Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada


tahun pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama.
Dua pertiga dari yang meninggal di bulan pertama meninggal pada minggu
pertama. Penyebab utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah
komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat
lahir rendah. Kurang lebih 99% kematian ini terjadi di negara berkembang dan
sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pengenalan diri dan pengobatan
yang tepat.
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di
seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati
yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan
bahwa semenjak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6 yaitu sebanyak
8%, sebagai penyebab kematian anak di seluruh dunia setelah pneumonia,
malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan 1 juta anak yang
bertahan setelah mengalami asfiksisa saat lahir kini hidup dengan morbiditas
jangka panjang seperti cerebral palsy, retasrdasi mental dan gangguan belajar.
Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, menyebutkan penyebab
kematian bayi baru lahir di Indonesia yaitu asfiksia neonatorum dengan persentasi
27%.
Penyebab utama kematian neonatus berhubungan secara intrinsik dengan
kesehatan ibu dan perawatan yang diterima sebelum, selama dan setelah
melahirkan. Asfiksia neonatorum pada umunya disebabkan oleh menejemen
persalinan yang buruk dan kurangnya akses ke pelayanan obstetri. Asupan kalori
dan mikronutrien juga dapat menyebabkan keluaran (output) yang buruk. Telah
diketahui bahwa hampir tiga perempat dari semua kematian neonatus dapat

1
dicegah apabila wanita mendapatkan nutrisi yang cukup dan dapat perawatan
yang sesuai pada saat kehamilan, kelahiran dan periode pasca persalinan.
Asfiksia neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa
depresi pernapasan yang berlanjut sehingga dapat menimbulkan berbagai
komplikasi. Seorang neonatus dapat disebut mengalami asfiksia bila nilai APGAR
pada menit ke 5 yaitu 0-3. Asfiksia dimanifestasikan dengan disfungsi multiorgan,
kejang, ensefalopati hipoksik-iskemik dan asidemia metabolik.
Penyebab asfiksia terdapat dari berbagai faktor neonatus, ibu, plasenta dan
fetus itu sendiri. Sehingga penatalaksanaan asfiksia yaitu dengan cara resusitasi
yang jika dilakukan dengan sebaik-baiknya maka akan memberikan prognosis
yang baik walau seringkali terjadi kematian pada asfiksia berat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan Pa
O2 di dalam darah rendah (hipoksemia), Pa CO2 di dalam darah meningkat
(hiperkarbia) dan asidosis.
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak bernapas
secara spontan dan teratur dalam 1 menit setelah lahir. Biasanya terjadi pada bayi
yang dilahirkan dari ibu dengan komplikasi, misalnya diabetes melitus, pre
eklampsia berat atau eklampsia, erotroblastosis fetalis, kelahiran kurang bulan (<
34 minggu), kelahiran lewat waktu, plasenta previa, solusio plasenta,
korioamnionitis, hidroamnion dan oligohidroamnion, gawat janin, serta pemberian
obat anastesi dan narkotik sebelum lahir.

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO menyebutkan bahwa semenjak tahun 2000-
2003 asfiksia menempati urutan ke-6 yaitu sebanyak 8% sebagai penyebab
kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan
kelahiran prematur.
Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, menyebutkan
penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia yaitu asfiksia neonatorum dengan
persentasi 27%.

2.3 Etiologi
Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi jika terdapat gangguan
pertukaran gas dan pengangkutan O2 dari ibu ke janin. Kejadian asfiksia dapat
terjadi pada masa antepartum atau intrapaertum.

Penggolongan penyebab kegagalan pernapasan pada bayi terdiri dari :

3
1. Faktor Ibu
a) Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik dan
anastesi dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin.
b) Gangguan aliran darah uterus
Penurunan aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin.
Hal ini sering ditemukan pada :
Gangguan kontraksi uterus, misalnya : hipertoni, hipotoni
atau tetani uterus akibat penyakit atau obat.
Hipotensi mendadak pada ibu karena pendarahan.
Hipertensi pada penyakit akiomsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta
dan lain-lain.

3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran
darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas
antara iu dan janin.

Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan :


Tali pusat menumbung
Tali pusat melilit leher
Kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-
lain.

4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena :
1) Pemakaian obat anastesi / analgetik yang berlebihan pada ibu
secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan
janin.
2) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan
intrakranial. Kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia

4
diafrgamatika atresia/ stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru
dan lain-lain.

2.4 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi asfiksia neonatorum meliputi faktor ibu dan janin.

Faktor dari ibu diantaranya adalah :


Gangguan his
Hipotensi mendadak pada ibu
Hipertensi pada eklamsia
Gangguan mendadak pada plasenta

Faktor dari janin diantaranya adalah :


Gangguan aliran darah darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat
Depresi pernapasan
Ketuban keruh / mekonium

Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya asfiksia yang dapat muncul pada
masa antepartum atau intrapartum, sebagai berikut :6
a. Antepartum
- Diabetes pada ibu
- Hipertensi dalam kehamilan
- Anemia janin atau isoimunisasi
- Riwayat kematian janin atau neonatus
- Perdarahan pada trimester dua dan tiga
- Infeksi ibu
- Ibu penyakit jantung, ginjal, paru, tiroid, atau kelainan neurologi
- Polihidramnion atau oligohidramnion
- Ketuban pecah dini
- Kehamilan ganda

b. Intrapartum
- Seksio sesaria darurat
- Kelahiran dengan ektraksi forseps atau vakum
- Kelahiran kurang bulan
- Korioamnionitis
- Ketubahan pecah lama
- Partus lama
- Kala dua lama
- Makrosomia
- Plasenta previa
- Solusio plasenta

5
- Perdarahan intrapartum

2.5 Klasifikasi Asfiksia

Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR :


Tanda 0 1 2
Laju jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha bernapas Tidak ada Lambat Menangis
Tonus otot Lumpuh Ekstrimitas sedikit Gerakan aktif
Refleks Tidak bereaksi Reaksi melawan
fleksi
Gerakan sedikit
Warna kulit Seluruh tubuh biru Seluruh tubuh
Tubuh merah,
/ pucat kemerahan
ekstrimitas biru

Keterangan berdasarkan penelitian klinis :


a) Vigourus baby : skor APGAR 7-10, baik di anggap sehat.
b) Mild-moderate asphyxia : skor APGAR 4-6, termasuk asfiksia sedang.
c) Severe asphyxia : skor APGAR 0-3, termasuk asfiksia berat.

2.6 Manifestasi Klinis


Asfiksia biasanya merupakan akibat dari hipoksi janin yang menimbulkan
tanda:
Bayi tidak bernapas atau napas mengap-mengap
Denyut jantung kurang dari 100x/menit dan tidak teratur
Kulit sianosis
Tonus otot menurun
Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
Apneu
Pucat
Penurunan terhadap stimulus

6
2.7 Penegakan Diagnosis
Penentuan diagnosis dapat dilakukan dengan :
Anamnesis
- Gangguan / kesulitan waktu lahir
- Lahir tidak bernapas / menangis
Pemeriksaan fisik
- Detak jantung tidak ada < 100x/menit / >100x/menit
- Pernapasan tidak teratur
- Refleks saat jalan napas dibersihkan tidak ada menyeringai
batuk / bersin
- Tonus otot lunglai fleksi eksrimitas (lemah) fleksi kuat
gerak aktif
- Warna kulit biru pucat tubuh merah ekstrimitas biru merah
seluruh tubuh
- Dilakukan pemantauan nilai APGAR pada menit ke-1 dan
menit ke-5, bila nilai APGAR 5 menit masih kurang dari 7
penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7.
Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik
setelah lahir bila bayi tidak menangis.
Pemeriksaan penunjang
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum
elektrolit
Kriteria asfiksia neonatus :
- Nilai APGAR menit ke-5 0-3
- Terdapat asidosis pada pemriksaan darah tali pusat ( pH <
7,0 dan base deficit 12 mmol/L)
- Gangguan neurologis (kejang, hipotonia, atau koma)
- Terdapat gangguan sistem multiorgan (gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau
sistem renal)
2.8 Patofisologi
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru-parunya mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan interstitial
paru sehingga oksigen dapat dihantarken ke aerteriol pulmonal dan menyebabkan

7
arteriol relaksasi. Jika proses tersebut terganggu makan arteriol pulmonal akan
tetap konstriksi, elveoli tetap berisi cairan, dan pembuluh darah arteri sistemik
tidak mendapat oksigen. Pasokan oksigen yang berkurang akan menyebabkan
konstriksi arteriol pada organ usu, ginjal, otot, dan kulit, namun aliran darah ke
jantung dan ke otak tetap satbil. Jika proses terjadi terus menerus maka akan
menyebabkan kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah
jantung, menurunkan tekanan darah, yag menyebabkan aliran darah ke seluruh
organ terganggu. Akibat kekurangan suplai oksigen jaringan akan menimbulkan
kerusakan jaringan otak yang ireversibel, kerusakan organ tubuh lain, dan
kematian. Klinis yang akan timbul pada bayi berupa tonus otot yan buruk karena
kekurangna oksigen pada otak, otot dan organ lain. Depresi pernapasan karena
otak kekurangan oksigen, bradikardi karena kekurangan oksigen pada otot jantung
dan otak, tekanan darah yang rendah karena kekurangna oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangnan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan, takipnea karena kegagalan absorbsi cairan
paru-paru dan sianosis akibat kekurangnan oksigen dalam darah.

2.9 Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum

Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam


mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil
membutuhkan berbagai derajat resusitasi.

2.9.1 Persiapan Resusitasi

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah


penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran harus ada
setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir. Orang
tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk pemberian ventilasi
tekanan positif dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus

8
memiliki kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk
melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan
mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa akan
membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil tambahan dan persiapan
alat resusitasi.

2.9.2. Alat Resusitasi

Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di


dalam kamar bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi
memerlukan resusitasi maka peralatan harus siap digunakan. Peralatan yang
diperlukan pada resusitasi neonatus adalah sebagai berikut :

1. Perlengkapan penghisap

Balon penghisap (bulb syringe)


Penghisap mekanik dan tabung
Kateter penghisap
Pipa lambung

2. Peralatan balon dan sungkup

Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai


100%, dengan volume balon resusitasi 250 ml
Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan (dianjurkan yang
memiliki bantalan pada pinggirnya)
Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/m) dan
tabung.

3. Peralatan intubasi

Laringoskop
Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang cocok
dengan pipa endotrakeal yang ada

4. Obat-obatan

9
Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) 3 ml atau ampul 10 ml
Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambah volume
100 atau 250 ml.
Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml)ampul 10 ml.
Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0 mg/ml
Dextrose 10%, 250 ml
Kateter umbilikal

5. Lain-lain

Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas lainnya


Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia di kamar
bersalin)
Oropharyngeal airways
Selang orogastrik

6. Untuk bayi prematur

Sumber udara tekan (CPAP, neopuff)


Blender oksigen
Oksimeter
Kantung plastik makanan (ukuran 1 galon) atau pembungkus plastik yang
dapat ditutup
Alas pemanas
Inkubator transport untuk mempertahankan suhu bayi bila dipindahkan ke
ruang perawatan

2.9.3 Resusitasi neonatus

2.9.3.1 Langkah Awal Resusitasi

Penilaian awal saat lahir dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal yang
dinilai diantaranya :

Apakah bayi cukup bulan ?


Apakah bayi menangis atau bernapas ?

10
Apakah tonus bayi baik ?

Jika bayi lahir cukup bulan, menangis, dan tonus otot baik, bayi
dikeringkan dan dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi
berbaring di dada ibunya dan tidak terpisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak
memenuhi kriteria tersebut dinilai untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara
berunrtun di bawah ini :

Langkah awal (stabilisasi memberikan kehangatan, memberikan jalan


napas jika diperlukan, megeringkan, merangsang)
Ventilasi
Kompresi dada
Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume

(1) langkah awal dalam stabilisasi

(a) memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer)


dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan
memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.

Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi


hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan
merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan seperti
penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar
panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan
adalah alas penghangat.

(b) memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi


menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus
yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik
untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk
pemasangan pipa endotrakeal.

11
Gambar 2. Posisi kepala yang benar dan salah pada resusitasi

(c) membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan


pneumonia aspirasi.Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk
mencegah aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum
sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian
dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek
yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung


pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium.

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar
(bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi
jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan
endotrakeal sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi
mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan
laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan
kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea
sampai glotis. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama dan/atau tidak

12
berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama jika
terdapat bradikardi persisten.

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak


bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi
tanpa mekoneum.

Gambar 3. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

(d) mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada


posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan


mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk
memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret
dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil
dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan
menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.

Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir
semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder,
rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya
cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada
punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus menerus
memberikan rangsangan taktil.

13
Gambar 4. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan rangsangan taktil

(e) Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen

Pemberian oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting


karena danya bukti bahwa baik kekurangan maupun kelebihan oksigen dapat
merusak bayi. Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar
algoritma.

Penggunaan oksimetri (pulse oximetry) direkomendasikan jika :

Resusitasi diantisipasi
VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas
Sianosis menetap
Oksigen tambahan diberikan

Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan


udara atau oksigen smapur (vlended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen uantuk mencapai Sp02 sesuai target. Jika oksigen campurt tidak tersedia,
resusitasi dimulai degan udara kamar. Jika bayi bradikardi setelah 90 detik
resusitasi dengan oksigen konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi jantung normal.

14
(2) ventilasi tekanan positif

Jika bayi apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung
kurang dari 100 permenit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai. Bantuan
ventilasi harus diberikan dengan frekuensi 40-60 kali per menit untuk mencapai
dan mempertahankan frekueensi denyut jantung lebih dari 100 per menit.
Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut
jantung. Alat untuk melakuka VTP untuk resusitasi neonatus adalah balon tidak
mengembang sendiri, balon mengembang sendiri, atau T-pierce resuscitation.
LMA disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau usia 34
minggu. LMA dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak berhasil
atau tidak mungkin.

(3) kompresi dada

Indikasi kompresi dada ialah frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per
menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus,
rasio kompresi : ventilasi = 3:1. Pernafasan, frekuensi denyut jantung dan
oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi-ventilasi tetap dilakukan
sampai frekuuensi jantung sama atau lebih dari 60 per menit.

(4) pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)

Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya


ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi
jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu
nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah.

15
2.9.3.3 Pemberian oksigen

16
Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.
Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup
oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator
dan selang/pipa oksigen. Pada bayi cukup bulan dianjurkan untuk menggunakan
oksigen 100%. Namun beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa
penggunaan oksigen ruangan dengan konsentrasi 21% menurunkan risiko
mortalitas dan kejadian ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) dibanding dengan
oksigen 100%.18-22 Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang
bulan karena dapat merusak jaringan.

Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak


terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap
baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan.
Bila bayi kembali sianosis, maka pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai
sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah
arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.

2.9.3.4 Ventilasi Tekanan Positif

Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi


lanjutan bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau
frekuensi jantungnya tetap kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP
harus dipastikan tidak ada kelainan congenital seperti hernia diafragmatika,
karena bayi dengan hernia diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum
mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat VTP dalam waktu yang
cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan selang
orogastrik untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan
ventilasi tekanan positif adalah hernia diafragma. Terdapat beberapa jenis alat
yang dapat digunakan untuk melakukan ventilasi pada bayi baru lahir, masing-
masing memiliki cara kerja yang berbeda dengan keuntungan dan kerugian yang
berbeda seperti dirangkum pada tabel.

17
(1) Balon mengembang sendiri (self inflating bag)

Balon mengembang sendiri (self inflating bag) setelah dilepaskan dari


remasan akan terisi spontan dengan gas (oksigen atau udara atau campuran
keduanya) ke dalam balon.

Gambar 5. Balon mengembang sendiri

(2) Balon tidak mengembang sendiri (flow inflating bag),

Balon tidak mengembang sendiri (flow inflating bag),disebut juga balon


anestesi, terisi hanya bila gas yang berasal dari gas bertekanan mengalir ke dalam
balon.

Gambar 6. Balon tidak mengembang sendiri

(3)T-piece resuscitator

18
T-piece resuscitator bekerja hanya bila dialiri gas yang berasal dari sumber
bertekanan ke dalamnya. Gas mengalir langsung, baik ke lingkungan sekitar
maupun ke bayi, dengan cara menutup atau membuka lubang pada pipa T dengan
jari atau ibu jari.

Gambar 7. T-piece resuscitator

2.9.3.5 Kompresi dada

Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada
(cardiac massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu
menekan jantung ke arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan
memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya
bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk
melakukan kompresi dada yang efektifsatu orang menekan dada dan yang
lainnya melanjutkan ventilasi.Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan
frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan
kompresi harus dilakukan secara bergantian.

Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir
karena akan menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar.14

19
Prinsip dasar pada kompresi dada adalah:

(1) Posisi bayi

Topangan yang keras pada bagian belakang bayi dengan leher sedikit
tengadah.

(2) Kompresi

Lokasi ibu jari atau dua jari : pada bayi baru lahir tekanan diberikan pada 1/3
bawah tulang dada yang terletak antara processus xiphoideus dan garis khayal
yang menghubungkan kedua puting susu.

Gambar 8. Lokasi Kompresi

kedalaman : diberikan tekanan yang cukup untuk menekan tulang dada


sedalam kurang lebih 1/3 diameter anteroposterior dada, kemudian tekanan
dilepaskan untuk memberi kesempatan jantung terisi. Satu kompresi terdiri
dari satu tekanan ke bawah dan satu pelepasan. Lamanya tekanan ke bawah
harus lebih singkat daripada lamanya pelepasan untuk memberi curah jantung
yang maksimal. Ibu jari atau ujung-ujung jari (tergantung metode yang

20
digunakan) harus tetap bersentuhan dengan dada selama penekanan dan
pelepasan.
frekuensi : kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan
aturan satu ventilasi diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30
ventilasi dan 90 kompresi permenit. Satu siklus yang berlangsung selama 2
detik, terdiri dari satu ventilasi dan tiga kompresi.
Penghentian kompresi:
Setelah 30 detik, untuk menilai kembali frekuensi jantung ventilasi
dihentikan selama 6 detik. Penghitungan frekuensi jantung selama
ventilasi dihentikan.
Frekuensi jantung dihitung dalam waktu 6 detik kemudian dikalikan 10.
Jika frekuensi jantung telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan,
namun ventilasi diteruskan dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika
frekuensi jantung tetap kurang dari 60 x/menit, maka pemasangan kateter
umbilikal untuk memasukkan obat dan pemberian epinefrin harus
dilakukan.
Jika frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit dan bayi dapat bernapas
spontan, ventilasi tekanan positif dapat dihentikan, tetapi bayi masih
mendapat oksigen alir bebas yang kemudian secara bertahap dihentikan.
Setelah observasi beberapa lama di kamar bersalin bayi dapat
dipindahkan ke ruang perawatan.

2.6.3.6 Intubasi endotrakeal

Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap tahapan resusitasi sesuatu


dengan keadaan, antara lain beberapa keadaan berikut saat resusitasi:
(1) Jika terdapat mekoneum dan bayi mengalami depresi pernapasan, maka
intubasi dilakukan sebagai langkah pertama sebelum melakukan tindakan
resusitasi yang lain, untuk membersihkan mekoneum dari jalan napas.
(2) Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup menghasilkan perbaikan kondisi,
pengembangan dada, atau jika ventilasi tekanan positif berlangsung lebih

21
dari beberapa menit, dapat dilakukan intubasi untuk membantu
memudahkan ventilasi.
(3) Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara
kompresi dada dan ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi ventilasi
tekanan positif.
(4) Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi jantung maka cara
yang umum adalah memberikan epinefrin langsung ke trakea melalui pipa
endotrakeal sambil menunggu akses intravena.
(5) Jika dicurigai ada hernia diafragmatika, mutlak dilakukan pemasangan
selang endotrakeal. Cara pemasangan selang endotrakeal perlu dikuasai
diantaranya melalui pelatihan khusus.

2.6.3.7 Pemberian obat-obatan

Obat-obatan jarang diberikan pada resusitasi bayi baru lahir. Bradikardi


pada bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh ketidaksempurnaan pengembangan
dada atau hipoksemia, dimana kedua hal tersebut harus dikoreksi dengan
pemberian ventilasi yang adekuat. Namun bila bradikardi tetap terjadi setelah
VTP dan kompresi dada yang adekuat, obat-obatan seperti epinefrin, atau volume
ekspander dapat diberikan.16 Obat yang diberikan pada fase akut resusitasi adalah
epinefrin. Obat-obat lain digunakan pada pasca resusitasi atau pada keadaan
khusus lainnya.

(1) Epinefrin

Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari


60x/menit setelah dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama
30 detik. Epinefrin tidak boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat
karena epinefrin akan meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung.
Dosis yang diberikan 0,1-0,3 ml/kgBB larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03
mg/kgBB) intravena atau melalui selang endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5
menit secara intravena bila frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal
diberikan jika pemberian dilakukan melalui selang endotrakeal.

22
(2) Volume Ekspander

Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir
yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan
resusitasi, hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis
ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi
tidak memberikan respon yang adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama
5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang
diberikan dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau
tranfusi golongan darah O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.

(3) Bikarbonat

Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru


lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah
baik. Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia
harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang
digunakan adalah 2 mEq/kg BB atau 4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2
%. Bila hanya terdapat BicNat dengan konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan
aquabides atau dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara intra vena dengan
kecepatan tidak melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit.

(4) Nalokson

Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan indikasi


depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik dalam
waktu 4 jam sebelum melahirkan. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus
adekuat dan stabil. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai
sebagai pecandu obat narkotika, sebab akan menyebabkan gejala putus obat pada
sebagian bayi. Cara pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal. Bila
perfusi baik dapat diberikan melalui intramuskuler atau subkutan. Dosis yang
diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam 2
konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1 mg/ml.

23
2.9.4 Resusitasi pada bayi kurang bulan

Bayi kurang bulan mempunyai risiko terkena berbagai komplikasi setelah


lahir. Secara anatomi dan fisiologi bayi kurang bulan adalah imatur, sehingga
mereka memiliki berbagai risiko sebagai berikut:

Kulit yang tipis dengan permukaan tubuh yang relatif luas serta kurangnya
lemak tubuh memudahkan bayi kehilangan panas
Jaringan yang imatur memungkinkan lebih mudah rusak oleh oksigen
yang berlebihan
Otot yang lemah dapat menyebabkan bayi kesulitan bernapas
Usaha bernapas dapat berkurang karena imaturitas sistem saraf
Paru-paru mungkin imatur dan kekurangan surfaktan sehingga kesulitan
ventilasi, selain itu paru paru bayi lebih mudah cedera setelah tindakan
VTP
Sistem imunitas yang imatur rentan terhadap infeksi
Kapiler yang rapuh dalam otak yang sedang berkembang dapat pecah
Pengambilan darah berulang untuk pemeriksaan pada bayi prematur lebih
mudah menyebabkan hipovolemi karena volume darah yang sedikit.

Kondisi diatas menjadikan resusitasi pada bayi kurang bulan memerlukan


beberapa tambahan seperti :

Tambahan tenaga terampil


Kemungkinan bayi kurang bulan akan memerlukan resusitasi yang secara
signifikan lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan. Diperlukan tambahan
pemantauan dan mungkin tambahan alat bantu pernapasan. Selain itu mungkin
bayi-bayi ini memerlukan intubasi endotrakeal lebih sering. Karena itu,
dibutuhkan petugas tambahan yang hadir saat kelahiran, termasuk petugas yang
terlatih dalam melakukan intubasi endotrakeal.

Tambahan sarana untuk menjaga suhu tubuh

24
Jika bayi diantisipasi kurang bulan secara signifikan (misalnya <28
minggu), mungkin diperlukan plastik pembungkus (polyethylene) yang dapat
dibuka-tutup serta alas hangat yang dapat dipindah-pindahkan siap pakai.
Inkubator transpor juga diperlukan untuk memindahkan bayi ke ruang perawatan
setelah resusitasi.

Gambar 9. Penggunaan plastik pembungkus untuk mengurangi kehilangan


panas akibat evaporasi

Sumber udara bertekanan (compressed air)


Diperlukan sumber udara bertekanan (gas bertekanan dari dinding atau
tangki) untuk mencampur udara dengan oksigen 100% guna mencapai konsentrasi
antara 21% (udara kamar) dan oksigen 100%.

Secara garis besar hal-hal berikut harus diperhatikan pada resusitasi bayi
kurang bulan :

Menjaga bayi tetap hangat


Bayi yang lahir kurang bulan hendaknya mendapatkan semua langkah untuk
mengurangi kehilangan panas.

Pemberian oksigen
Untuk menghindari pemberian oksigen yang berlebihan saat resusitasi pada
bayi kurang bulan, digunakan blender oksigen dan oksimeter agar jumlah oksigen
yang diberikan dapat diatur dan kadar oksigen yang diserap bayi dapat diketahui.
Saturasi oksigen lebih dari 95% dalam waktu lama, terlalu tinggi bagi bayi kurang
bulan dan berbahaya bagi jaringannya yang imatur.Namun begitu, tidak ada bukti

25
yang meyakinkan bahwa pemberian oksigen 100% dalam waktu singkat selama
resusitasi akan merugikan.

Ventilasi
Bayi kurang bulan mungkin sulit diventilasi dan juga mudah cedera dengan
ventilasi tekanan positif yang intermiten.Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan :

Pertimbangkan pemberian Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)


Jika bayi bernapas spontan dengan frekuensi jantung diatas 100x/menit
tapi tampak sulit bernapas dan sianosis pemberian CPAP mungkin
bermanfaat. CPAP diberikan dengan memasang sungkup balon yang tidak
mengembang sendiri atau T-piece resuscitator pada wajah bayi dan
mengatur katup pengontrol aliran atau katup Tekanan Positif Akhir
Ekspirasi (TPAE) sesuai dengan jumlah CPAP yang diinginkan. Pada
umumnya TPAE sampai 6 cmH2O cukup. CPAP tidak dapat digunakan
dengan balon mengembang sendiri.

Gunakan tekanan terendah untuk memperoleh respons yang adekuat


Jika VTP intermiten diperlukan karena apnu, frekuensi jantung kurang dari
100x/menit, atau sianosis menetap, tekanan awal 20-25 cmH2O cukup
untuk sebagian besar bayi kurang bulan. Jika tidak ada perbaikan frekuensi
jantung atau gerakan dada, mungkin diperlukan tekanan yang lebih tinggi.
Namun hindari terjadinya peningkatan dada yang berlebihan selama
dilakukan ventilasi karena paru-parunya mudah cedera.

Pertimbangkan pemberian surfaktan secara signifikan


Bayi sebaiknya mendapat resusitasi lengkap sebelum surfaktan diberikan.
Penelitian menunjukkan bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan 30
minggu mendapatkan keuntungan dengan pemberian surfaktan setelah
resusitasi, sewaktu masih di kamar bersalin atau bahkan jika mereka belum
mengalami distres pernapasan.

Pencegahan terhadap kemungkinan cedera otak

26
Otak bayi kurang bulan mempunyai struktur yang sangat rapuh yang
disebut matriks germinal. Matriks germinal terdiri atas jaringan kapiler
yang mudah pecah, terutama jika penanganan bayi terlalu kasar, jika ada
perubahan cepat tekanan darah dan kadar CO2 dalam darah, atau jika ada
sumbatan apapun dalam aliran vena di kepala. Pecahnya matriks germinal
mengakibatkan perdarahan intraventrikuler yang menyebabkan kecacatan
seumur hidup.

2.9 Pemantauan Pascaresusitasi

Penanganan pasca resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia


perinatal sangat kompleks dan membutuhkan monitoring yang ketat dan tindakan
antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko mengalami disfungsi multiorgan dan
perubahan dalam kemampuan mempertahankan homeostasis fisiologis. Deteksi
dan intervensi dini terhadap gangguan fungsi organ sangat mempengaruhi
keluaran dan harus dilakukan di ruang perawatan intensif untuk mendapatkan
perawatan dukungan, monitoring, dan evaluasi diagnostik yang lebih lanjut.

Prinsip umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus diantaranya


melanjutkan dukungan kardiorespiratorik, koreksi hipoglikemia, asidosis
metabolik, abnormalitas elektrolit, serta penanganan hipotensi. Dalam
melaksanakan stabilisasi pasca resusitasi neonatus terdapat acuan dalam
melakukan pemeriksaan dan stabilisasi, yaitu S.T.A.B.L.E, yang terdiri dari:

a. S-SUGAR
Adalah langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus.
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah tidak dapat
mencukupi kebutuhan tubuh. Hipoglikemia berhubungan dengan keluaran
neurologis yang buruk. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa
kejadian hipoglikemik yang bersamaan dengan hipoksik-iskemik
menunjukkan daerah 5 infark yang lebih besar dan menunjukkan angka
keselamatan yang lebih rendah. Pada neonatus kadar glukosa darah harus

27
dipertahankan pada kadar 50-110 mg/dl. Beberapa langkah yang dapat
dilakukan untuk stabilisasi gula darah neonatus adalah:
1. Tidak memberikan makanan perenteral.
Kebanyakan neonatus yang perlu ditransportasi terlalu sakit
untuk mentoleransi makanan peroral. Pada bayi sakit, sebaiknya
menunda pemberian makanan peroral karena bayi yang sakit
seringkali mengalami distres pernafasan, sehingga meningkatkan
risiko terjadinya aspirasi isi lambung ke paru. Selain itu ketika bayi
mengalami distres pernafasan mereka memiliki koordinasi
menghisap, menelan dan bernafas yang buruk. Pada keadaan
tertentu, misalnya infeksi dapat memperlambat pengosongan isi
lambung karena ileus intestinal. Isi gaster dapat mengalami refluks
ke esofagus dan teraspirasi ke paru. Pada bayi yang mengalami
asfiksia, kadar oksigen dan tekanan darah yang rendah, sehingga
aliran darah ke usus menurun sehingga meningkatkan risiko
terjadinya jejas iskemik.
2. Memberikan glukosa melalui jalur intravena.
Memberikan kebutuhan energi bagi bayi yang sakit melalui
cairan intravena yang mengandung glukosa merupakan komponen
penting dalam stabilisasi bayi, karena otak bayi memerlukan suplai
glukosa yang cukup untuk berfungsi dengan normal. Cairan yang
mengandung glukosa harus segera diberikan melalui jalur
intravena kepada bayi sakit. Jalur intravena dapat diberikan di
tangan, kaki atau kulit kepala. Apabila jalur perifer sulit didapatkan
maka dapat digunakan jalur vena umbilikal untuk pemberian cairan
dan obat- obatan.
3. Beberapa neonatus berisiko tinggi mengalami hipoglikemia.
Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia diantaranya
adalah:
- Bayi prematur (usia kehamilan kehamilan < 37 minggu)
- Bayi kecil untuk masa kehamilan, berat badan lahir rendah,
dan IUGR
- Bayi besar untuk masa kehamilan
- Bayi dari ibu dengan diabetes mellitus
- Bayi yang sakit

28
- Bayi dari ibu yang mendapat obat hipoglikemik atau diinfus
glukosa

Pemeriksaan gula darah diindikasikan dilakukan saat usia 30 menit


pada bayi dengan distres pernafasan, sepsis atau tidak dapat minum.
Kemudian pemeriksaan gula darah dilanjutkan tiap satu jam. Pada bayi
dengan faktor risiko yang asimtomatik dan dapat minum, pemeriksaan
gula darah dilakukan pada usia 2 jam.

Tanda bayi mengalami hipoglikemia diantaranya jitteriness, tremor,


hipotermia, letargis, lemas, hipotonia, apnea atau takipnea, sianosis, malas
menetek, muntah, menangis lemah atau high pitched, kejang bahkan henti
jantung.

b. T- TEMPERATURE
Hipotermia merupakan kondisi yang dapat dicegah dan sangat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas, khususnya pada bayi prematur.
Maka, usaha untuk mempertahankan suhu normal bayi dan pencegahan
hipotermia selama stabilisasi sangatlah penting.
Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah:
1. Bayi prematur, berat badan rendah (khususnya berat badan
kurang dari 1500 gram).
2. Bayi kecil untuk masa kehamilan
3. Bayi yang mengalami resusitasi yang lama
4. Bayi yang sakit berat dengan masalah infeksi, jantung,
neurologis, endokrin dan bedah.
5. Bayi yang hipotonik akibat sedatif, analgesik, atau anestesi.

Konsep utama dalam pencegahan hipotermi pada bayi pasca


resusitasi adalah sebagai berikut:

1. Pemeliharaan suhu badan normal harus diprioritaskan baik pada


bayi sakit maupun sehat. Untuk bayi sehat dapat dilakukan

29
dengan menggunakan selimut hangat, menjauhkan kain basah,
meletakkan anak di dada ibu (skin to skin contact),
menggunakan topi dan pakaian. Pada bayi sakit biasanya bayi
tidak menggunakan pakaian dan diletakkan di atas radiant
warmer untuk memudahkan observasi dan tindakan. Selama
resusitasi dan stabilisasi, risiko terjadinya stres dingin dan
hipotermia sangat meningkat, sehingga usaha pencegahan
hipotermia harus ditingkatkan.
2. Bayi prematur dan berat badan rendah sangat rentan mengalami
hipotermia. Bayi masih memiliki kesulitan dalam mengatur
keseimbangan antara produksi dan kehilangan panas, terutama
pada bayi prematur dan bayi kecil masa kehamilan. Hal ini
disebabkan karena perbandingan antara luas permukaan dan
massa tubuh yang lebih besar, kulit imatur yang lebih tipis, dan
lemak coklat yang lebih sedikit. Masalah ini lebih berisiko pada
bayi dengan berat <1500 gram. Apabila kehilangan panas tidak
dicegah maka suhu tubuh akan menurun dengan sangat cepat.
3. Bayi yang dilakukan resusitasi lama berisiko tinggi mengalami
hipotermia.

Pada neonatus proses kehilangan panas dapat melalui beberapa


mekanisme, antara lain:
1. Konduksi
Konduksi adalah proses kehilangan panas melalui kontak
benda padat. Misalnya kontak antara tubuh bayi dengan alas
atau timbangan. Untuk mengurangi risiko kehilangan panas
secara konduksi dapat dilakukan dengan cara menghangatkan
alat-alat yang akan bersentuhan dengan bayi, misalnya alas,
stetoskop, handuk, tangan pemeriksa.
2. Konveksi
Konveksi adalah proses kehilangan panas melalui kontak
dengan aliran udara, misalnya aliran udara dari jendela, pintu,
kipas angin, AC. Untuk mengurangi kehilangan panas secara
konveksi dapat dilakukan dengan cara menaikkan suhu ruangan

30
menjadi 25-280C (rekomendasi WHO), melapisi tubuh bayi
prematur (berat < 1500 gram) dengan plastik polietilen dari
dagu hingga kaki, serta mentransfer bayi dengan menggunakan
inkubator tertutup yang telah dihangatkan terlebih dahulu.
3. Evaporasi
Evaporasi adalah proses kehilangan panas melalui penguapan.
Standar internasional merekomendasikan untuk segera
mengeringkan bayi dengan handuk hangat setelah lahir untuk
mengurangi kehilangan panas secara evaporasi, lapisi
permukaan tubuh bayi prematur dengan plastik polietilen untuk
mencegah kehilangan panas secara evaporasi dan konveksi,
hangatkan suhu ruangan dan kurangi adanya turbulensi udara
yang melewati bayi.
4. Radiasi
Radiasi adalah proses kehilangan panas antara dua benda padat
yang tidak bersentuhan. Proses kehilangan panas melalui
radiasi dapat dikurangi dengan cara mempertahankan
kehangatan suhu ruangan dan menjauhkan bayi dari jendela
terbuka, atau dengan meletakkan bayi di dalam inkubator.

Pada bayi yang mengalami hipotermia, bayi harus dihangatkan sambil


memonitor ketat tanda vital, kesadaran, dan status asam basa. Kecepatan
dalam menghangatkan suhu tubuh harus diatur sesuai dengan stabilitas dan
toleransi bayi.

c. A-AIRWAY
Sebagian besar masalah neonatus yang ditransfer dari NICU adalah distres
pernafasan. Pada keadaan tertentu, gagal nafas dapat dicegah dengan
memberikan dukungan respiratorik 8 sesuai dengan kebutuhan bayi,
misalnya pemberian oksigen melalui nasal kanul, ventilasi tekanan positif,
intubasi endotrakeal, sampai bantuan ventilator. 25 Evaluasi kondisi bayi
sesering mungkin dan catat hasil observasi. Pada beberapa keadaan
membutuhkan penilaian ulang tiap beberapa menit, sedangkan pada

31
keadaan yang lebih ringan dapat dinilai ulang tiap 1-3 jam. Hal yang harus
dievaluasi dan dicatat:

1. Laju nafas.
Nilai normal laju nafas neonatus adalah 40-60 kali/menit. Laju
nafas 60 kali/menit (takipnea) dapat disebabkan karena
berbagai hal, dapat berhubungan dengan kelainan di saluran
respiratorik atau dari tempat lain. Laju nafas < 40 kali/menit
dapat menandakan bahwa bayi mulai kelelahan, atau sekunder
karena cedera otak (hipoksik iskemik- ensefalopati, edema otak
atau perdarahan intrakranial), obat-obatan (opioid), atau syok.
2. Usaha nafas
Selain takipnea, tanda distres pernafasan lain diantaranya:
o Retraksi, dapat dilihat didaerah suprasternal, substernal,
interkostal, subkostal.
o Grunting, pernafasan cuping hidung
o Apnea, nafas megap-megap, atau periodic breathing.
3. Kebutuhan oksigen.
Apabila bayi mengalami sianosis di udara ruangan dan distres
pernafasan ringan atau sedang, maka oksigen diberikan melalui
hidung. Pada keadaan bayi mengalami distres pernafasan berat,
dapat diberikan tindakan yang lebih agresif seperti Continous
Positive Airway Pressure (CPAP), atau intubasi endotrakeal.
4. Saturasi oksigen
Saturasi oksigen harus dipertahankan agar di atas 90 %.
5. Analisis gas darah.
Evaluasi dan interpretasi gas darah penting untuk menilai
derajat distres pernafasan yang dialami oleh bayi.

d. B- Blood pressure
Curah jantung yang mencukupi diperlukan untuk mempertahankan
sirkulasi. Cara yang terbaik untuk mempertahankan sirkulasi adalah
dengan memberikan cairan dan elektrolit yang adekuat.
Pada bayi sakit berat harus dipantau tanda-tanda syok. Syok adalah
keadaan dimana terjadi perfusi dan pengiriman oksigen ke organ vital

32
yang inadekuat atau suatu keadaan yang kompleks dari disfungsi sirkulasi
yang berakibat terganggunya suplai oksigen dan nutrien untuk memenuhi
kebutuhan jaringan. Kegagalan dalam mengenali dan menangani syok
dapat berakibat gagal organ multipel dan kematian pada bayi, oleh karena
itu penanganan syok harus dilakukan secara agresif. Bayi yang mengalami
syok dapat memiliki tanda-tanda berikut ini:
Usaha nafas
Takipnea, retraksi, pernafasan cuping hidung, grunting, apnea,
gasping.
Nadi Pada keadaan syok denyut nadi dapat melemah atau
tidak teraba
Perfusi perifer Perfusi yang buruk akibat vasokonstriksi dan
menurunnya curah jantung memanjangnya waktu pengisian
kapiler (<3 detik) mottling dan kulit teraba dingin. Tanda
perfusi yang adekuat diantaranya adalah waktu pengisian
kapiler yang cepat, warna tidak sianosis atau pucat, denyut
nadi yang kuat, output urin yang adekuat dan kesadaran yang
baik.
Warna
Kulit bayi tampak sianosis atau pucat. Oksigenasi dan saturasi
harus dievaluasi secara berkala. Pemeriksaan gas darah juga
dapat dilakukan untuk mengetahui adanya asidosis respiratorik
atau metabolik.
Frekuensi jantung
Frekuensi jantung normal adalah 120-160 kali/menit, namun
dapat bervariasi sekitar 80- 200 kali/menit tergantung dari
aktivitas bayi. Pada keadaan syok, denyut jantung dapat
berupa bradikardia (180 kali/menit).
Jantung
Evaluasi adanya murmur dan pembesaran jantung pada
rontgen dada.
Tekanan darah
Tekanan darah saat syok dapat normal atau hipotensi.
Hipotensi merupakan tanda terakhir dari dekompensasi

33
jantung. Hal lain yang harus dievaluasi adalah tekanan nadi.
Nilai normal tekanan nadi pada bayi cukup bulan adalah 25-30
mmHg, sedangkan pada bayi kurang bulan nilai normalnya
adalah 15-25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit menunjukkan
vasokonstriksi, gagal jantung atau curah jantung yang rendah.
Sedangkan tekanan nadi yang lebar dapat terjadi pada duktus
arteriosus persisten atau malformasi arterivena.
e. L-Laboratory studies
Pemantauan elektrolit direkomendasikan pada neonatus yang
mengalami kejang atau usia >24 jam dan dalam keadaan tidak bugar.
Elektrolit yang harus diperiksa adalah kadar natrium, kalium dan kalsium.
Selain itu perlu dilakukan juga pemeriksaan tanda infeksi, karena sistem
imun neonatus masih imatur dan berisiko tinggi untuk mengalami infeksi.
Tanda klinis sepsis diantaranya distres pernafasan, perfusi kulit yang
abnormal, suhu yang tidak stabil, denyut jantung dan tekanan darah yang
abnormal, serta intolerasi terhadap minum. Apabila dicurigai adanya sepsis
berdasarkan klinis dan riwayat maternal, harus dilakukan pemeriksaan
kultur darah dan darah lengkap bila memungkinkan. Pemberian antibiotik
intravena tidak boleh ditunda apabila pemeriksaan kultur darah tidak dapat
dilakukan. Pada bayi yang sakit berat atau pada saat sebelum transportasi,
antibiotik harus diberikan sampai kemungkinan infeksi sudah
tersingkirkan.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan:
1. Sebelum transportasi Pemeriksaan berikut (4-B) harus dilakukan
sebelum dilakukan transportasi:
Blood count (pemeriksaan darah rutin)
Blood culture (kultur darah)
Blood glucose (kadar glukosa darah)
Blood gas (analisis gas darah)
2. Setelah transportasi
Pemeriksaan laboratorium setelah transportasi tergantung
dari riwayat, faktor risiko, dan gejala klinis dari bayi.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan C-
reactive protein (CRP), elektrolit (natrium, kalium, kalsium),

34
fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT,
bilirubin, pT, aPTT, fibrinogen, D-dimer).

f. E- Emotional support
Keluarga dari bayi yang mengalami krisis biasanya akan
mengalami rasa bersalah, marah, tidak percaya, merasa gagal, tidak
berdaya, takut dan depresi.25,33 Orang tua dari bayi akan mengalami
beberapa tahapan emosional dalam menghadapi keadaan bayinya, yaitu:
1. Terkejut
Pada masa ini pikiran orang tua dipenuhi dengan berbagai
pertanyaan, seperti bagaimana nasib bayi selanjutnya?
Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya? Sehingga orang tua
akan sulit berpikir dengan jernih, dan perlu mendapatkan
penjelasan mengenai kondisi bayinya berulang kali.
2. Menyangkal
Pada masa ini orang tua tidak mempercayai kenyataan yang
terjadi. Orang tua cenderung mencari bukti-bukti lain yang
dapat membuktikan bahwa keadaan tersebut tidak benar.
3. Berkabung, sedih dan takut
Pada masa ini orang tua sudah mulai menerima bahwa keadaan
anaknya tidak seperti yang diharapkan, mulai merasa sedih
dengan beban yang harus mereka pikul, dan takut bahwa bayi
mereka akan meninggal atau menjadi tidak normal.
4. Marah dan merasa bersalah
Pada tahap selanjutnya orang tua akan merasa marah karena
bayi mereka sakit, marah mengapa hal tersebut terjadi pada
mereka. Jadi pada tahap ini, karena mereka tidak bisa marah
kepada bayinya, mereka cenderung akan marah kepada orang-
orang yang ada di sekitarnya.
5. Tahap ekuilibrium dan terorganisir
Pada masa ini orang tua mulai mengerti mengenai kondisi
bayinya dan mulai berinteraksi dengannya.

Tahapan-tahapan tersebut penting untuk diketahui agar dapat lebih


mengerti mengenai kondisi mereka dan dapat memberikan dukungan
emosi, serta menawarkan bantuan untuk membantu keluarga melewati

35
masa kritisnya. Keluarga sedapat mungkin memperoleh 12 informasi
secara kontinyu mengenai perkembangan keadaan anaknya. Kontak sedini
mungkin antara orang tua dengan anaknya sangatlah penting.
Dukungan emosi yang diberikan kepada keluarga dapat diberikan
sebelum, pada saat bahkan sesudah bayi ditransfer ke tempat yang lebih
intensif. Setelah bayi dilakukan resusitasi dan akan ditransfer ke tempat
yang lebih intensif, orang tua bayi harus diperbolehkan untuk melihat dan
menyentuh bayi mereka dahulu. Apabila tidak memungkinkan, maka
sebelum dipindahkan, bayi disinggahkan terlebih dahulu ke kamar ibu
untuk mempertemukan mereka secara singkat. Sebaiknya keluarga
diperbolehkan untuk memotret atau merekam bayi. Hal ini dapat
membantu menenangkan ibu yang akan berpisah dengan bayinya.
Pada saat akan ditransfer, orang tua harus mendapatkan penjelasan
kembali mengenai kondisi anak mereka. Penjelasan harus singkat dan
mudah dimengerti agar orang tua dapat mengerti. Orang tua juga harus
diberikan kesempatan untuk bertanya apabila terdapat hal yang tidak
dimengerti. Penjelasan mengenai kondisi anak pertama kali harus
diberikan kepada orang tua bayi, tidak diperkenankan untuk
memberitahukan mengenai kondisi anak kepada orang lain, tanpa seijin
orang tua. Setelah bayi ditransfer ke ruang intensif, orang tua tetap harus
mendapatkan dukungan. Salah satunya adalah dengan cara membiarkan
orang tua menengok bayinya serta membiarkan mereka mengetahui dan
memantau terus kondisi bayinya.

2.10 Komplikasi

Komplikasi dari asfiksia terbagi menjadi 2, yaitu:


Jangka panjang :
a. Susunan saraf pusat
Gangguan akibat hipoksik otak yang paling sering ditemukan pada
neonatus yaitu ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Sekuele jangka

36
panjang berupa gangguan perkembangan neurologis yang terjadi pada
1-6 bulan/100 kelahiran. Pada 15-20% terjadi kasus palsi serebral.
b. Sistem respirasi
Beberapa teori mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat
langsung hipoksia dan iskemia atau terjadinya disfungsi ventrikel kiri,
gangguan koagulasi, dan aspirasi mekonium. Komplikasi yang terjadi
dapat berupa gangguan respirasi dan sekitar 19% berakibat gagal
nafas.

c. Sistem kardiovaskular
Terjadinya hipoksia berat mengakibatkan terjadinya disfungsi
miokardium yang berakhir dengan payah jantung.
d. Sistem urogenital
Hipoksia dapat mengakibatkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta
kelainan filtrasi glomerulus.
e. Sistem gastrointestinal
Kelainan yang timbul dapat berupa kelianan yang ringan dan bersifat
sementara seperti muntah berulang, gangguan toleransi minum atau
darah dalam residu lambung, dan perforasi saluran cerna.

Tabel Pengaruh Asfiksia


Sistem Pengaruh

Ensefalopati Hipoksik-Iskemik, infark, perdarahan


Sistem Saraf
intrakranial, kejang-kejang, edema otak, hipotonia,
Pusat
hipertonia

Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek, bising


Kardiovaskular
jantung, insufisiensi trikuspid, hipotensi

Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru, sindrom


Pulmonal
kegawatan pernafasan

Ginjal Nekrosis tubuler akut atau korteks

Adrenal Perdarahan adrenal

37
Saluran Cerna Perforasi, ulserasi, nekrosis

Sekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia,


Metabolik
hipoglikemia, hipokalsemia, mioglobinuria

Kulit Nekrosis lemak subkutan

Hematologi DIC

Jangka Pendek
Komplikasi jangka pendek dapat berupa kematian. Angka mortalitas
asfiksia sekitar 15-20%.

2.11 Prognosis
Asfiksia ringan
Quo vitam : ad bonam
Quo fungsional : ad bonam
Asfiksia berat
Quo vitam : dubia ad malam
Quo fungsional : ad malam karena dapat menimbulkan kematian pada
hari-hari pertama atau kelainan saraf. Asfiksia dengan pH 6,9 dapat
menyebabkan kejang sampai koma dan kelainan neurologis permanen,
misalnya serebral palsi atau retardasi mental.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwadianto. A. Kedaruratan Medik. Bina Rupa Aksara : Jakarta.2000.

2. Indarso.F,dkk. Gawat napas pada bayi baru lahir. Media IDI. Vol 19. No 3.
1994: p4-9.

3. Behrman RE, Kliegman R, editors. Nelson Essensial of Pediatrics.


International edition. WB.Saunders;Philadelphia.1990.

4. Garna.H, Nataprawira HMD, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu


Kesehatan Anak.edisi ke 5 Fakutas Kedokteran Universitas
Padjadjaran:Bandung.2014.

5. Hasan Rusepno, Alatas Husein, editors. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan


Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Infomedika Jakarta:
Jakarta.1997.

6. Kosim Sholeh M, Yunanto Ari, Dewi Rizalya. Buku ajar neonatologi.


IDAI. Jakarta : 2008

39
7. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku
panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2011

8. Harianto A, Utomo M, Etika R. Continuing Education Kapita Selekta Ilmu


Kesehatan Anak VI, Surabaya: FK Unair-RSU Dr. Soetomo: 2000. Hal 15-
31.

9. Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in
Southern Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study.
Pediatrics 2008; 121:e1381-e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level
of evidence IIb)

10. Martin-Ancel A, Garcia - Alix A, Gaya F, dkk. Multiple organ involvement


in perinatal asphyxia. J Pediatr 1995; 127:786-93

11. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan


Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276. (level of evidence
IV)

12. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset


Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h. 278-
9.)

40

Anda mungkin juga menyukai