Anda di halaman 1dari 48

Tugas Makalah

Pengendalian Angka Gizi Buruk dan Gizi Kurang Balita Sebagai Prioritas
Kegiatan di Puskesmas Mojolaban

Diajukan Oleh :

Mohammad Reza Azhari J510155012

Muhamad Dacil Kurniawan P J510155013

Muhamad Fadhil Ilhami J510155065

Nadia Primivita D J510155063

Pembimbing :

dr. Gunawan

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PUSKESMA MOJOLABAN KABUPATEN SUKOHARJO

2016

1
Tugas IKM
Pengendalian Angka Gizi Buruk dan Gizi Kurang Balita Sebagai Prioritas
Kegiatan di Puskesmas Mojolaban

Disusun oleh :
Mohammad Reza Azhari (J510155012)

Muhamad Dacil Kurniawan P (J510155013)

Muhamad Fadhil Ilham (J510155065)

Nadia Primivita (J510155063)

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal 10 Oktober 2016

Penguji
Nama : (.)

Pembimbing
Nama : dr. Gunawan (.)

Disahkan Ka. Program Profesi:


dr. Donna Dewi Nirlawati (.)

DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................. i
Lembar Pengesahan............................................................................................ ii
Daftar Isi ............................................................................................................ iii

2
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Kegiatan ................................................................................... 2
D. Manfaat Kegiatan.................................................................................. 3

Bab II Tinjauan Pustaka


A. Definisi Gizi Buruk................................................................. 4
B. Masalah Gizi pada Balita........................................................ 4
C. Pengukuran Gizi buruk............................................................ 5
D. Klasifikasi Gizi buruk ............................................................ 7
E. Faktor resiko ........................................................................... 8
F. Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita................................. 17
G. Aspek-aspek Penatalaksanaan Gizi pada Balita ..................... 19
H. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan gizi buruk . . 22

Bab III Metode Penerapan Kegiatan


A. Keadaan Umum Kecamatan Mojolaban........................................ 26
B. Profil Puskesmas Mojolaban......................................................... 26
C. Analisis Masalah .......................................................................... 33
D. Analisis SWOT ............................................................................. 34
E. Formula Strategi SWOT ............................................................... 35
F. Rencana Usulan Kegiatan ............................................................ 38
G. Kegiatan Pengendalian DBD ........................................................ 38

Bab IV Hasil dan Pembahasan


A. Hasil .............................................................................................. 39
B. Pembahasan................................................................................... 40
C. Rencana Tindak Lanjut.................................................................. 41
D. Rencana Usulan Kegiatan Spesifik............................................... 41

Bab V Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan.......................................................................................... 44
B. Saran.................................................................................................... 44
Daftar Pustaka ................................................................................................ 45
Lampiran ........................................................................................................ 47

3
4
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara.
Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat
buruknya kualitas gizi. Dari data Departemen Kesehatan menunjukkan
setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena masalah
kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan, didukung pula oleh
kekurangan gizi selama masih didalam kandungan. Hal ini dapat
berakibat kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada saat anak
beranjak dewasa. Dr.Bruce Cogill, seorang ahli gizi dari badan PBB
UNICEF mengatakan bahwa isu global tentang gizi buruk saat ini
merupakan problem yang harus diatasi (Depkes, 2013).
Berdasarkan pengukuran berat badan menurut umur sebagai
penilaian status gizi buruk pada balita, pada tahun 2013 di indonesia
terdapat rentang 2,8-11,9%, dengan prevalensi tertinggi (11,9%) di
Provinsi Papua Barat dan (2,8%) di Provinsi DKI Jakarta. Secara
nasional rata-rata prevalensi status gizi buruk pada balita berdasarkan
pengukuran berat badan menurut umur (BB/U) tahun 2013 sebesar
5,7% atau sebanyak 1.350.900 balita di Indonesia mengalami gizi
buruk pada tahun 2013 (Depkes, 2013).
Di pulau jawa terutama pada provinsi jawa tengah persoalan gizi
pada kelompok balita masih menjadi masalah serius. Provinsi Jawa Tengah
selama 6 tahun berturut-turut (2005-2010) masuk ke dalam kategori 10
provinsi dengan kasus tertinggi. Bahkan pada tahun 2006, Jawa Tengah
menyumbang angka gizi buruk tertinggi dalam skala nasional, yaitu
10.376 kasus. (Dinkes Jateng, 2013).
Sedangkan di kabupaten Sukoharjo penemuan kasus baru balita
dengan gizi buruk tahun 2016 mengalami piningkatan kasus yang cukup
tinggi pada bulan juni terdapat 45 balita , juli 40 balita , dan bulan
agustus 82 balita. Dari data tersebut didapatkan puskesmas mojoloban

1
masuk dalam 5 kategori puskesmas di Kabupaten Sukoharjo dengan total
jumlah kasus balita gizi buruk yang cukup banyak pada bulan juni terdapat
5 kasus , bulan juli 9 kasus, dan bulan agustus 13 kasus (Dinkes
Sukoharjo, 2016).
Pada tahun 2016 insidens rate (IR) gizi buruk dan gizi kurang pada
bulan januari di Puskesmas Mojolaban yaitu 44 per 1000 penduduk, pada
bulan mei 128 per 1000 dan bulan september 145 per 1000 hal ini
menunjukan adanya peningkatan jumlah balita yang mengalami
permasalah gizi di daerah kerja puskesmas mojolaban (Data Puskesmas
Mojolaban)
Berdasarkan data dan permasalahan mengenai peningkatan angka
temuan kasus baru gizi buruk di Puskesmas Mojolaban, penulis tertarik
melakukan pembahasan mengenai pengendalian angka gizi buruk balita
sebagai prioritas kegiatan di Puskesmas Mojolaban Kabupaten Sukoharjo
B. Rumusan masalah
Bagaimana pengendalian angka gizi buruk balita sebagai prioritas
kegiatan di Puskesmas Mojolaban Kabupaten Sukoharjo ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui manajemen pengendalian angaka gizi buruk sebagai
prioritas utama kegiatan di Puskesmas Mojolaban Kabupaten
Sukoharjo.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan memahami fungsi pelayanan kesehatan di
Puskesmas Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.
b. Mengetahui peran tugas kesehatan, kader kesehatan, dan masyarakat
dalam upaya menurunkan angka kejadian gizi buruk di Puskesmas
Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

D. Manfaat
1. Membantu para dokter muda untuk lebih memahami dalam menangani
suatu permasalahan di puskesmas khususnya Puskesmas Mojolaban
Kabupaten Sukoharjo.

2
2. Memberi masukan bagi Puskemas Mojolaban Kabupaten Sukoharjo
tentang masalah-masalah yang terjadi , serta alternatif upaya
pencegahan kasus gizi buruk
3. Menambah pengetahuan mengenai program kegiatan pengendalian gizi
buruk secara komprehensif.
4. Mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
kegiatan pengendalian gizi buruk
5. Memberi informasi kepada penyusun kebijakan mengenai fakotr-faktor
yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kasus
gizi buruk.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Gizi Buruk


Gizi buruk merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah kondisi seseorang
yang nutrisinya di bawah rata-rata. Hal ini merupakan suatu bentuk terparah
dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Moejhi, 2003).

3
Balita disebut gizi buruk apabilaindeks Berat Badan menurut Umur
(BB/U) < -3 SD. Keadaan balita dengan gizi buruk sering digambarkan
dengan adanya busung lapar (Supariasa, 2006).
B. Masalah Gizi pada Balita
Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga
bagian sebagai berikut (Moejhi, 2003) :
1 Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena
tidak cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama
jangka waktu tertentu, ditandai dengan berat badan yang menurun.
2 Gizi lebih, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan
kebanyakan makan serta mengkonsumsi energi lebih banyak daripada
yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, kegemukan
merupakan tanda pertama yang biasa dilihat.
3 Gizi buruk, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan oleh
makanan yang sangat kurang dalam satu atau lebih zat esensial dalam
waktu lama, biasanya diikuti dengan tanda-tanda klinis khusus seperti
marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.

C. Pengukuran Gizi Buruk


Gizi buruk ditentukan berdasarkan beberapa pengukuran antara lain
(Supariasi, 2006) :
Pengukuran klinis : metode ini penting untuk mengetahui status gizi
balita tersebut gizi buruk atau tidak. Metode ini pada dasarnya
didasari oleh perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan
dengan kekurangan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
seperti kulit,rambut,atau mata.
Misalnya pada balita marasmus kulit akan menjadi keriput
sedangkan pada balita kwashiorkor kulit terbentuk bercak-bercak
putih atau merah muda (crazy pavement dermatosis).

4
Pengukuran antropometrik : pada metode ini dilakukan beberapa
macam pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan,
dan lingkar lengan atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan usia yang paling
sering dilakukan dalam survei gizi.Di dalam ilmu gizi, status gizi
tidak hanya diketahui denganmengukur BB atau TB sesuai dengan
umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang
dapat merupakankombinasi dari ketiganya.
Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori
(Kardjati, 2011) :
1. Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
2. Tergolong gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan <
-2 SD.
3. Tergolong gizi baikjika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
4. Tergolong gizi lebih jika hasil ukur > 2 SD.

KLINIS ANTROPOMETRI
(BB/TB)
Gizi Buruk Tampak sangat kurus < -3 SD
dan atau edema pada
kedua punggung kaki
sampai seluruh tubuh

Gizi Kurang Tampak kurus -3 SD - < - 2SD


Gizi Baik Tampak sehat -2 SD 2SD
Gizi Lebih Tampak gemuk >2 SD

5
BB/U TB/U BB/TB
> + 2 SD Beraat badan lebih Jangkung Gemuk
(Gizi lebih)
-2SD s/d +2SD Berat badan Normal Normal
normal (Gizi baik)
-3 SD s/d <-2 SD Berat badan Pendek Kurus
rendah (Gizi
kurang)
< - 3 SD Berat badan Sangat pendek Sangat kurus
sangat rendah
(Gizi buruk)

D. Klasifikasi Gizi Buruk


Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 :
1. Marasmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling
sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari
tingkat keparahan gizi buruk. Gejala marasmus antara lain anak
tampak kurus, rambut tipis dan jarang,kulit keriput yang disebabkan
karena lemak di bawah kulit berkurang, muka seperti orang tua
(berkerut), balita cengeng dan rewel meskipun setelah makan, bokong
baggy pant, dan iga gambang (Pudjiadi, 2005).
Pada patologi marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang
dan atrofi otot serta menghilangnya lemak di bawah kulit merupakan
proses fisiologis.Tubuh membutuhkan energi yang dapat dipenuhi
oleh asupan makanan untuk kelangsungan hidup jaringan. Untuk

6
memenuhi kebutuhan energi cadangan protein juga digunakan.
Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk sistesis glukosa
(Santoso, 2004).
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan
asupan protein yang inadekuat.Hal ini seperti marasmus,kwashiorkor
juga merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tanda
khas kwashiorkor antara lain pertumbuhan terganggu, perubahan
mental,pada sebagian besar penderita ditemukan oedema baik ringan
maupun berat, gejala gastrointestinal,rambut kepala mudah
dicabut,kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-
garis kulit yang lebih mendalam dan lebar,sering ditemukan
hiperpigmentasi dan persikan kulit,pembesaran hati,anemia
ringan,pada biopsi hati ditemukan perlemakan (Pudjiadi, 2005).
Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat menyebabkan
perlemakan hati dan oedema. Pada penderita defisiensi protein tidak
terjadi proses katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena
persediaan energi dapat dipenuhi dengan jumlah kalori yang cukup
dalam asupan makanan. Kekurangan protein dalam diet akan
menimbulkan kekurangan asam amino esensial yang dibutuhkan
untuk sintesis. Asupan makanan yang terdapat cukup karbohidrat
menyebabkan produksi insulin meningkat dan sebagian asam amino
dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke
otot. Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh
berkurangnya asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan
oedema (Moejhi, 2003).
3. Marasmiks-Kwashiorkor
Marasmic-kwashiorkor gejala klinisnya merupakan campuran
dari beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan marasmus dengan

7
Berat Badan (BB) menurut umur (U) < 60% baku median WHO-
NCHS yang disertai oedema yang tidak mencolok (Santoso, 2004).

E. Faktor risiko
Faktor risiko gizi buruk antara lain :
- Asupan makanan
Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak
tidak cukup atau salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola
makan yang salah. Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan balita adalah
air, energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.Setiap
gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori, dan karbohidrat 4
kalori.Distribusi kalori dalam makanan balita dalam keseimbangan
diet adalah 15% dari protein, 35% dari lemak, dan 50% dari
karbohidrat.Kelebihan kalori yang menetap setiap hari sekitar 500
kalori menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram dalam seminggu
(Soediotama, 2000).
Setiap golongan umur terdapat perbedaan asupan makanan
misalnya pada golongan umur 1-2 tahun masih diperlukan pemberian
nasi tim walaupun tidak perlu disaring.Hal ini dikarenakan
pertumbuhan gigi susu telah lengkap apabila sudah berumur 2-2,5
tahun.Lalu pada umur 3-5 tahun balita sudah dapat memilih makanan
sendiri sehingga asupan makanan harus diatur dengan sebaik
mungkin.Memilih makanan yang tepat untuk balita harus menentukan
jumlah kebutuhan dari setiap nutrien,menentukan jenis bahan
makanan yang dipilih, dan menentukan jenis makanan yang akan
diolah sesuai dengan hidangan yang dikehendaki (Muliarini, 2010).
Sebagian besar balita dengaan gizi buruk memiliki pola
makan yang kurang beragam. Pola makanan yang kurang beragam
memiliki arti bahwa balita tersebut mengkonsumsi hidangan dengan
komposisi yang tidak memenuhi gizi seimbang. Berdasarkan dari

8
keseragaman susunan hidangan pangan, pola makanan yang meliputi
gizi seimbang adalah jika mengandung unsur zat tenaga yaitu
makanan pokok, zat pembangun dan pemelihara jaringan yaitu lauk
pauk dan zat pengatur yaitu sayur dan buah. Menurut penelitian yang
dilaksanakan di Kabupaten Magelang, konsumsi protein(OR 2,364)
dan energi (OR 1,351) balita merupakan faktor risiko status gizi balita
(Rumiasih, 2003).
- Status sosial ekonomi
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat
sedangkan ekonomi adalah segala usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhan untuk mencapai kemakmuran hidup. Sosial ekonomi
merupakan suatu konsep dan untuk mengukur status sosial ekonomi
keluarga dilihat dari variabel tingkat pekerjaan. Rendahnya ekonomi
keluarga, akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada keluarga
tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan,
merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah
kesehatan yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan
untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Balita dengan gizi buruk
pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi (Dini,
2000).
Bekerja bagi ibu mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
keluarga. Ibu yang bekerja mempunyai batasan yaitu ibu yang
melakukan aktivitas ekonomi yang mencari penghasilan baik dari
sektor formal atau informal yang dilakukan secara reguler di luar
rumah yang akan berpengaruh terhadap waktu yang dimiliki oleh ibu
untuk memberikan pelayanan terhadap anaknya.Pekerjaan tetap ibu
yang mengharuskan ibu meninggalkan anaknya dari pagi sampai sore
menyebabkan pemberian ASI tidak dilakukan dengan sebagaimana
mestinya (Hidayat, 2008).

9
Masyarakat tumbuh dengan kecenderungan bahwa orang
yang bekerja akan lebih dihargai secara sosial ekonomi di
masyarakat.Pekerjaan dapat dibagi menjadi pekerjaan yang berstatus
tinggi yaitu antara laintenaga administrasi tata usaha,tenaga ahli
teknik dan ahli jenis, pemimpin,dan ketatalaksanaan dalam suatu
instansi baik pemerintah maupun swasta dan pekerjaan yang berstatus
rendah antara lain petani dan operator alat angkut. Menurut penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Kampar Kepulauan Riau terdapat
hubungan bermakna status ekonomi dengan kejadian gizi buruk (Dini,
2000).
- pendidikan ibu
Kurangnya pendidikan dan pengertian yang salah tentang
kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap
negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang
bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi.Salah
satu faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan adalah
pendidikan yang rendah. Adanya pendidikan yang rendah tersebut
menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu
yang diperlukan dalam kehidupan.Rendahnya pendidikan dapat
mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya
mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang
merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita
(Muliarini, 2010).
Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat
mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh
terhadap kualitas pengasuhan anak. Tingkat pendidikan yang tinggi
membuat seseorang mudah untuk menyerap informasi dan
mengamalkan dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan adalah usaha
yang terencana dan sadar untuk mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

10
diri dan ketrampilan yang diperlukan oleh diri sendiri, masyarakat,
bangsa,dan negara (Notoatmodjo, 2010).
Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan non
formal yang bisa saling melengkapi. Tingkat pendidikan formal
merupakan pendidikan dasar,pendidikan menengah,dan pendidikan
tinggi. Pendidikan dasar merupakan tingkat pendidikan yang
melandasi tingkat pendidikan menengah. Tingkat pendidikan dasar
adalah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama atau bentuk
lain yang sederajat, sedangkan pendidikan menengah adalah lanjutan
dari pendidikan dasar yaitu Sekolah Menengah Atas atau bentuk lain
yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan tingkat pendidikan
setelah pendidikan menengah yang terdiri dari program diploma,
sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi.Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi
balita karena pendidikan yang meningkat kemungkinan akan
meningkatkan pendapatan dan dapat meningkatkan daya beli
makanan.Pendidikan diperlukan untuk memperoleh informasi yang
dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang (Notoatmodjo, 2010).
-
Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya
sangat rentanterhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-
penyakit tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak.
Penyakit-penyakit tersebut adalah:
1. Diare persisten :sebagai berlanjutnya episode diare selama 14hari
atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah
(disentri).Kejadian ini sering dihubungkan dengan kehilangan berat
badan dan infeksi non intestinal (Pudjiadi, 2005).
2.
Tuberkulosis : Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang dapat
hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya

11
yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini
tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya
terjadipada malam hari. Tuberkulosis ini dapat terjadi pada semua
kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru (Santoso, 2004).
3. HIV AIDS : HIV merupakan singkatan dari human
immunodeficiencyvirus. HIV merupakan retrovirus yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4
positive T-sel dan macrophages komponen-komponen utama
sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu
fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan
sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan
defisiensi kekebalan tubuh.Sistem kekebalan dianggap defisien
ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya
memerangi infeksi dan penyakit- penyakit (Santoso, 2004).
Penyakit tersebut di atas dapat memperjelek keadaan gizi
melalui gangguan masukan makanan dan meningkatnya kehilangan
zat-zat gizi esensial tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara
kejadian penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang
menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya
tahan, sehingga rentan terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang
menderita sakit akan cenderung menderita gizi buruk. Menurut
penelitian yang dilakukan di Jogjakarta terdapat perbedaan penyakit
yang bermakna antara balita KEP dengan balita yang tidak KEP
(Rumiasih, 2003).
- Pengetahuan ibu
Ibu merupakan orang yang berperan penting dalam penentuan
konsumsi makanan dalam keluaga khususnya pada anak balita.
Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi
makanan keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi
menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang. Keluarga
akan lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan,

12
dan lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena
kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam
kehidupansehari-hari (Notoatmodjo, 2003).
- Berat Badan Lahir Rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat
lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi
sedangkan berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu)
jam setelah lahir.Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah
kelahiran prematur. Bayi yang lahir pada umur kehamilan kurang dari
37 minggu ini pada umumnya disebabkan oleh tidak mempunyai
uterus yang dapat menahan janin, gangguan selama kehamilan,dan
lepasnya plasenta yang lebih cepat dari waktunya. Bayi prematur
mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk
bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan,
fungsi organ menjadi semakin kurang berfungsi dan prognosanya juga
semakin kurang baik. Kelompok BBLR sering mendapatkan
komplikasi akibat kurang matangnya organ karena prematur
(Almatsier, 2001).
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat disebabkan
oleh bayi lahir kecil untuk masa kehamilan yaitu bayi yang mengalami
hambatan pertumbuhan saat berada di dalam kandungan. Hal ini
disebabkan oleh keadaan ibu atau gizi ibu yang kurang baik. Kondisi
bayi lahir kecil ini sangat tergantung pada usia kehamilan saat
dilahirkan. Peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas
neonatus, bayi,dan anak merupakan faktor utama yang disebabkan
oleh BBLR (Arisman, 2004).
Gizi buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka panjang.Pada
BBLR zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini menyebabkan
balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk
kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk.

13
Menurut penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lombok Timur
BBLR terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi buruk
(Dinkes, 2012).
- Kelengkapan imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yaitu resisten atau kebal.
Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan
terhadap penyakit tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen
yang sama, balita tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari
penyakit lain diperlukan imunisasi yang lain. Infeksi pada balita
penting untuk dicegah dengan imunisasi.Imunisasi merupakan suatu
cara untuk meningkatkan kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat
dibagi menjadi imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif
adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan
atau dimatikan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri
sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi
sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat (Dini, 2000).
Imunisasi juga dapat mencegah penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian, menghilangkan
kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit, memperbaiki
tingkat kesehatan,dan menciptakan bangsa yang kuat dan berakal
untuk melanjutkan pembangunan negara (Effendi, 2009).
Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi
adalah bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap
penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik
denganorangdewasa (Fajar, 2001).
Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi
tidak terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka
kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena
penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan
kejadian gizi. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi
dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit

14
untuk mempertahankan agar kekebalan dapat tetap melindungi
terhadap paparan bibit penyakit. Macam- macam imunisasi antara lain
(Hidayat, 2008) :
a. BCG : vaksin untuk mencegah TBC yang dianjurkan diberikan saat
berumur 2 bulan sampai 3 bulan dengan dosis 0,05 ml pada bayi
kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml pada anak disuntikkan secara
intrakutan (Hidayat, 2008).
b. Hepatitis B : salah satu imunisasi yang diwajibkan dengan diberikan
sebanyak 3 kali dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan
kedua kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.Usia
pemberian dianjurkan sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir
(Hidayat, 2008).
c. Polio : imunisasi ini terdapat 2 macam yaitu vaksi oral polio dan
inactivated polio vaccine.Kelebihan dari vaksin oral adalah mudah
diberikan dan murah sehingga banyak digunakan (Hidayat, 2008).
d. DPT : vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan tetanus yang
dimurnikan serta bakteri pertusis yang diinaktivasi (Hidayat, 2008).
e. Campak : imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular.
Pemberian yang dianjurkan adalah sebanyak 2 kali yaitu pada usia 9
bulan dan pada usia 6 tahun (Hidayat, 2008).
f. MMR : diberikan untuk penyakit measles,mumps,dan rubella
sebaiknya diberikan pada usia 4 bulan sampai 6 bulan atau 9 bulan
sampai 11 bulan yang dilakukan pengulangan pada usia 15bulan-18
bulan (Hidayat, 2008).
g. Typhus abdominal : terdapat 3 jenis vaksin yang terdapat di Indonesia
yaitu kuman yang dimatikan, kuman yang dilemahkan, dan antigen
capsular Vi polysaccharida (Hidayat, 2008).
h. Varicella : pemberian vaksin diberikan suntikan tunggal pada usia
diatas 12 tahun dan usia 13 tahun diberikan 2 kali suntikan dengan
interval 4-8mg (Hidayat, 2008).

15
i. Hepatitis A: imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya
hepatitis A yang diberikan pada usia diatas 2 tahun (Hidayat, 2008).
j. HiB : Haemophilus influenzae tipe b yang digunakan untuk mencegah
terjadinya influenza tipe b dan diberikan sebanyak 3 kali suntikan
(Hidayat, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lombok Timur, imunisasi
yang tidak lengkap terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi
buruk.
- ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu
(ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di
Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Hasil
yang dikeluarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia periode
1997-2003 yang cukup memprihatinkan yaitu bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif sangat rendah. Sebanyak 86% bayi mendapatkan
makanan berupa susu formula, makanan padat, atau campuran antara
ASI dan susu formula (Mexitalia, 2011).
Berdasarkan riset yang sudah dibuktikan di seluruh dunia,
ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi sampai enam bulan, dan
disempurnakan sampai umur dua tahun. Memberi ASI kepada bayi
merupakan hal yang sangat bermanfaat antara lain oleh karena
praktis,mudah,murah,sedikit kemungkinan untuk terjadi
kontaminasi,dan menjalin hubungan psikologis yang erat antara bayi
dan ibu yang penting dalam perkembangan psikologi anak tersebut.
Beberapa sifat pada ASI yaitu merupakan makanan alam atau natural,
ideal, fisiologis, nutrien yang diberikan selalu dalam keadaan segar
dengan suhu yang optimal dan mengandung nutrien yang lengkap
dengan komposisi yang sesuai kebutuhan pertumbuhan bayi (Kosim,
2008).
Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI juga
mengandung antibodi atau zat kekebalan yang akan melindungi balita

16
terhadap infeksi. Hal ini yang menyebabkan balita yang diberi ASI,
tidak rentan terhadap penyakit dan dapat berperan langsung terhadap
status gizi balita. Selain itu, ASI disesuaikan dengan sistem
pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu
formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi.
Susu formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit
buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi
akan rawan diare (Mexitalia, 2011).

F. Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita


Penatalaksanaan gizi buruk adalah suatu kegiatan pelaksanaan

pelayanan /penanganan gizi yang dilakukan guna mendukung

penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi sampai gizi

buruk dengan komplikasi atau tanpa komplikasi, ditangani secara serius

sampai dinyatakan sembuh (Pudjiadi, 2005) .

Tatalaksana gizi berarti mengelola atau melaksanakan pelayanan

dan pemberian zat gizi sesuai kebutuhan kepada pasien/balita yang

mempunyai masalah gizi sampai pasien/balita tersebut sembuh dan status

gizinya kembali pulih atau normal. Berdasarkan standar pelayanan rumah

sakit (2006) penatalaksanaan gizi di rumah sakit disebut juga dengan

asuhan gizi (nutritional care) yaitu dengan pemberian zat gizi yang sesuai

dengan kebutuhan dan kondisipasien agar mencapai status gizi optimal

oleh ahli gizi, yaitu dengan melakukan beberapa proses mulai dari

pengukuran antropometri, diagnosa status gizi, intervensi gizi dan

melakukan monitoring dan evaluasi gizi (Soediotama, 2000).

17
Menurut WHO (2000) menyebutkan bahwa, cara pemulihan gizi

buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit, tetapi

pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat

karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak

mampu, karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat

mengganggu sosial ekonomi sehari-hari.

Alternatif lain dalam memecahkan masalah gizi buruk adalah

dengan melakukan penatalaksanaan gizi balita gizi buruk yang bermutu di

posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas, dan penanganannya

harus secara serius karena menyangkut kelangsungan hidup anak. Selain

itu dalam rangka menjamin mutu (quality assurance) pelaksanaan

tatalaksana gizi buruk tersebut maka itu telah dilaksanakan pelatihan

tatalaksana anak gizi buruk (TLAGB) kepada tim asuhan gizi yang terdiri

dari dokter, ahli gizi dan perawat yang bertugas di puskesmas dan rumah

sakit (Supartini, 2002).

Dari berbagai kajian terhadap pelaksanaan pemantauan

pertumbuhan ditemukan juga beberapa masalah yaitu seringkali balita

yang mengalami gangguan pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk

ke puskesmas/rumah sakit untuk tindak lanjut sebagaimana mestinya

sesuai tatalaksana gizi buruk. Kendala lain seperti, masalah kemiskinan

dan anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan orang tua

yang kurang tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup

tidak terpenuhi (Soekirman, 2000).

18
G. Aspek-Aspek Penatalaksanaan Gizi pada Balita

Pelaksanaan tatalaksana gizi menyangkut banyak aspek seperti

adanya tim asuhan gizi yang diperlukan untuk melakukan kegiatan

anamnesa, penentuan status gizi dan melakukan pelayanan gizi, baik

perawatan, maupun penyelenggaraan makanan, sampai balita gizi buruk

dinyatakan sembuh (Arisman, 2004).

Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat prosedur

tatalaksana gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu

contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan

melihat tahap-tahap yang dilakukan seperti, pengorganisasian yaitu dengan

melihat apakah ada atau tidak tenaga gizi yang telah dilatih untuk menjadi

tim asuhan gizi, serta hal-hal lain yang mendukung terlaksananya

penatalaksanaan gizi buruk di puskesmas, tatacara/prosedur tatalaksana

gizi seperti identifikasi/penemuan kasus baik di posyandu ataupun

dipuskesmas, dan penentuan status gizi balita secara benar, serta

rujukan/tindak lanjut yang dilakukan, selain itu setelah dilakukan

penatalaksanaan gizi dengan benar sesuai prosedur harus dilakukan juga

monitoring/pengawasan sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh

tetap terpantau berat badannya serta adanya pencatatan pelaporan yang

baik.

1 Pengorganisasian

Pengorganisasian merupakan alat untuk mengatur semua

kegiatan yang berkaitan dengan personil, finansial, material dan tatacara

19
untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian adalah langkah untuk

menetapkan, menggolongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan,

menetapkan tugas-tugas pokok dan wewenang, serta pendelegasian dari

pimpinan ke staf untuk mencapai tujuan organisasi. Pada

pengorganisasian ini mencakup ada tidaknya tim asuhan gizi yang sudah

terlatih, tim asuhan gizi adalah sekelompok petugas kesehatan yang

berada di rumah sakit ataupun puskesmas yang terkait dengan pelayanan

gizi, terdiri dari dokter/dokter spesialis, tenaga pelaksana gizi, dan

perawat bidan dari setiap unit pelayanan, bertugas menyelenggarakan

asuhan gizi (nutrition care) untuk mencapai pelayanan paripurna yang

bermutu (Effendi, 2009).

2 Tatacara (prosedur) dan Tindak Lanjut Tatalaksana Gizi Buruk

Tatacara / prosedur tatalaksana gizi dapat dimulai dengan

penemuan kasus balita kurang energi protein (KEP)/gizi buruk dapat

dimulai dari posyandu ataupun dari puskesmas dimana ditemukannya

balita dengan berat badan <-3 standar deviasi sesuai standar WHO (Fajar,

2001).

Untuk melihat prosedur tatalaksana anak gizi buruk dan

rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status

pasien anak gizi buruk di puskesmas dimulai dari : Tahap identifikasi

identitas anak, kemudian dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta

penentuan status gizi sehingga diketahui dengan jelas kondisi gizi buruk

yang dialami pasien. Rujukan dan persiapan tindak lanjut di puskesmas

yaitu menerima rujukan gizi buruk dari Posyandu dalam wilayah

20
kerjanya serta pasien pulang dari rawat inap di rumah sakit, kemudian

menyeleksi dengan cara menimbang ulang dan dicek dengan tabel

BB/TB, WHO (Supartini, 2002).

Anak dengan kurang energi protein berat/gizi buruk dengan

komplikasi serta tanda-tanda kegawat daruratan harus segera dirujuk ke

rumah sakit. Tindakan yang dapat dilakukan di puskesmas pada anak gizi

buruk tanpa komplikasi yaitu : Memberikan penyuluhan gizi dan

konseling diet KEP berat/gizi buruk (dilakukan dipojok gizi), melakukan

pemeriksaan fisik dan pengobatan minimal 1 kali perminggu, melakukan

evaluasi pertumbuhan berat badan balita gizi buruk setiap dua minggu

sekali, melakukan peragaan cara menyiapkan makanan untuk KEP

berat/gizi buruk, melakukan pencatatan dan pelaporan tentang

perkembangan berat badan dan kemajuan asupan makanan, untuk

keperluan data pemantauan gizi buruk di lapangan, posyandu, dan

puskesmas. Diperlukan laporan segera jumlah balita KEP berat/gizi

buruk ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam 24 jam (Soekirman,

2000).

3 Pengawasan (Monitoring)

Melalui fungsi ini standar keberhasilan program yang

ditetapkan dibandingkan dengan hasil yang dicapai, apabila ada

penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi harus segera diatasi

(Supariasa, 2006).

H. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penatalaksanaan


Gizi Buruk pada Balita

21
Perkembangan masalah gizi di Indonesia berdasarkan hasil

surveilens dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005

didapatkan bahwa setiap bulan kasus gizi buruk mengalami penurunan.

Hal tersebut disebabkan karena anak yang menderita gizi buruk

mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah sakit.

Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui

posyandu, untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan

makanan tambahan (Rumiasih, 2003).

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi

keberhasilan penatalaksanaan gizi buruk antara lain : Faktor tenaga kesehatan,

faktor ibu, faktor program kesehatan, faktor kerjasama lintas sektor, faktor

ekonomi dan faktor penyakit (Rumiasih, 2003).

1 Faktor Tenaga Kesehatan

Pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan gizi yang bermutu,

melalui penempatan tenaga pelaksana gizi di puskesmas dan peningkatan

kemampuan tenaga kesehatan dalam mendeteksi, menemukan dan menangani

kasus gizi buruk sedini mungkin. Selain itu pemerintah juga membentuk tim

asuhan gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi dan dibantu oleh

tenaga kesehatan lainnya. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang

cepat dan tepat pada kasus gizi buruk, baik di puskesmas maupun rumah sakit

(Hartono, 2008).

2 Faktor Ibu

22
Pengetahuan ibu dalam pemberian gizi yang baik pada anaknya merupakan

salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan pemulihan gizi

buruk pada anak balita, sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pola

asuh anaknya. Pada saat pemulihan selain intervensi medis, seharusnya orang

tua mendapatkan pembinaan yang berkelanjutan, agar anaknya tidak jatuh

dalam kondisi buruk lagi , melalui kegiatan antara lain: memberikan ASI secara

ekslusif, menimbang berat badan balitanya secara teratur di posyandu,

mengkonsumsi makanan beraneka ragam, serta menggunakan garam

beryodium serta mengkonsumsi suplemen gizi (Mexitalia, 2011).

3 Faktor Program Kesehatan

Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui upaya promotif dan

preventif, untuk melakukan pemantauan pertumbuhan anak melalui kegiatan

posyandu, pemberian makanan tambahan, pendidikan dan konseling gizi serta

pendampingan keluarga sadar gizi. Pemerintah juga membentuk SKPG (Sistem

Kewaspadaan Pangan dan Gizi) dalam rangka mendeteksi, menemukan dan

menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Untuk meningkatkan status gizi

anak dilakukan upaya melalui pemberian perawatan anak gizi buruk di

puskesmas perawatan dan rumah sakit (Suhadjo, 2003).

4 Faktor Kerjasama Lintas Sektor


Penatalaksanaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari

semua pihak, tidak hanya dokter dan tenaga kesehatan saja tetapi juga dari

pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama dan pemerintah.

23
Oleh karena itu penanggulangan masalah gizi buruk merupakan tanggung

jawab bersama, yang melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait

dalam pelayanan kesehatan. Meliputi sektor ekonomi, pendidikan, sosial,

budaya, pemberdayaan perempuan, PKK dan pertanian yang menyangkut

ketersediaan pangan dalam rumah tangga (Muliarini, 2010).

5 Faktor Ekonomi

Adanya krisis ekonomi menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat dan

peningkatan harga pangan. Dalam kehidupan sehari-hari pengaruh tersebut

sangat dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk pengurangan jumlah dan mutu

konsumsi makanan sehari-hari. Pada tahun 2000 jaringan pengaman sosial

bidang kesehatan (JPSBK) telah berhasil meningkatkan akses keluarga miskin

terhadap pelayanan kesehatan. Sehingga derajat kesehatan masyarakat miskin

cenderung meningkat dan status gizi buruk mulai menurun (Taruna, 2002).

6 Faktor Penyakit

Salah satu faktor penyebab gizi buruk pada anak balita adalah faktor penyakit

yang diderita anak, baik penyakit bawaan seperti penyakit jantung, penyakit

infeksi seperti, saluran pernafasan dan diare. Untuk mengatasi masalah

tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan

mengatasi masalah masalah penyakit pada anak, misalnya memberikan

imunisasi kepada ibu hamil dan bayi untuk mencegah terjadinya penyakit

(Kliegmen, 2007).

24
BAB III
METODE PENERAPAN KEGIATAN

A. Keadaan Umum Kecamatan Mojolaban


Kecamatan Mojolaban merupakan salah satu kecamatan di kabupaten
Sukoharjo dengan luas wilayah 31,9 km2. Kecamatan Mojolaban terdiri dari 15
desa. Jumlah penduduk 87.941 jiwa.

B. Profil Puskesmas Mojolaban


1. Dasar
Visi pembangunan kesehatan Nasional adalah tahun 2005 2025
sebagaimana ditetapkan dalam UU RI No. 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 adalah INDONESIA
YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR. Untuk mewujudkan
hal tersebut ditetapkan 8 arah pembangunan jangka panjang, yang salah
satunya adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan yang
merupakan perangkat Kabupaten di Kecamatan untuk melaksanakan tugas
pokok dalam menyelenggarakan pelayanan pembinaan dan pengembangan

25
upaya kesehatan secara paripurna kepada masyarakat di wilayah
kerjanya.Untuk menyelenggarakan tugas pokok dan misi Puskesmas, maka
Puskesmas mempunyai fungsi menggerakkan pembangunan berwawasan
kesehatan, memberdayakan masyarakat, memberikan pelayanan kesehatan
masyarakat primer, dan memberikan pelayanan kesehatan perorangan
primer.
2. Visi
Visi merupakan cita-cita dan arah atau tujuan dari suatu organisasi.
Adapun visi Pukesmas Mojolaban adalah menjadi pusat pelayanan
kesehatan yang tangguh menuju Mojolaban sehat tahun 2018.
3. Misi
a. Meningkatkan kedisiplinan, kesejahteraan dan etos kerja karyawan.
b. Memberikan pelayanan prima dan paripurna.
c. Melayani masyarakat dengan penuh pengabdian dan tanggungjawab.
d. Meningkatkan kemitraan dan kerjasama lintas sektor maupun lintas
program-program.
e. Meningkatkan kualitas SDM dan mengaplikasikan IT disetiap unit
pelayanan.
f. Menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
4. Strategi
a. Edukasi
Sosialisasi di tingkat kecamatan dan desa tentang program pencegahan
dan penanggulangan DBD. Memberikan edukasi pada masyarakat
tentang DBD
b. Pelatihan, pendidikan kesehatan.
Pelatihan petugas kesehatan dan kader kesehatan tentang pencegahan
dan penanggulangan DBD.
c. Monitoring dan evaluasi serta pelaporan
Pelacakan DBD, Pelayanan penderita DBD
5. Susunan Organisasi
Susunan organisasi Puskesmas Mojolaban nomor 900/053/I/2015 tanggal
2 Januari 2015 terdiri atas,
a. Kepala Puskesmas
b. Sub Bagian Tata Usaha
1) Sistem Informasi Puskesmas
2) Kepegawaian
3) Rumah Tangga
4) Keuangan
5) Perencanaan Program
6) Sumber Daya Kesehatan

26
c. Unit Upaya Kesehatan Mandiri (UKM) Esensial dan Keperawatan
1) Pelayanan Promosi Kesehatan Termasuk UKS.
2) Pelayanan Kesehatan Lingkungan.
3) Pelayanan KIA-KB Yang Bersifat UKM.
4) Pelayanan Gizi Yang Bersifat UKM.
5) Pelayanan Pencegahan Penyakit.
6) Pelayanan Pengendalian Penyakit.
7) Keperawatan Kesehatan Masyarakat
d. Bidan Desa
e. Unit UKM Pengembangan
1) Pelayanan Kesehatan Jiwa.
2) Pelayanan Kesehatan Gigi Masyarakat.
3) Pelayanan Kesehatan Tradisional komplementer.
4) Pelayanan Kesehatan Olah Raga.
5) Pelayanan Kesehatan Indera.
6) Pelayanan Kesehatan Lansia.
7) Pelayanan Kesehatan Kerja.
8) Pelayanan Sertifikasi, Registrasi, & Farmamin
f. Unit Upaya Kesehatan Perorangan Kefarmasian dan Laboratorium
1) Pelayanan Pemeriksaan Umum.
2) Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
3) Pelayanan KIA-KB Yang Bersifat UKP
4) Pealayan Gawat Darurat
5) Pelayanan Gizi Yang Bersifat UKP
6) Pelayanan Persalinan
7)Pelayanan Ranap Untuk Puskesmas yang menyediakan pelayanan-
pelayanan Ranap
8) Pelayanan Kefarmasian
9) Pelayanan Laboratorium
10) Pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

g. Unit Jaringan Pelayanan Puskesmas dan Jejaring Fasilitas Pelayanan


Kesehatan
1) Puskesmas Pembantu
2) Puskesmas Keliling
3) Bidan Desa
4) Jejaring Fasilitas Pelayanan kesehatan
6. Keadaan Umum Puskesmas
a. Batas Wilayah
Luas Wilayah kerja Puskesmas Mojolaban kurang lebih 31,9 Km2
1) Batas sebelah Utara : Kabupaten Karanganyar
2) Batas sebelah Selatan : Kecamatan Polokarto
3) Batas sebelah Timur : Kecamatan Polokarto dan
Kabupaten, Karanganyar.

27
4) Batas sebelah Barat : Kecamatan Kodya Surakarta

b. Wilayah Kerja
Wilayah kerja Puskesmas Mojolaban sebanyak 15 desa,yaitu:
1) Desa Wirun
2) Desa Bekonang
3) Desa Cangkol
4) Desa Klumprit
5) Desa Dukuh
6) Desa Plumbon
7) Desa Laban
8) Desa Tegalmade
9) Desa Gadingan
10) Desa Palur
11) Desa Demakan
12) Desa Joho
13) Desa kragilan
14) Desa Sapen
15) Desa Triyagan
c. Jumlah Penduduk
1) Luas total wilayah binaan Puskesmas Mojolaban adalah 39,5 Km2
dengan kepadatan penduduk 27.757 jiwa/Km2.
2) Hasil pendataan kegiatan program Puskesmas Mojolaban tahun 2015
adalah sebagai berikut:
a) Jumlah penduduk : 87.941 jiwa
b) Jumlah Kepala Keluarga : 21.710 KK
c) Jumlah kelompok Umur 0-4 th : 3158 jiwa
d) Jumlah ibu hamil : 1.501 orang
e) Jumlah ibu bersalin : 1.309 orang
f) Jumlah ibu nifas : 1.309 orang
g) Jumlah neonatal : 1.309 orang
h) Jumlah wanita usia subur : 17.985 orang
i) Jumlah pasangan usia subur : 13.255 orang
j) Jumlah usia lanjut : 10.676 orang

d. Keadaan Sosial Ekonomi


Mata pencaharian:
1) Petani
2) Buruh Tani
3) Buruh industry
4) Karyawan
5) Pengusaha
6) Buruh bangunan
7) Pedagang
8) PNS / ABRI

28
9) Pensiunan
10) Lain lain.
e. Sarana dan Prasarana
1) Sarana Fisik :
a) Gedung Puskesmas : 2 unit
b) Gedung rawat inap : 1 unit
c) Gedung Pustu : 3 unit (Klumprit,
Palur,Sapen)
d) Pos Kesehatan Desa : 15 unit
e) Posyandu : 123 pos
f) Pusling : 10 pos
g) Mobil Pusling : 2 unit
h) Kendaraan roda dua : 18 buah
i) Ambulance desa : -
j) Unit Bank Darah : -
2) Sarana meubelair :peralatan medis dan obat-obatan cukup tersedia.
3) Sarana kesehatan
a) Jumlah Sarana kesehatan
(1) puskesmas perawatan : 1
(2) puskesmas keliling : 2
(3) puskesmas pembantu : 3
(4) rumah bersalin : 4
(5) balai pengobatan/klinik : 3
(6) praktek dokter perorangan : 23
(7) praktek pengobatan tradisional : 10
b) Jumlah Posyandu
(1) Posyandu pratama : 9
(2) Posyandu madya : 56
(3) Posyandu purnama : 44
(4) Posyandu mandiri : 14
c) Upaya Kesehatan Bersumberdaya masyarakat
(1) Poskesdes : 15 desa
(2) Polindes : 15 desa
(3) Posbindu : 3
(4) Posyandu : 123 posyandu
(5) Desa siaga : 10
(6) Sarana kesehatan lingkungan yang terdapat di wilayah kerja
4) Puskesmas Mojolaban tahun 2015
a) Sumur Gali : 7.617 unit
b) Sumur Pompa Tangan : 1.567 unit
c) Sumur Bur dengan Pompa : 3.793 unit
d) Perpipaan (PDAM, BPSPAM) : 1.985 unit
e) Prosentase rumah sehat : 72, 4 %
f) Jumlah penduduk akses jamban sehat : 88,1 %
g) Jumlah KK mengelola sampah ( MS) : 16.675 kk
h) Jumlah KK akses SGL : 13.280 kk

29
i) Jumlah KK akses SPT : 4.700 kk
j) Jumlah KK akses PP ( Pamsimas) : 1.020 kk
k) Jumlah rumah memiliki SPAL : 16.031 kk
f. Sumber Daya Kesehatan
Sumber daya manusia berjumlah 84 orang, terdiri atas,
1) Dokter Umum : 6 orang
2) Dokter gigi : 2 orang
3) Perawat Puskesmas : 18 orang
4) Bidan Puskesmas : 23 orang
5) Bidan Desa : 15 orang
6) Petugas Kesehatan Lingkungan : 2 orang
7) Petugas Gizi : 2 orang
8) Tata Usaha : 1 orang
9) Asisten Apoteker : 2 orang
10) Perawat Gigi : 2 orang
11) Tenaga administrasi / staf : 5 orang
12) Tenaga laboratorium : 3 orang
13) Tenaga fisioterapi : 1 orang
14) Tenaga Rontgent : 1 orang
15) Tenaga Rekam Medik : 1 orang

g. Pembiayaan Kesehatan
Pada tahun 2015 sumber biaya operasional di Puskesmas
mojolaban dari dana APBD Kabupaten Sukoharjo dan dana dari
pemerintah pusat berupa dana BOK untuk menjalankan program-
program kesehatan. Semua dilaksanakan sesuai kebijakan yang diberikan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.

C. Analisis Masalah
Dari hasil evaluasi kegiatan dalam minilokakarya tahun 2015
didapatkan prioritas kegiatan Puskesmas Mojolaban Sukoharjo yaitu,
Pengendalian penyakit menular yaitu: DBD, Cikungunya, Tuberkulosis
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
Menurunkan angka Gizi buruk dan gizi kurang
Meningkatkan jumlah desa ODF (Open defecation Free)
Prioritas kegiatan Menurunkan angka Gizi buruk dan gizi kurang di
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo pada tahun 2015 belum mencapai target
indikator program menurunkan angka Gizi buruk dan gizi kurang, sehingga
pada tahun 2016 masih menjadi prioritas kegiatan di Puskemas Mojolaban.
Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development
Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (Kabupaten/Kota) pada

30
tahun 2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi
3,6% atau kekurangan gizi pada balita menjadi 15,5% (Bappenas, 2010).
Pada tahun 2016 insidens rate (IR) gizi buruk dan gizi kurang pada
bulan januari di Puskesmas Mojolaban yaitu 44 per 1000 penduduk, pada
bulan mei 128 per 1000 dan bulan september 145 per 1000 hal ini menunjukan
adanya peningkatan jumlah balita yang mengalami permasalah gizi di daerah
kerja puskesmas mojolaban.

D. Analisis SWOT
1. Kekuatan
a) Gedung Puskesmas, PKD, dan Posyandu letaknya strategis.
b) Sarana prasarana kesehatan dasar dilengkapi dengan alat timbang dan
pengukuran berat badan, tinggi badan, serta lingkar lengan dan kepala
untuk penghitungan gizi.
c) Tersedia SDM berupa dokter, perawat, bidan dalam program
Menurunkan angka Gizi buruk dan gizi kurang.
d) Tersedianya tim tanggap darurat KLB gizi buruk.
e) Kerja sama lintas program antara pelayanan kesehatan dan promosi
kesehatan dalam program kegiatan Menurunkan angka Gizi buruk dan
gizi kurang.
f) Adanya program kerja yang jelas dalam manajemen kasus gizi buruk.
2. kelemahan
a) Jumlah ahli gizi yang terbatas dalam pelaksaan program menurunkan
angka Gizi buruk dan gizi kurang ke lapangan, karena masih harus
membantu lintas program sehingga menjadi tidak fokus pada
programnya sendiri.
b) Kegiatan Promosi kesehatan tentang pentingnya gizi pada balita yang
masih kurang.
c) Kurangnya dana dalam pelaksanaan program penanggulangan gizi
buruk dan gizi kurang
d) Kualitas kinerja sumber daya tidak merata.
e) Pemanfaatan kerjasama lintas program kurang optimal.
3. Peluang

31
a) Komitmen kerjasama dengan stake holder dan tokoh masyarakat, tokoh
agama yang berpengaruh dalam pelaksanaan program menurunkan
angka Gizi buruk dan gizi kurang.
b)Adanya jaminan kesehatan daerah bagi bayi yang berasal dari keluarga
tidak mampu dengan gizi kurang dan buruk
c) Memberikan edukasi dan pelatihan bagi kader kesehatan (tokoh
masyarakat, tokoh agama, masyarakat, dokter kecil), Forum Kesehatan
Desa (FKD) lintas sektor dalam program menurunkan angka gizi buruk
dan gizi kurang untuk menjadi teladan, pengawas dan pelaksana dalam
program menurunkan angka gizi buruk dan gizi kurang.
d) Adanya keterlibatan aktif warga sebagai kader kesehatan dalam
program menurunkan angka gizi buruk dan gizi kurang.
e) Berinovasi mencari metode-metode yang efektif dalam menanggulangi
gizi buruk.

4. Ancaman
a) Masyarakat masih memiliki pendapat yang salah bahwa permasalahan
gizi buruk dan kurang adalah tanggung jawab tenaga kesehatan dan
pemerintah.
b) Perilaku dan budaya masyarakat belum sesuai program PHBS.
c) Pengetahuan dan kesadaran warga masih rendah mengenai pedoman
pemberian makanan yang baik bagi balita.
d) Kurangnya kesadaran masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam
program Posyandu.
e) Kerja sama lintas sektoral kurang merata tiap desa.
f) Kurangnya komitmen dari stake holder dalam mendukung program
Menurunkan angka Gizi buruk dan gizi kurang, seperti dana kusus dari
angaran desa untuk menanggulangi angka gizi buruk dan gizi kurang.
g) Kurangnya motivasi mengenai pentingnya kecukupan gizi pada balita

E. Formula Strategi SWOT


1. Kekuatan + Peluang ( S + O )
a) Gedung Puskesmas, PKD, Posyandu, letaknya strategis sehingga
memudahkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
menderita gizi buruk
b) Sarana prasarana kesehatan dasar dengan alat timbang dan pengukuran
berat badan, tinggi badan, serta lingkar lengan dan kepala untuk

32
penghitungan gizi dan SDM berupa dokter, asisten apoteker, perawat,
bidan dalam program menurunkan angka gizi buruk dan gizi kurang
sehingga pencegahan, diagnosis dan penanganan cxgizi buruk dapat
dilakukan secara tepat dan cepat.
c) Adanya edukasi dan pelatihan bagi kader kesehatan (tokoh masyarakat,
tokoh agama, masyarakat, dokter kecil), Forum Kesehatan Desa (FKD)
lintas sektor dalam program menurunkan angka gizi buruk dan gizi
kurang untuk menjadi teladan, pengawas dan pelaksana dalam program
menurunkan angka gizi buruk dan gizi kurang.
d) Kerja sama lintas program yang cukup baik antara pelayanan kesehatan,
promosi kesehatan dalam program menurunkan angka gizi buruk dan
gizi kurang sehingga beberapa program dapat berjalan beriringan untuk
bersama mengendalikan kasus gizi buruk.
e) Adanya program kerja yang jelas dalam manajemen kasus gizi buruk
sehingga pelaksanaan program yang melibatkan peran aktif masyarakat,
tokoh masyarakat dan kader kesehatan berjalan terarah dan jelas.
2. Kelemahan + Peluang ( W + O )
a) Petugas kesehatan memanfaatkan keterlibatan aktif kader kesehatan
(tokoh masyarakat, masyarakat, dokter kecil) untuk pencegahan,
deteksi dini Gizi buruk dan gizi kurang.
b) Meningkatkan pengetahuan kader kesehatan melalui pelatihan
berkala di Forum Kesehatan Desa (FKD) untuk kemudian kader
menjadi teladan, pengawas dan pelaksana dalam program menurunkan
angka gizi buruk dan gizi kurang.
c) Mendorong desa untuk mengalokasikan dana desa yang khusus untuk
program kegiatan menurunkan angka gizi buruk dan gizi kurang.
d) Memberika jaminan kesehatan daerah pada bayi dengan gizi buruk
dan kurang dari keluarga tidak mampu untuk membamtu dalam
program perbaikan gizi bayi tersebut
3. Kekuatan Ancaman ( S T )
a) Petugas kesehatan melakukan musyawarah berkala bersama dengan
masyarakat untuk meluruskan pendapat yang salah bahwa
permasalahan gizi buruk dan kurang adalah tanggung jawab tenaga
kesehatan dan pemerintah.

33
b) Petugas kesehatan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa
Pemberian Makanan Tambahan adalah metode yang efektif untuk
mengendalikan Menurunkan angka Gizi buruk dan gizi kurang dan
Pemberian Makanan Tambahan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat.
c) Petugas kesehatan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai
gizi buruk dan gizi kurang, pencegahan dan deteksi dini gizi buruk
dan gizi kurang.
d) Petugas kesehatan melakukan advokasi bersama stake holder untuk
memperioritaskan program penanggulangan gizi buruk dan kurang ini.
e) Puskesmas bekerjasama dengan stake holder untuk ketersediaan akses
kesehatan dan penjaringan penderita gizi buruk dan gizi kurang bagi
penduduk yang memiliki mobilitas tinggi.

4. Kelemahan Ancaman ( W T )
a) Maksimalkan sarana prasarana, tenaga dan dana kesehatan untuk
meningkatkan pencegahan, deteksi dini dan penanganan cepat bagi
masyarakat yang berpotensi tinggi gizi buruk dan gizi kurang.
b) Manfaatkan sarana prasarana, tenaga dan dana untuk mengubah
perilaku dan budaya masyarakat agar mendukung program PHBS.
c) Maksimalkan sarana prasarana, tenaga dan dana kesehatan untuk
memberdayakan masyarakat dalam mengatasi gizi buruk dan gizi
kurang yang diakibatkan oleh perilaku dan budaya yang tidak sehat,
ekonomi yang rendah dan mobilitas yang tinggi.

F. Rencana Usulan Kegiatan


1. Pembentukan dan pelatihan kader khusus untuk program menuruknkan
angka gizi buruk dan gizi kurang.
2. Pemantauan dan pengendalian faktor faktor penyebab gizi buruk dan gizi
kurang.
3. Penemuan kasus.
4. Pendampingan Pemberian Makanan Tambahan.
5. Sosialisasi dan penyuluhan tentang gizi buruk dan gizi kurang.

34
6. Melakukan advokasi bersama stake holder untuk memperioritaskan program
penanggulangan gizi buruk dan kurang ini
7. Membuka komunikasi dua arah antara petugas puskesmas, kader kesehatan,
dan masyarakat didaerah kerja puskesmas mojolaban berbasis online.
8. Melakukan program jemput balita untuk pemeriksaan di posyandu dengan
nama program JELITA
9. Melakukan lomba balita sehat di daerah kerja puskesmas mojolaban.

G. Kegiatan Pengendalian Angka Gizi Buruk dan Gizi Kurang


Sudah dilakukan kegiatan pengendalian angka gizi buruk dan gizi
kurang tahun 2016 berupa kegiatan pemberian makanan tambahan secara
terus menerus selama 90 hari pada bayi yang mengalami gizi buruk dan
kurang di seluruh desa di daerah kerja Puskesmas Mojolaban .

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penanggulangan kasus gizi buruk dan gizi kurang tata laksana dari
awal sangatlah penting. Manajemen yang baik tidak hanya bersifat kuratif, namun
juga promotif dan preventif. Puskesmas sebagai pusat pelayanan tingkat pertama
harus memiliki program yang berpusat pada Usaha Kesehatan Masyarakat
maupun Usaha Kesehatan Perseorangan.
Pada pengamatan, Puskesmas Mojolaban sebagai salah satu pusat
pelayanan kesehatan dalam menanggulangi kasus gizi buruk dab gizi kurang
sudah cukup baik. Beberapa program yang sudah dilakukan oleh Puskesmas
Mojolaban yaitu:
1. Berkoordinasi dengan pelayanan medis melakukan deteksi dini, penanganan
dan rujukan pasien gizi buruk dan kurang.

35
2. Berkoordinasi dengan promkes melakukan penyuluhan kepada masyarakat
mengenai informasi umum tentang penyakit dan pencegahan penyakit
dengan informasi keliling ataupun selebaran.
3. Mengajukan ke dinas untuk ABPD perjalanan dinas petugas dan kader.
4. Mengajak warga masyarakat dalam kegiatan aktif ke posyandu.
5. Melakukan program penanggulangan pemberian makanan tambahan pada
balita balita yang mengalami gizi buruk maupun gizi kurang.
6. Pemantuan dan penghitungan anka kejadian gizi buruk maupun gizi kurang
7. Mengajak kader kesehatan untuk terlibat dalam program kesehatan.

A. Hasil
1. Program kegiatan pengendalian kasus gizi buruk dan gizi kurang di
puskesmas mojolaban kurang efektif karena tidak memenuhi target
indikator Program Pengendalian Gizi Buruk dan Gizi Kurang yaitu kasus
Gizi Buruk dan Gizi Kurang di puskesmas mojolaban pada bulan
september tahun 2016 Insidens rate 145 per 1000 balita.
2. Terjadi peningkatan insidens rate kasus gizi buruk maupun gizi kurang di
Mojolaban pada tahun 2016 pada bulan mei 128 per 1000 dan bulan
september 145 per 1000 balita
3. Kegiatan pengendalian gizi buruk dan kurang di puskesmas mojolaban
pada tahun 2015 dan 2016 yaitu kegiatan pemberian makanan tambahan
berupa biskuit, dan pemberian makanan tambahan formula 100 pada balita
yang mengalami gizi buruk dan kurang selama 90 hari secara terus
menerus.

B. Pembahasan
Tidak efektifnya program kegiatan pengendalian gizi buruk dan gizi kurang di
Puskesmas Mojolaban di puskesmas mojolaban disebabkan oleh:
h) Masyarakat masih memiliki pendapat yang salah bahwa permasalahan
gizi buruk dan kurang adalah tanggung jawab tenaga kesehatan dan
pemerintah.
i) Pengetahuan dan kesadaran warga masih rendah mengenai pedoman
pemberian makanan yang baik bagi balita.
j) Kurangnya kesadaran masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam
program Posyandu.
k) Kurangnya komitmen dari stake holder dalam mendukung program
Menurunkan angka Gizi buruk dan gizi kurang.

36
l) Jumlah paramedis yang terbatas dalam pelaksaan program menurunkan
angka Gizi buruk dan gizi kurang ke lapangan, karena masih harus
membantu lintas program sehingga menjadi tidak fokus pada
programnya sendiri.
Dari 5 masalah diatas permasalahan pemahaman masyarakat dalam
hal ini perilaku masyarakat yang paling berpotensi dan berperan besar dalam
pengendalian gizi buruk dan kurang sehingga inovasi metode yang baru
diarahkan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat.

C. Rencana Tindak Lanjut


Rencana Tindak Lanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Pembentukan dan pelatihan kader khusus untuk program menuruknkan
angka gizi buruk dan gizi kurang.
2. Pemantauan dan pengendalian faktor faktor penyebab gizi buruk dan gizi
kurang.
3. Pendampingan Pemberian Makanan Tambahan.
4. Sosialisasi dan penyuluhan tentang gizi buruk dan gizi kurang.
5. Membuka komunikasi dua arah antara petugas puskesmas, kader kesehatan,
dan masyarakat didaerah kerja puskesmas mojolaban berbasis online.
6. Melakukan advokasi bersama stake holder untuk memperioritaskan program
penanggulangan gizi buruk dan kurang ini
7. Melakukan lomba balita sehat di daerah kerja puskesmas mojolaban.
8. Melakukan program jemput balita untuk pemeriksaan di posyandu dengan
nama program JELITA

D. Rencana Usulan Kegiatan Spesifik

JELITA (JEMPUT BALITA KITA)


1. Tujuan umum
Membudayakan gerakan tanggap dini gizi buruk dan kurang
2. Tujuan khusus
a. Menurunkan insiden rate kasus gizi buruk dan kurang di Puskesmas
Mojolaban
b. Melakuakan pengukuran dan pendataan gizi pada semua balita secara
langsung di area kerja puskesma mojolaban
3. Sasaran
Kader posyandu balita
b. Warga masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mojolaban

37
4. Metode
a. Makrab, kaderisasi dan Pelatihan
b. Kunjungan Rumah: melakukan penyuluhan, pengukuran gizi, memasang
stiker (punishmen)
c. Reward (sertifikat)
5. Materi
Materi pelatihan yaitu :
a. Penyakit gizi buruk dan gizi kurang
b. Penilaian gizi buruk dan gizi kurang
c. Pencegahan gizi buruk dan gizi kurang
d. Teknik komunikasi dan penyuluhan efektif
e. Keorganisasian, leadership dan jejaring
6. Pelaksana
PROGRAM JELITA
7. Waktu dan lokasi
a. Kegiatan pelatihan
1) Waktu: minggu pertama bulan desember 2016
2) Tempat: Aula puskesmas mojolaban
b. Kegiatan kunjungan rumah:
1) Waktu :Setiap minggu pertama pada awal bulan
2) Tempat: Posyandu di wilayah kerja puskesma mojolaban

8. Kegiatan
a. Makrab, Kaderisasi dan Pelatihan
b. Penyuluhan singkat dan pengukuran gizi balita door to door
c. Menjalin komitmen dengan pemilik rumah untuk melakukan pengukuran
gizi balita
d. Mengingatkan pemilik rumah untuk rajin melakukan pengukuran gizi
balita
e. Bagi keluarga yang berantusia, rutin melakukan pemeriksaan gizi dan
memiliki balita yang sehat ditempel stiker bertuliskan LULUS BALITA
SEHAT
f.Menjalin komitmen dengan kepala desa untuk membuat peraturan desa berkaitan
dengan penanganan gizi kurang dan gizi buruk.
9. Estimasi Biaya
No Rincian jumlah @ Rp.
.
1 Pembicara 2 0 0
2 Snack pembicara 2 15.000 30.000
3 Transportasi 2 20.000 40.000
6 Snack panitia dan 50 15.000 750.000

38
peserta
8 Sertifikat 50 10.000 500.000
9 fotokopi 100.000 100.000
10 Stiker 2170 500 1.085.000
Total 2.505.000

10. Output
a. Kenaikan angka balita sehat
b. Penurunan insidens rate balita gizi buruk dan gizi kurang
c. Meningkatnya partisipasi aktif warga masyarakat untuk memeriksa gizi
buruk dan gizi kurang

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Upaya pengendalian gizi buruk dan gizi kurang di puskesmas
Mojolaban dilakukan melalui promotif, preventif dan kuratif. Upaya promotif
melibatkan tokoh masyarakat dan kader-kader kesehatan untuk melakuakan
penyuluhan dan, Preventif dengan mengadakan penjaringan pada balita
dengan gizi buruk, gizi kurang dan pemberian makanan tambahan di
kecamatan Mojolaban. Kuratif melalui pelayanan di puskesmas rawat inap
dan rujukan ke rumah sakit. Kerjasama program kegiatan dilakukan secara
lintas program maupun lintas sektoral dengan stake holder, tim Forum
Kesehatan Desa (FKD), dan kader kesehatan.

B. Saran
Meningkatkan kerjasama lintas sektoral dengan stake holder, tim
Forum Kesehatan Desa (FKD), dan kader kesehatan di wilayah kerja

39
Puskesmas Mojolaban dalam mengendalikan angka gizi buruk dan gizi
kurang melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan, dan pendataan secara
langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama;


2001.

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.

Departemen Kesehatan tentang Gizi. 2013. Pedoman Pelayanan Anak Gizi


Buruk. (online), (http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/Buku-
Pedoman-pelayanan-anakdfr.pdf), diakses 16 November 2016.

Dini L.Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama


Krisis Ekonomi.Jakarta:PT Gramedia Pustaka;2000.

Effendi.Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC;


2009.

Fajar, Ibnu, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.

40
Hartono A. Asuhan Nutrisi Rumah Sakit.Jakarta: EGC; 2008.

Hidayat AAA.Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan.Jakarta:Salemba Medika;2008.

Kardjati, dkk 1985,Pola Makan dan Status gizi Balita,Jakarta.


Kementerian Kesehatan RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak.Jakarta: Direktorat Bina Gizi; 2011

Kliegman R.Nelson Textbook of Pediatrics. USA: Saunders Elsevier;2007.

Kosim, Sholeh M.Buku Ajar Neonatologi Edisi I.Jakarta: Badan Penerbit


IDAI;2008.

Mexitalia M. Air Susu Ibu dan Menyusui. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED,
Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik. Edisi ke-1.Jakarta: IDAI;2011. hal. 77-95.

Moejhi, 2003. Pengetahuan Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Jakarta.

Muliarini Prita, 2010, Pola Makan Dan Gaya Hidup Sehat Selama
Kehamilan, Nuha Medika.

Notoatmodjo S. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat.Jakarta : Rineka Cipta; 2003.

Pudjiadi S. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru; 2005.

Rumiasih. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Buruk


pada Anak Balita di Kabupaten Magelang[karya tulis ilmiah].Semarang:
Universitas Diponegoro;2003.

Santoso, S dan Anne Lies Ranti, 2004. Kesehatan dan Gizi. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.

Soedioetama, 2000, Ilmu Gizi, Dian Rakyat, Yakarta

Soekirman.Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan


Masyarakat.Jakarta:EGC;2000.

Suhadjo, 2003, Berbagai Cara Pendidikan Gizi, Penerbit Bumi Aksara,


Jakarta.

Supariasa, dkk, 2006. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta.

41
Supartini Y.Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak.Jakarta:EGC;
2002.

Taruna J.Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus


Gizi Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun
2002[karya tulis ilmiah].Jakarta:Universitas indonesia;2002.

42
43
44

Anda mungkin juga menyukai