Anda di halaman 1dari 18

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada

anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit
ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita.

Definisi

Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin di bawah 2SD dari rata-rata


konsentrasi hemoglobin populasi normal dari cakupan jenis kelamin dan umur yang sama.
Defisiensi besi didefinisikan sebagai keadaan dimana tubuh kekurangan besi untuk menjaga
fungsi fisiologi normal. Defisiensi besi merupakan hasil dari absorpsi besi inadekuat untuk
mengakomodasi peningkatan kebutuhan tubuh saat pertumbuhan atau hasil dari
keseimbangan negatif zat besi dalam waktu yang lama. Defisiensi besi dapat atau tidak
diikuti dengan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang
dihasilkan dari defisiensi besi. Kelebihan besi (iron overload) merupakan akumulasi
kelebihan besi di dalam jaringan tubuh. Kelebihan besi biasanya terjadi sebagai hasil
predisposisi genetik untuk menyerap dan menyimpan besi dalam jumlah berlebih, bentuk
yang paling umum adalah hemokromatosis herediter.1

Gambar 1. Tabel spektrum status besi dalam tubuh. ID, defisiensi besi. IDA anemia defisiensi
besi. SF, ferritin serum. TfR, reseptor transferrin. CHr, reticulocyte hemoglobin content. Hb,
Hemoglobin.1

Batasan tingkat hemoglobin ditetapkan oleh WHO dalam tabel sebagai berikut.2
Gambar 2. Tabel tingkat hemoglobin untuk mendiagnosa anemia.2

Etiologi

Penyebab anemia defisiensi besi pada bayi kurang dari satu tahun antara lain
disebabkan karena cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas,
lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan
cepat dan anemia selama kehamilan. Dapat pula disebabkan oleh alergi protein susu sapi.3

Pada anak umur 1-2 tahun, penyebab anemia defisiensi besi antara lain karena asupan
besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni berlebih,
obesitas, kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis, dan malabsorbsi.3

Pada anak umur 2-5 tahun penyebabnya asupan besi kurang karena jenis makanan
kurang mengandung Fe jenis heme atau minum susu berlebihan, obesitas, kebutuhan
meningkat karena infeksi berulang / kronis baik bakteri, virus ataupun parasit), kehilangan
berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel / poliposis dsb).3

Pada anak umur 5 tahun-remaja penyebabnya antara lain kehilangan berlebihan akibat
perdarahan(antara lain infestasi cacing tambang) dan menstruasi berlebihan pada remaja
puteri.3

Epidemiologi

Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal
masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan
tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena
penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan
pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat
oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007
menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita
di Indonesia sekitar 40-45%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-
turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.3,4

Patofisiologi

Dua pertiga atau lebih total besi dalam tubuh terdapat pada eritrosit; setiap milliliter sel darah
merah mengandung sekitar 1 mg besi. Simpanan besi terdapat pada makrofag system
retikuloendotelial dalam dua bentuk, yaitu feritin dan hemosiderin. Feritin merupakan kompleks larut-
air dari garam ferri dan apoferritin. Hemosiderin tidak larut dalam air dan terdiri dari agregat garam
ferri yang tidak memiliki protein lagi. Zat besi pada hemosiderin lebih sulit dilepaskan daripada di
ferritin. Kebanyakan zat besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin ditransportasikan oleh
transferrin plasma. Setiap molekul dari apotransferin mengikat dua atom dari besi ferri. Kemudian,
transferrin merikatan dengan reseptor transferrin (TfR) pada membrane sel precursor eritroid,
retikulosit, dan kebanyakan badan sel. Kompleks transferin-reseptor transferin dengan cepat masuk ke
dalam sel, lalu besi dilepaskan, dan apotransferin kembali ke sirkulasi untuk mengikat besi kembali. 5,6

Sangat sedikit zat besi yang hilang dari tubuh; kehilangan zat besi ini terutama dari
kehilangan sel pada saluran gastrointestinal, lalu kulit dan urin. Setiap harinya zat besi hilang dari
tubuh sekitar 1 mg/hari. Penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal, dengan besi
heme terabsorbsi lebi efisin daripada besi inorganic. Absorbsi besi difasilitasi oleh asam askorbat dan
sitrat. Produksi asam oleh gaster menurunkan pH duodenum, dan memningkatkan kelarutan dan
uptake dari besi ferri nonheme. 5,6

Walaupun dalam diet rata-rata mengandung 10-20 mg besi, hanya sekitar 5% hingga 10% (1-
2 mg) yang sebenarnya diabsorbsi. Pada saat persediaan besi berkurang, maka lebih banyak besi
diabsorbsi dari diet. Besi yang diingesti diubah menjadi besi ferro di dalam lambung dan duodenum
serta diabsorbsi dari duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin
plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penimpanan di jaringan.
Kehilanagn besi umumnya sedikit sekali, dari 0,5 mg 1mg/hari. 5,6

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun.
Keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai dengan
penurunan kadar ferritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, dan pengecatan besi dalam
sumsung tulang negative. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi akan kosong
sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis akan berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pembentukan eritrosit tapi secara klinis belum tampak, keadaan ini dinamakan iron deficiency
erithropoesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorpyrin atau zinc protoporphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun atau TIBC
meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin
serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun, akibat nya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron
deficiency anemia. Pada saat itu juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim
yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring serta gejala lainnya. Jika terjadi
pengendapan fe yang berlebihan dalam tubuh terutama akan merusak hati, pancreas, dan miokardium
(hemokromatosis).5,6

Gambar 3. Pemeriksaan laboratorium dalam evolusi defisiensi besi. 7

Manifestasi Klinik
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin hemoglobin turun di bawah
7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang
terjadi secara perlahan-lahan sering kali menyebabkan sindrom anemia tidak terlalu
mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi
lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia
bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7g/dl. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku.6,7

Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain
adalah: 6,7

Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi
cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.
Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwama pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es, tern, dan lain-lain.

Diagnosis

Untuk menengakkan diagnosis anemia defisiensi besi pada anak, dapat digunakan
criteria yang dapat ditemukan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.4

Anamnesis4
o Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan.
o Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh
terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar.
o Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas,
tanah, rambut.
o Memakan bahan makanan yang kurang mengandung besi, bahan makanan
yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras,
gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energy utama sejak bayi sampai
usia 2 tahun (milkaholics)
o Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankilostoma dan skistosoma.
Pemeriksaan fisik4
o Gejala klinis anemia defisiensi besi sering terjadi perlahan dan tidak begitu
diperhatikan oleh keluarga. Bila kadar Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel
dan anoreksia.
o Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL
o Tanpa organomegali
o Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal
jantung, protein-losing enteropathy.
o Rentan terhadap infeksi
o Gangguan pertumbuhan
o Penurunan aktivitas kerja.
Pemeriksaan penunjang4
o Darah lengkap yang terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC
rendah. Red cell distribution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
Nilai RDW tinggi >14,5% pada defisiensi besi, bila RDW normal
(<13%) pada thalasemia trait.
Rasio MCV/RBC (Mentzer index) >> 13 dan bila RDW index
(MCV/RBC x RDW) 220, merupakan tanda anemia defisinesi besi,
sedangkan juiak kurang dari 220 merupakan tanda thalasemia trait.
Apusan darah tepi: mikrositik, hipokrom, anisositosis, dan
poikilositosis.
o Kadar besi serum rendah, TIBC, serum ferritin <12 ng/mL dipertimbangkan
sebagai diagnostic defisiensi besi.
o Nilai retikulosit: normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah
merah yang tidak adekuat.
o Serum transferrin receptor (STfR): sensitive untuk menentukan defisiensi besi,
mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia
akibat penyakit kronik.
o Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat.
o Terapi besi (therapeutic trial): rspons pemberian preparat besi dengan dosis 3
mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5-10 hari
diikuti dengan kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 3% setelah
satu bulan menyokong diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan
setelah terapi, hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali untuk menilai
keberhasilan terapi.
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah: 4

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 g/dL (N: 80-180 g/dL)
4. Saturasi transferin < 15% (N: 20-50%)

Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit criteria nomor 1, 3, dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan: 4

1. Anemia tanpa perdarahan


2. Tanpa organomegali
3. Gambaran darah tepi: mikrositik hipokrom, anisositosis, sel target.
4. Respons terhadap pemberian terapi besi.

Diagnosis Banding

Pada pasien dengan anemia mikrositik hipokrom, kemungkinan diagnostik utama


adalah anemia defisiensi besi, talasemia, anemia karena penyakit kronik, dan anemia
sideroblastik. Beberapa tes laboratorium sering berguna untuk diagnosis banding (Tabel 3).
Defisiensi zat besi ringan dapat membingungkan dengan turunan talasemia atau dengan
bentuk dua penghapusan dari talasemia (-/- atau --/). Pada bentuk ringan dari talasemia
ini, mikrositosis lebih nyata daripada hipokromia; karenanya; konsentrasi hemoglobin rata-
rata (MCHC) biasanya normal. Distribusi ukuran sel darah merah lebih seragam
dibandingkan pada defisiensi zat besi. Sel target dan bintik-bintik basofilik biasanya lebih
nyata pada talasemia dibandingkan pada defisiensi zat besi. Hemoglobin A2 meningkat pada
turunan talasemia dan menurun pada defisiensi zat besi dan talasemia . Jika pasien dengan
turunan talasemia mengalami defisiensi zat besi, kadar hemoglobin A2 dapat turun menjadi
normal. Zat besi serum normal atau meningkat pada talasemia dan menurun baik pada
defisiensi sat besi dan anemia akibat penyakit kronik. Tes laboratorium yang ditunjukkan
pada tabel tersebut tidak terlalu membantu dalam menentukan apakah pasien dengan penyakit
inflamasi kronik, seperti artritis reumatoid, telah mengalami kekurangan zat besi. Temuan
kadar serum feritin yang rendah atau tidak adanya cadangan zat besi pada aspirasi sumsum
tulang dapat merupakan diagnostik defisiensi zat besi pada pasien yang demikian. Suatu
percobaan terapi zat besi mungkin diperlukan untuk meredakan prasangka tersebut.
Diagnosis anemia skleroblastik tergantung pada penampakan sideroblas bercincin pada
sumsum tulang. Pasien ini sering memiliki populasi sel darah merah mikrositik hipokrom,
walaupun MCHC biasanya normal.6,8

1. Anemia pada Penyakit Kronik


Di antara berbagai anemia yang paling sering ditemukan terdapat anemia yang
menyertai berbagai penyakit kronik.Anemia yang terjadi bersifat
normositik/normokromik atau mikrositik/hipokromik. Penanganan keadaan yang
mendasari akan mengoreksi anemia ini; hanya sebagian dari terapi eritropoitin
yang berhasil dengan baik. 6,8
Lemah, penurunan berat badan, pucat merupakan tanda-tanda dari penyakit
kronis. Baru kemudian diketahui bahwa bahwa pada pasien tuberkulosis, misalnya
timbul keluhan seperti tadi dan ternyata disebabkan oleh anemia pada infeksi.
Cartwright dan Wintrobe menyebutkan bahwa peneliti-peneliti di Perancis tahun
1842 membuktikan bahwa pasien tifoid dan cacar mengandung massa eritrosit
yang lebih rendah dibandingkan orang normal. Belakangan diketahuibahwa
penyakit infeksi seperti pneumonia, syphilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit
lain seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin, kanker, sering disertai anemia,
dan diintroduksi sebagai anemia penyakit kronik.6,8
Alasan untuk mengatakan bahwa anemia yang ditemukan pada berbagai kelainan
klinis kronis berhubungan, karena mereka mempunyai banyak macam gambaran
klinis, yakni: 6,8
kadar Hb berkisar 7-11 g/dl
kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah
cadangan Fe jaringan tinggi
produksi sel darah merah berkurang.

Anemia umumnya berbentuk normokrom-normositer, meskipun banyak pasien


memberi gambaran hipokrom dengan MCHC < 31g/dl dan beberapa mempunyai
sel mikrositer dengan MCV <80 fl. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal
atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten,
tergantung dari penyakit dasarnya.6,8

Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondis sine qua non untuk


diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu
infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein
pengikat Fe - transferin menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi
daripadaanemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transferFe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam
sirkulasi kepada sel eritroid imatur.6,8

Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat


daripadapenurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin
lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi
metabolik yang berbeda.6,8

Pada anemia derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala
penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umunya asimtomatik.
Meskipun demikian apabila demam atau debiltas fisik meningkat, maka
pengurangan kapasitas transport O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya. Gambaran khasnya adalah:6,8

1. Indeks dan morfologi eritrosit normositik normokrom atau hipokrom ringan


(MCV jarang < 75 fl);
2. Anemia bersifat ringan dan tidak progresif (hemoglobin jarang kurang dari 9,0
g/dl)- beratnya anemia terkait dengan beratnya penyakit;
3. Baik kadar besi serum maupun TIBC menurun; kadar sTfR normal;
4. Kadar feritin serum normal atau meningkat; dan
5. Kadar besi cadangan di sumsum tulang (retikulo-endotel) normal tetapi kadar besi
dalam eritroblas berkurang.

Pada pemeriksaan fisik tidak ada kelainan yang khas dari anemia jenis ini, diagnosis
biasanya tergantung dari hasil laboratorium.6,8

Pasien yang menderita penyakit peradangan sistemik kronik yang menetap lebih dan
sebulan biasanya mengalami anemia ringan atau sedang. Berat ringannya anemia secara
kadar setara dengan lama dan keparahan proses peradangan. Penyakit ini adalah infeksi
kronik misalnya endokarditis infektif subakut, osteomielitis, abses paru, tuberkulosis, dan
pielonefritis. Penyakit peradangan noninfeksi yang sering berkaitan dengan anemia
adalah artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik, vaskulitis (misalnya arteritis
temporalis), sarkoidosis, enteritis regionalis, dan cedera jaringan misalnya fraktur. 6,8

Anemia jenis ini juga sering ditemukan pada penyakit keganasan, termasuk penyakit
Hodgkin dan berbagai tumor padat misalnya karsinoma paru dan payudara. Pada pasien
kanker, faktor lain mungkin berperan menimbulkan anemia yang lebih parah. Pada pasien
kanker saluran makanan atau uterus, kehilangan darah merupakan faktor utama.
Perdarahan kronik akan menimbulkan defisiensi besi. Selain itu, pasien kanker dapat
menderita anemia progresif bila sumsum tulangnya terinvasi oleh sel tumor. Pasien
kanker sering mengalami malnutrisi dan mungkin menderita defisiensi folat. Walaupun
jarang, pasien dengan keganasan diseminata dapat mengalami anemia hemolitik traumatik
yang berat. Akhirnya, penekanan hematopoisis oleh obat kemoterapi atau terapi radiasi
dapat memperparah anemia. 6,8

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat
beberapa pilihan dalam mengobati anemi jenis ini, antara lain: 6,8

Transfusi:
Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamik, tidak ada
batasan yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita harus memberi transfusi.
Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena
infark miokard, transfusi dapat menrunkan angka kematian secara bermakna.
Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan
10-11 gr/dL. 6,8

Preparat besi

Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam perdebatan.
Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi dapat mencegah
pembentukan TNF-. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal,
preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya
pro dan kontra, sampai saat ini pemberian masih belum dapat direkomendasikan
untuk diberikanpada pada anemia penyakit kronis. 6,8

Eritropoietin

Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropeitin bermanfaat dan sudah


disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, mieloma
multipel, arthritis reumatoid dan pasien HIV. Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin,
yakni eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing-masing berbeda
struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor, dan waktu paruhnya sehingga
memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.6,8
Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin
mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai efek antiinflamasi dengan cara
menekan produksi TNF-alfa dan interferon-gamma. Dilain pihak, pemberian
eritropoietin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan
rekurensi pada kanker kepala dan leher. 6,8
Dengan demikian mekanismeterjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan hal
yang harus dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi
maupun eritropoietin. 6,8
2. Anemia Sideroblastik

Merupakan anemia refrakter dengan sel hipokrom dalam darah tepi dan besi
sumsum tulang yang meningkat; anemia ini dipastikan dengan adanya banyak
sideroblas cincin (ring sideroblast) yang patologis dalam sumsum tulang. Sideroblas
cincin ini adalah eritroblas abnormal yang mengandung banyak granula besi yang
tersusun dalam suatu bentuk cincin atau kerah yang melingkari inti; bukan beberapa
granula besi yang tersebar secara acak yang tampak bila eritroblas normal diwarnai
dengan pewamaan besi. Anemia sideroblastik didiagnosis bila 15% atau lebih
eritroblas dalam sumsum tulang adalah sideroblas cincin, tetapi sideroblas cincin ini
dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada berbagai kondisi hematologik.
6,8

Anemia sideroblastik digolongkan menjadi beberapa jenis dan persamaannya


adalah adanya suatu defek dalam sintesis heme. Pada bentuk herediter, anemia
dicirikan oleh suatu gambaran darah yang sangat hipokrom dan mikrositik. Mutasi
tersering adalah pada gen asam -aminolevulinat sintase (ALA-S) yang terdapat pada
kromosom X. Piridoksal-6-fosfat adalah suatu koenzim untuk ALA-S. Jenis lain yang
jarang dijumpai meliputi defek mitokondria, responsif tiamin, dan defek autosom lain.
Bentuk didapat primer yang lebih sering ditemukan adalah salah satu subtipe
mielodisplasia. Bentuk ini juga dinamakan 'anemia refrakter dengan sideroblas cincin.
6,8

Pada beberapa pasien, khususnya yang menderita jenis herediter, terdapat


suatu respons terhadap pemberian terapi piridoksin. Defisiensi folat dapat terjadi dan
dapat dicoba pemberian terapi asam folat. Walaupun demikian, pada banyak kasus
berat, transfusi darah berulang adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan kadar
hemoglobin yang cukup dan penimbunan besi akibat transfusi menjadi suatu masalah
utama. Pengobatan lain yang telah dicoba pada mielodisplasia (mis. eritropoietin)
dapat dicoba pada bentuk didapat primer. Ditandai oleh sideroblas bercincin pada
precursor eritroid yang ternukleasi di dalam sumsum tulang. Karena langkah awal dan
akhir dari dari sintesis heme terletak di mitokondria, sulit untuk mengetahui apakah
kelainan itu merupakan penyebab atau akibat dari pemberian zat besi dalam jumlah
besar. Sebagai tambahan terhadap munculnya sideroblas bercincin, kelainan ini
memiliki gambaran lain yang sama : hyperplasia eritroid sumsum tulang dengan
penurunan produksi sel darah merah ( eritropoesis tidak efektif ) ; populasi sel darah
merah mikrositik hipokrom yang merefleksikan sintesis heme yang terganggu ; dan
peningkatan nyata zat ebsi serum dan saturasi transferin, kadang diikuti kelebihan zat
besi secara umum. Anemia sideroblastik dibagi 2 yaitu kongenital dan didapat.
Anemia sideroblastik kongenital merupakan kelainan terangkai X yang jarang.
Anemia sideroblastik didapat sering kali berhubungan dengan obat dan toksin
(alkohol, timbal, INH, kloramfenikol), neoplasma dan inflamasi (Ca, leukemia,
limfoma, rheumatoid arthritis), kemoterapi dengan agen alkilasi (siklofosfamid).6,8

Anemia sideroblastik yang didapat lebih sering idiopatik dan muncul secara
spontan pada individu yang lebih tua. Pertumbuhan dan maturasi yang terganggu
muncul pada semua garis yang memancar dari sel induk hemopoetik. 6,8

3. Talasemia

Adalah sekelompok penyakit kongenital yang berbeda menimbulkan


terjadinya defek pada sintesis satu atau lebih subunit hemoglobin. Akibat penurunan
pembentukan hemoglobin, sel darah merah menjadi mikrositik-hipokromik. Talasemia
mengalami gangguan pembentukan rantai. Talasemia dibagi 2 yaitu talasemia
mayor dan talsemia minor. Talasemia minor jarang menyebabkan gejala klinis
yang bermakna. Diagnosa umumnya ditegakkan pada pasien yang sedang dievaluasi
untuk anemia ringan atau pada tindak lanjut kelainan yang dijumpai pada
pemeriksaan darah rutin.6,8

Talasemia mayor disebut juga anemia Cooley, merupakan bentuk terparah


dari anemia hemolitik kongenital. Pasien mengalami gejala anemia berat. Pada pasien
juga dijumpai temuan yang berkaitan dengan hemolisis intramedularis dan perifer
yang parah serta kelebihan besi. Kulit pasien berwarna aneh karena kombinasi ikterus,
kepucatan, dan penigkatan endapan melanin. Pasien biasanya mengalami kelainan
tulang akibat ekspansi sumsum eritroid. Pembesaran tulang malar dapat menimbulkan
wajah khas tupai atau maloklusi rahang. Kardiomegali, hepatomegali, dan
splenomegali juga dapat ditemukan.6,8

Diagnosis talasemia mayor harus dipertimbangkan pada tiap pasien anemia


hemolitik dan sel darah merah mikrositik dan hipokrom.6,8

Penatalaksanaan

Pemberian preparat besi dapat meperbaiki kadar besi dalam tubuh. Preparat besi yang
tersedai adalah ferrous sulfat, ferrous glukonat, ferrous fumarat, dan ferrous suksinat. Dosis
besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari dibagi dosis 3 kali. Sediaan sirup merupakan sediaan yang
memuaskan, meskipun dapat mewarnai gigi bila diberikan tidak hati-hati. Dapat diberikan
pada anak sebelum makan, meskipun dapat menyebabkan gejala gastrointestinal pada anak.
Respons terapi dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar
Hb sebesar 2 g/dL atau lebih. Terapi harus dilanjutkan setidaknya 3 sampai 6 bulan setelah
anemia dikoreksi. Jika terapi tidak dilanjutkan, relaps umum terjadi.4,6,8

Efek samping yang terjadi termasuk gejala gastrointestinal yaitu, heartburn, nausea,
kaku otot perut, dan diare. Namun, gejala gastrointestinal fungsional umum terjadi pada
populasi umum, dan pasien terkadang menghubungkannya dengan konsumsi besi. Pada
penelitian tersamar ganda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan. 6,8

Penjelasan yang memungkinkan untuk pasien yang gagal dengan terapi besi oral
adalah (a) diagnosis yang tidak tepat, (b) penyakit yang berkomplikasi, (c) kegagalan pasien
untuk mengambil obat, (d) peresepan yang tidak tepat (dosis dan bentuk), (e) berlanjutnya
kehilangan besi saat intake, dan (f) malabsorbsi besi. 6,8

Dalam menangani kegagalan respons terhadap besi, penting untuk melihat kembali
data dimana diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan. Meskipun defisiensi besi ada,
penyebab koeksis dari anemia dapat mengaburkan diagnosis. Contohnya adalah defisiensi
besi sebagai komplikasi dari anemia peradangan dalam arthritis rheumatoid, infeksi H. pylori,
atau anemia dimorfik, dimana defisiensi besi dan anemia pernisiosa terdapat dalam satu
pasien. 6,8
Pemberian besi secara intramuscular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik disbanding peroral.

Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/mL. Dosis dihitung berdasarkan:

Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dL) x 2,5

Transfusi darah jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat
berat dengan kadar Hb < 4 g/dL. Koreksi anemia berat dengan transfuse tidak perlu
secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi
jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk
menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respons terapi besi.secara
umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4 g/dL hanya diberi PRC dengan
dosis 2-3 mL/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretic seperi furosemid.4,9

Pencegahan

Pencegahan primer4

Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan


Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat pada waktunya, yaitu
sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun.
Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum preparat besi
untuk meningkatkan absorbsi besi, serta menghindari bahan yang menghambat
absorbs besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada makanan.
Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan yang
mengandung kadar besi yang berasal dari hewani.
Pendidikan kebersihan lingkungan.

Pencegahan sekunder

Skrining anemia defisiensi besi


o Skrining anemia defisiensi besi dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht,
waktunya disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang
tepat masih kontroversial. American Academy of Pediatrics (AAP)
menganjurkan antara usia 9-12 bulan, 6 bulan kemudian, dan usia 24 bulan.
Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun
sampai 5 tahun.4
o Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin serum,
dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja.4
o Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat
skrining ADB.4
o Skrining yang paling sensitive, mudah, dan dianjurkan yaitu zinc erythrocyte
protoporphyrin (ZEP). 4
o Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan
sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan segera
memberi terapi.4
Suplementasi besi4
Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi di
daerah dengan prevalensi tinggi4
Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk bayi dan makanan
pendamping ASI seperti sereal. 4

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan kelompok risiko tinggi mengalami
defisiensi besi. Menurut WHO, suplementasi besi dapat diberikan secara missal, mulai usia 2-
23 bulan dengan dosis tunggal 2 mg/kgBB/hari. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki
risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami defisiensi besi. Pada dua tahun pertama
kehidupannya, saat terjadi pacu tumbuh, kebutuhan besi akan meningkat. Bayi premature
perlu mendapat suplementasi besi sekurang-lkurangnya 2 mg/kgBB/hari sampai usia 12
bulan. Suplementasi sebaiknya dimulai sejak usia 1 bulan dan diteruskan sampai bayi
mendapat susu formula yang difortifikasi atau mendapat makanan padat yang mengandung
cukup besi. CDC di Amerika merekomendasikan bayi-bayi yang lahir premature atau BBLR
diberikan suplementai besi 2-4 mg/kgBB/hari (maksimum 15 mg/hari) sejak usia 1 bulan,
diteruskan sampai usia 12 bulan. Pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR),
direkomendasikan suplementasi besi diberikan lebih awal.11

Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi besi diberikan
jika prevalensi anemia defisiensi besi tinggi (di atas 40%) atau tidak mendapat makanan
dengan fortifikasi. Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari. Hal tersebut atas pertimbangan bahwa prevalensi defisiensi beswi pada bayi
yanag mendapat ASI usia 0-6 bulan hanya 6% namun meningkatpada usia 9-12 bulan yaitu
sekitar 65%. Bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan kemudian tidak
mendapat besi secara adekuat dari makanan, dianjurkan pemberian suplementasi besi dengan
dosis 1 mg/kgBB/hari. Untuk mencegah terjadinya defisiensi besi pada tahun pertama
kehidupan, pada bayi yang mendapatkan ASI perlu diberikan suplementasi besi dengan dosis
1 mg/kgBB/hari. Untuk mencegah terjadinya defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan,
pada bayi yang mendapatkan ASI perlu diberikan suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan.
The American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian suplementasi
besi pada bayi yang mendapat ASI eksklusif mulai usia 4 bulan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari
dilanjutkan sampai bayimendapat makanan tambahan yang mengandung cukup besi. Bayi
yang mendapat ASI parsial (>50% asupannya adalah ASI) atau tidak mendapat ASI serta
tidak mendapatkan makanan tambahan yang mengandung besi, suplementasi besi juga
diberikan mulai usia 4 bulan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. 11

Pada anak usia balita dan usia sekolah, suplementasi besi tanpa skrining diberikan jika
prevalensi anemia defisiensi besi lebih dari 40%. Suplementasi besi dapat diberikan dengan
dosis 2 mg/kgBB/hari (dapat sampai 30 mg/hari) selama 3 bulan. 11

Suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempian diberikan dengan dosis 60
mg/kgBB/hari selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60 mg/hari, secara
intermiten (2 kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja perempuan ternyata terbukti
dapat meningkatkan feritin serum dan free erythrocyte protoporphyrin (FEP). Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) dan AAP merekomendasikan suplementasi besi pada
remaja lelaki hanya bila terdapat riwayat anemia defisiensi besi sebelumnya, tetapi mengingat
prevalensi defisiensi besi yang masih tinggi di Indonesia sebaiknya suplementasi besi pada
remaja lelaki tetap diberikan. Penambahan asam folat pada remaja perempuan dengan
pertimbangan pencegahan terjadinya neural tube defect pada bayi yang akan dilahirkan di
kemudain hari. 11
Gambar 4. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi.11

Komplikasi

Bila anemia defisiensi terjadi dalam waktu yang lama, kemampuan kognitif anak
dapat terpengaruhi. Perubahan perilaku juga dapat terlihat pada anak-anak yang mengalami
anemia defisiensi besi. Bila sudah terjadi kerusakan pada otak, pemberian terapi besi tidak
dapat mengembalikan keadaan otak seperti semula.11

Kesimpulan

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang disebabkan oleh kurangnya nutrisi zat
besi. Penyebabnya dapat berbagai macam, dimulai dari nutrisi yang tidak adekuat sampai
manifestasi perdarahan yang kronik. Ditandai dengan manifestasi klinik anemia berupa letih,
lemah, lesu, lunglai dan tanda khas defisiensi besi berupa koilonikia, stomatitis angularis,
atrofi papil lidah. Pemeriksaan terhadap besi serum, feritin, TIBC dapat menegakkan
diagnosis anemia defisiensi besi.

Penatalaksanaan dari anemia defisiensi besi meliputi pemberian zat besi elemental.
Pemberiannya diharuskan 3-6 bulan untuk mencegah terjadinya relaps. Diperlukan asupan
nutrisi zat besi adekuat untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi.

Daftar Pustaka

1. Baker RD, Greer FR. Diagnosis and prevention of iron deficiency and iron-deficiency
anemia in infants and young children (0-3 years of age). Pediatrics. 2010; 126 (5):
1040-50
2. Greer JP, Foerster J, Rodgers GM, et al. editors. Wintrobes clinical hematology. 12 th
ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. 2009. p 810-30.
3. VMNIS. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of
severity. WHO. 2011. p.1-5
4. Lerner NB, Sills R. Iron-deficiency anemia. In: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme
III JWS, et al. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.
2011. P. 810-35
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi ikatan dokter anak Indonesia:
suplementasi besi untuk anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011. h.1-6
6. WHO, Blood Transfusion Safety. The clinical use of blood handbook. WHO. 2002. p.
86-95.
7. Adamson JW. Iron deficiency and other hypoproloferative anemias. In: Longo DL,
Kasper DL, Jameson JL, et al. editors. Harrisons principle of internal medicine. 18 th
ed. Mc-Graw Hill. 2012. p.844-8
8. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, et al. editor. Pedoman pelayanan medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 2011. P. 10-4
9. Widiastuti E. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. 05 September 2013. Diambil
dari: http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-
pada-bayi-dan-anak.html. 31 Agustus 2015; 20.05 WIB
10. Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, et al. penyunting. Buku ajar hematologi-
onkologi anak. Cetakan kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2006. h.30-43
11. Elghetany MT, Banki K. Erythrocytic disorders. In: McPherson RA, Pincus MR.
Henrys clinical diagnosis and management by laboratory methods. 22 nd ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2011. p.557-61

Anda mungkin juga menyukai