Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


DI RUANG 28 RS dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH
ASEP DWI PRAYETNO
NIM.14.1.007

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN RS dr. SOEPRAOEN MALANG
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
LEMBAR PENNGESAHAN
Laporan Pendahuluan & Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Chronic Kidney Disease
(CKD) di Ruang 28 Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

Diperiksa dan disetujui


Hari :
Tanggal :

Mahasiswa

___ __

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan


LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Pengertian
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit dan menyebabkan uremia (Mansjoer, dkk, 2000; Smeltzer & Bare, 2002; Corwin,
2009). Graber, Toth, dan Herting (2006) menjelaskan bahwa sindrom klinis gangguan ginjal
kronik digolongkan dalam tiga kelompok utama, yaitu:
a. cadangan ginjal yang tidak mencukupi ditandai dengan ketidakmampuan
mengkompensasi pembebanan atau kehilangan cairan atau zat terlarut yang ekstrim;
b. insufisiensi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar BUN dan berkurangnya
kemampuan mengatasi fluktuasi zat terlarut dan air tetapi dapat mempertahankan
homeostasis;
c. gagal ginjal ditandai dengan peningkatan progresif BUN sampai menyebabkan uremia
serta ketidakseimabangan cairan dan elektrolit (GFR <6mg/men/m2).

2. Etiologi
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati
refluks, ginjal polikistik, nefropati diabetik, penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout,
dan tidak diketahui (Mansjoer, dkk, 2000). Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) menyatakan
bahwa penyebab utama gagal ginjal kronik adalah diabetes melitus (32%), hipertensi (28%),
dan glomerulonefritis (45%).
Price & Wilson (2006) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronik yaitu:
a. penyakit infeksi tubulointerstitial: pielonefritis kronik atau refluks nefropati;
b. penyakit peradangan: glomerulonefritis;
c. penyakit vaskular hipertensif: nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis
arteria renalis;
d. gangguan jaringan ikat: lupus erimatosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik
progresif;
e. gangguan kongenital dan herediter: penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal;
f. penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis;
g. nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah;
h. nefropati obstruktif: traktus urinarius bagian atas, batu (batu, neoplasma, fibrosis
retroperitoneal), traktus urinarius bagian bawah (hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra).
Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multipel, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal
akibat penekanan. Ginjal dapat membesar dan terisi oleh kelompok kista-kista menyerupai
anggur. Kista-kista itu terisi oleh cairan jernih atau hemoragik.
Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD) adalah suatu penyakit yang
jarang terjadi, melibatkan mutasi lokal dari kromosom 6. Sebagian besar kasus terdiagnosis
dengan ultrasound pada usia tahun pertama, lebih tepat lagi jika ditemukan massa abdomen
bilateral. Sering terdapat keterlibatan hepar dan ginjal. Ginjal membesar dan tubulus distal
serta duktus pengumpul berdilatasi menjadi eongasi kista. Diagnosis dini dan pengobatan
hipertensi secara agresif dapat memperbaiki diagnosis pada anak-anak. Dialisis dan
transplantasi ginjal adalah pengobatan yang sesuai jika terdapat gagal ginjal.
Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) merupakan penyakit ginjal
yang paling sering diwariskan. Penyakit ini merupakan penyebab keempat gagal ginjal yang
membutuhkan dialisis atau transplantasi. Terdapat tiga bentuk ADPKD yaitu:
a. ADPKD -1 merupakan 90% kasus dan gen yang bermutasi terletak pada lengan pendek
kromosom 16;
b. gen untuk ADPKD 2 terletak pada lengan pendek kromosom 4 dan perkembangannya
menjadi ESRD terjadi lebih lambat daripada ADPKD 1;
c. bentuk ketiga ADPKD telah berhasil diidentifikasi namun gen yanng bertanggung jawab
belum diketahui letaknya.
gambaran klinis kunci adalah kista multipel dalam ginjal yang dapat terlihat dengan
USG, CT scan, atau MRI. Kista muncul sejak dalam uterus dan secara perlahan merusak
jaringan normal sekitarnya bersamaan dengan pertumbuhan anak tersebut menjadi dewasa.
Kista muncul dari berbagai bagian nefron atau duktus koligentes. Kista tersebut terisi
dengan cairan dan mudah terjadi komplikasi seperti infeksi yang berulang, hematuria,
poliuria, dan mudah membesar, ginjal yang menonjol sering menjadi tanda dan gejala yang
terlihat. Sering terdapat hipertensi dan garam ginjal yang berlebihan. Penurunan fungsi
ginjal yang progresif lambat biasa terjadi dan sekitar 50% akan menjadi ESRD pada usia 60
tahun.
Pengobatan pada pasien ADPKD bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
memelihara fungsi ginjal. Pasien dan anggota keluarganya harus diberi edukasi mengenai
cara pewarisan dan manifestasi penyakit. Terapi ditujukan pada pengendalian hipertensi dan
pengobatan dini UTI. Pasien ADPKD memiliki kecenderungan untuk kehilangan garam
sehingga harus dicegah supaya asupan garam memadai dan tidak terjadi dehidrasi. ESRD
ditangani dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Nefrektomi bilaterall mungkin diperlukan
sebelum transplantasi pada pasien dengan ginjal yang sangat membesar (Price & Wilson,
2006).

3. Patofisiologi
Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal masih belum jelas,
akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu diantaranya jejas karena
hiperfiltrasi, proteinuria yang menetap, hipertensi sitemik atau hipertensi intrarenal, deposisi
kalsium-fosfor, dan hiperlipidemia. Jejas karena hiperfiltrasi diperkirakan sebagai cara yang
umum dari kerusakan glomerular, tidak tergantung dari penyebab awal kerusakkan ginjal.
Nefron yang rusak akan mengakibatkan nefron normal lainnya menjadi hipertrofi secara
struktural dan secara fungsional mempunyai keaktifan yang berlebihan, ditandai dengan
peningkatan aliran darah glomerular.
Cameron & Davison (2003); Henry (2003); Avner & Harmon (2004); Behrman, Kliegman,
dan Jenson, (2004) menyatakan secara umum terdapat tiga mekanisme patogenesis terjadinya
Chronic Kidney Disease (CKD) yaitu glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan
sklerosis vaskular.
a. Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-glomerular dan sel
ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi pada sel glomerulus
intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel), maupun sel ekstrinsik (trombosit, limfosit,
monosit/makrofag).
1) Peran sel endotel
Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga integritas jaringan vaskular
atau vascular bed termasuk glomeruli. Di dalam kapiler glomerular, sel endotel dapat
mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear stress), atau gangguan
metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut berhubungan dengan reduksi atau
kehilangan fungsi anti inflamasi dan anti koagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi
dan agregasi trombosit serta pembentukan mikro trombus pada kapiler glomerulus.
Hal ini juga menyebabkan mikro inflamasi yang menarik sel-sel inflamasi (terutama
monosit) sehingga berinteraksi dengan sel mesangium dan akhirnya terjadi aktivasi,
proliferasi, serta produksi matriks ekstraselular atau extracellular matrix (ECM).
2) Peran sel mesangium
Kerusakan sel mesangium primer ataupun sekunder dapat menyebabkan
glomerulosklerosis misalnya setelah terjadi mikro inflamasi, monosit menstimulasi
proliferasi sel mesangium melalui pelepasan mitogen (seperti platelet derived
growth factor atau PDGF). Hiperselularitas sel mesangium tersebut mendahului
terjadinya sklerosis mesangium. Akibat pengaruh dari growth factor seperti TGF-1,
sel mesangium yang mengalami proliferasi dapat mejadi sel miofibroblas yang
mensintesis komponen ECM termasuk kolagen interstisial tipe III yang bukan
merupakan komponen normal ECM glomerulus. Resolusi sklerosis mesangial dan
glomerular tergantung pada keseimbangan antara sintesis ECM yang meningkat
dengan pemecahan oleh glomerular kolagenase atau metaloproteinase.
3) Peran sel epitel
Ketidakmampuan podosit untuk bereplikasi terhadap jejas dapat menyebabkan
stretching di sepanjang membran basalis glomerulus atau glomerular basement
membrane (GBM) sehingga area tersebut menarik sel-sel inflamasi dan sel-sel
tersebut berinteraksi dengan sel parietal epitel menyebabkan formasi adesi kapsular
dan glomeruloslerosis. Hal ini menyebabkan akumulasi material amorf di celah
paraglomerular, kerusakan glomerular-tubular junction, dan pada akhirnya terjadi
atrofi tubular serta fibrosis interstisial.
4) Peran trombosit dan koagulasi
Trombosit dan produk yang dihasilkannya terdeteksi dalam glomerulus yang
mengalami nefropati. Stimulasi kaskade koagulasi mengaktifkan sel mesangium dan
menginduksi sklerosis. Trombin mestimulasi produk di TGF-1 yang menyebabkan
produksi ECM mesangial dan inhibisi metaloproteinase. Glomerulosklerosis
tergantung pada keseimbangan aktivitas trombus/antiproteolitik dengan
antikoagulan/proteolitik yang diatur oleh sistem regulasi plasminogen.
5) Peran limfosit dan monosit/makrofag
Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag terdapat dalam
glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel limfosit Th-1 yang bersifat
inflamasi dan sel Th-2 yang bersifat antiinflamasi diduga berperan penting dalam
resolusi atau bahkan progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel monosit atau
makrofag memiliki efek proteksi karena sel-sel tersebut dapat memproduksi sitokin
dan growth factor yang mengakibatkan glomerulosklerosis.
b. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan fungsi ginjal
dibandingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular yang mengalami
kerusakan berperan sebagai antigen presenting cell yang mengekspresikan cell adhesion
molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan growth
factor, serta meningkatkan produksi ECM dan menginvasi ruang periglomerular dan
peritubular. Resolusi deposisi ECM tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks
metaloproteinase dan aktivasi enzim proteolitik plasmin oleh aktivator plasminogen.
Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut sehingga terjadi
gangguan keseimbangan produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan
fibrosis yang irreversibel.
c. Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab (misalnya
diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan sel tubulus dan
fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas kolagenolitik. Kapiler
peritubular yang rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami parut akan mengekspresikan
trombospondin yang bersifat antiangiogenik sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan
iskemi.
Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal kronik yaitu adanya
penurunan fungsi renal menyebabkan produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
a. Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi
glomerulus menyebabkan klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum
akan meningkat serta kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin
serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme, dan medikasi seperti steroid.
b. Retensi cairan dan natrium
Ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal
pada penyakit ginjal tahap akhir. Respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan
sehingga meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam sehingga mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang semakin
memperburuk status uremik.
c. Asidosis
Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik sehingga ginjal tidak
mampu mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan ekskresi asam
terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk menyekresi amonia (NH 3-) dan
mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik
lain juga terjadi.
d. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
emmendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat ststus uremik pasien terutama dari saluran gastrointestinal.
Eritropoetin adalah substansi normal yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi disertai keletihan, angina, dan sesak nafas.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Abnormalitas utama lain pada gagal ginjal kronik adalah gangguan metabolisme kalsium
dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik,
jika salah satunya meningkat maka yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar
kalsium serum. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathohormon
dari kelenjar paratiroid. Pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathohormon sehingga kalsium di tulang menurun yang
menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktiv
vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya
gagal ginjal.
f. Penyakit tulang uremik atau ostoeodistrofi renal
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathohormon.
Laju penurunan fungsi gagal ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan
dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urine, dan adanya hipertensi.

Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) menjelaskan tahap perkembangan gagal ginjal kronik
yaitu:
a. penurunan cadangan ginjal:
1) sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi;
2) laju filtrasi glomerulus 40-50% normal;
3) BUN dan kreatinin serum masi normal;
4) pasien asimtomatik.

b. gagal ginjal:
1) 75-80% nefron tidak berfungsi;
2) laju filtrasi glomerulus 20-40% normal;
3) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat;
4) anemia ringan dan azotemia ringan;
5) nokturia dan poliuria.
c. gagal ginjal:
1) laju filtrasi glomerulus 10-20% normal;
2) BUN dan kreatinin serum meningkat;
3) anemia, azotemia, dan asidosis metabolik;
4) berat jenis urine;
5) poliuria dan nokturia;
6) gejala gagal ginjal.
d. gagal ginjal kronik
1) lebih dari 85% nefron tidak berfungsi;
2) laju firltasi glomerulus kurang dari 10% normal;
3) BUN dan kreatinin tinggi;
4) anemia, azotemia, asidosis metabolik;
5) berat jenis urine tetap 1,010;
6) oliguria;
7) gejala gagal ginjal.
Tabel 1. Batasan dan stadium penyakit ginjal kronis
Stadium GFR Fungsi Keterangan
(ml/menit/1 ginjal
,73m2)
Stadium 1 90 90% Kerusakan minimal dengan GFR normal
Stadium 2 60-89 60-89% Kerusakan ringan dengan penurunan GFR, belum
mengganggu
Stadium 3 30-59 30-59% Kerusakan sedang, masih bisa dipertahankan
Stadium 4 15-29 15-29% Kerusakan berat, membahayakan
Stadium 5 15 15% Kerusakan sangat berat, perlu dialisis
Sumber: Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008.
Sudoyo, dkk (2009) menjelaskan cara menghitung GFR menggunakan rumus Cockroft- Gault:
LFG (ml/menit/1,73 m2) = (140-umur) x BB *
72 kreatinin plasma (mg/dL)
* Pada perempuan dikalikan 0,85

4. Tanda dan Gejala


Baughman & Hackley (2000), Mansjoer (2000), Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan tanda
dan gejala pada gagal ginjal kronik yaitu sebagai berikut.
a. Umum: fatig, malaise, gagal tumbuh, debil.
b. Kulit: pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia, pruritis, warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Kepala dan leher: fetor uremik, lidah kering dan berselaput.
d. Mata: fundus hipertensif, mata merah.
e. Kardiovaskular: hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung kongestif, perikarditis uremik,
penyakit vaskular, pitting edema, edema periorbital, friction rub perikardial, pembesaran
vena leher.
f. Pernafasan: hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura, krekels, sputum kental dan
liat, nafas dangkal, pernafasan kussmaul.
g. Gastrointestinal: anoreksia, nausea, cegukan, gastritis, penurunan aliran saliva, haus, rasa
kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan pengecap dan penghidu, parotitis atau
stomatitis, ulkus peptikum, kolitis uremik, diare yang disebabkan oleh antibiotik, nafas
berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, konstipasi, perdarahan saluran
gastrointestinal.
h. Kemih: nokturia, poliuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang mendasarinya.
i. Reproduksi: penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas, ginekomastia, galaktore,
atrofi testikuler.
j. Saraf: kelemahan, keletihan, kelemahan tungkai, rasa panas pada telapak kaki, konfusi,
letargi, malaise, anoreksia, tremor, mengantuk, kebingungan, flap, mioklonus, kejang,
koma, perubahan perilaku, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi,
disorientasi, kedutan otot.
k. Tulang: fraktur tulang, foot drop, hiperparatiroidisme, defisiensi vitamin D.
l. Sendi: kram otot, kekuatan otot hilang, gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang.
m. Hematologi: anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan.
n. Endokrin: multipel.
o. Farmakologi: obat-obat yang diekskresi oleh ginjal.

5. Komplikasi
a. Pada gagal ginjal progresif terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit,asidosis
metabolik, azotemia, dan uremia.
b. Pada gagal ginjal stadium akhir terjadi azotemia dan uremia berat, asidosis metabolik
memburuk yang merangsang percepatan pernafasan (Corwin, 2009).
c. Kardiovaskular, gangguan keseibangan asam basa, cairan dan elektrolit, osteodistrofi
renal, dan anemia (Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008).

6. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang


a. Pemeriksaan biokimia plasma untuk mengetahui fungsi ginjal dan gangguan elektrolit,
mikroskopik urin, urinalisa, tes serologi untuk mengetahui penyebab glumerulonefritis,
dan tes-tes penyaringan sebagai persiapan sebelum dialisis (biasanya hepatitis B dan
HIV).
b. USG ginjal untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal ginjal misalnya adanya
kista atau obstruksi pelvis ginjal, dapat pula dipakai foto polos abdomen (Mansjoer, dkk,
2000).
c. Pemeriksaan uji klirens kreatinin urine 12 atau 24 jam dapat mengevaluasi fungsi ginjal
dan menentukan beratnya disfungsi ginjal.
d. Pemeriksaan radiografik tidak banyak bermanfaat untuk pasien gagal ginjal kronik.
e. Sinar X KUB hanya memperlihatkan bentuk, besar, dan posisi ginjal (Baradero, Dayrit,
dan Siswadi, 2009).
f. Darah tepi lengkap, ureum, kreatinin, urine lengkap, Creatinine Clearance Test (CCT),
elektrolit, (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula darah, Analisis Gas
Darah (AGD), SI, TIBC, feritinin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal,
pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks,
EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, anti-HCV, dan anti-HIV (Aziz,
Witjaksonodan Rasjidi, 2008).
g. Foto polos untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
h. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena aman,
mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas terpilih untuk
kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan
CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak
dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal
polikistik.
i. CT Scan dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada
pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengidentifikasi
batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal
untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
j. MRI sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak
dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya trombosis
vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis
stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.
k. Radionukleotida merupakan deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan
menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid (DMSA).
Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk
mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati
refluks.
l. Voiding cystourethrography dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
m. Retrogade atau anterogade pyelography dapat digunakan lebih baik untuk mendiagnosis
dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini diindikasikan apabila
dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak
menunjukkan adanya hidronefrosis.
n. Pemeriksaan tulang bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid sekunder yang
merupakan bagian dari osteodistrofi dan juga perkiraan usia tulang untuk memberikan
terapi hormon pertumbuhan (Rachmadi, 2010).
o.
7. Terapi
Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008); Baughman & Hackley (2000); Mansjoer, dkk (2000)
menyatakan bahwa langkah-langkah penatalaksanaan umum gagal ginjal kronik meliputi:
a. pengobatan penyakit dasar atas diagnosis yang ada;
b. pengobatan terhadap penyakit penyerta;
c. penghambatan progresivitas penurunan fungsi ginjal;
d. pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit kardiovaskuler;
e. pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi;
f. persiapan dan pemilihan terapi pengganti ginjal, khususnya apabila sudah didapatkan
gejala dan tanda-tanda uremia.
Terapi non farmakologis terdiri dari:
a. pengaturan asupan protein:
1) pasien nondialisis 0,6-0,75 g/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi
pasien;
2) pasien hemodialisis 1-1,2 g/kgBB ideal/hari;
3) pasien peritoneal dialisis 1,3 g/kgBB/hari;
4) batasi urea, kreatinin, asam urat, asam organik, dan makanan yang diperbolehkan
seperti susu, telur, dan daging.
b. pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari;
c. pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama
antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh;
d. pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total;
e. pengaturan asupan garam dan mineral:
1) garam (NaCl): 2-3 g/hari;
2) kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari;
3) fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari, pasien HD 17 mg/hari;
4) kalsium: 1400-1600 mg/hari;
5) besi: 10-18 mg/hari;
6) magnesium: 200-300 mg/hari.
f. asam folat pasien hemodialisa: 5 mg;
g. air: jumlah urine 24 jam + 500 ml (IWL);
h. prinsip pola makan yaitu rendah protein, rendah garam, rendah kalium, rendah fosfor,
rendah purin, dan batasi asupan cairan;
i. amati tanda dini abnormalitas neurologis seperti berkedut, sakit kepala, delirium, atau
kejang;
j. lindungi terhadap cedera dengan memberikan bantalan pada pagar tempat tidur.
Terapi farmakologis terdiri dari:
a. kontrol tekanan darah:
1) penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II dengan mengevaluasi
kreatinin dan kalium serum, bila kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi maka
hentikan terapi ini;
2) penghambat kalsium;
3) diuretik.
b. pada pasien DM, gula darah dikontrol, hindari memakai methformin dan obat-obatan
sulfonilurea dengan masa kerja yang panjang, target HbA1C untuk DM tipe I yaitu 0,2 di
atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe II adalah 6%;
c. koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl;
d. kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat (500-3000 mg) atau kalsium asetat atau
alumunium hidroksida (300-1800 mg);
e. kontrol osteodistrol renal: kalsitriol;
f. koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l;
g. koreksi hiperkalemia;
h. kontrol dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dl, dianjurkan golongan statin;
i. berikan diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) untuk mengontrol kejang;
j. furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretik loop (bumetanid, asam etakrinat)
diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan;
k. banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan
dikeluarkan oleh ginjal misalnya digoksin, aminoglikosid, analgesik opiat, amfoterisin,
alopurinol juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah misalnya
tetrasiklin, kortikosteroid, sitostatik;
l. terapi ginjal pengganti.
B. Clinical Pathway
C. berbagai penyebab CKD
D.
E. salah interpretasi kurang terpajan keterbatasan kognitif fungsi renal
F. informasi
G. filtrasi glomerulus
H. mudah cemas
I. retensi cairan pengenceran ekskresi urea produksi sekresi renin fosfat
J. dan natrium urine terganggu eritropoetin kalsium
K. kurang uremia mengaktifkan angiotensinogen
pengetahuan
L. edema <usia SDM
sekresi
M. menumpuk di bekuan ureum kerja trombosit angiotensin I parathormon
N. bawah kulit anemia berat
O. kelebihan bau nafas trombositopenia angiotensin II kalsium tulang
P. volume mudah lecet, amonia transport SDM
Q. cairan kering, gatal agregasi terganggu vasokonstriksi PD perubahan,
R. resiko nausea, resiko trombosit gangguan
S. kerusaka periode anoreksia, ceder jumlah O2 TD arteri pada tulang
T. n berlangsung muntah a
U. integrita lama jumlah energi beban jantung kesulitan
V. s kulit bergerak,
W. kehilangan nafsu nausea kelelahan, pucat hipertrofi vent.kiri berpindah
X. makan sesak nafas
Y. vol.darah dipompa
ganggua
Z.
AA. ketidakseimbang fatigue intoleran edema paru n
AB. an nutrisi: kurang si mobilita
AC. dari kebutuhan aktivitas tekanan vaskuler sparu
fisik
AD. tubuh
AE. pertukaran gas terganggu
AF. penurunan
AG. curah kesulitan bernafas/sesak
nafas jantung
AH. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
AI. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan melalui wawancara,
observasi langsung, dan melihat catatan medis. Adapun data yang diperlukan pada klien
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah sebagai berikut.
1. Identitas klien
AJ. Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit tanggal
pengkajian, sumber informasi, dan diagnosa medis.
AK. Price & Wilson (2006) menyatakan bahwa insidensi gagal ginjal kronik lebih
besar pada laki-laki (56,3%) daripada perempuan (43,7%). Peningkatan prevalens
penderita CKD dari 13,8% menjadi 15,8% pada populasi dewasa dilaporkan oleh US
Renal Data System tahun 2007, sedangkan pada populasi anak kejadian CKD < 2% dari
populasi dewasa (Menon, dkk, 2009).
2. Riwayat kesehatan
a. Diagnosa medik: Chronic Kidney Disease (CKD).
b. Keluhan utama: bergantung masing-masing pasien.
c. Riwayat penyakit sekarang
AL. Meliputi perjalanan penyakitnya, awal dari gejala yang dirasakan klien,
keluhan timbul secara mendadak atau bertahap, faktor pencetus, upaya yang
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
d. Riwayat kesehatan terdahulu
AM. Meliputi penyakit yang pernah dialami dan berhubungan dengan penyakit
sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat dirumah sakit, adanya alergi, riwayat
imunisasi yang pernah dilakukan, pola hidup yang berhubungan dengan penyakit,
obat-obatan yang pernah digunakan.
e. Riwayat penyakit keluarga
AN. Meliputi penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini dan
identik dengan penyakit keturunan seperti hipertensi dan DM.
f. Genogram
AO. Meliputi gambar garis keturunan minimal 3 garis keturunan dengan
menambahkan keterangan yang menunjang.
AP.
AQ.
3. Pengkajian keperawatan
AR. Pengkajian keperawatan merujuk pada data pengkajian pasien dalam
Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000) meliputi:
a. Aktivitas dan latihan
AS. Gejala: kelemahan ekstrem, kelemahan malaise.
AT. Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
b. Tidur dan istirahat
AU. Gejala: gangguan tidur/ insomnia/gelisah/somnolen.
c. Sirkulasi
AV. Gejala: riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi (nyeri dada/angina).
AW. Tanda: hipertensi (DVJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada
kaki, telapak, tangan), disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik,
hipovolemia, friction rub perikardial, pucat, kulit kehijauan atau kuning,
kecenderungan perdarahan.
d. Intergritas ego
AX. Gejala: perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
AY. Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
e. Eliminasi
AZ. Gejala: penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen kembung, diare,
atau konstipasi.
BA. Tanda: perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat, berawan),
oliguria, anuria.
f. Nutrisi/metabolik
BB. Gejala: peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada
mulut (pernafasan amonia), penggunaan diuretik.
BC. Tanda: distensi abdomen/asites, pembesaran hati, perubahan turgor
kulit/kelembaban, edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah, penurunan otot,
penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
BD.
BE.
BF.
BG.
g. Neurosensori
BH. Gejala: sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom kaki
gelisah, kebas rasa terbakar pada telapak kaki, kebas/kesemutan dan kelemahan
khususnya ekstremitas bawah
BI. Tanda: gangguan status mental (penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat
kesadaran, stupor, koma), penurunan DTR, tanda chvostek dan trousseau positif,
kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
h. Nyeri/kenyamanan
BJ. Gejala: nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki.
BK. Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
i. Pernafasan
BL. Gejala: nafas pendek, dipsnea nokturnal paroksismal, batuk dengan/tanpa
sputum kental dan banyak.
BM. Tanda: takipnea, dipsnea, peningkatan frekuensi/kedalaman (pernafasan
kussmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru).
j. Keamanan
BN. Gejala: kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
BO. Tanda: pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), normoteria, petekie, area
ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit, jaringan lunak,
sendi, keterbatasan gerak sendi.
k. Seksualitas dan reproduksi
BP. Gejala: penurunan libido, amenorea, infertilitas.
l. Interaksi sosial
BQ. Gejala: kesulitan menentukan kondisi (tak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi dan peran dalam keluarga)
m. Penyuluhan/pembelajaran
BR. Gejala: riwayat DM keluarga, penyakit polikistik, nefritis herediter, kalkulus
urinaria, malignansi, riwayat terpajan pada toksin, penggunaan antibiotik nefrotik
BS.
BT.
BU.
2. Diagnosa Keperawatan
BV. Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000); Smeltzer & Bare (2002) menyatakan
bahwa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan CKD yaitu:
a. kelebihan volume cairan berhubungan dengan toleransi mekanisme regulator;
b. ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan;
c. kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan, salah
interpretasi informasi;
d. intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen;
e. penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload;
f. resiko tinggi terhadap cedera dengan faktor resiko internal: profil darah abnormal
(trombositopenia);
g. resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko perubahan turgor
kulit;
h. fatigue berhubungan dengan faktor fisiologis: anemia;
i. nausea berhubungan dengan gangguang biokimia (uremia);
j. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal.
BW.
3. Perencanaan Keperawatan
4. 5. Diagnosa 6. Tujuan dan Kriteria hasil 7. Intervensi 8. Rasional
No keperawatan
9. 10. Kelebihan 11. Tujuan : 17. NIC: 25.
12. Setelah dilakukan tindakan keperwatan
1 volume cairan 18. Electrolite management 26.
selama 2 x 24 jam volume cairan pada pasien 1. Memantau kondisi elektrolit
berhubungan 1. Monitor adanya elektrolit serum
berkurang atau tidak berlebih serum
dengan toleransi yang abnormal
13. 2. Memantau keseimbangan
2. Monitor adanya manifestasi
mekanisme 14. NOC:
elektrolit
regulator Fluid balance ketidakseimbangan elektrolit
3. Memantau keseimbangan
Fluid Overload Severity 3. Monitor kehilangan elektrolit yang
Kidney function elektrolit
dialami oleh pasien
15. 4. Memantau keseimbangan cairan
4. Catat dengan akurat intake dan
16. Kriteria hasil pasien
a. Mampu menyeimbangkan cairan dengan output pasien
5. Menjaga keseimbangan
5. Anjurkan diet bagi pasien untuk
indikator: elektrolit
1) edema perifer dalam rentang cukup menjaga keseimbangan elektrolit
2) elektrolit serum dalam rentang cukup 27.
(makanan tinggi kalium, rendah
3) berat jenis urine dalam rentang cukup 28.
b. Mampu mengkompensasi tingkat natrium, rendah karbohidrat)
29.
keperahan kelebihan cairan dengan 19. Fluid management
1. Menjadi data dasar pasien
indikator: 1. Monitor tanda vital pasien
2. Memantau adanya perubahan
1) penurunan output urine dalam rentang 2. Monitor status hemodinamik yang
status hemodinamik
cukup terdiri dari CVP, MAP, PAP, PCWP
30.
2) edema kaki dalam rentang cukup 3. Monitor hasil lab yang berhubungan
3. Memantau keseimbangan cairan
3) edema tangan dalam rentang cukup dengan retensi cairan
c. Mampu mengembalikan fungsi ginjal pada pasien
4. Monitor berat badan setiap hari
31.
dengan indikator: 20.
4. Memantau adanya penurunan
1) urea nitrogen dalam darah cukup 5. Berikan cairan sesuai kebutuhan
atau peningkatan BB
ditoleransi pasien
5. Mencegah kelebihan cairan
2) kreatinin serum cukup ditoleransi 21. Fluid monitoring 32.
3) elektrolit serum cukup ditoleransi
1. Tentukan faktor resiko dari adanya 33.
ketidakseimbangan cairan 1. Mengantisipasi munculnya
22.
faktor resiko
2. Monitor albumin dan protein
23. ketidakseimbangan cairan
3. Monitor serum dan osmolalitas urine 2. Memantau kadar albumin dan
4. Atur kebutuhan cairan pasien
protein
24.
3. Memantau osmolalitas urine
5. Anjurkan untuk dialisis bila perlu
34.
4. Mencegah adanya kelebihan
cairan
5. Dialisis membantu menjaga
keseimbangan cairan
35.
36. 37. Ketidaksei 38. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 43. NIC: 51.
44. Nutrition management 52.
2 mbangan nutrisi: keperawatan selama 3 x 24 jam nutrisi pada
1. Kaji status nutrisi pasien 1. Menjadi data dasar pasien
kurang dari
pasien dapat bertambah atau terpenuhi 2. Identifikasi alergi makanan bagi 2. Mencegah pasien mengalami
39.
kebutuhan tubuh pasien alergi makanan
40. NOC:
3. Identifikasi jumlah kebutuhan 3. Menyesuaikan kebutuhan
berhubungan Nutritional status
Nutritional status: food and fluid intake kalori pasien dengan masukan kalori pasien
dengan
Nutritional status: nutrient intake 45. 4. Menjaga status nutrisi pada
ketidakmampuan 41. 4. Instruksikan kebutuhan diet bagi
pasien
mencerna makanan 42. Kriteria hasil : pasien 5. Membantu memandirikan
a. Mampu mencapai status nutrisi yang baik 5. Instruksikan pasien untuk
pasien
dengan indikator: memonitor kalori dan diet
1) masukan nutrisi dalam rentang cukup 53.
2) masukan makanan dalam rentang 46. Nutritional counseling
1. Mengetahui jumlah makanan
cukup 1. Kaji masukan makanan dan
yang dikonsumsi pasien
3) masukan cairan dalam rentang cukup kebisaan makan pasien 2. Memfasilitasi makanan yang
b. Mampu mencapai status nutrisi baik dalam 2. Diskusikan makanan yang disuka
disuka pasien
masukan makanan dan cairandengan dan tidak disuka pasien 3. Membuat pasien sadar tentang
3. Diskusikan manfaat makan teratur
indikator: manfaat makan
1) masukan makanan secara oral cukup bagi pasien 4. Membuat pasien lebih terjadwal
4. Bantu pasien untuk menjadwal
adekuat waktu makannya
2) masukan cairan secara oral cukup asupan makanan dalam sehari 5. Mengurangi kebiasaan yang
5. Diskusikan kebiasaan membeli
adekuat banyak menghabiskan dana bagi
3) masukan cairan secara intravena cukup makanan dan dana yang dibutuhkan
pasien
adekuat 47. Nutritional monitoring
54.
c. Mampu mencapai status nutrisi baik dalam
1. Monitor pertumbuhan dan
1. Menjadi data dasar bagi pasien
masukan nutrisi dengan indikator:
perkembangan pasien 2. Memantau keadaan kulit pasien
1) masukan vitamin cukup adekuat
2. Monitor turgor kulit dan mobilitas 3. Dapat segera melakukan
2) masukan mineral cukup adekuat
3. Monitor abnormalitas kulit
3) masukan kalsium cukup adekuat tindakan ketika ditemukan
48.
49. abnormalitas
4. Identifikasi adanya abnormalitas 4. Dapat segera melakukan
kuku tindakan ketika ditemukan
50.
abnormalitas
5. Monitor adanya mual dan muntah
5. Mual dan muntah akan
menyebabkan pasien tidak nafsu
makan
55. 56. Kurang 57. Tujuan: 65. NIC: 72.
58. Setelah dilakukan tindakan 73.
3 pengetahu 66. Teaching: prescribed diet
1. Mengetahui batasan
keperawatan selama 1 x 24 jam pasien
an 1. Kaji pengetahuan pasien tentang
pengetahuan pasien
mengalami peningkatan pengetahuan
berhubung penentuan diet 2. Memilih jenis diet makanan
59. NOC:
2. Kaji sumber dana yang dimiliki
an dengan 60. Knowledge: diet yang tepat sesuai keterbatasan
61. Knowledge:disease process pasien untuk melakukan diet
keterbatas 62. Knowledge:medication 67. dana pasien
63. 3. Informasikan pada pasien lama diet 3. Mengantisipasi kejenuhan yang
an
64. Kriteria hasil :
yang dilakukan mungkiin dialami pasien
kognitif, a. Mampu mengerti diet yang
68. selama diet
kurang direkomendasikan dengan indikator:
4. Mencegah adanya interaksi
1) tahu diet yang direkomendasikan 4. Informasikan interaksi obat dan
terpajan,
2) tahu alasan diet dilakukan yang tidak diinginkan selama
makanan yang mungkin muncul
salah 3) tahu keuntungan dari diet yang
diet
selama diet dilakukan
interpretas dilakukan 5. Memandirikan pasien untuk
5. Observasi makanan yang dipilih
b. Mampu mengerti proses penyakit yang
i informasi memilih sendiri makannya
pasien untuk penentuan dietnya
dialami dengan indikator:
74.
1) tahu proses penyakit secara spesifik 69. Teaching: disease process
2) tahu efek dari penyakit yang dialami 1. Mengetahui batasan
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien
3) tahu tanda dan gejala dari penyakit
pengetahuan pasien
tentang penyakit
yang dialami 2. Mencegah kesalahan pasien
2. Jelaskan patofisiologi penyakit dan
c. Mampu mengerti pengobatan yang
dalam interpretasi penyakit
kaitanya dengan pengobatan
dianjurkan dengan indikator: 3. Apabila tanda dan gejala timbul
3. Gambarkan tanda dan gejala yang
1) tahu efek terapeutik dari pengobatan
pasien segera
2) tahu efek samping pengobatan mungkin timbul
3) tahu strategi untuk mendapatkan 70. menginformasikan
4. Diskusikan perubahan gaya hidup 4. Pencegahan segera komplikasi
pengobatan yang dibutuhkan
yang diperlukan untuk mencegah lebih lanjut
75.
komplikasi
5. Memandirikan pasien
5. Dukung pasien dalam melakukan
76.
pemilihan pengobatanya
77.
71. Teaching: prescribed
1. Meningkatkan pengetahuan
medication
pasien
1. Jelaskan tujuan dari masing-masing
2. Mencegah kecemasan yang
pengobatan
mungkin timbul pada pasien
2. Jelaskan dosis, rute, dan durasi 3. Mengetahui batasan
pengobatan pengetahuan pasien
3. Periksa kembali pengetahuan pasien 4. Mencegah kecemasan yang
tentang pengobatan mungkin timbul pada pasien
4. Jelaskan efek samping dari setiap 5. Mencegah kecemasan yang
pengobatan mungkin timbul pada pasien
5. Jelaskan tanda dan gejala dari
overdosis atau kekurangan dosis
pengobatan
78. Evaluasi
79. Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000); Smeltzer & Bare (2002)
menyatakan bahwa hasil evaluasi pada pasien dengan CKD yaitu:
a. cairan berkurang atau tidak berlebih;
b. nutrisi bertambah atau terpenuhi;
c. peningkatan pengetahuan tentang kondisi dan penanganan;
d. aktivitas bisa ditoleransi;
e. harga diri tidak terganggu;
f. curah jantung adekuat;
g. tidak terjadi cedera;
h. tidak terjadi perubahan proses pikir;
i. integritas kulit terjaga;
j. mukosa oral terjaga;
k. pasien patuh.
80.
81. Discharge Planning
82. Rencana pemulangan bagi pasien dilakukan dengan memperhatikan
bantuan dalam obat, pengobatan, suplai, transportasi, pemeliharaan rumah
(Doengoes, Moorhouse, dan Geissler, 2000). Pasien dan keluarga harus tahu
masalah yang harus dilaporkan pada tenaga kesehatan yaitu perburukan tanda
gagal ginjal (mual, muntah, penurunan haluaran urine, nafas berbau amonia),
tanda hiperkalemia (kelemahan otot, diare, kram abdominal). Penyuluhan
medikasi (tujuan, efek samping, efek yang diharapkan, dosis, dan jadwal
pemberian) sangat penting karena pasien memerlukan sejumlah besar medikasi.
Pasien diajarkan bagaimana mengkaji patensi akses vaskuler dan waspada untuk
tidak melakukan venapungsi dan mengukur tekanan darah pada lengan yang
mendapat akses vaskuler. Pasien dan keluarga memerlukan bantuan
pertimbangan dan dukungan dalam menghadapi dialisis dan implikasi jangka
panjangnya (Smeltzer & Bare, 2002).
83.
84.
85. DAFTAR PUSTAKA
86.
87. Avner, W. D. & Harmon, F. E. 2004. Pediatric Nephrology. Fifth Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
88. Aziz, M. F., Witjaksono, J., dan Rasjidi, I. 2008. Panduan Pelayanan Medik:
Model Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC.
89. Baradero, M., Dayrit, M. W., dan Siswadi, Y. 2009. Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC.
90. Baughman, D. C. & Hackley, J. C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
91. Behrman, R. M., Kliegman, R. M., dan Jenson, H. B. 2004. Nelson Textbook of
Pediatrics. Ed 17. Philadelphia: WB Saunders.
92. Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth
Edition. United States of America: Elsevier Mosby.
93. Cameron, J. S. & Davison, A. M. 2003. Oxford Textbook of Clinical Nephrology.
Third Edition. English: Oxford University Press.
94. Corwin, E. J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3. Jakarta: EGC.
95. Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., dan Geissler, A. C. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
96. Graber, M. A., Toth, P. P., dan Herting, R. L. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga
University of Iowa. Edisi 3. Jakarta: EGC.
97. Henry, T. Y. 2003. Progression of Chronic Renal Failure. English: Arch Int Med.
98. Herdman, T. H. 2012. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
99. Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
100. Menon, S., dkk. 2009. Effectiveness of A Multidisciplinary Clinic in Managing
Children with Chronic Kidney Disease. [on line].
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19478098. [diakses 10 Maret 2017].
101. Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition.
United States of America: Mosby Elsevier.
102. Price, S. A. & Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
103. Rachmadi, D. 2010. Chronic Kidney Disease. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK.UNPAD-RS. Dr. Hasan Sadikin. [on line]. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Chronic_Kidney_-Disease.pdf.pdf.
[diakses 10 Maret 2017].
104. Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.
105. Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universtas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai