KATARAK KOMPLIKATA
Disusun Oleh:
Hanif Nur Riestyanto 122011101084
Habibbur Rochman S.122011101082
Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro Sp.M
dr. Iwan Dewanto Sp.M
1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 2
2.1 Anatomi Lensa ...................................................................... 2
2.2 Fisiologi Lensa....................................................................... 4
2.2.1 Visual Pathways ........................................................... 4
2.2.2 Refraksi ........................................................................ 4
2.2.3 Akomodasi ................................................................... 5
2.3
Katarak Komplikata .............................................................. 7
2.3.1 Definisi.......................................................................... 7
2.3.2 Etiologi.......................................................................... 7
2.3.3 Patofisiologi.................................................................. 7
2.3.4 Manifestasi Klinis......................................................... 11
2.3.5 Jenis Katarak Komplikata............................................. 12
2.3.6 Faktor Risiko................................................................. 16
2.3.7 Penatalaksanaan............................................................ 18
2.3.8 Komplikasi.................................................................... 24
BAB 3. KESIMPULAN............................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 27
2
1
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh karena itu sangat penting untuk membahas katarak komplikata lebih
mendalam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Lapisan terluar lensa adalah kapsul. Kapsul lensa adalah suatu membran
basalis yang mengelilingi substansi lensa. Substansi lensa terdiri dari nukleus dan
korteks. Nukleus lensa memiliki konsistensi lebih keras daripada bagian
korteksnya. Sel-sel epitel dekat ekuator lensa membelah sepanjang hidup dan
terus berdiferensiasi membentuk serat-serat lensa baru sehingga serat-serat lensa
yang lebih tua dipampatkan ke nukleus. Serat-serat muda yang kurang padat
disekeliling nukleus menyusun korteks lensa. Korteks terletak antara kapsula
lensa dan nukleus yang mengandung serat-serat lembut.
Serat-serat lensa terdiri dari protein gel yang homogen dan dibungkus
membran plasma. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar subepitel
terus diproduksi sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang
elastik (Vaughen, 2007). 65% lensa terdiri dari air dan sekitar 35% nya terdiri dari
protein dan sedikit mineral.
Gambar 3. Principal visual pathways from the eyes to the visual cortex
(Sherwood, 2012)
2.2.2 Refraksi
Cahaya yang melewati satu medium ke medium yang lain yang berbeda
densitas disebut refraksi atau bengkok. Derajat refraksi pada suatu medium
tergantung perbandingan densitas dari dua media disebut sebagai refractive index
5
atau indeks refraksi. Indeks refraksi udara adalah 1.00, sedangkan indeks refraksi
kornea adalah 1.38 dan indeks refraksi aqueous humor dan lensa adalah 1.33 dan
1.40. Sementara indeks refraksi terbesar adalah udara-kornea, maka sebagian
besar cahaya direfrkasikan di kornea.
2.2.3 Akomodasi
Salah satu fungsi dari lensa selain sebagai media refraksi adalah sebagai
akomodasi. Ketika mata normal melihat sebuah objek, sinar parallel dari suatu
cahaya akan terefraksi ke suatu titik atau fokus sehingga bayangan jatuh tepat di
retina. Namun jika kemampuan refraksi konstan, dengan berpindahnya objek
menjadi didepan mata atau lebih jauh dari mata, maka bayangan dapat jatuh
dibelakang atau didepan retina (Fox, 2003).
Kemampuan mata untuk menjaga agar bayangan jatuh tepat di retina
dengan menjaga jarak antara mata dan variasi objek disebut akomodasi.
6
Akomodasi dihasilkan dari kontraksi otot siliari yang berfungsi sebagai sfingter
untuk mengatur luasnya pupil. Kontraksi otot siliari tersebut dikontrol dari sinyal
saraf parasmpatis yang ditransmisikan ke mata melalui nukleus saraf
okulomotorius di brain stem (Hall, 2006). Ketika otot siliari relaksasi maka akan
menyebabkan kontraksi dari zonula zinii sehingga dapat menarik lensa yang
menyebabkan lensa memipih. Ini merupakan kondisi ketika melihat objek sejauh
20 feet atau lebih pada mata normal.
Ketika objek semakin dekat ke mata, otot siliari akan berkontraksi yang
akan menyebabkan relaksasi dari zonula zinii, sehingga menyebabkan lensa
menjadi lebih cembung dan bulat yang menunjukkan elastisitas lensa, dengan
proses ini bayanganpun dapat tetap jatuh dibelakang retina (Fox, 2003).
7
2.3.2 Etiologi
Kanski (2007) menyebutkan bahwa penyakit mata yang dapat
menyebabkan katarak komplikata contohnya adalah uveitis anterior yang kronik,
glaukoma sudut tertutup, miopia yang tinggi, serta gangguan herediter pada
fundus (misalnya retinitis pigmentosa). Dalam Kurana (2007) ditambahkan
beberapa penyakit mata yang mungkin menyebaban katarak komplikata, yaitu
ablasio retina dan tumor intraokular.
Dalam Galloway et al (2006) disebutkan penyakit atau kondisi lain (selain
penyakit mata) yang dapat menyebabkan katarak komplikata, misalnya diabetes
mellitus, gangguan kelenjar parathyroid, dan Downs syndrome. Penggunaan obat-
obatan (kortikosteroid, amiodarone, phenotiozide, antikolinergik) juga dapat
menyebabkan katarak komplikata.
2.3.3 Patofisiologi
Pada katarak komplikata karena penyakit intraokular, yang paling sering
adalah karena uveitis. Raju dan Sivan (2010) meneliti katarak komplikata yang
disebabkan oleh uveitis dan mendapatkan hasil bahwa uveitis penyebab katarak
8
komplikata terutama adalah uveitis anterior yang kronis. Dalam Kurana (2007)
disebutkan pada uveitis anterior misalnya iridocyclitis, terjadi beberapa perubahan
pada lensa, yaitu:
1. Penghamburan pigmen pada kapsula anterior lensa oleh karena sel radang.
2. Dapat terjadi penumpukan eksudat di lensa.
3. Pada akhirnya akan terbentuk katarak komplikata, sebagai komplikasi dari
iridocyclitis yang menetap. Tanda-tanda yang nampak yaitu adanya
polychromatic luster dan bentukan bread-crumb.
ke tengah lensa menjadi abnormal. Sel epitelial akhirnya tidak tumbuh menjadi
sel fiber dan akan bermigrasi ke polus posterior lensa, kemudian akhirnya
membentuk agregat protein yang merupakan awal dari kekeruhan lensa.
Gambar 8. Susunan lensa dan pertumbuhan lensa normal
(Jobling and Augustey, 2002)
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang di dalam bilik mata depan yang disebut hipopion, ataupun migrasi
eritrosit ke dalam bilik mata depan, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang
berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada
endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Jika tidak mendapatkan
terapi yang adekuat, proses keradangan akan berjalan terus dan menimbulkan
berbagai komplikasi (Fisher, 1987).
Miopia adalah suatu kelainan refraksi di mana sinar cahaya paralel yang
memasuki mata secara keseluruhan dibawa menuju fokus di depan retina. Miopia
umum disebut sebagai kabur jauh / terang dekat (shortsightedness) (Slamovits,
2014).
- Pasien diabetes juvenile dan tua yang tidak terkontrol, dimana terjadi
katarak serentak pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake
atau bentuk piring subkapsular.
-
Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara
histopatologi dan biokimia sama dengan katarak pasien nondiabetik.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia
terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa. Pada mata
terlihat peningkatkan insidens maturasi katarak yang lebih pada pasien
diabetes. Jarang ditemukan true diabetic katarak. Pada lensa akan
terlihat kekeruhan tebaran salju subkapsular yang sebagian jernih dengan
pengobatan. Diperlukan pemeriksaan tes urine dan pengukuran darah gula
puasa (Konyama, 1998), (Clark, 2014).
g. Refraksi
Miopia dasar ( -1.0D) dihubungkan dengan peningkatan risiko
katarak nuklear dan PSC dan operasi katarak, bila dibandingkan
dengan hypermeteropia (Leske et al, 1991). Banyak studi dengan
populasi yang besar telah melaporkan hubungan antara gangguan
refraksi dan risiko katarak dan/atau operasi katarak (Chang et al,
2005). Blue Mountains Eye Study (BMES) tahun 2002 dan SEE
Project tahun 2005 melaporkan peningkatan risiko yang signifikan dari
katarak nuklir dan PSC pada pasien dengan myopia (Younan et al,
2002). Selain itu, BMES juga melaporkan peningkatan risiko operasi
katarak pada pasien sebanding dengan tingkat keparahan miopia
(Wong et al, 2001)
2.3.7. Penatalaksanaan
a. Uveitis
Pasca operasi terjadi rehabilitasi visus yang cepat dan stabil dalam
waktu 6 minggu. Deteksi terhadap komplikasi secepatnya sehingga
dapat dilakukan koreksi. Penggunaan kortikosteroid pasca operasi
bervariasi (Slamovits, 2014).
b. Glaukoma
d. Katarak diabetes.
3) Indikasi kosmetik
Ekstraksi jenis ini merupakan tindakan bedah yang umum dilakukan pada
katarak senil. Lensa beserta kapsulnya dikeluarkan dengan memutus zonula Zinn
23
yang telah mengalami degenerasi. Pada saat ini pembedahan intrakapsuler sudah
jarang dilakukan (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014).
Teknik ini adalah lanjutan dari ECCE, dimana seluruh lensa dikeluarkan
dari mata melalui scleral tunnel. Keuntungan dari teknik ini adalah tidak
dibutuhkannya penjahitan.
4) Phacoemulsification (Phaco)
Visus akan stabil dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Bila terjadi
kekeruhan kapsul posterior sebaiknya dilakukan kapsulotomi YAG laser, dimana
pada saat melakukan kapsulotomi sebaiknya pupil tidak dilebarkan untuk
menghindari kesalahan letak dan untuk menentukan pusat atau titik lokasi
(pinpoint) pada aksis visual. Pemberian obat topikal apraclonidin hydrochloride
dianjurkan untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan intraokuler. Pada
penderita dengan riwayat glaukoma sebaiknya terapi medikamentosa diteruskan
beberapa bulan setelah laser. Myopia tinggi merupakan faktor resiko untuk
terjadinya ablasio retina post laser capsulotomy, tetapi kejadiannya sangat minim
(Slamovits, 2014).
Bila pasca operasi terjadi rekuren uveitis dengan tanda adanya membran di
permukaan IOL, dapat dilakukan laser segera untuk melepaskan membran. Bila
hal ini tidak berhasil IOL segera dilepas dilanjutkan pemberian kortikosteroid
untuk menyelamatkan visus (Hutchinson, 2014).
2.3.8. Komplikasi
Komplikasi pada katarak antara lain:
a. Ruptur dari kapsul posterior.
Komplikasi ini bersifat serius karena dapat terjadi resiko
kehilangan vitreous body, yang bisa menyebabkan perdarahan dan
lepasnya retina (Ionides et al, 2001). Di negara-negara maju, kejadian
kapsul pecah dan kehilangan vitreous tampaknya mulai menurun dan
sekarang di wilayah 1-2%. Peningkatan ini mungkin berhubungan dengan
penggunaan fakoemulsifikasi dan intervensi sebelumnya, yang berarti
bahwa sebagian besar katarak sekarang diambil sebelum stadiumnya
matur. Di negara-negara berkembang dan menengah, namun, insidensi
ruptur kapsul dan kehilangan vitreous tampaknya lebih tinggi (Kothari et
al, 2003). Ini mungkin karena tingkat kompleksitas yang lebih besar dari
banyak operasi katarak di negara-negara berkembang, dibandingkan
masalah kurangnya pelatihan khusus, keahlian, atau peralatan yang
digunakan.
b. Suprachoroidal Haemorrhage
Faktor penyebabnya masih berhubungan dan hampir sama dengan
komplikasi dari ruptur kapsul posterior (Kothari et al, 2003).
c. Endophtalmitis
26
BAB III
KESIMPULAN
Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti
inflamasi dan proses degenerasi seperti uveitis, glaucoma, myopia yang tinggi,
ablasi retina, retinitis pigmentosa, iskemia okular, nekrosis anterior segmen,
akibat suatu trauma dan pasca bedah mata. Katarak komplikata dapat juga
disebabkan oleh penyakit sistemik endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid,
galaktosemia, dan miotonia distrofi). Katarak komplikata memberikan tanda
khusus dimana mulai katarak selamanya didaerah bawah kapsul atau pada lapis
korteks, kekeruhan dapat difus, pungtata, linear, rosete, reticulum dan biasanya
terlihat vakuol. Penatalaksanaan katarak komplikata adalah mengikuti
penatalaksanaan katarak pada umumnya, disertai penatalaksanaan pada penyakit
yang mendasari katarak komplikata tersebut. Prognosis visus post operasi pada
katarak komplikata dengan penyebab proses degenerasi masih belum memuaskan
hingga saat ini
28
.DAFTAR PUSTAKA
6. Chang, Koo, Agrn, Hallak, Clemons, Azar, Sperduto, Ferris, Chew. 2011.
Risk factors associated with incident cataracts and cataract surgery in the
Age Related Eye Disease Study (AREDS). AREDS Report Number 32.
American Academy of Ophthalmology. Vol. 118(11): 21132119.
7. Christen WG, Manson JE, Seddon JM, Glynn RJ, Buring JE, Rosner B,
Hennekens CH. A prospective study of cigarette smoking and risk of
cataract in men. JAMA. 1992 Aug 26; 268(8):989-93.
11. Fox, I.S. 2003. Human Physiology 8thed. New York: Lange-Mcgraw-
Hill, International Edition.
13. Hall, J.E., Guyton, A.C. 2006. Review Fisiologi Edisi 11. Jakarta: EGC
14. Hennis A, Wu SY, Nemesure B, Leske MC. 2004. Risk factors for incident
cortical and posterior subcapsular lens opacities in the Barbados Eye
Studies. Arch Ophthalmol. Vol. 122:52530.
16. Hiller R, Sperduto RD, Podgor MJ, Wilson PW, Ferris FL 3rd, Colton T,
D'Agostino RB, Roseman MJ, Stockman ME, Milton RC. Cigarette
smoking and the risk of development of lens opacities. The Framingham
studies. Arch Ophthalmol. 1997 Sep; 115(9):1113-8.
17. Hutchinson, B.T. 2014.Management of Glaucoma and Cataract. In :
Albert DM, Jakobiec A. Principles and Practice of Ophthalmology , vol 3.
Basic Science. Philadelphia : WB Saunders Co. p. 1641-4.
19. Jobling, A.I. and Augusteyn, R.C.2002. What causes steroid cataracts? A
review of steroid-induced posterior su bcapsular cataracts. Clin Exp
Optom. Vol 85(2): 61-75
30
21. Kanski, J.J. 2007. Clinical Ophthalmology a Systematic Approach. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann. p. 163-70.
22. Kanthan GL, Wang JJ, Rochtchina E, et al. 2008. Ten-year incidence of
age-related cataract and cataract surgery in an older Australian population.
The Blue Mountains Eye Study. Ophthalmology. Vol. 115:80814
23. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta:
Balitbangkes Kemenkes RI.
24. Khurana, A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi:
New Age International (P) Limited.
25. Klein BE, Klein R, Lee KE, Gangnon RE. Incidence of age-related
cataract over a 15-year interval the Beaver Dam Eye
Study.Ophthalmology. 2008 Mar; 115(3):477-82
26. Klein BE, Klein R, Lee KE. Diabetes, cardiovascular disease, selected
cardiovascular disease risk factors, and the 5-year incidence of age-related
cataract and progression of lens opacities: the Beaver Dam Eye Study. Am
J Ophthalmol. 1998 Dec; 126(6):782-90.
27. Klein R, Klein BE, Jensen SC, Moss SE, Cruickshanks KJ. The relation of
socioeconomic factors to age-related cataract, maculopathy, and impaired
vision. The Beaver Dam Eye Study. Ophthalmology. 1994 Dec;
101(12):1969-79.
31. Lang, G. 2000. Ophthalmology A Short Textbook 2nd ed.. New York:
Thieme Stuttgart Publisher. p. 165-178
32. Leske MC, Wu SY, Connell AM, Hyman L, Schachat AP. Lens opacities,
demographic factors and nutritional supplements in the Barbados Eye
Study. Int J Epidemiol. 1997 Dec; 26(6):1314-22.
33. Leske MC, Wu SY, Nemesure B, Yang L, Hennis A, Barbados Eye Studies
Group. Nine-year incidence of lens opacities in the Barbados Eye Studies.
Ophthalmology. 2004 Mar; 111(3):483-90.
37. Sidarta Ilyas. 2007. Dasar Teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata
Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. P. 68-72
38. Slamovits, T.L. 2014. Lens and Catarracts. Basic and Clinical Science
Course Section 11, San Francisco : American Academy of
Ophthalmology. p. 18-20, 54
32
39. Slamovits, T.L. 2014. Retina and Vitreous. Basic and Clinical Science
Course Section 12, Bronx, New York : American Academy of
Ophthalmology. p.133, 175.
40. Slamovits, T.L. Intraocular Inflamation and Uveitis. Basic and Clinical
Science Course Section 9, Bronx, New York: American Academy of
Ophthalmology. p.152.
41. Slamovits. T.L. 2014. Intraocular Inflamation and Uveitis. Basic and
Clinical Science Course Section 9, Bronx, New York : American
Academy of Ophthalmology. p. 7-10, 15-7, 43-8, 72-6, 135-37.
42. Steeten, B.W. 2008. Pathology of The Lens. In: Albert DM, Jakobiec A,
Principles and Practice of Ophthalmology. Basic Science. Philadelphia :
WB Saunders Co. p. 2180 2217.
43. Tan JS, Wang JJ, Mitchell P. Influence of diabetes and cardiovascular
disease on the long-term incidence of cataract: the Blue Mountains eye
study. Ophthalmic Epidemiol. 2008 Sep-Oct; 15(5):317-27.
44. Vaughan, D.G., Riordan, T.A., Eva, P. 2007. Oftalmologi Umum Edisi 14.
Jakarta: Penerbit Widya Medika.
45. West SK, Muoz B, Schein OD, Duncan DD, Rubin GS. Racial
differences in lens opacities: the Salisbury Eye Evaluation (SEE) project.
Am J Epidemiol. 1998 Dec 1; 148(11):1033-9.
46. Wong TY, Klein BE, Klein R, Tomany SC, Lee KE. Refractive errors and
incident cataracts: the Beaver Dam Eye Study. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2001 Jun; 42(7):1449-54.
47. Younan C, Mitchell P, Cumming RG, Rochtchina E, Wang JJ. Myopia and
incident cataract and cataract surgery: the blue mountains eye study. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2002 Dec; 43(12):3625-32.