Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah


segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat


mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap
orang setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar
kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh
penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan
pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara
dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat
kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Ketahahan
pangan merupakan bagian dari ketahahan ekonomi nasional yang
berdampak besar pada seluruh warga negara yang ada dalam Indonesia.
Dalam hal ketahanan pangan, bukan hanya sebatas pada sesuatu yang
dianggap mudah dan ia memiliki pengaruh besar terhadap pertahahanan
keamanan. Pertahanan pangan merupakan salah satu hal yang
mendukung dalam mempertahankan pertahahanan keamanan, bukan
hanya sebagai komoditi yang memiliki fungsi ekonomi, akan tetapi
merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional
maupun global. Untuk itulah, ketahahan pangan dapat mempunyai
pengaruh yang penting pula agar pertahanan keamanan dapat
diciptakan.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ketahanan Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan,
bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Ketahanan Pangan menurut UU No. 18/2012 tentang Pangan


adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan". Definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa
ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang
waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang
cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai
preferensinya.
Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
Pangan dan Gizi bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, memenuhi kecukupan Gizi, merata dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
mewujudkan Status Gizi yang baik agar dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan.

2.1.2 Pilar Ketahanan Pangan

Dalam UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, Ketahanan Pangan


didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Tiga pilar dalam ketahanan pangan yang terdapat dalam
definisi tersebut adalah ketersediaan (availability), keterjangkauan
(accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi, dan stabilitas (stability)
yang harus tersedia dan terjangkau setiap saat dan setiap tempat. Apabila
ketiga pilar ketahanan pangan terpenuhi, maka masyarakat atau rumah
tangga tersebut mampu memenuhi ketahanan pangannya masing-masing.
Mengacu pada definisi di atas, maka masalah ketahanan pangan dapat
terjadi apabila salah satu unsur ketahanan pangan tersebut terganggu.
Namun dalam realitanya, pemahaman terhadap ketahanan sering direduksi
hanya ditekankan pada unsur penyediaan dan harga saja, atau bahkan ada
yang hanya menekankan pada aspek yang lebih sempit yang menyamakan
pengertian ketahanan pangan dengan pengertian swasembada.

Ketiga pilar ketahanan pangan tersebut harus dapat terwujud secara


bersama-sama dan seimbang. Pilar ketersediaan dapat dipenuhi baik dari
hasil produksi dalam negeri maupun dari luar negeri. Pilar keterjangkauan
dapat dilihat dari keberadaan pangan yang secara fisik berada di dekat
konsumen dengan kemampuan ekonomi konsumen untuk dapat membelinya
(memperolehnya). Sedangkan pilar stabilitas dapat dilihat dari kontinyuitas
pasokan dan stabilitas harga yang dapat diharapkan rumah tangga setiap
saat dan di setiap tempat.

2.2 Sistem Ketahanan Pangan


Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi
empat sub-sistem, yaitu:

1. ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk


seluruh penduduk,
2. distribusi pangan yang lancar dan merata,
3. konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi
seimbang, yang berdampak pada,
4. status gizi masyarakat.

Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya


menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat
makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu
akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota
rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin.
Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek
mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada
aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan,
maka digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.

2.2.1 Sub Sistem Ketahanan Pangan

Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu
ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh.
Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum
dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan
tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu
untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan
pangan masih dikatakan rapuh.
1. Sub sistem ketersediaan (food availability)
Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil
produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila
kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan
pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang
dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan
pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu
mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan
untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
2. Akses pangan (food access)
Yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan
sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk
kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri,
pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan
individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi
tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik
menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi),
sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.
3. Penyerapan pangan (food utilization)
Yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi
kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari
penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu,
sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta
penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita. (Riely et.al , 1999).

2.3 Aspek-Aspek Permasalahan Dan Tantangan Yang Dihadapi Oleh


Pemerintah Dalam Mencapai Ketahanan Pangan

Sejak tahun 2005, terjadi penurunan jumlah kabupaten yang paling


rentan pangan yang di klasifikasikan sebagai Prioritas 1 dan 2. Secara
umum, ketahanan pangan sebagian besar masyarakat Indonesia telah
meningkat pada periode 2009 dan 2015. Hal ini, terutama sebagai dampak
dari perbaikan pada beberapa indikator ketahanan pangan dan gizi. Hasil ini
menggembirakan, namun kemajuan tersebut dapat mengalami hambatan
jika tantangan-tantangan utama yang ada tidak ditangani dengan baik.
Berikut merupakan tiga tantangan utama yang memerlukan perhatian yang
serius:

1. Meningkatkan akses ekonomi atau akses keuangan untuk


mendapatkan pangan, termasuk investasi pada infrastruktur yang
berkelanjutan;
2. Akselerasi intervensi untuk pencegahan dan penurunan angka
kekurangan gizi; dan
3. Mengatasi kerentanan terhadap resiko perubahan iklim yang
semakin meningkat.

2.3.1 Aspek Ketersediaan Pangan


Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin
terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan
nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial - ekonomi;
1. Teknis
a. Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan
pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju
1%/tahun).
b. Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
c. Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
d. Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis
dan kemampuannya semakin menurun.
e. Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca
panen (10-15%).
f. Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang
berdampak pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan
banjir .
2. Sosial- ekonomi
a. Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh
pemerintah.
b. Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan
karena besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan
lahan produksi yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju
0,5%/tahun).
c. Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang
wajar dari pemerintah kecuali beras.
d. Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan
tarif impor yang melindungi kepentingan petani.
e. Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi
penyediaan pangan.

2.3.2 Aspek Distribusi Pangan


1. Teknis
a. Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar
pulau yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
b. Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan,
penyimpanan dan distribusi pangan , kecuali beras.
c. Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
d. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar
musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi
pangan agar pangan tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah
konsumen.
2. Sosial-ekonomi
a. Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik
dalam menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan.
b. Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah
pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur
distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi yang
mahal dan meningkatkan harga produk pangan.

2.3.3 Aspek Konsumsi Pangan


1. Teknis
a. Belum berkembangnya teknologi dan industri pangan berbasis
sumber daya pangan lokal.
b. Belum berkembangnya produk pangan alternatif berbasis sumber
daya pangan lokal.
2. Sosial-ekonomi
a. Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun (tertinggi di dunia >
100 kg, Thailand 60 kg, Jepang 50 kg).
b. Kendala budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan
etnis sehingga tidak mendukung terciptanya pola konsumsi pangan
dan gizi seimbang serta pemerataan konsumsi pangan yang bergizi
bagi anggota rumah tangga.
c. Rendahnya kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen
atas perlunya pangan yang sehat dan aman.
d. Ketidakmampuan bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan
dalam jumlah yang memadai sehingga aspek gizi dan keamanan
pangan belum menjadi perhatian utama.

2.3.4 Aspek Pemberdayaan Masyarakat


1. Keterbatasan prasarana dan belum adanya mekanisme kerja yang
efektif di masyarakat dalam merespon adanya kerawanan pangan,
terutama dalam penyaluran pangan kepada masyarakat yang
membutuhkan.
2. Keterbatasan keterampilan dan akses masyarakat miskin terhadap
sumber daya usaha seperti permodalan, teknologi, informasi pasar dan
sarana pemasaran meyebabkan mereka kesulitan untuk memasuki
lapangan kerja dan menumbuhkan usaha.
3. Kurang efektifnya program pemberdayaan masyarkat yang selama ini
bersifat top-down karena tidak memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan
kemampuan masyarakat yang bersangkutan.
4. Belum berkembangnya sistem pemantauan kewaspadaan pangan dan
gizi secara dini dan akurat dalam mendeteksi kerawanan panagan dan
gizi pada tingkat masyarakat.

2.3.5 Aspek Manajemen


Keberhasilan pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan dipengaruhi
oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen pembangunan
yang meliputi aspek perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian serta koordinasi berbagai kebijakan dan program. Masalah
yang dihadapi dalam aspek manajemen adalah:
1. Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten , dipercaya dan
mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan
kemandirian dan ketahanan pangan.
2. Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan konsumen
kecil di bidang pangan.
3. Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup
instansi dan antar instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan
non pemerintah, pusat dan daerah dan antar daerah.

2.4 Ketahanan Pangan Rumah Tangga


Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan,
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan bagi rumah
tangga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pemilikan lahan (fisik) yang
didukung iklim yang sesuai dan sumber daya manusia (SDM). Kebijakan
pertanian juga menentukan pelaku produksi atau pasar untuk menyediakan
pangan yang cukup. Kondisi negara yang memiliki ketahanan yang terjamin
tidak selalu mencerminkan ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan
pangan rumah tangga justru menjadi indikator terbentuknya ketahanan
pangan daerah baik di wilayah atau regional.
Sedangkan pengeluaran pangan (pangan dan non pangan) rumah
tangga merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga
(Pakpahan, 1993). Semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah
tanga maka akan semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga
tersebut. Ketahanan pangan rumah tangga juga dapat dilihat dari indikator
kecukupan gizi. Zat gizi yang hingga kini digunakan sebagai indikator
ketahanan pangan adalah tingkat kecukupan gizi makro yaitu energi dan
protein.
2.5 Stabilitas Ketersediaan Pangan Rumah Tangga

Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah twangga diukur


berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota
rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas
ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting
point (240 hari untuk Provinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan
anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan
kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.

Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai


kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat
menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga.
Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan
ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan
mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan
pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang dilakukan PPK-LIPI di
beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi
frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk
memperpanjang ketahanan pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).

Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai


indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa
(berdasarkan penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki
persediaan makanan pokok cukup pada umumnya makan sebanyak 3 kali
per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan
dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah
tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena
dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak
bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen
berikutnya.Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok
dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut
kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator
kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan
yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 : Penetapan indikator stabilitas ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga (dengan contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan
NTT)

DAFTAR PUSTAKA

http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/PP_17_2015_KPG.pdf
bkp.pertanian.go.id/statis-17-peraturan.htm
http://bkp.pertanian.go.id/database_monev/home
http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php

FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 November 1996. Rome, Italy: Food and
Agriculture Organisation of the United Nations.

Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun


2000 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta: Sekretaris Negara RI.

Raharto, Aswatini, 1999. Kehidupan Nelayan Miskin di Masa Krisis dalam Tim Peneliti PPT-
LIPI: Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kehidupan Keluarga Kelompok Rentan:
Beberapa Kasus Jakarta: PPT-LIPI bekerjasama dengan Departeman Sosial Republik
Indonesia.

Raharto, Aswatini dan Haning Romdiati. 2000. Identifikasi Rumah Tangga Miskin,
dalam Seta, Ananto Kusuma et.al (editor), Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VII, hal: 259-284. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit kependudukan _ LIPI.

Anda mungkin juga menyukai