Anda di halaman 1dari 15

Manajemen Komite Medik

dalam manajemen RS

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

Oleh :
Celly Magdalena
E. Yochanan
Yudi Adenan
Yunitawati

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
0
Faktor utama dalam pengembangan rumah sakit adalah meningkatkan mutu
pelayanan klinik. Pada Rumah Sakit adalah lembaga yang menghasilkan pelayanan
klinik. Baik dan buruknya proses pelayanan klinik salah satunya dipengaruhi oleh
penampilan kerjanya. Cara yang terbaik melakukan pelayanan dan peningkatan
mutut adalah dengan menerapkan clinical governance. Clinical governance
merupakan salah satu dasar bagi pembentukan pelayanan kesehatan yang
berkualitas. Penerapan clinical governance di rumah sakit disesuaikan dengan cara
memadukan pendekatan manajemen, organisasi, dan klinik secara bersama- sama

Reformasi di bidang kesehatan tidak hanya terjadi di negara kita, tetapi juga
terjadi di negara negara maju. Masalah mutu pelayanan dan hak asasi manusia di
bidang kesehatan semakin menonjol dan mencuat ke permukaan. Masalah
kesehatan di rumah sakit walaupun bervariasi tetapi memiliki ciri dan sifat masalah
yang hampir sama dalam hal yang mendasar, yaitu meningkatnya tuntutan dan
harapan pasien akan pelayanan, perkembangan pesat dan teknologi dan ilmu
kedokteran serta semakin terbatasnya sumber dana,

Sebagaimana telah diketahui istilah dan definisi mutu mempunyai makna dan
perspektif yang berbeda bagi setiap individu, tergantung dari sudut pandang masing-
masing. Dapat ditinjau dari segi profesi medis, perawat, manajer, birokrat maupun
konsumen pengguna jasa pelayanan sarana kesehatan.

Memasuki abad ke 21, yang semakin maju, adalah sudah seharusnya, bahwa
pendekatan mutu paripurna yang berorientasi pada kepuasan pelanggan atau
pasien menjadi strategi utama bagi organisasi pelayanan kesehatan di Indonesia,
agar supaya tetap eksis, ditengah persaingan global yang semakin ketat. Pada tahun
2003, kawasan Asia Tenggara akan menjadi kawasan perdagangan bebas. Pada
tahun 2010, Negara-negara maju di kawasan Asia Pasifik akan membuka pintunya
lebar-lebar bagi komoditi dan jasa yang kita hasilkan. Sebaliknya pada tahun 2020,
kita harus membuka lebar pasaran kita untuk menerima komoditi dan jasa dari
negara maju.

1
Hal ini berarti bahwa pada saat itu, kita harus mampu bersaing, khususnya
dalam pelayanan kesehatan, tidak hanya dengan sesama sejawat dalam negeri,
namun benar-benar harus mampu bersaing dengan sejawat negara lain yang
mungkin lebih maju atau bahkan sangat maju atau sangat professional. Salah satu
strategi yang paling tepat dalam rangka mengantisipasi adanya persaingan terbuka
adalah melalui pendekatan mutu paripurna (Total quality Management) atau
peningkatan mutu berkelanjutan (Continuous Quality Improvement) dalam pelyanan
kesehatan yang berorientasi selain pada proses pelayanan yang bermutu, juga hasil
mutu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan keinginan pasien atau pelanggan
Permenkes no. 755/MENKES/PER/IV/2011 mengatur mengenai
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit . Berdasarkan permenkes ini,
Komite medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis
(clinical governance) agar staf medis dirumah sakit terjaga profesionalismenya
melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan
etika dan disiplin profesi medis. Makalah ini akan membahas dan memberikan
sedikit pandangan mengenai peraturan baru ini terkait manajemen komite medic
dalam manajemen RS.

BAB II
2
CLINICAL GOVERNANCE
Pada tahun 1948 The National Health Service (NHS) menyebutkan : Quality
was seen as inherent in the system,sustained by the ethos and skill of the health
professionals workingwithin it (Donalson and Gray, 1989), bahwa kualitas tidak
terpisah dengan sistem, bergantung/erat kaitannya dengan etos kerja dan keahlian
tenaga kesehatan yang profesional itu sendiri.
Di tahun 1970-an para analis dan ilmuwan baru berupaya untuk
mendefinisikan dan menjelaskan makna dan keterkaitan antara komponen kualitas
(kriteria, standar, noma-norma dan lain-lain) sebagai suatu yang penting untuk
dipahami bahwa hubungan struktur, proses dan outcome dapat diidentifikasikan
(Lembcke, 1956,1959, Donabedian, 1981; Donabedian,1981; Donabedian et
al,1982)
Tahun 1990 NHS memelopori pengembangan sistem pelayanan di rumah
sakit dengan menggunakan istilah clinical governance. Clinical governance timbul
karena berbagai kenyataan buruk dalam sistem pelayanan kesehatan seperti
tingginya kasus malpraktik dan putus asanya pemerintah dan manajer sarana
pelayanan kesehatan di Inggris dengan alasan dalam mengimplementasikan
pendekatan total quality management (TQM) atau continous quality improvement
(CQI). Para staf klinik menilai TQM dan CQI tersebut terlalu berbau manajemen
tanpa identifikasi peran yang jelas.
Para klinisi mungkin hanya fokus pada doing the right thing, for the right
poeple, at the right time, and doing them right first time.(Donalson and Gray,1998).
Akan tetapi pasien tidak dapat menilai kualitas dari layanan tersebut. Mereka hanya
mengira saja terhadap layanan yang diberikan yang akhirnya penilaian dari setiap
individu akan berbeda.
The Picker Institute telah melakukan penelitian selama 12 tahun dan
melakukan 450.000 wawancara menyebutkan bahwa terdapat delapan dimensi
penyelenggaraan (eight dimension of care) yang menggambarkan kebutuhkan
seorang pasien, antara lain :
- Menghargai pasien, keinginan dan harapan mereka
- Akses pelayanan memadai
- Dukungan emosional
- Informasi, komunikasi dan edukasi

3
- Pelayanan yang terkoordinasi
- Rasa nyaman
- Melibatkan keluarga dan kerabat
- Dilakukan secara kontinu dan transisi
Pada tahun 1997 New NHS Modern & Dependeble (Secretary of state for
Health, 1997) mengagendakan isu kualitas layanan kesehatan. Kualitas menjadi
kebutuhan yang mendesak melebihi sekedar simbol belaka (Leatherman and
Sunderland,1998). NHS membuat Strategi baru tentang pengembangan kualitas
yang kemudian dijadikan regulasi yaitu supporting doctors, protecion patiens
(Secretary of state for health,1999).
National Institute for Clinical Excellence (NICE) dan Commission for health
Improvement (CHI) pada april 1999 memformulasikan struktur kualitas pelayanan
pada tingkat nasional.
Clinical governance di definisikan oleh Donalson and Gray sebagai:.....a
framework throught wichh NHS organizations are accountable for continually
improving the quality of their services and safegiarding high standars of care by
creating an environment in wichh exellence ini clinical care will flourish (Donalson
and Gray,1998).
Clinical governance dapat dikatakan sistem yang merubah semua
kebiasaan/budaya sehingga mampu mewujudkan organisasi yang mampu
berkembang dan mampu menciptakan akuntabilitas, fokus terhadap pasien, layanan
kesehatan yang terjamin.
achieving meaningful and sustainable quality improvements in the NHS requires a
fundamental shift in cultue, to focus effort where it is needed and to enable and
empower those who work in the NHS to improve quality locally. (Secretary of state
for health,1997).
Apabila kita ingin menginginkan implementasi clinical governance merupakan
peluang yang tak ternilai untuk memulai perubahan kultur. Inti dari clinical
governance adalah terciptanya hubungan antara pasien dan profesional.

The task is not so much to see what no one yet has seen,but to think what nobody
yet has throught, about that which everybody sees (Arthur Schopenhauer).
Menurut Harisson and Dixon (2000) bila kita ingin menerapkan clinical governance
maka langkah awalnya adalah yang menajadi kuncinya adalah terletak pada staf.

4
Pusat kesehatan haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai skill, motivasi
yang tinggi,pekerja keras dan individu yang kreatif.
The CGST menggunakan temple model untuk menggambarkan komponen yang
diperlukan untuk keberhasilan clinical governance.
Terdapat 5 komponen kultur/ budaya dalam cliinical governace yaitu:
1. System awarness
2. Teamwork
3. Communication
4. Ownership
5. Leadership
Dari 5 komponen tadi, terdapat 7 pilar utama yang mendukung hubungan antara
pasien dan profesional sebagai landasan clinical governace yaitu:
1. Clinical effectiveness
2. Risk management Effectiveness
3. Patient Experience
4. Communication effectiveness
5. Resource Effectiveness
6. Strategic effectiveness
7. Learning effectivenes
Clinical governance terdiri dari elemen-elemen:
Education and Training
Clinical audit
Clinical effectiveness
Research and development
Openness
Risk management

5
The Elements of Clinical Governance

Sedangkan konsep dasar dari clinical governance adalah :


1. Accountability, yaitu bahwa setiap upaya medis harus dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, etik, moral dan berbasis pada bukti
terkini dan terpercaya (evidence based medicine).
2. Continous quality improvement, yaitu bahwa upaya peningkatan mutu
harus dilaksanakan secara sistematik, komprehensif dan berkesinambungan.
3. High quality standar of care, yang mengisayaratkan agar setiap upaya medis
selalu didasarkan pada standar tertinggi yang diakui secara profesional, dan
4. Memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang menjamin terlaksananya
pelaksanaan pelayanan kesehatan bermutu.
Langkah-langkah strategi Clinical governance
1. Leadership, akuntabilitas dan rencana kerja yang baik. Dalam
pelaksanaannya terdapat komite Clinical governance yang bertanggung jawab
dalam implementasi atau penerapannya, pemantauan dan evaluasi dari
strategi ini serta menilai secara objektif setiap tahun untuk mengatur
terlaksananya program. Kemudian dibuat proposal dan agenda penerapan
Clinical governance.
6
2. Penilaian dasar terhadap kemampuan dan kapasitas kerja. Proses ini adalah
pencarian dan analisis kekuatan dalam hubungan dengan peningkatan
kualitas, identifikasi permasalahan dalam pelayanan, perbaikan pada
bagian/divisi yang kurang, dan menetapkan prioritas.
3. Formulasikan rencana pengembangan berdasarkan hasil penilaian dasar.
Untuk mengidentifikasi prioritas kerja ke depan, mengembangkan infrastruktur
untuk mendukung clinical governance, dan mengumpulkan sumber daya yang
dibutuhkan.
4. Membangun strategi manajemen risiko sebagai upaya menanggulangan risiko
yang dapat terjadi dalam pelayanan kesehatan.
5. Meningkatkan kesadaran dalam organisasi bagi setaip karyawan tanpa
kecuali. Seluruh komponen hendaknya ikut mengetahui dan berperanserta
dalam perencanaan dan pelaksanaan clinical governance.
Masalah utama dari penerapan Clinical governance adalah untuk merubah
budaya atau mind-set lama dari pelayanan kesehatan terkait dengan kualitas
dan standar.
Namun perlu juga ditekankan bahwa komponen utama dari Clinical
governance adalah staf itu sendiri. Clinical governance berpeluang untuk
memberikan banyak manfaat bagi staf itu sendiri dan untuk mempermudah
pekerjaan serta meminimalkan kesalahan yang mungkin terjadi dalam
pelayanan kesehatan.
Bila implementasi CG dilakukan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh:
1. Komplain Pasien makin kecil (Fewer patient complaints)
2. Berkurangnya variasi prosedur klinis yang tidak sesuai (Less unjustified
variation in clinical practice)
3. Berkurangnya penggunaan penunjang diagnostic yang inefektif (Less use
of ineffective investigations and treatments)
4. Pemberdayaan sarana yang ada menjadi lebih baik (Better use of
resources)
5. Meningkatnya kepuasan pasien (Increased patient satisfaction)
6. Terdokumentasinya prosedur klinis dengan lebih baik (Documented
changes in clinical practices)
7. Perkembangan spesifik pada perawatan pasien (Specific improvements in
patient care)

7
8. Lebih dekatnya teamwork antara manajer dan dokter (Closer working
between clinicians and managers)
9. Budaya perusahaan kearah lebih baik (Positive changes in organizational
culture)
10. Perbaikan manajemen perubahan di manajemen klinis (Better at managing
changes in clinical practice)
11. Manajemen lebih mengetahui tentang kualitas dari pelayanan (Board now
more informed about quality of care)

BAB III
PENUTUP
8
Clinical governace bukanlah sebuah alternatif, tapi merupakan sebuah
tujuan. Clinical governance lahir untuk mewujudkan akuntabilitas yang berguna bagi
pelayanan kesehatan .

Clinical governance adalah elemen terpenting dalam suatu system terpadu


yang mendukung dan menagarah kepada peningkatan kualitas.
Peningkatan mutu pelayanan klinis melalui penerapan clinical governance dilakukan
dengan cara memadukan pendekatan manajemen organisasi dan manajemen klinis
secara bersama.

Keselamatan pasien - Kualitas pelayanan


(doing the right things, for the right people, at the right time, and doing them right
first time, all the time, at all level service delivery)

clinical governance
suatu sistem organisasi dan manajemen rumah sakit yang mana dapat
memperlihatkan kepada masyarakat senantiasa melakukan pelayanan
kesehatan yang dapat menjamin kualitas pelayanan pd seluruh level organisasi
dan manajemen rumah sakit akan
bertangung jawab terhadap kualitas pelayanan secara keseluruhan.

Masalah utama dari penerapan Clinical governance adalah untuk merubah


budaya atau mind-set lama dari pelayanan kesehatan terkait dengan kualitas dan
standar.

Namun perlu juga ditekankan bahwa komponen utama dari Clinical


governance adalah staf itu sendiri. Clinical governance berpeluang untuk
memberikan banyak manfaat bagi staf itu sendiri dan untuk mempermudah

9
pekerjaan serta meminimalkan kesalahan yang mungkin terjadi dalam pelayanan
kesehatan.

Penerapan clinical governance membutuhkan perubahan budaya dan juga


struktur organisasi serta dukungan dari para praktisi, adanya sumber daya untuk
mendukung para praktisi terlibat dalam kegiatan peningkatan mutu tradisional tetapi
juga menggunakan pendekatan yang mendorong pembelajaran organisasi dan
saling berbagi pengalaman.

Latar Belakang. Permenkes no. 755/MENKES/PER/IV/2011 mengenai Penyelenggaraan


Komite Medik di Rumah Sakit baru saja terbit. Tulisan ini akan membahas dan memberikan
sedikit pandangan mengenai peraturan baru ini. Tulisan ini dibuat dalam latar belakang rumah
sakit swasta non pendidikan.

Pendahuluan. Sungguh mengesalkan bila sebuah peraturan yang mengubah prinsip dasar
datang ketika peraturan sebelumnya baru saja diimplementasi dengan investasi tidak sedikit.
Menjadi sedikit menghibur, apabila lahirnya permenkes baru ini adalah bukti kinerja
kementerian kesehatan dalam mengusahakan perlindungan dan keselamatan masyarakat atas
kinerja staf medis. Hanya saja, perubahan mendadak mengesankan kurang matangnya
regulasi sebelumnya, dan memberatkan rumah sakit. Rumah sakit besar serupa kapal besar
dan berat. Konsekuensinya adalah pergerakan menjadi sangat lambat. Tiap perubahan
mendasar dibuat dengan investasi tenaga dan waktu yang besar. Peraturan menteri ini datang
tiba-tiba dan walaupun dengan judul Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit,
namun isinya mengubah berbagai hal penting dalam penyelenggaraan organisasi rumah sakit
secara mendasar. Mengapa demikian? Mari kita telaah satu demi satu.

Menganulir Tiga Keputusan Menteri Kesehatan. Peraturan menteri kesehatan ini terkesan
hanya mengurus komite medik. Ternyata tidak. Pasal 20 yang menyatakan bahwa ada tiga
keputusan menteri kesehatan yang dinyatakan tidak berlaku seiring berlakunya peraturan
menteri ini. Keputusan yang dinyatakan tidak berlaku adalah Kepmenkes 772/2002 mengenai
pedoman internal rumah sakit (hospital bylaws/HBL) sepanjang mengenai pengaturan staf
medis, Kepmenkes 496/2005 tentang pedoman audit medis, dan Kepmenkes 631/2005
mengenai pedoman penyusunan peraturan internal staf medis. Kepmenkes yang disebut
terakhir saja isinya sangat panjang, kompleks, dan dianggap sebagai buku manual penyusunan
komite medis di tiap rumah sakit. Kita akan melihat seberapa besar perubahan yang terjadi
pada komite medis pada bagian-bagian lain tulisan ini.

Hospital Bylaws (HBL) dan Medical Staff Bylaws (MSBL). Hospital bylaws (HBL)
mendapatkan definisi yang sama dengan keputusan menteri yang sebelumnya. HBL adalah
aturan dasar mengenai penyelenggaraan rumah sakit dan meliputi peraturan internal korporasi
(corporate bylaws/CBL) dan peraturan internal staf medis (medical staff bylaws/MSBL). Pada
CBL terletak penjelasan mengenai konsep three-legged stool (tiga tungku sejerangan/tungku
berkaki tiga) mengenai hubungan pemilik, pengelola, dan komite medik rumah sakit. MSBL,
menurut permenkes baru, disusun komite medik dan disahkan direktur utama rumah sakit,
bukan pemilik rumah sakit seperti pada kepmenkes sebelumnya. MSBL mengacu kepada

10
CBL. Dalam permenkes baru ini, MSBL sekurang-kurangnya mencakup pendahuluan dan dua
belas bab berikutnya. Dalam kepmenkes yang lalu penyusunan MSBL juga dipilah ke dalam
dua belas bab, namun lebih banyak mekanisme teknis dan mengatur mengenai staf medis.
Dalam permenkes baru, MSBL bisa menjadi lebih ramping namun berbobot karena
pembagian bab langsung mengacu kepada fungsi komite medis.

Definisi Komite Medis. Komite medis menurut pasal 5 permenkes baru merupakan
organisasi non struktural yang dibentuk di rumah sakit oleh direktur utama dan bukan
merupakan wadah perwakilan dari staf medis. Definisi ini bertolak belakang dengan definisi
komite medis pada kepmenkes sebelumnya yang menyatakan bahwa komite medis adalah
wadah profesional medis yang keanggotaannya berasal dari ketua kelompok staf medis atau
yang mewakili. Menilik definisi, siapakah anggota komite medik? Menurut pasal 6, 7, dan 8,
komite medis dibentuk oleh direktur rumah sakit, sekurang-kurangnya terdiri dari ketua,
sekretaris, dan subkomite. Keanggotaan ditunjuk langsung oleh direktur utama, baik persona
maupun jumlahnya. Ketua komite medik langsung ditunjuk direktur utama dengan
memperhatikan masukan dari staf medis. Sekretaris dan ketua-ketua subkomite ditetapkan
direktur utama menurut rekomendasi ketua komite medik dengan memperhatikan masukan
staf medik.

Subkomite. Lain dengan kepmenkes sebelumnya, keanggotaan komite medik seperti diatur
pada permenkes baru ini langsung dimasukkan ke dalam tiga subkomite, yaitu kredensial,
mutu profesi, dan etika dan disiplin profesi. Pembagian ini benar-benar langsung merujuk
pada tugas komite medik seperti dijelaskan pada pasal 11, yaitu melakukan kredensial,
memelihara mutu profesi staf medis, dan menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf
medis. Ketiga tugas tersebut diimplementasikan lebih konkret dalam beberapa fungsi.

Kelompok Staf Medis. Berbeda dengan Kepmenkes 631/2005 yang memberikan fungsi
besar pada kelompok staf medis (KSM), pada permenkes baru ini KSM hanya disebut satu
kali pada saat pembahasan mengenai kredensial dan satu kali lagi pada lampiran bab kedua
permenkes mengenai organisasi komite medik. Tertulis jelas bahwa kelompok staf medis
(atau departemen klinis) diorganisasi langsung oleh direktur rumah sakit. Dengan ini,
ditegaskan kembali bahwa komite medis bukan wadah perwakilan kelompok staf medis
seperti definisi pada Kepmenkes 631/2005. Pada kepmenkes yang lalu, pengorganisasian staf
medis dalam kelompok staf medis mendapatkan porsi panduan yang besar.

Subkomite. Pada dasarnya, tidak ada perubahan bermakna pada tugas subkomite. Hanya saja,
pada Kepmenkes 631/2005 terdapat subkomite audit medis dan subkomite peningkatan mutu
profesi medis. Dalam permenkes baru ini, audit medis adalah salah satu fungsi subkomite
mutu profesi medis. Terdapat panduan bagaimana memilih topik audit medis dan semacam
panduan kerja dalam lampiran permenkes ini. Beberapa peran subkomite juga memiliki titik
berat berbeda dengan pedoman survei akreditasi rumah sakit versi yang sekarang masih
berlaku. Misalnya mengenai kredensial. Kredensial dalam pedoman survei akreditasi rumah
sakit menitikberatkan pada memasukkan staf medis ke dalam kelompoknya, namun pada
kepmenkes yang lama dan permenkes yang baru, kredensial menitikberatkan pada penilaian
dan pemberian kewenangan klinis yang khas. Kewenangan klinis pada permenkes baru ini
terkesan sama dengan buku pedoman kredensial yang ditetapkan oleh PERSI.

Lain-lain. Permenkes baru ini mencegah terlalu banyaknya campur tangan komite medis
dalam manajemen rumah sakit secara umum. Salah satu peran yang tidak direkomendasikan
adalah pembuatan panitia-panitia dalam lingkup rumah sakit di bawah struktur komite medis,

11
misalnya panitia keselamatan pasien, panitia rekam medis, dan panitia pengendalian infeksi
rumah sakit. Permenkes baru ini mengatur bahwa panitia-panitia ini hendaknya dibentuk
langsung oleh direktur utama dan bertanggung jawab langsung pada direktur utama.

Dampak pada rumah sakit swasta besar. Uraian sepanjang apapun tidak bermanfaat bila
tidak kita refleksikan untuk rumah sakit. Berikut adalah beberapa hal yang saya catat
berpengaruh untuk rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta besar non pendidikan.

1. Perlu penyusunan HBL, CBL, dan MSBL yang baru untuk menyesuaikan dengan
peraturan menteri kesehatan ini.
2. Regulasi baru ini membuat direktur utama lebih mudah mengendalikan komite
medik. Ini dalam pengertian bahwa anggota dan pimpinan komite medik dipilih
langsung oleh direktur dan ketua komite medik. Namun, pengendalian ini akan
menjadi kekuatan semu apabila para staf medis yang dipilih oleh direktur utama
bukanlah staf medis yang mempunyai status terpandang di antara staf-staf medis
yang lain. Komite medik rawan menjadi boneka dalam keadaan seperti ini. Penetapan
anggota dan pengurus komite medik harus sangat hati-hati dan memperhatikan
masukan staf medis yang lain.
3. Organisasi komite medik menjadi lebih ramping, lebih manageable. Tidak besar,
berat, dan nggedibel. Ini akibat komite medik tidak perlu lagi mengurus kelompok staf
medis dan segala konflik yang terjadi di antaranya, kecuali sudah masuk ke ranah
etika dan disiplin profesi medis.
4. Pengelompokan staf medis (kelompok staf medis) dengan keahlian serupa atau
berkelompok dalam satu unit kerja dapat diintegrasikan pada kedua bidang di bawah
direktur pelayanan medis. Misalnya, seluruh dokter IGD dan dokter jaga bangsal
berada di bawah koordinasi bidang pelayanan medik. Contoh lain misalnya seluruh
dokter radiologi dapat berada di bawah koordinasi bidang penunjang medik. Integrasi
semacam ini memudahkan organisasi, pembinaan mutu, dan pendidikan berkelanjutan.
Komite medik tidak perlu lagi membuatkan rencana pendidikan berkelanjutan, karena
sudah direncanakan oleh kepala instalasi atau unit kerja terkait. Fungsi instalasi
sebagai penyedia fasilitas dapat menjadi lebih nyata karena expert atau ahli dalam
pemanfaatan fasilitas tersebut berada di bawah koordinator yang sama.
5. Tumpang tindih antara komite medik, kelompok staf medis, dan panitia-panitia dalam
rumah sakit dapat terhindarkan. Misalnya, audit medis, mortality review, dan
keselamatan pasien. Ketiganya kadang saling berkaitan. Hasil audit medis dan
mortality review dapat menjadi bahan laporan insiden. Contoh lain adalah kebijakan
antibiotika benar-benar dapat menjadi wewenang panitia pengendalian infeksi (PPI).
Dalam penentuan kebijakan antibiotika, PPI dapat mengangkat staf medis dengan
keahlian di bidang tersebut untuk menjadi tim ahli tanpa harus merepotkan kerja sama
di antara kelompok-kelompok staf medis.

Kesimpulan. Goyangan pada tungku berkaki tiga memang cukup banyak dengan adanya
permenkes baru ini. Namun banyak hal terlihat lebih efisien. Pemilik, pengelola, dan staf
medis harus diupayakan sinergis dalam CBL. Pelayanan medis sebagai core business atau
pelayanan inti rumah sakit semakin nampak dalam hal pemberian kewenangan klinis,
pengawasan mutu, dan pembinaan etika. Rumah sakit juga tidak terlalu repot dengan
banyaknya struktur dan percabangan dalam struktur.

12
DAFTAR PUSTAKA

Slaynt, S. Nobles Hospital Clinical governance Strategy. Department of Health


anda Social Security. Agustus 2002
Clinical governance Strategy 2004-2007
Clinical governance Strategy. North anda East Cornwall

13
Clinical governance: Applying theory to practice. Nursing Standard. January
25 vol 20; 2006.
The Strategic Leadership of Clinical Governance in PCTs, NHS Modernisation
Agency ( 2004 )
Buetow SA, Roland M. Clinical governance: bridging the gap between
managerial and clinical approaches to quality of care. Qual Health Care 1999;
8:184-190
Starey N. What is clinical governance? Hayward Medical Communications:
2003
Walshe K, Cortvriend P, Mahon A. The implementation of clinical governance:
a survey of NHS trusts in England (FINAL REPORT). Manchester, Manchester
Centre for Healthcare Management: March 2003.
Runciman B, Merry A, and Walton M. Safety and ethics in healthcare: a guide
to getting it right. Hampshire, Ashgate: 2007
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS). Pedoman pelaporan
insiden keselamatan pasien. Jakarta: September 2007
CNORIS risk management guidance note 1(reissued 14 August 2003)

14

Anda mungkin juga menyukai