OLEH
ASEP DWI PRAYETNO
NIM.14.1.007
Mahasiswa
___ __
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati
refluks, ginjal polikistik, nefropati diabetik, penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout,
dan tidak diketahui (Mansjoer, dkk, 2000). Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) menyatakan
bahwa penyebab utama gagal ginjal kronik adalah diabetes melitus (32%), hipertensi (28%),
dan glomerulonefritis (45%).
Price & Wilson (2006) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronik yaitu:
a. penyakit infeksi tubulointerstitial: pielonefritis kronik atau refluks nefropati;
b. penyakit peradangan: glomerulonefritis;
c. penyakit vaskular hipertensif: nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis
arteria renalis;
d. gangguan jaringan ikat: lupus erimatosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik
progresif;
e. gangguan kongenital dan herediter: penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal;
f. penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis;
g. nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah;
h. nefropati obstruktif: traktus urinarius bagian atas, batu (batu, neoplasma, fibrosis
retroperitoneal), traktus urinarius bagian bawah (hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra).
Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multipel, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal
akibat penekanan. Ginjal dapat membesar dan terisi oleh kelompok kista-kista menyerupai
anggur. Kista-kista itu terisi oleh cairan jernih atau hemoragik.
Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD) adalah suatu penyakit yang
jarang terjadi, melibatkan mutasi lokal dari kromosom 6. Sebagian besar kasus terdiagnosis
dengan ultrasound pada usia tahun pertama, lebih tepat lagi jika ditemukan massa abdomen
bilateral. Sering terdapat keterlibatan hepar dan ginjal. Ginjal membesar dan tubulus distal
serta duktus pengumpul berdilatasi menjadi eongasi kista. Diagnosis dini dan pengobatan
hipertensi secara agresif dapat memperbaiki diagnosis pada anak-anak. Dialisis dan
transplantasi ginjal adalah pengobatan yang sesuai jika terdapat gagal ginjal.
Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) merupakan penyakit ginjal
yang paling sering diwariskan. Penyakit ini merupakan penyebab keempat gagal ginjal yang
membutuhkan dialisis atau transplantasi. Terdapat tiga bentuk ADPKD yaitu:
a. ADPKD -1 merupakan 90% kasus dan gen yang bermutasi terletak pada lengan pendek
kromosom 16;
b. gen untuk ADPKD 2 terletak pada lengan pendek kromosom 4 dan perkembangannya
menjadi ESRD terjadi lebih lambat daripada ADPKD 1;
c. bentuk ketiga ADPKD telah berhasil diidentifikasi namun gen yanng bertanggung jawab
belum diketahui letaknya.
gambaran klinis kunci adalah kista multipel dalam ginjal yang dapat terlihat dengan
USG, CT scan, atau MRI. Kista muncul sejak dalam uterus dan secara perlahan merusak
jaringan normal sekitarnya bersamaan dengan pertumbuhan anak tersebut menjadi dewasa.
Kista muncul dari berbagai bagian nefron atau duktus koligentes. Kista tersebut terisi
dengan cairan dan mudah terjadi komplikasi seperti infeksi yang berulang, hematuria,
poliuria, dan mudah membesar, ginjal yang menonjol sering menjadi tanda dan gejala yang
terlihat. Sering terdapat hipertensi dan garam ginjal yang berlebihan. Penurunan fungsi
ginjal yang progresif lambat biasa terjadi dan sekitar 50% akan menjadi ESRD pada usia 60
tahun.
Pengobatan pada pasien ADPKD bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
memelihara fungsi ginjal. Pasien dan anggota keluarganya harus diberi edukasi mengenai
cara pewarisan dan manifestasi penyakit. Terapi ditujukan pada pengendalian hipertensi dan
pengobatan dini UTI. Pasien ADPKD memiliki kecenderungan untuk kehilangan garam
sehingga harus dicegah supaya asupan garam memadai dan tidak terjadi dehidrasi. ESRD
ditangani dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Nefrektomi bilaterall mungkin diperlukan
sebelum transplantasi pada pasien dengan ginjal yang sangat membesar (Price & Wilson,
2006).
3. Patofisiologi
Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal masih belum jelas,
akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu diantaranya jejas karena
hiperfiltrasi, proteinuria yang menetap, hipertensi sitemik atau hipertensi intrarenal, deposisi
kalsium-fosfor, dan hiperlipidemia. Jejas karena hiperfiltrasi diperkirakan sebagai cara yang
umum dari kerusakan glomerular, tidak tergantung dari penyebab awal kerusakkan ginjal.
Nefron yang rusak akan mengakibatkan nefron normal lainnya menjadi hipertrofi secara
struktural dan secara fungsional mempunyai keaktifan yang berlebihan, ditandai dengan
peningkatan aliran darah glomerular.
Cameron & Davison (2003); Henry (2003); Avner & Harmon (2004); Behrman, Kliegman,
dan Jenson, (2004) menyatakan secara umum terdapat tiga mekanisme patogenesis terjadinya
Chronic Kidney Disease (CKD) yaitu glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan
sklerosis vaskular.
a. Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-glomerular dan sel
ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi pada sel glomerulus
intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel), maupun sel ekstrinsik (trombosit, limfosit,
monosit/makrofag).
1) Peran sel endotel
Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga integritas jaringan vaskular
atau vascular bed termasuk glomeruli. Di dalam kapiler glomerular, sel endotel dapat
mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear stress), atau gangguan
metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut berhubungan dengan reduksi atau
kehilangan fungsi anti inflamasi dan anti koagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi
dan agregasi trombosit serta pembentukan mikro trombus pada kapiler glomerulus.
Hal ini juga menyebabkan mikro inflamasi yang menarik sel-sel inflamasi (terutama
monosit) sehingga berinteraksi dengan sel mesangium dan akhirnya terjadi aktivasi,
proliferasi, serta produksi matriks ekstraselular atau extracellular matrix (ECM).
2) Peran sel mesangium
Kerusakan sel mesangium primer ataupun sekunder dapat menyebabkan
glomerulosklerosis misalnya setelah terjadi mikro inflamasi, monosit menstimulasi
proliferasi sel mesangium melalui pelepasan mitogen (seperti platelet derived
growth factor atau PDGF). Hiperselularitas sel mesangium tersebut mendahului
terjadinya sklerosis mesangium. Akibat pengaruh dari growth factor seperti TGF-1,
sel mesangium yang mengalami proliferasi dapat mejadi sel miofibroblas yang
mensintesis komponen ECM termasuk kolagen interstisial tipe III yang bukan
merupakan komponen normal ECM glomerulus. Resolusi sklerosis mesangial dan
glomerular tergantung pada keseimbangan antara sintesis ECM yang meningkat
dengan pemecahan oleh glomerular kolagenase atau metaloproteinase.
3) Peran sel epitel
Ketidakmampuan podosit untuk bereplikasi terhadap jejas dapat menyebabkan
stretching di sepanjang membran basalis glomerulus atau glomerular basement
membrane (GBM) sehingga area tersebut menarik sel-sel inflamasi dan sel-sel
tersebut berinteraksi dengan sel parietal epitel menyebabkan formasi adesi kapsular
dan glomeruloslerosis. Hal ini menyebabkan akumulasi material amorf di celah
paraglomerular, kerusakan glomerular-tubular junction, dan pada akhirnya terjadi
atrofi tubular serta fibrosis interstisial.
4) Peran trombosit dan koagulasi
Trombosit dan produk yang dihasilkannya terdeteksi dalam glomerulus yang
mengalami nefropati. Stimulasi kaskade koagulasi mengaktifkan sel mesangium dan
menginduksi sklerosis. Trombin mestimulasi produk di TGF-1 yang menyebabkan
produksi ECM mesangial dan inhibisi metaloproteinase. Glomerulosklerosis
tergantung pada keseimbangan aktivitas trombus/antiproteolitik dengan
antikoagulan/proteolitik yang diatur oleh sistem regulasi plasminogen.
5) Peran limfosit dan monosit/makrofag
Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag terdapat dalam
glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel limfosit Th-1 yang bersifat
inflamasi dan sel Th-2 yang bersifat antiinflamasi diduga berperan penting dalam
resolusi atau bahkan progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel monosit atau
makrofag memiliki efek proteksi karena sel-sel tersebut dapat memproduksi sitokin
dan growth factor yang mengakibatkan glomerulosklerosis.
b. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan fungsi ginjal
dibandingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular yang mengalami
kerusakan berperan sebagai antigen presenting cell yang mengekspresikan cell adhesion
molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan growth
factor, serta meningkatkan produksi ECM dan menginvasi ruang periglomerular dan
peritubular. Resolusi deposisi ECM tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks
metaloproteinase dan aktivasi enzim proteolitik plasmin oleh aktivator plasminogen.
Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut sehingga terjadi
gangguan keseimbangan produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan
fibrosis yang irreversibel.
c. Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab (misalnya
diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan sel tubulus dan
fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas kolagenolitik. Kapiler
peritubular yang rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami parut akan mengekspresikan
trombospondin yang bersifat antiangiogenik sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan
iskemi.
Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal kronik yaitu adanya
penurunan fungsi renal menyebabkan produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
a. Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi
glomerulus menyebabkan klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum
akan meningkat serta kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin
serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme, dan medikasi seperti steroid.
b. Retensi cairan dan natrium
Ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal
pada penyakit ginjal tahap akhir. Respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan
sehingga meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam sehingga mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang semakin
memperburuk status uremik.
c. Asidosis
Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik sehingga ginjal tidak
mampu mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan ekskresi asam
terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk menyekresi amonia (NH 3-) dan
mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik
lain juga terjadi.
d. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
emmendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat ststus uremik pasien terutama dari saluran gastrointestinal.
Eritropoetin adalah substansi normal yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi disertai keletihan, angina, dan sesak nafas.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Abnormalitas utama lain pada gagal ginjal kronik adalah gangguan metabolisme kalsium
dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik,
jika salah satunya meningkat maka yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar
kalsium serum. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathohormon
dari kelenjar paratiroid. Pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathohormon sehingga kalsium di tulang menurun yang
menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktiv
vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya
gagal ginjal.
f. Penyakit tulang uremik atau ostoeodistrofi renal
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathohormon.
Laju penurunan fungsi gagal ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan
dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urine, dan adanya hipertensi.
Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) menjelaskan tahap perkembangan gagal ginjal kronik
yaitu:
a. penurunan cadangan ginjal:
1) sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi;
2) laju filtrasi glomerulus 40-50% normal;
3) BUN dan kreatinin serum masi normal;
4) pasien asimtomatik.
b. gagal ginjal:
1) 75-80% nefron tidak berfungsi;
2) laju filtrasi glomerulus 20-40% normal;
3) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat;
4) anemia ringan dan azotemia ringan;
5) nokturia dan poliuria.
c. gagal ginjal:
1) laju filtrasi glomerulus 10-20% normal;
2) BUN dan kreatinin serum meningkat;
3) anemia, azotemia, dan asidosis metabolik;
4) berat jenis urine;
5) poliuria dan nokturia;
6) gejala gagal ginjal.
d. gagal ginjal kronik
1) lebih dari 85% nefron tidak berfungsi;
2) laju firltasi glomerulus kurang dari 10% normal;
3) BUN dan kreatinin tinggi;
4) anemia, azotemia, asidosis metabolik;
5) berat jenis urine tetap 1,010;
6) oliguria;
7) gejala gagal ginjal.
Tabel 1. Batasan dan stadium penyakit ginjal kronis
Stadium GFR Fungsi Keterangan
(ml/menit/1 ginjal
,73m2)
Stadium 1 90 90% Kerusakan minimal dengan GFR normal
Stadium 2 60-89 60-89% Kerusakan ringan dengan penurunan GFR, belum
mengganggu
Stadium 3 30-59 30-59% Kerusakan sedang, masih bisa dipertahankan
Stadium 4 15-29 15-29% Kerusakan berat, membahayakan
Stadium 5 15 15% Kerusakan sangat berat, perlu dialisis
Sumber: Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008.
Sudoyo, dkk (2009) menjelaskan cara menghitung GFR menggunakan rumus Cockroft- Gault:
LFG (ml/menit/1,73 m2) = (140-umur) x BB *
72 kreatinin plasma (mg/dL)
* Pada perempuan dikalikan 0,85
5. Komplikasi
a. Pada gagal ginjal progresif terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit,asidosis
metabolik, azotemia, dan uremia.
b. Pada gagal ginjal stadium akhir terjadi azotemia dan uremia berat, asidosis metabolik
memburuk yang merangsang percepatan pernafasan (Corwin, 2009).
c. Kardiovaskular, gangguan keseibangan asam basa, cairan dan elektrolit, osteodistrofi
renal, dan anemia (Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008).