sebelum dan sesudah operasi (Slamovits, 2014)

Hereditary vitreo retinal disorder merupakan kelainan


nonpermeabel, sehingga memudahkan timbulnya cystoid macular edema
(CME). Insiden terjadinya CME 60 - 70 % pada operasi yang berjalan
tanpa kesulitan. Pemasangan IOL tidak meningkatkan terjadinya CME.
20

Dilaporkan 75 % CME dapat membaik spontan dalam waktu 6 bulan


(Slamovits, 2014).

Terapi sesuai dengan terapi edema pada umumnya, tetapi efek


terapi sulit dievaluasi mengingat CME sebagian besar dapat sembuh
spontan. Terapi umumnya menggunakan topikal, periokuler, dan sistemik
kortikosteroid untuk menghambat sintesa prostaglandin ditambah carbonic
anhidrase inhibitor. Kortikosteroid mungkin bermanfaat, tetapi dapat
menyebabkan kekambuhan. Pemakaian steroid lebih efektif bila disertai
dengan tanda-tanda inflamasi intraokuler. Beberapa penelitian pemakaian
topikal dan sistemik indomethacin ternyata efektif menurunkan insiden
CME (Slamovits, 2014).

Salah satu penyakit vitreo retinal disorder yaitu retinitis


pigmentosa. Operasi katarak pada penderita ini ternyata dapat
memperbaiki visus, dan tidak menyebabkan bertambah buruknya lapang
pandang (Slamovits, 2014).

d. Katarak diabetes.

Faktor utama dari terbentuknya katarak pada pasien diabetes


adalah adanya gula reduksi yang kemudian diubah menjadi sorbitol pada
lensa, maka penting bagi pasien untuk mengontrol gula darahnya sebelum
hingga sesudah tindakan pada kataraknya (Slamovits, 2014).
21

Secara umum penatalaksanaan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu non-


bedah dan bedah.

A. Penatalaksanaan Katarak Non-Bedah:

Bila pada katarak yang imatur, penatalaksanaan hanya dilakukan


pengkoreksian visus, bisa memakai kacamata ataupun kontak. Hal ini biasanya
dapat dilakukan pada fase-fase awal saja, dengan tetap mengedukasi pasien
tentang sifat progresif dari penyakit kataraknya.

B. Penatalaksanaan Katarak secara Bedah:

A. Indikasi dilakukannya bedah, adalah:

1) Indikasi meningkatkan atau mengembalikan visus: hal ini biasanya


adalah indikasi tersering untuk dilakukannya operasi pada mata
katarak. Dikatakan sangat mengganggu visus apabila sampai pada
tahap dimana melakukan aktifitas sehari-hari menjadi sangat sulit bagi
penderita. Namun, apabila penderita menghendaki dilakukannya
operasi untuk memperbaiki visusnya (kebutuhan bekerja, atau lain-
lain) operasi bisa dilakukan atas permintaan pasien.

2) Indikasi medis: pada indikasi medis, biasanya katarak tersebut


menyebabkan penurunan dari kesehatan mata. Sebagai contohnya,
pada phacolytic glaucoma, atau phacomorphic glaucoma.

3) Indikasi kosmetik

Pembedahan katarak terdiri dari pengangkatan lensa dan menggantinya


dengan lensa buatan. Ada 2 macam pembedahan yang bisa digunakan untuk
mengangkat lensa:

1) ECCE (Extra Capsular Cataract Extraction) atau EKEK


22

Lensa diangkat dengan meninggalkan kapsulnya. Untuk memperlunak


lensa sehingga mempermudah pengambilan lensa melalui sayatan yang kecil,
digunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi (fakoemulsifikasi). Termasuk
kedalam golongan ini ekstraksi linear, aspirasi dan irigasi. Pembedahan ini
dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-
sama keratoplasti, implantasi lensa intra okular, kemungkinan akan dilakukan
bedah glaukoma, mata dengan presdiposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca,
sebelumnya mata mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid makular edema,
pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan
katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan
ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder (American Academy of
Ophthalmology Staff, 2014)

Gambar 10. Teknik extracapsular cataract extraction

(American Academy of Ophthalmology Staff, 2014)

2) ICCE (Intra Capsular Cataract Extraction) atau EKIK

Ekstraksi jenis ini merupakan tindakan bedah yang umum dilakukan pada
katarak senil. Lensa beserta kapsulnya dikeluarkan dengan memutus zonula Zinn
23

yang telah mengalami degenerasi. Pada saat ini pembedahan intrakapsuler sudah
jarang dilakukan (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014).

Penderita yang telah menjalani pembedahan katarak biasanya akan


mendapatkan lensa buatan sebagai pengganti lensa yang telah diangkat.
Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut lensa intraokular,
biasanya lensa intraokular dimasukkan ke dalam kapsul lensa di dalam mata.
Operasi katarak sering dilakukan dan biasanya aman. Setelah pembedahan jarang
sekali terjadi infeksi atau perdarahan pada mata yang bisa menyebabkan gangguan
penglihatan yang serius. Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan dan
mempercepat penyembuhan, selama beberapa minggu setelah pembedahan
diberikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata dari cedera, penderita
sebaiknya menggunakan kaca mata atau pelindung mata yang terbuat dari logam
sampai luka pembedahan benar-benar sembuh (American Academy of
Ophthalmology Staff, 2014).

3) MSICS (Manual Small Incision Cataract Surgery).

Teknik ini adalah lanjutan dari ECCE, dimana seluruh lensa dikeluarkan
dari mata melalui scleral tunnel. Keuntungan dari teknik ini adalah tidak
dibutuhkannya penjahitan.

4) Phacoemulsification (Phaco)

Teknik paling sering digunakan di negara berkembang. Dimana


membutuhkan alat khusus untuk mengemulsifikasi lensa. Setelah di emulsifikasi,
lensa akan mudah di aspirasi. Keuntungannya tentu lebar insisi lebih pendek.
24

Gambar 11. Teknik pembedahan katarak phacoemulsification

(American Academy of Ophthalmology Staff, 2014)

C. Penatalaksanaan pasca operasi

Evaluasi pasca operasi meliputi rehabilitasi visus, deteksi terhadap


komplikasi, pemeriksaan fisik lain selain mata, rekurensi uveitis, dan monitoring
penggunaan kortikosteroid pasca operasi (Hutchinson, 2014).

Visus akan stabil dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Bila terjadi
kekeruhan kapsul posterior sebaiknya dilakukan kapsulotomi YAG laser, dimana
pada saat melakukan kapsulotomi sebaiknya pupil tidak dilebarkan untuk
menghindari kesalahan letak dan untuk menentukan pusat atau titik lokasi
(pinpoint) pada aksis visual. Pemberian obat topikal apraclonidin hydrochloride
dianjurkan untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan intraokuler. Pada
penderita dengan riwayat glaukoma sebaiknya terapi medikamentosa diteruskan
beberapa bulan setelah laser. Myopia tinggi merupakan faktor resiko untuk
terjadinya ablasio retina post laser capsulotomy, tetapi kejadiannya sangat minim
(Slamovits, 2014).

Deteksi terhadap komplikasi secepatnya sehingga dapat dilakukan koreksi


atau meminimalkannya. Penderita dengan adanya inflamasi dan peningkatan
tekanan intraokuler sebaiknya diminta untuk kontrol dalam waktu dekat, dan
harus dilakukan pemeriksaan mata serta bagian fisik lainnya (Slamovits, 2014).
25

Bila pasca operasi terjadi rekuren uveitis dengan tanda adanya membran di
permukaan IOL, dapat dilakukan laser segera untuk melepaskan membran. Bila
hal ini tidak berhasil IOL segera dilepas dilanjutkan pemberian kortikosteroid
untuk menyelamatkan visus (Hutchinson, 2014).

Penggunaan kortikosteroid pasca operasi bervariasi. Tetes non steroid anti


inflamasi juga sama efektifnya dengan steroid dan dapat digunakan pada penderita
yang disertai dengan peningkatan tekanan intraokuler. Lama pemberian
tergantung respon penderita dan keadaan sebelum operasi. Subkonjungtiva
antibiotika injeksi yang biasanya dilakukan setelah operasi katarak sebelum mata
dibebat juga efektif, tetapi mempunyai komplikasi memperlama dan memperhebat
khemosis konjungtiva (Hutchinson, 2014).

2.3.8. Komplikasi
Komplikasi pada katarak antara lain:
a. Ruptur dari kapsul posterior.
Komplikasi ini bersifat serius karena dapat terjadi resiko
kehilangan vitreous body, yang bisa menyebabkan perdarahan dan
lepasnya retina (Ionides et al, 2001). Di negara-negara maju, kejadian
kapsul pecah dan kehilangan vitreous tampaknya mulai menurun dan
sekarang di wilayah 1-2%. Peningkatan ini mungkin berhubungan dengan
penggunaan fakoemulsifikasi dan intervensi sebelumnya, yang berarti
bahwa sebagian besar katarak sekarang diambil sebelum stadiumnya
matur. Di negara-negara berkembang dan menengah, namun, insidensi
ruptur kapsul dan kehilangan vitreous tampaknya lebih tinggi (Kothari et
al, 2003). Ini mungkin karena tingkat kompleksitas yang lebih besar dari
banyak operasi katarak di negara-negara berkembang, dibandingkan
masalah kurangnya pelatihan khusus, keahlian, atau peralatan yang
digunakan.
b. Suprachoroidal Haemorrhage
Faktor penyebabnya masih berhubungan dan hampir sama dengan
komplikasi dari ruptur kapsul posterior (Kothari et al, 2003).
c. Endophtalmitis
26

Hilangnya vitreous body juga meningkatkan risiko


endophthalmitis, komplikasi yang paling ditakuti operasi intraokular.
Insiden endophthalmitis dapat bervariasi. Penyebab endophthalmitis
mungkin bervariasi dengan geografi. Dalam kebanyakan penelitian di
Eropa, Staphylococcus epidermidis adalah mikroorganisme menginfeksi
paling umum. Bakteri ini ditemukan dalam kulit kelopak mata normal dan
konjungtiva, dan memasuki mata selama operasi. Namun, di India Selatan,
spesies Nocardia adalah penyebab paling umum dari terjadinya infeksi
(Lalitha et al, 2005). Ketika endophthalmitis terjadi, prognosis menjadi
buruk. Di Inggris, sepertiga dari pasien yang menderita komplikasi ini
memiliki ketajaman visual akhir (VA) kurang dari 6/60, dan 13% telah
kehilangan semua persepsi cahaya (Kamalarajah et al, 2004). Di Rumah
Sakit Aravind Eye di India, 65% dari mata memiliki VA <6 / 60.
27

BAB III
KESIMPULAN
Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti
inflamasi dan proses degenerasi seperti uveitis, glaucoma, myopia yang tinggi,
ablasi retina, retinitis pigmentosa, iskemia okular, nekrosis anterior segmen,
akibat suatu trauma dan pasca bedah mata. Katarak komplikata dapat juga
disebabkan oleh penyakit sistemik endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid,
galaktosemia, dan miotonia distrofi). Katarak komplikata memberikan tanda
khusus dimana mulai katarak selamanya didaerah bawah kapsul atau pada lapis
korteks, kekeruhan dapat difus, pungtata, linear, rosete, reticulum dan biasanya
terlihat vakuol. Penatalaksanaan katarak komplikata adalah mengikuti
penatalaksanaan katarak pada umumnya, disertai penatalaksanaan pada penyakit
yang mendasari katarak komplikata tersebut. Prognosis visus post operasi pada
katarak komplikata dengan penyebab proses degenerasi masih belum memuaskan
hingga saat ini
28

.DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology Staff. 2014. Fundamental and


Principles of Ophthalmology. Section 2. Basic Clinical Science Course.
San Francisco. p. 323-31.

2. American Academy of Ophthalmology Staff. Lens and Cataract. 2014.


Section 11. Basic Clinical Science Course. San Francisco. p. 5-9.

3. Bowling, B. 2016. Kanskis Clinical Ophthalmology: A Systematic


Approach 8th ed. Sydney: Elsevier Limited. P. 270-273

4. Cambell, D.G. 2014. Primary Angle-Closure Glaucoma. In : Albert DM,


Jakobiec A. Principles and Practice of Ophthalmology , vol 3. Basic
Science. Philadelphia: WB Saunders Co. p. 1372-3

5. Chang MA, Congdon NG, Bykhovskaya I, Munoz B, West SK. The


association between myopia and various subtypes of lens opacity: SEE
(Salisbury Eye Evaluation) project. Ophthalmology. 2005 Aug;
112(8):1395-401.

6. Chang, Koo, Agrn, Hallak, Clemons, Azar, Sperduto, Ferris, Chew. 2011.
Risk factors associated with incident cataracts and cataract surgery in the
Age Related Eye Disease Study (AREDS). AREDS Report Number 32.
American Academy of Ophthalmology. Vol. 118(11): 21132119.

7. Christen WG, Manson JE, Seddon JM, Glynn RJ, Buring JE, Rosner B,
Hennekens CH. A prospective study of cigarette smoking and risk of
cataract in men. JAMA. 1992 Aug 26; 268(8):989-93.

8. Clark, I.J. 2014. Development and Maintenance of Lens Transparancy. In :


Jakobiec A, Principles and Practice of Ophthalmology. Basic Science.
Philadelphia: WB Saunders Co. p. 115-21.

9. Delcourt C, Cristol JP, Tessier F, Lger CL, Michel F, Papoz L. Risk


factors for cortical, nuclear, and posterior subcapsular cataracts: the POLA
29

study. Pathologies Oculaires Lies l'Age. Am J Epidemiol. 2000 Mar 1;


151(5):497-504.
10. Fisher, R.F. 1987. Pathology of The Crystallline Lens. In: Miller SS.
Clinical Ophthalmology. Bristol: IOP Publishing Limited: p. 277-80.

11. Fox, I.S. 2003. Human Physiology 8thed. New York: Lange-Mcgraw-
Hill, International Edition.

12. Galloway, N. 2006. Cataract: In Common Eye Diseases and their


Management 3rd ed. London: Springer-Verlag. p81-91

13. Hall, J.E., Guyton, A.C. 2006. Review Fisiologi Edisi 11. Jakarta: EGC

14. Hennis A, Wu SY, Nemesure B, Leske MC. 2004. Risk factors for incident
cortical and posterior subcapsular lens opacities in the Barbados Eye
Studies. Arch Ophthalmol. Vol. 122:52530.

15. Hiller R, Sperduto RD, Ederer F. Epidemiologic associations with nuclear,


cortical, and posterior subcapsular cataracts. Am J Epidemiol. 1986;
124:91625

16. Hiller R, Sperduto RD, Podgor MJ, Wilson PW, Ferris FL 3rd, Colton T,
D'Agostino RB, Roseman MJ, Stockman ME, Milton RC. Cigarette
smoking and the risk of development of lens opacities. The Framingham
studies. Arch Ophthalmol. 1997 Sep; 115(9):1113-8.
17. Hutchinson, B.T. 2014.Management of Glaucoma and Cataract. In :
Albert DM, Jakobiec A. Principles and Practice of Ophthalmology , vol 3.
Basic Science. Philadelphia : WB Saunders Co. p. 1641-4.

18. Ionides A, Minassian D, Tuft S. Visual outcome following posterior


capsule rupture during cataract surgery. Br J Ophthalmol. 2001 Feb;
85(2):222-4.

19. Jobling, A.I. and Augusteyn, R.C.2002. What causes steroid cataracts? A
review of steroid-induced posterior su bcapsular cataracts. Clin Exp
Optom. Vol 85(2): 61-75
30

20. Kamalarajah S, Silvestri G, Sharma N, Khan A, Foot B, Ling R, Cran G,


Best R. Surveillance of endophthalmitis following cataract surgery in the
UK. Eye (Lond). 2004 Jun; 18(6):580-7.

21. Kanski, J.J. 2007. Clinical Ophthalmology a Systematic Approach. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann. p. 163-70.

22. Kanthan GL, Wang JJ, Rochtchina E, et al. 2008. Ten-year incidence of
age-related cataract and cataract surgery in an older Australian population.
The Blue Mountains Eye Study. Ophthalmology. Vol. 115:80814

23. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta:
Balitbangkes Kemenkes RI.

24. Khurana, A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi:
New Age International (P) Limited.

25. Klein BE, Klein R, Lee KE, Gangnon RE. Incidence of age-related
cataract over a 15-year interval the Beaver Dam Eye
Study.Ophthalmology. 2008 Mar; 115(3):477-82

26. Klein BE, Klein R, Lee KE. Diabetes, cardiovascular disease, selected
cardiovascular disease risk factors, and the 5-year incidence of age-related
cataract and progression of lens opacities: the Beaver Dam Eye Study. Am
J Ophthalmol. 1998 Dec; 126(6):782-90.

27. Klein R, Klein BE, Jensen SC, Moss SE, Cruickshanks KJ. The relation of
socioeconomic factors to age-related cataract, maculopathy, and impaired
vision. The Beaver Dam Eye Study. Ophthalmology. 1994 Dec;
101(12):1969-79.

28. Konyama K. 1998. WHO on Prevention of Blindness. In: Transaction of


The AsiaPasific Academy of Ophthalmology, vol XI. Singapore: PG
Publishing Pte Ltd. p158.

29. Kothari M, Thomas R, Parikh R, Braganza A, Kuriakose T, Muliyil J. The


incidence of vitreous loss and visual outcome in patients undergoing
31

cataract surgery in a teaching hospital. Indian J Ophthalmol. 2003 Mar;


51(1):45-52.

30. Lalitha P, Rajagopalan J, Prakash K, Ramasamy K, Prajna NV, Srinivasan


M. Postcataract endophthalmitis in South India incidence and outcome.
Ophthalmology. 2005 Nov; 112(11):1884-9.

31. Lang, G. 2000. Ophthalmology A Short Textbook 2nd ed.. New York:
Thieme Stuttgart Publisher. p. 165-178

32. Leske MC, Wu SY, Connell AM, Hyman L, Schachat AP. Lens opacities,
demographic factors and nutritional supplements in the Barbados Eye
Study. Int J Epidemiol. 1997 Dec; 26(6):1314-22.

33. Leske MC, Wu SY, Nemesure B, Yang L, Hennis A, Barbados Eye Studies
Group. Nine-year incidence of lens opacities in the Barbados Eye Studies.
Ophthalmology. 2004 Mar; 111(3):483-90.

34. Pollreisz, A. and Schmidt-Erfurth, U. 2010. Diabetic Cataract-


Pathogenesis, Epidemiology and Treatment. Hindawi J of
Ophthalmology. Volume 2010 (2010)

35. Raju, K.V., Sivan, S.N.V. A clinical study of Complicated Cataract In


Uveitis. Kerala J of Ophthalmology. Vol. XXII, No.1. p.41-45

36. Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 6.


Jakarta: EGC

37. Sidarta Ilyas. 2007. Dasar Teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata
Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. P. 68-72

38. Slamovits, T.L. 2014. Lens and Catarracts. Basic and Clinical Science
Course Section 11, San Francisco : American Academy of
Ophthalmology. p. 18-20, 54
32

39. Slamovits, T.L. 2014. Retina and Vitreous. Basic and Clinical Science
Course Section 12, Bronx, New York : American Academy of
Ophthalmology. p.133, 175.

40. Slamovits, T.L. Intraocular Inflamation and Uveitis. Basic and Clinical
Science Course Section 9, Bronx, New York: American Academy of
Ophthalmology. p.152.
41. Slamovits. T.L. 2014. Intraocular Inflamation and Uveitis. Basic and
Clinical Science Course Section 9, Bronx, New York : American
Academy of Ophthalmology. p. 7-10, 15-7, 43-8, 72-6, 135-37.
42. Steeten, B.W. 2008. Pathology of The Lens. In: Albert DM, Jakobiec A,
Principles and Practice of Ophthalmology. Basic Science. Philadelphia :
WB Saunders Co. p. 2180 2217.

43. Tan JS, Wang JJ, Mitchell P. Influence of diabetes and cardiovascular
disease on the long-term incidence of cataract: the Blue Mountains eye
study. Ophthalmic Epidemiol. 2008 Sep-Oct; 15(5):317-27.
44. Vaughan, D.G., Riordan, T.A., Eva, P. 2007. Oftalmologi Umum Edisi 14.
Jakarta: Penerbit Widya Medika.

45. West SK, Muoz B, Schein OD, Duncan DD, Rubin GS. Racial
differences in lens opacities: the Salisbury Eye Evaluation (SEE) project.
Am J Epidemiol. 1998 Dec 1; 148(11):1033-9.

46. Wong TY, Klein BE, Klein R, Tomany SC, Lee KE. Refractive errors and
incident cataracts: the Beaver Dam Eye Study. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2001 Jun; 42(7):1449-54.

47. Younan C, Mitchell P, Cumming RG, Rochtchina E, Wang JJ. Myopia and
incident cataract and cataract surgery: the blue mountains eye study. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2002 Dec; 43(12):3625-32.

Anda mungkin juga menyukai