Anda di halaman 1dari 5

Bloody Mama, Bring Her Back!

(by: Lisa Suryani)

Aku tengah fokus menanti mesin spinner berisi muatan cucian tuk berhenti ketika
pikiranku dengan liar menerawang entah kemana dimau. Secara berulang, wajah-wajah mungil
kedua keponakanku menari-nari, kusam terbalut seulas senyum samar dan mata yang redup,
seolah hidup tak memberi harapan dan kebahagiaan pada mereka. Si sulung perempuan kelas 3
dengan air muka temaram menggendong si bungsu laki-laki yang baru satu tahun sambil
menangis tanpa suara.

Keduanya terlalu muda untuk mengetahui kenyataan yang mustahil ini.

Ibu mereka, yang merupakan kakak kandungku, bukanlah sosok sejati. Aku sendiri pun tak
tahu bagaimana bisa, namun sejak 3 bulan yang lalu, ayahku sering kali berucap bahwa kakakku
itu bukan kakakku lagi.

Tepat saat ini, orang yang kumaksud sedang membantu suaminya mengulah rongsok
plastik. Dan sepertinya ia tahu jika istrinya bukan lagi wanita yang biasa ia kenalnamun entah
apa yang mempengaruhi pikirannya hingga ia tetap membangkang jika disuruh mengusir wanita
itu.

Aku tak tahu ke mana gerangan kakakku. Yang aku tahu, sesosok makhluk lain telah hidup
dan meminjam wajah kakakku, tanpa kutahu duduk perkaranya. Makhluk apa ia sebenarnya pun
aku tak tahu. Yang pasti, ia sangat kurangajar.

Insting keibuanku yang mulai aktif bisa merasakan bagaimana rasanya melihat kedua
"anakku" dijauhkan dari yang namanya kasih sayang. Tak ada lagi nada mesra di dalam
panggilan nama dari ibu mereka. Sekedar bersandar di atas pangkuan sang ibu setelah penat
berlarian saja, mereka malah ditendang. Kepulanganku dari kampus setiap Minggu pun
sepertinya menjadi hiburan yang amat menggembirakan, namun juga amat mengiris hatiku. Dulu
mereka berlarian berebut untuk kujitak dengan riangnya. Namun belakangan ini, mereka lebih
suka berbagi pelukan denganku dan menangis, menceracau betapa "nakal" ibu mereka. Dan
hanya dengankulah mereka bisa bermain bebas, tertawa-tawa, berguling-guling, hingga akhirnya
aku sendiri harus menghadapi kemurkaan ibu mereka lantaran kami terlalu berisik.

Kakakku yang ceria dan penyayang digantikan oleh lelembut tak jelas dan semaunya
sendiri.

"Andai aku punya cara...." aku mendesah panjang sambil bersandar ke dinding dan
menatap langit-langit dengan kemasygulan yang membukit. "Aku ingin bunuh dia!"

Aku hanya ingin kakakku kembali. Dan, yah.... Aku tak menemukan ide apapun.

Aku melepas sebuah hentakan nafas ketika tiba-tiba kudengar suara air mengalir dari
kamar mandi. Tempatnya tepat di balik tembok tempatku bersandar kini, yang merupakan
pemisah antara ruang cuci dan kamar keponakan sulungku. Aku lirik jam dinding yang
tergantung. Baru jam 2 siang. Kedua anak itu masih tidur siang sekarang. Tak ada di antara
mereka yang memiliki jadwal mandi seawal ini.

"Asya?" aku memanggil nama keponakanku itu. "Kamu lagi mandi?"

Tak ada jawaban. Mungkin suara air yang berisik menghalangi suaraku.

"Asya?"

Masih tak ada jawaban. Namun, kini kudengar suara keran ditutup.

"Asya?" aku memanggil lagi. "Lilik manggil, koh!"

Masih tak ada respon. Dan aku termangu sendiri. Harusnya suaraku cukup keras untuk
memanggil Asya. Ia juga tidak pernah setuli itu, kecuali....

Kecuali jika ia memang sedang tidur pulas....

Asya! aku mencoba memanggil lagi. Sengaja kunaikkan suaraku, berharap jika mungkin
Asya memang tak mendengarku. Biasanya dengan nada suara begitu, Asya akan datang sambil
berlari terbirit-birit.

Tapi kali ini, tak ada respon apapun.


Akal rasionalku mulai kacau. Asya anak yang patuh, aku yakin itu. Catatan, anak itu bisa
tidur dengan lelap sekali, dan bangun hanya jika aku goncang tubuhnya dengan keras. Selain itu,
aku sendirian di rumah ini dalam keadaan terbangun, dan tak mungkin keponakan bungsuku
ngelindur sampai menyalakan dan mematikan keran air kamar mandi.

Aku menelan ludah dengan paksa. Benturan logika yang kurasakan membungkam mulutku
amat erat. Hawa dingin mulai terasa amat mencekam hingga terasa merayap di tengkuk leher.
Sejenak kubiarkan sunyi menemani, menyisakan suara spinner mesin yang mendesing dan gagal
memecah keheningan.

Sampai kemudian, penunjuk waktu spinner yang masih berada di arah jam 3 dalam
sekerlingan mata berputar ke arah jam 12.

Aku terkesiap. Penunjuk waktu spinner mesin cuci kakakku itu tak pernah berputar cepat
seekstrim itu dengan sendirinya. Sementara itu, aku masih mematung, tak melakukan apapun.

Ini tidak beres! batinku mulai panik. Ini tidak beres!

Tanpa pikir panjang, aku ambil langkah seribu menuju pintu keluar tak jauh dari tempatku
berdiri dengan kaki bergetar. Mulutku komat-kamit tak karuan membaca ayat Kursi, dan
kusempatkan berteriak agar kedua keponakanku terbangun.

Namun, baru saja kakiku selangkah menapak keluar pintu, sebuah kuasa yang amat kuat
menarik kedua tanganku dari belakang. Tak pelak, aku meronta. Aku tahu ini bukan ulah kedua
keponakanku, dan aku takkan pernah mau menengok ke belakang.

Lepasin! aku menjerit sambil terus berusaha membebaskan kedua tanganku. Lepasin
tanganku!

Tak sampai semenit, seperti cacing kepanasan aku berhasil membebaskan diri. Segera
kuberlari menuju tempat di mana kakak iparku tengah bekerja di samping rumah kedua
orangtuaku. Syukurlah, jarak rumah kami berdua hanya berjarak selebar jalan setapak.

Namun kali ini, giliran kedua kakiku yang amat berat. Butuh tenaga besar hanya untuk
mengangkat sebelah kaki. Biarpun begitu, tetap sekuat tenaga aku berusaha mengambil langkah.
Ada yang tidak beres dengan rumah kakak. Tak ada pula yang menjamin bahwa kedua
keponakanku yang masih tidur terlindungi dari apa yang tidak beres itu. Aku butuh bantuan,
paling tidak ayahku.

Masih berusaha berlari, aku sudah sampai setengah jalan menuju halaman samping rumah.
Kakak ipar masih di sana, tanpa kakak perempuanku. Sontak aku mendelik panik. Kemana dia?

Kaaak! aku menjerit memanggil kakak ipar, berteriak minta tolong sambil terus berusaha
berlari.

Namun, entah berapa kali aku menjerit, kakak ipar yang sibuk tak juga mendongakkan
kepala. Suaraku seolah sama sekali tak menyentuh daun telinganya, tak peduli betapa besar
tenaga yang kukeluarkan. Sialnya lagi, kedua kakiku masih terasa berat, lengkap dengan
cengkeraman kuat dan menyakitkan di pergelangan. Usahaku seolah benar-benar terhenti hanya
sampai di tengah jalan.

Aku masih terus mencoba berlari. Nafasku benar-benar sudah kembang kempis, tanda
sudah tak sanggup lagi memompa udara. Mulutku menceracau tak karuan, antara berteriak
memanggil orang rumah yang seolah tuli dan melontarkan makian kasar beserta segenap sumpah
serapah. Airmata putus asa pun sudah turun. Tapi tetap kuusahakan agar jangan sampai jatuh.
Ada dua nyawa yang mesti aku pastikan keselamatannya.

Kakak! Bapak! Ibu! Aku mohooon! aku terus menjerit sambil menangis. Tenagaku sudah
berada di ambang batas. Bap

Tiba-tiba di sisa teriakan terakhirku, kuasa yang mencengkeram kaki merayap ke atas
hingga mengangkat seluruh badanku tinggi-tinggi. Dalam sekejap mata tubuhku dibanting keras
menghantam dinding, lalu dilempar hingga menghempas ke tanah. Hancur rasanya sekujur
tulang dan daging dalam tubuhku, memantik sakit yang tak terkira dan tak pernah kubayangkan
seumur hidup.

Siang tampak amat gelap. Sakit ini memenjaraku dalam raga yang tak berdaya. Jantungku
masih berdenyut lemah. Kembang kempis nafasku terus berusaha memompa hawa kehidupan.
Seluruh isi badanku kini luluh lantak, tak ada yang mampu kugerakkan. Persis seperti bangkai.
Apakah ini yang namanya mati? tanyaku pada diri sendiri dalam hati. Sontak aku
merintih dalam sepi, mengerang penuh amarah dan penyesalan.

Lelembut itu mencoba memisahkan aku dan kedua anakku, dan ia berhasil.

Kali ini, kurasakan sepasang tangan mengangkat tubuh ringkihku. Secercah cahaya pula
menyusup masuk, hingga kemudian bayangan wajah ibuku yang banjir airmata dengan samar
memberkas. Bibirnya yang pucat bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.

Aku hanya diam. Aku tak mendengar apapun. Lubang telingaku lebih terasa seperti vakum
hampa udara, hingga kemudian menyedot udara luar, dan suara tangis ibuku menjadi apa yang
pertama kudengar.

Lisa! Alhamdulillah!

Aku hanya diam. Masih dalam keadaan sakit tak terkira aku mencoba kembali mempelajari
suasana. Sejurus kemudian, airmataku semakin deras membanjiri wajah.

Aku masih hidup lagi.

Apa itu, pak? suara kakak iparku menjadi suara kedua yang kudengar, tertuju pada
bapak.

Perlahan kutoleh kepala ke kanan, mencoba melihat ke sumber suara. Kulihat kakak ipar
berdiri membelakangiku dan ibu, di samping bapak yang tampak melukis sebuah huruf Y besar
dan gemuk di dinding tempat dimana aku dibanting menggunakan kapur putih.

Cuma tanda biasa, jawab bapak dengan suara berat sambil mundur selangkah, kemudian
menoleh menatapku. Matanya basah dan nanar.

....sebagai peringatan kalau istri jadi-jadianmu itu sudah mulai bergerak.

--fin--

Anda mungkin juga menyukai