Anda di halaman 1dari 115

TUGAS FARMASI

DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG & TENGGOROKAN (THT)

Pembimbing:

dr. Bambang Suprayogi, Sp.THT

dr. Jurita Falorin

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
DAFTAR PENYUSUN TUGAS

No. Nama Penyakit NIM Nama Mahasiswa/i

1161050080 Trias Dinar Azwarini Rahayu


1. Otits Media Akut (OMA)
1261050001 Tarka Yulasutu
2. Otitis Eksterna Difusa 1161050213 Yohana Fransisca Tamnge
3. Otitis Eksterna Sirkumpkripta 1161050092 Cindy Pabontong
1161050071 Christopher Vande
4. Otitis Media Supuratif (OMSK)
1161050095 Nidyawati Zebadiah
5. Corpus Alienum 1261050136 Zelda Mercheline Aqmarina
6. Serumen Prop 1061050022 Rina Angela
1261050137 Astari Firstya Imani
7. Rhinitis Athropikan (Ozaena)
1261050038 Vircha Anakotta
8. Rhinitis Alergi 1161050100 Pundi Pandan Putri Pinanti
9. Rhinitis Vasomotor 1261050301 Husnul Chotimah Sukma Putri
1261050031 Resita Indah Sukraputri
10. Sinusitis
1261050299 Richard Nelson
11. Tonsilitis Akut 1161050078 Sasmiza
12. Tonsilitis Kronis 1061050016 Agita Ginting
13. Tonsilitis Difteri 1061050019 Yosua Siwabessy
14. Faringitis 1161050070 Gimyarevski Elliasaf Tanihatu
15. Laringitis 1161050097 Tiara Cintya Destinahayun
BPPV (Benign Paroksimal 1161050064 Anastasia Anggita Saraswati
16.
Positional Vertigo) 1261050286 Joshua Ardito Danudoro
1261050270 Narendraswari Mendina K.
17. Meniere Syndrome
1261050197 Jeremia Kurniawan
1161050098 Filda Sharifah
18. Miringitis Bulosa
1261050009 Nadilla Garyudanefi
1161050250 Mentari Setiawati
19. Parotitis Christian J. Marulitua
1261050186
Sihotang
OTITIS MEDIA AKUT (OMA)

Disusun Oleh:

1161050080 Trias Dinar Azwarini Rahayu

1261050001 Tarka Yulasutu

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
OTITIS MEDIA AKUT

A. Definisi dan Klasifikasi

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik
dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,
muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya
efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada
membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat
cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).

Gambar 2.1. Skema Pembagian Otitis Media


Gambar 2.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

B. Etiologi

1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,
65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri
terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri
penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5%
kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-
hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus
dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita.
Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai
pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau
adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau
enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,
menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi
obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner,
2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus
specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi
dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus
(Buchman, 2003).

Menurut Bluestone (2001) dalam Klein (2009), distribusi mikroorganisme yang


diisolasi dari cairan telinga tengah, dari 2807 orang pasien OMA di Pittsburgh Otitis
Media Research Center, pada tahun 1980 sampai dengan 1989 adalah seperti berikut:

Gambar 2.3. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah
pasien OMA.
C. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis
kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas,
disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak
matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status
imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-
laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native
American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi
dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi
juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang
terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan
tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita
OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA
juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah
terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita
penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi
akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

D. Gejala Klinis

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di
samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada anak
yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan
anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada
stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur
membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur
tenang (Djaafar, 2007).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani
yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari
(2005), skor OMA adalah seperti berikut:

Tabel 2.1. Skor OMA

Skor Suhu (C) Gelisah Tarik Kemerahan Bengkak pada


telinga pada membran membran timpani
timpani (bulging)
0 <38,0 Tidak Tidak Tidak ada Tidak ada
ada ada
1 38,0- 38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6- 39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat Berat Berat Berat, termasuk
otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau
sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila
nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari,
2005).
E. Fisiologi

Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media.
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).

Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka
apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan
dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini
apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20
sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu
ventilasi, proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan
udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu
melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau
cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil
sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).

F. Patogenesis OMA

Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa
saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius
menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila
keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus
atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa
telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang
berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan
mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga
tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi.
Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami
infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi
mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas,
sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan
disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan
adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang
terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang
meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.


Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu
timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu,
sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal
dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor
ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA

Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang
dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya
lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih
mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak
di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang
terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens
terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah
berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi
obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah
sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah.
Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan
dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa.
Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah
melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).

Gambar 2.4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung
pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius,
stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan
stadium resolusi (Djaafar, 2007).

Gambar 2.5. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara.
Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks
cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustacius juga menyebabkannya
tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada
kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat
dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi
berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan
tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh
dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,
tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara
yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai
dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah
di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga
tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani
menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta
rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.
Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat
disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di
kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler
membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih
lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah
kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah
akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi
lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya
tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa
nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang,
suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif
subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah
sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya
dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal
hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang
dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun
tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,
dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
G. Diagnosis

Kriteria Diagnosis OMA

Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu:

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.


2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut,
seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak
ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada
membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan
aktivitas normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu
ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di
telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan
di belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang
purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah,
seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada
membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan
ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat
sedang sampai berat.

Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi

OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai
OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada
OMA dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan
gangguan pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.
Table 2.2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

Gejala dan tanda Otitis Media Otitis Media


Akut dengan Efusi
Nyeri telinga (otalgia), menarik telinga + -
(tugging)
Inflamasi akut, demam + -
Efusi telinga tengah + +
Membran timpani membengkak +/- -
(bulging), rasa penuh di telinga
Gerakan membran timpani berkurang + +
atau tidak ada
Warna membran timpani abnormal + +
seperti menjadi putih, kuning, dan biru
Gangguan pendengaran + +
Otore purulen akut + -
Kemerahan membran timpani, erythema + -

H. Penatalaksanaa

Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis
media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin
terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi
membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl
efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi
resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk
terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah
sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa
dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari
yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang
dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai
dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar,
2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di
liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan
sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar,
2007).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua
sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera
dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah
yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik
meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007),
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan
antibiotik sebagai berikut.

Table 2.3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Usia Diagnosis pasti (certain) Diagnosis meragukan
(uncertain)
Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik
6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala berat,
observasi jika gejala ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala berat, Observasi
observasi jika gejala ringan

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat
efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala
ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam 24 jam terakhir.
Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39C. Pilihan
observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai
dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan
pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti
asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-


line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama
lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi
ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line
terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan
Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007).
Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan
prevalensi otitis media
(American Academic of Pediatric, 2004).
Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).

1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang
diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah
nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada
pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode
OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak
OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi
mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi
pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat
komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah.
Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti
otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan
plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi
dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,
kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007)
I. Komplikasi

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam
Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi
membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis),
ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).

J. Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada
bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan
pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan
merokok, dan lain-lain.
OTITIS EKSTERNA DIFUS

Disusun Oleh:

1161050213 Yohana Fransisca Tamnge

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
OTITIS EKSTERNA DIFUSA

PENDAHULUAN
Otitis ekterna difusa adalah peradangan yang terjadi pada seluruh liang telinga .
Tampak kulit liang telinga hiperemis dan oedem dengan batas yang tidak jelas, serta tidak
terdapat furunkel.
Penyakit ini sering dijumpai pada iklim yang panas dan lembab. Kuman penyebabnya
biasanya golongan Pseudomonas.

Otitis eksterna difusa dapat juga terjadi sebagai akibat sekunder dari otitis media supuratifa kronis

EPIDEMIOLOGI
Otitis eksterna difusa sering dijumpai pada iklim tropis, sehingga dahulu penyakit ini
memiliki nama yang bervariasi yang menunjukkan frekuensi kejadiannya, misalnya: tropical
ear, singapore ear, swimmers ear dan sebagainya.

PATOGENESIS
Keadaan panas dan lembab dapat menyebabkan pembengkakkan dari stratum
korneum dari kulit yang akan menyumbat lubang-lubang folikel. Kontak dengan kelembaban
dari luar, misalnya berenang atau mandi akan meningkatkan maserasi kulit liang telinga dan
menghasilkan suatu media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Perubahan ini juga
mengakibatkan gatal dari liang telinga yang menambah kemungkinan trauma akibat
pengorekkan, pengeringan daun telinga secara berlebihan dengan handuk kotor, dan
sebagainya. Hal ini akan diikuti dengan infeksi yang sebenarnya. Bila infeksi bersifat
unilateral, ia akan mudah menyebar ke telinga lain melalui jari. Infeksi yang tidak diobati
bisa menyebar ke aurikula dan kemudian ke wajah.
Penyakit ini dapat terjadi pada bayi oleh karena masuk air susu ke dalam liang telinga.
ETIOLOGI
Di Amerika Serikat sekitar 98 % dari otitis ekterna difusa disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa. Kasus lainnya mungkin disebabkan oleh Proteus vulgaris, E. coli,
Staphylococcus sp. dan Mucor sp.
Otitis eksterna difusa dapat juga terjadi sekunder pada otitis media supuratifa kronis yang
biasanya bersifat unilateral akibat iritasi dari sekret.

GEJALA KLINIS
Gejala klinis dari otitis eksterna difusa sangat bervariasi, lebih tergantung dari struktur
liang dari pada penyebabnya. Gejala awal berupa perasaan gatal pada liang telinga yang
merupakan permulaan peradangan. Keadaan ini sering bersamaan dengan perasaan gatal pada
tenggorokan yaitu pada dasar tonsil. Pergerakkan dari otot-otot palatum akan menimbulkan
perasaan gatal yang berasal dari tenggorokkan, tetapi pergerakkan dari daun telinga tidak
menimbulkan perasaan gatal ini, kebalikkannya merupakan gatal yang disebabkan oleh otitis
eksterna difusa.
Bila proses tersebut bertambah berat, perasaan gatal akan berlanjut menjadi sakit yang dapat
sangat hebat. Hal ini bersamaan denganedeema yang menekan liang telinga. Pergerakkan dari telinga
atau tulang rawan liang telinga seperti mengunya akan menimbulkan perasaan sakit. Proses eksudasi
dan pembengkakkan ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran sebagai akibat sekundedr dari
obstruksi liang telinga.

Sekretnya mula-mula serous tetapi segera berubah menjadi purulen dan kental bila bercampur
dengan sel-sel pus dan epitel yang mengalami deskuamasi. Pada bentuk yang kronis hanya
dijumpaisedikit sekret atau tidak sama sekali dengan bentuk koagulan pada liang telinga. Pada
umumnya menimbulkan bau nusuk sebagai akibat kerja dari bakteri saprofit atau jamur pada liang
telinga.

Gejala toksisitas dengan adanya dedmam menunjukkan penyebaran secara limfatik.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis yang cermat
Biasanya dijumpai trias: gatal, korek dan sakit.
2. Pemeriksaan liang telinga
Tanda utama dari otitis eksterna difusa yaitu nyeri yang sama tarikan pada aurikula atau
penekanan pada tragus akan memperhebat nyeri ini. Pada keadaan akut akan dijumpai kulit
liang telinga berwarna merah dan biasanya edema, kadang-kadang sampai tingkat yang dapat
menyumbat total liang telinga tersebut. Biasanya akan dijumpaieksudat purulen yang khas
infeksi pseudomonas. Liang telinga bagian dalam tidak dapat diamati tanpa mengakibatkan
nyeri yang hebat pada penderita.

Pada keadaan yang kurang akutpembengkakkan dan kemerahan liang telinga dapat
bersamaan dengan debris. Telinga tersebut sensitif terhadap perabaan dan kadang-kadang
dijumpai pembesaran kelenjar di depan tragus. Membrana timpani dapat terlihat atau tidak,
bila terlihat warnanya kabur.

DIAGNOSIS BANDING
1. Otitis Media
Pada otitis media sekret seperti benang dan pendengaran berkurang dan penarikkan pada
aurikula atau penekanan pada tragus tidak memperhebat nyeri tersebut.

2. Otitis Eksterna Sirkumskripta (furunkulosis)

PENATALAKSANAAN
Langkah pertama yang terpenting untuk terapi otitis eksterna difusa berupa
pembersihat cermat semua debris dan nanah di dalam liang telinga, yang mudah dilakukan
dengan menggunakan ujung penghisap yang kecil. Kemudian liang telinga dioleskan
aluminium suasetat 0,025 % atau alkohol, walaupun alkohol dapat menyebabkan
ketidaknyamanan hebat. Kemudian beberapa tetes larutan antibiotika dimasukan ke dalam
liang telinga tersebut.
Ingat bahwa antibiotika harus berkontak seluruhnya dedngan kulit liang telinga secara efektif.
Bila terdapat saluran yang baik dengan membrana timpani, pasien disuruh berbaring pada satu sisi
tubuhnya, kemudian diteteskan antibiotika dn dipasang sumbat kapas dalam telinga. Harus diberikan4
atau 5 tetes ke dalam telinga setiap 4 jam untuk 48 jam pertama, setelah itu liang diperiksa kemabali.
Biasanya terjadi perbaikan dramatis. Kemudian tetesan antibiotika harus diberikan 3 kali sehari
selama 1 minggu. Kadang-kadang terdapat pembengkakkan sedemikian rupa sehingga tetesan tersebut
tidak dapat masuk ke liang telinga. Pada keadaan ini, masukkan dengan hati-hati gumpalan kapas tipis
5-7,5 cm dan ditekan hati-hati ke dalam liang telinga deengan forsep bayonet atau forsep buaya.
Ujung dalam gumpalan ini harus sedikit mungkin ke membran timapani dan ujung luarnya harus
menonjol ke luar dari liang telinga. Dengan pasien pada salah satu sisinya, gumpalan tersebut harus
dibasahi dengan larutan antibiotika setiap 3-4 jam. Setelah kapas tersebut dibasahi, pasang sumbatan
kapas ke dalam telinga. Dua puluh empat jam setelah itu kapas harus diangkat dan telinga
dibersihkan, serta kemudian dimasukkan gumpalan kapas yang lebih besar. Biasanya dalam waktu 48
jam, edeema akan mengurai sedemikian rupa sehingga tetesan antibiotika dapat langsung masuk ke
dalam telinga.

Suatu antibiotika yang mengandung neomisin bersama polimiksin B sulfat (cortisporin) atau
kolistin (colymiysin) akan efektif untuk sekitar 99 % pasien. Bila infeksi disebabkan oleh jamur, salep
Nystatin (mycostatin) dapat dioleskan semuanya ke kulit liang telinga dan dapat digunakan tetesan m-
kresil asetat (creysylate) atau mertiolat dalam air (1:1000). Harus dihindarkan masuknya air selama 2
minggu setelah infeksi teratasi untuk mencegah rekurensi.

Biasanyaterapi yang tepat menyebabkan penurunan dramatis bagi nyeri dalam 34-48 jam.
Untuk nyeri hebat yang biasanya menyertai otitis ekterna difusa dapat diberikan kodein atau aspirin.

Kadang-kada ada individu yang sangat rentan terhadap otitis eksterna, pasien-pasien ini harus
diinstruksikan untuk menghindari masuknya air, busa sabun dan smprotan rambut ke dalam telinga.
Mereka dapat membersihkan telinganya dengan alkohol.

Sehabis berenang pembilasan telinga dengan alkohol, asam asetat 2 % di dalam aluminium
asetat (domeboro atic), atau asam asetat 2% di dalam propilen glikol (vosol) sering dapat menceegah
timbulnya otitis eksterna. Bagi pasien yang tidak mendapat manfaat dengan larutan tersebut, dapat
menggunakan custom mode ear molds bila terdapat kemungkinan masuknya air ke dalam telinga.
Setelah berenang, walaupun telah menggunakan molds tersebut, telinga tetap harus disemprotkan
dengan salah satu larutan tersebut.

Terapi topikal biasanya cukup efektif, tetapi bila dijumpai adenopathy dan gejala toksisitas,
antibiotika sistemik dibutuhkan. Penggunaan kortikosteroid diharapkan dapat mengurangi proses
inflamasi.
Contoh resep :

R/ neomycin eardrops fl no. I

S 2 dd gtt II a.d.a p.r.n

Cum. Pipet

(Paraf)

KESIMPULAN
1. Otitis Eksterna difusa adalah peradangan yang terjadi pada seluruh liang telinga
2. Otitis eksterna difusa sering dijumpai pada iklim panas dan lembab
3. Penyebab utamanya adalah Pseudomonas aeruginosa.
4. Gejala klinis awal berupa gatal pada liang telinga yang berlanjut menjadi sakit
5. Langkah pertama yang terpenting untuk terapi otitis eksterna berupa pembersihan semua
debris dan nanah di dalam telinga, yang kemudian baru diberikan tetesan antibiotika.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adenin A, Kumpulan Kuliah Telinga, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera


Utara.
2. Ballenger, Yacob J, Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck, 13 th ed, page1084-95.
3. Cody, Thone D, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokkan (Diseases of the Ears, Nose and
Throat) Penuntun untuk diagnosis dan Petalaksanaan, EGC: 108-10.
4. Pracy R, Short Textbook Ear, Nose and throat, page 16.
5. Scott-Browns, Diseases of the Ear, Nose and Throat, 4th Ed, vol 2, The Ear, page 106-8.
OTITIS EKSTERNA SIRKUMKRIPTA

Disusun Oleh:

1161050092 Cindy Pabontong

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
OTITIS EKSTERNA AKUT SIRKUMSKRIPTA

Sinonim: Furunkulosis, bisul.

Definisi:

OE Sirkumskripta adalah infeksi pada pilosebasea (folikel rambut) di kulit 1/3 luar liang
telinga yang awalnya berupa folikulitis namun berlanjut hingga memberntuk furunkel atau
abses kecil.

Etiologi:

Staphlococcus aureus

Staphylococcus albus

Penegakan Diagnosis:

1. Anamnesis
Otalgia hebat
- Muncul saat daun telinga disentuh -> karena tidak terdapat jaringan ikat
longgar bawah kulit liang telinga.
- Muncul spontan saat membuka mulut -> gerakan sendi temporomandibuler.
Terdengar suara mendengung (tinnitus).
Gangguan pendengaran -> furunkel besar menimbulkan sumbatan liang telinga.
Otorea -> jika abses mengalami ruptur.
Keluhan biasanya dialami pada satu telinga dan sangat jarang mengenai kedua
telinga dalam waktu bersamaan.

2. Pemeriksaan Fisik
Tampak furunkel pada liang telinga.
Sekret -> jika terjadi rupture abses.

Diagnosis Banding:

Perikondritis yang berulang, Kondritis, Otomikosis.


Penatalaksanaan:

1. Non-medikamentosa
a. Membersihkan liang telinga dengan H2O2 3%.
b. Bila terdapat abses, dilakukan insisi dan drainase.

2. Medikamentosa
a. Topikal
Larutan antiseptic Povidone Iodine 10%
Obat tetes telinga: Kombinasi antibiotic-steroid (Otilon).
Salep antibiotik: Polimiksin B (Tigalin).
b. Sistemik
Bila infeksi cukup berat dapat berikan antibiotik -> Ofloksasin.
Analgetik -> OAINS (Asam Mefenamat)

3. Edukasi
Tidak mengorek telinga baik dengan cotton bud atau alat lainnya.
Selama pengobatan pasien tidak boleh berenang.
Penyakit dapat berulang sehingga harus menjaga liang telinga agar dalam kondisi
kering dan tidak lembab.

Komplikasi:

Jika pengobatan tidak adekuat dapat timbul abses, infeksi kronik telinga, jaringan parut, dan
stenosis liang telinga.
Resep:

Contoh kasus: Otitis eksterna akut sirkumskripta auricularis dextra.

dr. Cindy Pabontong


SIP: 1161050092
Jl. Mayjend Sutoyo No. 2
021 543217
Jakarta Timur

Jakarta, 21 Juli 2016

R/ H2O2 3% fl (30 ml) No. I fl


S 3 dd gtt. II auricularis dextra (cuci telinga)
cum pipet
(paraf)
R/ Sol. Povidone Iodine 10% (5 ml) No. I lag
S u. e. (paraf)
R/ Otilon ear drop (8 ml) No. I lag
S 1 dd gtt. IV auricularis dextra
(paraf)
R/ Tigalin Zalf tube (5 g) No. I tube
S u. e. (paraf)

R/ Ofloxacin tab. 200 mg No. X


S 2 dd tab. I p. c. (paraf)
R/ Asam Mefenamat tab. 250 mg No. XXI
S 3 dd tab. I p. c. p. r. n.
(paraf)

Pro : Tn. Jojo


Umur : 24 tahun
BB : 60 kg
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS
(OMSK)

Disusun Oleh:

1161050071 Christoper Vande

1161050095 Nidyawati Zebadiah

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dahulu disebut sebagai otitis media perforata
(OMP) atau dalam sebutan sehari-hari disebut congek. OMSK adalah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi OMSK apabila
prosesnya sudah lebih dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor
yang menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang
tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau
higiene buruk.
OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna)
dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna). Proses peradangan pada OMSK tipe
aman terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terlentak di
sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada
OMSK tipe aman tidak terbatas kolesteatoma. Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna
ialah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya
marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan
perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK
tipe bahaya.
Terapi OMSK memerlukan waktu lama dan harus berulang. Pengobatan penyakit
telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebabnya dan pada
stadium penyakitnya. Bila didiagnosis kolesteatoma, maka mutlak harus dilakukan operasi,
tetapi obat-obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, dimana
pengobatanannya dibagi atas:
Konservatif
Pembedahan

OMSK Benigna Tenang


Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorektelinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera
berobatbila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya
dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah
infeksiberulang serta gangguan pendengaran.

OMSK Benigna Aktif


Prinsip pengobatan OMSK benigna aktif adalah :
Membersihkan liang telinga dan kavum timpani
Pemberian antibiotika :
o antibiotika/antimikroba topikal
o antibiotika sistemik

Pembersihan liang telinga dan kavum timpan (aural toilet)


Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi
perkembangan mikroorganisme. Pembersihan kavum timpani dengan menggunakan cairan
pencuci telinga berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Garam faal agar lingkungan
bersifat asam sehingga merupakan media yang buruk untuk pertumbuhan kuman.

Pemberian antibiotik topikal


Setelah sekret berkurang, terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga
yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid, hal ini dikarenakan biasanya ada gangguan
vaskularisasi ditelinga tengah sehingga antibiotika oral sulit mencapai sasaran optimal. Cara
pemilihan antibiotika yang paling baik adalah berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji
resistensi.
Preparat antibiotika topikal untuk infeksi telinga tersedia dalam bentuk tetes telinga
dan mengandung antibiotika tunggal atau kombinasi, jika perlu ditambahkan kortikosteroid
untuk mengatasi manifestasi alergi lokal. Obat tetes yang dijual di pasaran saat ini banyak
mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab itu, jangan diberikan secara terus
menerus lebih dari 1-2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang.

Antibiotika yang sering digunakan untuk OMSK adalah:


1. Kloramfenikol
Losin et. al (1983) melakukan penelitian pada 30 penderita OMSK jinak aktif
mendapatkan bahwa sensistifitas kloramfenikol terhadap masing-masing kuman
adalah sebagai berikut: Bacteroides sp. (90%), Proteus sp. (73,33%), Bacillus sp.
(62,23%), Staphylococcus sp. (60%), dan Pseudomonas sp. (14,23%).
2. Polimiksin B atau Polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas,
E.coli,Klebsiella, dan Enterobakter tetapi tidak efektif (resisten) terhadap kuman
Gram positif seperti Proteus dan B. Fragilis dan toksik terhadap ginjal dan susunan
saraf.
3. Gentamisin
Gentamisisn adalah antibiotika derivat aminoflikosida dengan spektrum yang luas dan
aktif untuk melawan organisme Gram positif dan negatif. Saah satu bahaya dari
pemberian gentamisin tetes telinga adalah kemungkinan terjadinya kerusakan telinga
dalam. Telah diketahui bahwa pemberian gentamisin secara sistemik akan
menyebabkan efek ototoksik.
4. Ofloksasin
Ofloksasin mempunyai aktifitas yang kuat untuk bakteri Gram negatif dan positif dan
bekerja dengan cara menghambat enzim DNA gyrase. Pada OMSK dengan perforasi
membrana timpani, konsentrasi tinggi ofloksasin telah ditemukan 30 menit setelah
pemberian solutio ofloksasin 0,3%. Berdasarkan penelitian, pemakain tetes
siprofloksasin lebih berhasil dan lebih murah dibandingkan tetes kloramfenikol, dan
tidak dijumpai efek ototoksik. Keuntungan lainnya ofloksasin dapat diberikan secara
tunggal tanpa antibiotik oral.

Antibiotik oral
Secara oral, dapat diberikan antibiotika golongan ampisilin atau eritromisin sebelum
hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai penyebabnya telah resisten terhadap
ampisilin, dapat diberikan ampisilin-asam klavulanat. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1
minggu dan harus disertai pembersihan sekret.
Terapi antibiotika sistemik yang dianjurkan pada OMSK adalah:
1. Pseudomonas: aminogliosida + karbenisilin
2. P. Mirabilis: ampisilin atau sefalosporin
3. P.morganii, P.vulgaris : aminoglikosida +karbenisilin
4. Klebsiella: sefalosporin atau aminoglikosida
5. E.coli: ampisilin atau sefalosporin
6. S.aureus antis-stafilikokus: penisiln, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
7. Streptokokus: penisilin, sefalosforin, ertiromisin, sminoglikosida
8. B. Fragilis: klindamisin.

Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob. Metronidazol dapat


diberikan pada OMSK aktif dosis 400 mg 3 kali sehari, selama 2 minggu atau 200 mg per 8
jam selama 2-4 minggu. Antibiotika golongan kuinolon tidak dianjurkan untuk anak berusia
dibawah 16 tahun.
Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan
maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti yang bertujuan untuk
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi,
mencegab terjadinya komplikasi serta memperbaiki pendengaran.
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dengan sekret yang banyak tanpa
dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan
obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Dianjurkan irigasi dengan garam
faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media yang burukuntuk tumbuhnya
kuman. Selain itu dikatakan bahwa tempat infeksi pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika
topikal. Djaafar dan Gitowirjono menggunakan antibiotik topikal sesudah irigasi sekret
profus dengan hasil cukup memuaskan, kecuali kasus dengan jaringan patologis yang
menetap pada telinga tengah dan kavum mastoid. Mengingat pemberian obat topikal
dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang
ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1minggu. Cara pemilihan
antibiotik yang paling baik adalah dengan berdasarkan kulturkuman penyebab dan uji
resistensi.

Contoh Resep
R/ Chloramphenicol ear drop fls No. I
S. 3 dd I gtt Auricularis Dextra

R/ Asam Mefenamat tab 500mg No.X


S. p.r.n 3 dd I tab

R/ Amoxcillin tab 500mg No. XV


S. 3 dd I tab

R/ H2O2 3% (30ml) No.I


S. 3 dd III gtt Auricularis Dextra
Cum pipet

Pro: Tn
Umur:..

Jenis pembedahan OMSK


Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik yang dapat dilakukan pada OMSK dengan
mastoiditis kronis baik tipe aman atau bahaya, antara lain:

1. Mastoidektomi sederhana (simple Mastoidectomy).


Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan konservatif
tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan ruangan mastoid
dari jaringan patologik. Tujuannya ialah supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair
lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
2. Mastoidektomi Radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau
kolesteotoma yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum
tympani dibersihkan dari semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke
intrakranial. Fungsi pendengaran tidak di perbaiki.
Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur
hidupnya. Pasien harus dating dengan teratur untuk control, supaya tidak terjadi
infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali, sehingga dapat menghambat
pendidikan atau karier pasien.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga
operasi serta membuat meatoplast yang lebar, sehingga rongga operasi kering
permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus telinga luar menjadi lebar.

3. Mastoidektomi radikal dengan Modifikasi (operasi Bondy)

Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatoma di daerah atik tetapi
belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding
posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua
jaringan patologik dari rongga mastoid dan mempertahankan pendengaran yang masih
ada.

4. Miringoplasti

Operasi tipe ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan, dikenal
juga dengan nama timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membran
timpani.Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada
OMSK tipe aman dengan perforasi yang menetap.

Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang sudah tenang dengan
ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membrane timpani.

5. Timpanoplasti
Timpanoplasti adalah prosedur menghilangkan proses patologik didalam
telinga tengah dan diikuti rekontruksi system konduksi suara pada telinga
tengah.Timpanoplasti diajukan pertama kali oleh Wullstein tahun 1953 yang
kemudian membagi timpanoplasti menjadi V tipe pada tahun 1956. Tujuan dari
timpanoplasti itu sendiri ialah mengembalikan fungsi telinga tengah , mencegah
infeksi berulang dan memperbaiki pendengaran. Tujuan lainnya membersihkan
semua jaringan patolgis dimana anatomi dari meatus eksternus termasuk sulkus
timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk menghindari system aerasi yang tertutup.
Aerasi dapat diperoleh dengan membersihkan penyumbatan antara kavum tympani,
antrum, dan system sel mastoid.
Indikasi timpanoplasti dilakukan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan
yang lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bias ditenangkan dengan
pengobatan medikamentosa.
Pada operasi ini selain rekontruksi membrane tympani sering kali harus
dilakukan juga rekontruksi tulang pendengaran. Sebelum rekontruksi dikerjakan lebih
dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk
membersihkan jaringan patologis.
Tipe-tpe Timpanoplasti
Tipe I
Disebut juga miringoplasti. Operasi ini merupakan timpanoplasti yang paling ringan,
dengan melakukan rekontruksi hanya pada membrane tympani dan cangkokan bersandar
pada maleus.
Indikasi operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang sudah tenang dengan
ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi yang menetap.
Pada tipe I ini seharusnya dapat memulihkan pendengaran konduktif sampai normal atau
hampir normal.

Tipe II sampai tipe V dilakukan rekontruksi membrane timpani dan rekontruksi tulang
pendengaran.

6. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined Approach Tympanoplasty)


Operasi ini merupakan tekni operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus
OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.
Tujuan operasi untuk menyembuhkanmenyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga).
Membersihkan kolesteatoma dan jaringan granulasi kavum timpani,
dikerjakan melalui dua jalan (combined approach) yaitu melalui liang telinga dan
rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Teknik operasi ini pada
OMSK tipe bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering terjadi
kambuhnya kolesteatoma kembali.
CORPUS ALIENUM

Disusun Oleh:

1261050136 Zelda Mercheline Aqmarina

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
CORPUS ALIENUM
Definisi
Corpus alienum adalah benda asing yang berasal dari luar atau dalam tubuh
yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh.

Jenis-jenis
Benda asing eksogen : berasal dari luar tubuh, biasanya masuk melalui hidung atau
mulut. eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat
terdiri dari zat organic seperti kacang-kacangan (yang berasal dari tumbuhan-
tumbuhan), tulang (yang berasal dari kerangka binatang) dan zat anorganik seperti
paku, jarum, peniti, batu, dan lain-lain. Benda asing eksogen cair dibagi dalam benda
cair yang bersifat iritatif, seperti zat kimia, dan benda cair non -iritatif, yaitu cairan
dengan pH 7,4.
Benda asing endogen : berasal dari dalam tubuh, dapat berupa secret kental,
darah atau bekuan darah, nanah, krusta, perkijuan, membran difteri, bronkolit. Cairan
amnion, mekonium dapat masuk ke dalam saluran napas bayi pada saat proses
persalinan.

Benda Asing di Telinga

Liang telinga luar terdiri dari cartilago dan tulang yang dilapisi oleh periosteum dan
kulit. Bagian tulang merupakan bagian yang sangat sensitive. Karena itulah percobaan
mengeluarkan benda asing di telinga terasa sangat sakit. Liang telinga luar menyempit pada
bagian persambungan antara cartilago dan tulang. Benda asing dapat terjepit disini sehingga
membuat semakin sulit pada pengangkatan benda asing. Percobaan mengambil benda asing
dapat membuat benda tersebut semakin masuk kedalam dan tersangkut pada tempat
penyempitan tersebut. Maka dari itu perlu pencahayaan yang kuat dan alat yang memadai.
Biasanya alat yang digunakan adalah alat yang masuk ke telinga, magnet untuk bahan dari
logam, irigasi telinga, dan mesin dengan alat hisap.

Gejala
Pada beberapa kasus pasien dengan benda asing di telinga adalah tanpa gejala, dan
pada anak anak ditemukan secara kebetulan. Pasien yang lain mungkin merasa sakit dengan
gejala seperti otitis media, pendengaran berkurang, atau rasa penuh ditelinga. Beberapa kasus
sering ditemukan pada anak-anak berumur kurang dari 8 tahun. Benda asing yang sering
terdapat pada telinga adalah manik-manik, mainan plastik, kelereng, biji jagung. Serangga
lebih sering pada pasien berumur lebih dari 10 tahun. Terkadang pada anak-anak umur
kurang dari 10 tahun pengambilan benda asing perlu dilakukan anestesi umum.

Diagnosa
Benda asing dalam telinga dapat dilihat oleh dokter yang kompeten dengan
langsung melihat ke dalam telinga menggunakan otoskop. Pada anak-anak perlu
dicurigai adanya benda asing yang jumlahnya lebih dari satu ataupun lubang lain
yang juga terlibat (mulut, dan hidung) yang juga harus diperiksa
Penatalaksanaan
Pada benda yang sangat kecil dapat dicoba untuk mengoyangkan secara hati- hati.
Menarik pinna telinga kearah posterior meluruskan liang telinga dan benda asing dapat keluar
dengan goncangan lembut pada telinga. Jika benda asing masuk lebih dalam maka perlu
diangkat oleh dokter yang kompeten. Tidak dianjurkan untuk mengorek telinga sendiri karena
dapat mendorong lebih kedalam dan menyebabkan ruptur membran timpani atau dapat
melukai liang telinga.
Beberapa tehnik di klinik pada pengeluaran benda asing di teinga:
Forceps yang sudah dimodifikasi dapat digunakan untuk mengambil benda dengan
bantuan otoskop
Suction dapat digunakan untuk menghisap benda
Irigasi liang telinga dengan air hangat dengan pipa kecil dapat membuat benda-benda
keluar dari liang telinga dan membersihkan debris.
Penggunaan alat seperti magnet dapat digunakan untuk benda dari logam
Sedasi pada anak perlu dilakukan jika tidak dapat mentoleransi rasa sakit dan takut
Serangga dalam liang telinga biasanya diberikan lidocain atau minyak, lalu diirigasi
dengan air hangat.
Setelah benda asing keluar, diberikan antibiotik tetes selama lima hari sampai
seminggu untuk mencegah infeksi dari trauma liang telinga

Benda Asing di Hidung

Benda asing sebagai penyebab sumbatan hidung hampir selalu ditemukan


pada anak-anak. Anak-anak cenderung memasukan benda-benda kecil dalam hidung.
Benda asing yang lazim ditemukan adalah manik-manik, kancing, kacang, kelereng,
dan karet penghapus. Bila benda tersebut belum lama dimasukan, maka tidak atau
hanya sedikit mengganggu, kecuali bila benda tersebut tajam atau sangat besar.

Gejala
Gejala yang lazim adalah obstruksi unilateral dan secret yang berbau. Benda asing
umumnya ditemukan di anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar
hidung. Tidak satupun benda asing boleh dibiarkan dalam hidung oleh karena bahaya
nekrosis dan infeksi sekunder yang mukin timbul, dan kemungkinan aspirasi kedalam saluran
pernapasan bawa.

Diagnosa
Untuk memeriksa hidung bagian dalam dapat digunakan speculum hidung dan
penlight. Pada inspeksi akan telihat benda asing yang terjepit dalam hidung.

Penatalaksanaan
Pengangkatan dapat dilakukan di klinik pada anak yang kooperatif, setelah
sebelumnya dioleskan suatu anastetik topical dan vasokonstriktor misalnya kokain. Suatu kait
buntu yang diselipkan di belakang benda tersebut atau suatu forsep alligator yang kecil akan
sangat membantu. Kadang diperlukan anestesi umum untuk mengeluarkan benda tersebut.
Rinolit
Rinolit juga dianggap sebagai suatu benda asing tipe khusus yang biasanya diamati
pada orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam secret hidung membentuk suatu masa
berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau bekuan darah. Sekret sinus kronik
dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu di dalam hidung.

Benda Asing di Laring, Trakea, dan Bronkus

Setelah benda asing teraspirasi, maka benda asing tersebut dapat tersangkut pada 3
tempat anatomis yaitu, laring, trakea atau bronkus.
Dari semua aspirasi benda asing, 8090% diantaranya terperangkap di bronkus dan
cabang-cabangnya.
Pada orang dewasa, benda asing bronkus cenderung tersangkut di bronkus utama
kanan, karena sudut konvergensinya yang lebih kecil dibandingkan bronkus utama
kiri.
Benda asing yang lebih besar lebih banyak tersangkut di laring atau trakea

Gejala
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung pada lokasi benda
asing, derajat sumbatan (total atau sebagian), sifat, bentuk dan ukuran benda asing. Benda
asing yang masuk melalui hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus. Benda yang masuk melalui mulut dapat tersangkut di orofaring, hipofaring, tonsil,
dasar lidah, sinus piriformis, esofagus atau dapat juga tersedak masuk ke dalam laring, trakea
dan bronkus. Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala hingga kematian sebelum
diberikan pertolongan akibat
sumbatan total. Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing saluran napas akan
mengalami 3 stadium. Stadium pertama merupakan gejala permulaan yaitu batuk- batuk
hebat secara tiba-tiba (violent paroxysms of coughing), rasa tercekik (choking), rasa
tersumbat di tenggorok (gagging) dan obstruksi jalan napas yang terjadi dengan segera. Pada
stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatis. Hal ini karena
benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan melemah dan gejala rangsangan akut
menghilang. Stadium ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan diagnosis atau
cenderung mengabaikan kemungkinan
aspirasi benda asing karena gejala dan tanda yang tidak jelas. Pada stadium ketiga, telah
terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat reaksi terhadap
benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru. Benda
asing di laring dapat menutup laring, tersangkut di antara pita suara atau berada di subglotis.
Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak (posisi) benda asing.
Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat biasanya kematian
mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya
spasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai afonia, apnea dan sianosis. Sumbatan
tidak total di laring dapat menyebabkan
disfonia sampai afonia, batuk yang disertai serak (croupy cough), odinofagia, mengi, sianosis,
hemoptisis, dan rasa subjektif dari benda asing (penderita akan menunjuk lehernya sesuai
dengan letak benda asing tersebut tersangkut) dan dispnea dengan derajat bervariasi. Gejala
ini jelas bila benda asing masih tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke
trakea, tetapi masih menyisakan reaksi laring oleh karena adanya edema.
Diagnosa
Pada kasus benda asing di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan radiologis dan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat radioopak
dapat dibuat rongent foto segera setelah kejadian, benda asing radiolusen dibuatkan rongent
foto setelah 24 jam kejadian, karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran
radiologis yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda-tanda atelektasis atau
emfisema.Video fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk melihat saluran napas secara
keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan inspirasi dan adanya obstruksi
parsial. Pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan
keseimbangan asam basa, serta tanda- tanda infeksi saluran napas.

Penatalaksanaan
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat,
perlu diketahui dengan baik lokasi tersangkutnya benda asing tersebut. Secara prinsip benda
asing di saluran napas dapat ditangani dengan pengangkatan segera secara endoskopik
dengan trauma minimum. Umumnya penderita dengan aspirasi benda asing datang ke rumah
sakit setelah melalui fase akut, sehingga pengangkatan secara endoskopik harus dipersiapkan
seoptimal mungkin, baik dari segi alat maupun personal yang telah terlatih. Penderita dengan
benda asing di laring harus mendapat pertolongan segera, karena asfiksia dapat terjadi dalam
waktu hanya beberapa menit. Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat
laring secara total ialah dengan cara perasat dari Heimlich (Heimlichmaneuver), dapat
dilakukan pada anak maupun dewasa. Menurut teori Heimlich, benda asing yang masuk ke
dalam laring ialah pada saat inspirasi. Dengan demikian paru penuh dengan udara,
diibaratkan sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu, maka sumbatnya
akan terlempar keluar. Komplikasi perasat Heimlich adalah kemungkinan terjadinya rupture
lambung atau hati dan fraktur kosta. Oleh karena itu pada anak sebaiknya cara menolongnya
tidak dengan menggunakan kepalan tangan tetapi cukup dengan dua buah jari kiri dan kanan.
Pada sumbatan benda asing tidak total di laring perasat Heimlich tidak dapat digunakan.
Dalam hal ini penderita dapat dibawa ke rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas
endoskopik berupa laringoskop dan bronkoskop.

Benda Asing di Orofaring dan Esofagus

Benda asing dapat masuk ke saluran cerna bagian atas. Orofaring terinervasi maka
pasien dapat menunjukan benda asing pada orofaring. Luka gores atau lecet pada mukosa
orofaring dapat menimbulkan sensasi benda asing. Benda asing yang terlalu lama dapat
menyebabkan infeksi jaringan lunak sekitar dari tenggorokan dan leher.
Esofagus merupakan struktur berbentuk tabung sepanjang 20-25cm. pasien biasanya
dapat menunjukan benda asing jika berada pada esofagus bagian atas tapi akan sulit jika
berada pada esophagus bagiah bawah. Esophagus memiliki 3 tempat penyempitan dimana
biasanya benda asing terperangkap yaitu: upper esophageal sphincter(UES), crossover aorta,
lower esophageal sphincter(LES). Struktur abnormal dari esophagus termasuk striktur, web,
divertikel, dan keganasan meningkatkan kejadian benda asing yang terperangkap dan sama
halnya dengan gangguan motorik seperti scleroderma, spasme esophageal difus, atau
achalasia.

Gejala
Gejala orofaring biasanya terdapat sensasi benda asing terutama setelah memakan
ayam ataupun ikan. Rasa tidak nyaman dari ringan sampai berat. Pasien biasanya mengeluh
sulit menelan atau tidak dapat mengontrol air liur. Biasanya pasien dapat melokalisir benda
asing tersebut.
Gejala esophagus biasanya akut dengan riwayat mencerna. Ketidaknyamanan
padaepigastrium menandakan bahwa benda asing terperangkap pada LES. Disfagia biasa
dikeluhkan oleh pasien dewasa dengan ketidakmampuan mengendalikan sekresi air liur. Pada
pasien anak biasanya tidak terdapat gejala yang khas. Orang tua biasanya yang memberitahu
kepada dokter bahwa anaknya telah menelan sesuatu. Rasa tersumbat ditenggorok, muntah,
dan sakit tenggorokan biasanya muncul. Jika benda asing berlangsung lama maka biasanya
anak menjadi tidak ingin makan, rewel, gagal tumbuh, demam, stridor, gejala pulmonal
seperti pneumonia yang berulang yang berasal dari aspirasi. Benda asing esophagus yang
besar pada UES dapat mendesak trakea sehingga menyebabkan stidor dan membahayakan
pernafasan.

Diagnosis
Benda asing pada orofaring biasanya dapat terlihat dan mudah diambil. Pada pasien
yang kooperatif dapat dilakukan laringoskopi indirect atau nasofaringoskopi serat optik. Foto
Rontgen polos esophagus servikal dan torakal anteroposterior dan lateral dilakukan pada
pasien yang menelan benda asing terutama logam. Sehingga dapat diketahui letak dari benda
asing di esophagus. Endoscopi dilakukan pada pasien dimana jalan nafas ikut terlibat dan
sudah timbul komplikasi. Jika belum jelas maka dapat dilakukan CT scan sebelum endoskopi.

Penatalaksanaan
Benda asing di esophagus dikeluarkan dengan esofagoskopi menggunakan cunam
yang sesuai dengan benda asing tersebut. Bila benda asing telah berhasil dikeluarkan harus
dilakukan esofagoskopi ulang untuk melihat adanya kelainan- kelainan esophagus yang telah
ada sebelumnya. Benda asing tajam yang tidak berhasil dikeluarkan dengan esofagoskopi
harus dikeluarkan dengan pembedahan yaitu servikotomi, torakotomi, atau esofagotomi,
tergantung lokasi benda asing. Bila dicurigai adanya perforasi yang kecil segera dipasang
pipa nasogaster agar pasien tidak menelan makanan ataupun ludah dan diberikan antibiotika
bersprektm luas
selama 7-10 hari untuk mencegah timbulnya sepsis
SERUMEN PROP

Disusun Oleh:

1061050022 Rina Angela

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
SERUMEN PROP

Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, kelenjar serum minosa, epitel kulit yang
terlepas dan partikel debu yang terdapat pada bagian kartilaginosa liang telinga ada 2 tipe
dasar,basah dan kering. Serumen normal ditemukan pada kanalis akustikus eksterna yang
berfungsi membersihkan, lubrikasi dan antibakteri serta antifungi. Serumen dapat ditemukan
pada kanalis akustikus eksternus. Serumen merupakan campuran dari material sebasea dan
hasil sekresi apokrin dari glandula seruminosa yang bercampur dengan epitel deskuamasi dan
rambut. Bila tidak dibersihkan dan menumpuk maka akan menimbulkan sumbatan pada
kanalis akustikus eksternus. Keadaan ini disebut serumen obsturans ( serumen yang
menutupi kanalis akustikus eksternus). Sumbatan serumen kemudian menimbulkan gejala
berupa penurunan fungsi pedengaran, menyebabkan rasa tertekan/penuh pada telinga, vertigo,
tinitus. Sumbatan serumen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu dermatitis kronik, liang
telinga sempit, produksi serumen yang banyak dan kental, adanya benda asing, serumen
terdorong masuk kedalam liang telinga yang lebih dalam saat mencoba membersihkan
telinga.

Serumen tipe lunak dan tipe keras

Tipe lunak lebih sering terdapat pada anak - anak, dan tipe keras lebih sering pada
orang dewasa
Tipe lunak basah dan lengket, sedangkan tipe keras lebih kering dan bersisik.
Korneosit banyak terdapat dalam serumen namun tidak pada serumen tipe keras
Tipe keras lebih sering menyebabkan sumbatan dan tipe ini palinh sering kita
temukan ditempat praktek.

Penanganan

Adanya serumen pada liang telinga adalah suatu keadaan normal. Serumen dapat
dibersihkan sesuai dengan konsistensinya serumen yang lembek, dibersihkan dengan kapas
yang dililitkan pada pelilit kapas. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengair atau kuret.
Apabila dengan cara ini serumen tidak dapat dikeluarkan, maka serumen harus dilunakkan
lebih dahulu dengan tetes karbogliserin 10% selama 3 hari. Serumen yang sudah terlalu jauh
terdorong kedalam liang telinga sehingga dikuatir menimbulkan trauma pada membran
timpani sewaktu mengeluarkan, dikeluarkan dengan suction atau mengalirkan (irigasi) air
hangat yang suhunya disesuaikan dengan suhu tubuhnya. Indikasi untuk mengeluarkan
serumen adalah sulit untuk melakukan evaluasi membran timpani, otitis eksterna, oklusi
serumen dan bagian dari terapi tuli konduktif. Kontraindikasi dilakukan irigasi adalah adanya
perforasi membran timpani. Bila terdapat keluhan tinitus, serumen yang sangat keras dan
pasien yang kooperatif merupakam kontraindikasi dari mikrosuction.

Tatalaksana untuk pada serumen yang keras yaitu dengan memberikan zat
serumenolisis terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan lebih lanjut. Zat seumenolisis
yang digunakan antara lain minyak mineral, hidrogen peroksida, debrox dan cerumenex.
Tidak boleh menggunakan zat ini dalam jangka waktu lama karena dapat menyebabkan iritasi
kulit bahkan dematitis kontak.

Resep obat tetes telinga

R/ Phenol Glyserol 10% ear drop fls. No.I

S 3 dd gtt 3 auricula dextra dan sinistra

Paraf
RHITINIS ATROPIKAN (OZAENA)

Disusun Oleh:

1261050137 Astari Firstya Imani

1261050038 Vircha Anakotta

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis
chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara
klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk.

Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan
dengan memuaskan. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan
derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat
menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit.
Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan
subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri
menderita anosmia).

Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara topikal,
sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal
dan meminimalisir terbentuknya krusta.

Terapi Topikal

Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal.
Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi
yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya
pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi
yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu
dengan lainnya.

Adapun bahan-bahan itu antara lain:

Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutanNaCl,NH4Cl,NaHCO3, Aqua ad


300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
Larutan garam dapur
Campuran Na bikarbonat 28,4 g, Na diborat 28,4 g, NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air
hangat
Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan minyak mawar (rose oil)
atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa
pengobatan topikal rinitis atropi dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan
penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit hingga harus dilakukan secara
berkelanjutan. Ketidak patuhan dalam melanjutkan terapi biasnya berdampak dengan
kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.

Terapi Sistemik

Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang
biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas
atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda
infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan
menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun
penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun
waktu 2 tahun pemakaian.

Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin
A yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan
berupa besi yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid
juga pernah diajukan sebagai suatu adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan
kortikosteroid merupakan kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi
untuk kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan dengan
berkurangnya vaskularisasi di mukosa.1

Terapi Bedah

Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal, pasien
akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul
meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk
bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah.

RHINITIS ALERGI
Disusun Oleh:

1161050100 Pundi Pandan Putri Pinanti

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
RHINITIS ALERGI

Terapi rinitis alergi terbagi dalam tiga pendekatan, meliputi edukasi penghindaran
terhadap allergen, farmakoterapi untuk pencegahan dan penanganan gejala, dan imunoterapi
spesifik. Penghindaran terhadap allergen merupakan cara yang paling memberikan hasil. Cara
yang paling efektif untuk menghindari allergen adalah mengetahui tipe allergen itu sendiri,
setiap orang dapat memiliki alergi terhadap berbagai hal, sehingga sangat dianjurkan untuk
mengikuti suatu tes alergi di dokter. Contoh-contoh alergi yang banyak pada masyarakat
adalah alergi debu, tungau, udang, bulu kucing, dan lainnya.
Terapi farmakologi pada rinitis alergi didasarkan pada gejala yang terjadi. Antihistamin
dan dekongestan merupakan golongan obat yang sering dipakai untuk menangani rhinitis
alergi. Rinitis alergi adalah inflamasi pada mukosa hidung yang bersifat minimal persistent,
sehingga terapi farmakologi yang digunakan hanya pada saat bergejala, melainkan harus terus
menerus.

Anti Histamin
Antihistamin terdapat dua golongan yakni penghambat resptor H1 dan penghambat
reseptor H2. Antihistamin yang dapat mengobati edema, eritema, dan pruritus tetapi tidak
dapat melawan efek hipereksresi lambung akibat histamin digolongkan sebagai
antihistamin penghambat reseptor H1. Mekanisme kerja obat golongan ini adalah
berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasinya sehingga mencegah ikatan dan aksi
histamine. AH1 seperti diphenhydramine, hydroxyzin, menghambat efek histamin pada
pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos. Dengan kata lain, AH1
mampu menghambat bronkokonstriksi akibat histamin begitupun dengan peningkatan
permeabilitas kapiler dan edema dapat dihambat.
Antihistamin yang sering digunakan adalah antihistamin oral. Antihistamin oral dibagi
menjadi dua yaitu generasi pertama (nonselektif) dikenal juga sebagai antihistamin sedatif
serta generasi kedua (selektif) dikenal juga sebagai antihistamin nonsedatif. Efek sedative
antihistamin sangat cocok digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan tidur
karena rhinitis alergi yang dideritanya. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP.
Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 ialah insomia, gelisah,
dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi
AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengean gejala misalnya kantuk,
berkurang kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat.
Secara klinis antihistamin generasi pertama sangat efektif menghilangkan rinore
karena mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan obat
terhadap reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada resptor kolinergik.
Kekurangan lain dari antihistamin adalah ketidakstabilan ikatannya pada reseptor
sehingga daya kerjanya pendek. Penggunaan obat ini perlu diperhatikan untuk pasien
yang mengalami kenaikan tekanan intraokuler, hipertiroidisme, dan penyakit
kardiovaskular.
Antihistamin sangat efektif bila digunakan 1 sampai 2 jam sebelum terpapar allergen.
AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan
urtikaria. AH1 bersifat palitif, sehingga tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi
antigen antibodi. AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore pada gatal mata hidung dan
tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 tidak efektif untuk rinitis vasomotor.
Manfaat AH1 untuk mengobati batuk anak dengan asma diragukan karena AH1
mengentalkan sekresi bronkus sehingga menyulitkan ekspektorasi.
Pada dosis terapi AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius.
Terdapat variasi pada tiap individu. Efek yang paling sering adalah sedasi. Efek samping
yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, gelisah dan lainnya. Efek antikolinergik seperi mulut
kering, papitasi, hipotensi juga dapat terjadi. Efek sentral AH1 berbahaya bagi anak kecil
karena dapat menimbulkan halusinasi, ataksia, inkoordinasi dan kejang. Pada orang
dewasa keracunan ditandai dengan depresi pada permulaan akhirnya depresi SSP lebih
lanjut.
Antihistamin generasi kedua
Sering disebut sebagai antihistamin nonsedatif. Mereka bersaing dengan histamin
untuk reseptor histamin tipe 1 (H1) pada dalam pembuluh darah, saluran pencernaan, dan
saluran pernafasan, yang, pada gilirannya, menghambat efek fisiologis yang pada
normalnya diinduksi histamin pada reseptor H1. Beberapa tidak memunculkan hasil klinis
berupa sedasi yang signifikan pada dosis biasa, sementara yang lain memiliki tingkat
sedasi yang rendah.3 Semua antihistamin efektif dalam mengendalikan gejala rinitis
alergi (yaitu, bersin, rhinorrhea, gatal-gatal) tetapi tidak secara signifikan menghilangkan
kongesti nasal. Untuk alasan ini, beberapa antihistamin generasi kedua ini tersedia
sebagai persiapan sebuah kombinasi yang mengandung dekongestan. Mereka sering lebih
disukai untuk terapi lini pertama rinitis alergi, terutama untuk gejala musiman atau
episodic, karena keberhasilan yang bagus serta profil keamanan.3 Kelebihan lain
antihistamin generasi dua ini adalah mempunyai masa kerja yang panjang sehingga
penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali sehari. Antihistamin baru
tersebut adalah: astemizol, loratadin, setrizin, ternefadin. Beberapa antihistamin baru
kemudian dilaporkan menyebakan gangguan jantung pada pemakaian jangka panjang
(astemizol, ternefadin) sehingga dibeberapa negara obat ini tidak lagi digunakan.
Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat dengan waktu kerja yang panjang,
tidak memeiliki efek sedatif dan tidak toksik terhadap jantung.
Azelastine Topical dan olopatadine adalah semprotan hidung antihistamin yang efektif
mengurangi bersin, gatal, dan rhinorrhea tetapi juga secara efektif mengurangi kongesti.
Digunakan dua kali per hari, terutama bila dikombinasikan dengan topikal kortikosteroid
nasal, azelastine efektif dalam mengelola alergi dan nonallergic rhinitis.

Dekongestan
Alpha agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada pasien rinitis alergi
atau rinitis vasomotor dan pada pasien infeksi saluran pernafasan atas dengan rinitis akut.
Obat-obat ini menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor alpha
1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan
hidung. 1,2 Reseptor alpha dua terdapat pada arteriol yang membawa suplai maknan bagi
mukosa hidung. Vasokonstriksinya dapat menyebabkan kerusakan struktural pada mukosa
tersebut. Alpha 1 agonis yang lebih selektif menurunkan kemungkinan kerusakan
mukosa.
Dalam praktek, dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni efedrin,
fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam betuk tetes hidung
maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin.
Dekongestan topikal terutama berguna untuk rinitis akut karena tempat kerjanya yang
lebih selektif. Penggunaan dekongestan jenis ini hanya sedikit atau sama sekali tidak
diabsorbsi secara sistemik.4 Penggunaan secara topikal lebih cepat dalam mengatasi
buntu hidung dibandingkan dengan penggunaan sistemik. Obat ini sering digunakan
berlebihan oleh pasien sehingga menyebabkan rebound congestion. Selain itu efek
samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasa terbakar, bersin, dan
kering pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan obat ini memerlukan konseling bagi
pasien.
Sistemik dekongestan onsetnya tidak secepat dekongestan topical. Namun durasinya
biasanya bisa lebih panjang. Agen yang biasa digunakan adalah pseudoefedrin.
Pseudoefedrin dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat walaupun digunakan pada
dosis terapinya. Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang,
terutama karena memepunyai efek samping stimulan SSP sehingga menyebabkan
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan kepada
penderita hipertensi, penyakit jantung, koroner, hipertiroid, dan hipertropi prostat.
Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antihistamin
antau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang dijual sebagai obat bebas.

Nasal Steroid
Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam
pengobatan RA. Penggunaan secraa sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi
yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala
buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling sering
mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan
dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung dari respon pengobatan.
Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat antiinflamasi yang tinggi, namun juga
mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan
memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistematik.
Berbagai produk kortikosteroid intranasal dipasarkan dengan menggunakan berbagai
karakteristik. Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal digunakan obat
yang memepunyai efek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah. Kepraktisan
dalam pemakaian serta rasa bau obat akan emmepengaruhi kepatuhan penderita dalam
menggunakan obat jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai daripada dua kali
sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan. Beberapa kortikosteroid
intranasal yang banyak digunakan adalah beklometason, flutikason, mometason, dan
triamisolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan keamanan yang tidak
berbeda. Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium kromolin, dan ipatropium
bromida.
Antagonis Leukotrien
Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang dilepaskan
selama proses inflamasi. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian
dari grup asam lemak yang disebut eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi
berbagi tipe sel oleh lipooksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase
A2 di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakhidonat
sendiri merupakan substrat dari siklooksigenase yang aktivitasnya menghasilkan
prostglandin dna tromboksan.1 Dengan kata lain, leukotrien juga merupakan mediator
yang penting dalam terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi.
Dewasa ini telah berkembang obat antileukotrien yang dinilai cukup besar manfaatnya
bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien yakni inhibitor sintesis leukotrien
dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat satu inhibitor sintesis leukotrien dan
tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1 dan CYsLT2. Yang pertama merupakan
reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA.
Pada dasarnya antileukotrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai
mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat
sintesis leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada RA
maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah dilaporkan
penggunaannya yakni dua nataginis reseptor (zafirlukast dan montelukast), serta satu
inhibitor lipooksigenase (zileuton). Laporan hasil penggunaan obat tersebut pada RA
belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak diketahui.

Contoh resep untuk pasien dengan rhinitis alergi :

R/ Cetirizine HCl tab 10 mg No. X


S 1 dd I tab p.c
(paraf)
R/ Iliadin Kinder nasal drops 0.025% (10 ml) No. I
S 2 dd II gtt nasal pagi dan sore untuk 3 hari
(paraf)
RHINITIS VASOMOTOR

Disusun Oleh:

1261050301 Husnul Chotimah Sukma Putri

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
RINITIS VASOMOTOR

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), obat-obatan (-
blocker, kontrasepsi oral, klorpromazin, antihipertensi, dan obat-obatan topical hidung
dekongestan).

Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor,


yaitu:

1. Neurogenik (disfungsi system otonom)


Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptide Y
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Rhinitis vasomotor
diduga sebagai akibat dari ketidak-seimbangan impuls saraf otonom di mukosa
hidung yang berupa bertambahnya aktivitas system parasimpatis.
2. Neuropeptide
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya
rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan ini akan
diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptide seperti substance P dan calcitonin
gene-related protein yang menyebabkan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar.
3. Nitrik oksida
Kadar nitric oksida yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan
nonspesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Terjadilah peningkatan
reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment reflex vascular dan kelenjar mukosa
hidung
4. Trauma
Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung
melalui mekanisme neurogenic dan/neuropeptide.
Manifestasi klinis

Gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kanan dan kiri, tergantung
dari posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mucoid atau serosa.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, dsb.

Diagnosis
Dalam anamnesis dapat ditemukan factor yang mempengaruhi timbulnya gejala, seperti
perubahan suhu, udara, asap rokok. Dari pemeriksaan fisik yaitu dengan rinoskop anterior
tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap
atau merah tua dan dapat pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol. Pada
rongga hidung terdapat secret mucoid. Pada pemeriksaan lab ditemukan eosinophil pada
secret hidung dengan jumnlah sedikit.
Penatalaksanaan
1. Hindari faktor pemicu
2. Pengobatan simtomatik dengan obat dekongestan oral, cuci hidung. Dapat juga
diberikan kortikosteroid topical dalam larutan aqua seperti mometason furoat 200 mcg
dengan pemakaian cukup 1 kali sehari.
3. Operasi, dengan cara bedah beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial konka
inferior.
4. Neurektomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.vidianus, bila
dengan cara di atas tidak memberikan hasil optimal. Namun pada operasi ini dapat
menimbulkan komplikasi berupa sinusitis, diplopia, buta,gangguan lakrimasi.

Resep

Klinik dr. Husnul


Jl. Sawo No.16, Cipete Utara, Jakarta Selatan
NIP 12301

Jakarta, 21 Juli 2016

R/ mometasone furoat nasal drip 200 mcg No. I fl

1 dd I nasal dextra prn


(paraf)
Pro: X (25 th)
SINUSITIS

Disusun Oleh:

1261050031 Resita Indah Sukraputri

1261050299 Richard Nelson

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
Sinusitis merupakan radang pada mukosa sinus paranasal.yang mepengaruhi beberapa
sinus disebut juga multisinusitis, dan keadaan mengenai semua sinus disebut pansinusitis,
kejadian sinusitis paling sering ditemukan pada daerah maksila, karena:

Sinus terbesar

Letak ostium lebih tinggi

Drainase hanya tergantung dari silia

Dasar berupa akar gigi

Letak ostium di sekitar hiatus semilunaris

Etiologi

Rinogen (obstruksi ostium sinus)

Dentogen (infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas serta premolar P1 dan P2)

Infeksi tenggorok (tonsillitis, infeksi faring, adenoiditis)

Faktor predisposisi

Obstruksi mekanik (deviasi septum, benda asing di hidung, polip, tumor

Rhinitis kronis, rinitis alergi

Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering

Perubahan pada mukosa dan

Kerusakan silia

Klasifikasi, Gejala, Terapi

Akut Sub akut kronis

Waktu 0-3 minggu 3 minggu 3 bulan > 3 bulan

Patologi Penyumbatan kompleks Silia rusak


osteomeatal oleh infeksi,
Perubahan mukosa
obstruksi mekanis, alergi.
hidung ireversibel,
Mukosa reversibel kerusakan silia

Hidung buntu

Nyeri di daerah siuns Nyeri Sekret di hidung, post


alih Maksilla: kelopak mata, nasal drip
gigi, dahi, depan telinga
Etmoid: pangkal hidung, Rasa tidak nyaman, gatal
Sama sinusitis akut, di tenggorok
kantus medius, bola mata,
tapi tanda-tanda
Anamnesis pelipis
radang akutnya Pendengaran terganggu
Frontal: dahi, kepala Sfenoid: mereda Nyeri kepala Gangguan
verteks, oksipital, belakang di mata Batuk
bola mata, mastoid
Gejala saluran cerna
Demam, lesu, akibat mukopus tertelan

ingus kental, berbau,

Tidak seberat sinusitis


Bengkak daerah muka/pipi/ akut
Sama sinusitis akut,
kelopak mata Mukosa konka
tapi tanda-tanda Bengkak wajah (-)
Px Fisik edema Hiperemi, postnasal
radang akutnya
drip transiluminasi (+) waters:
mereda Sekret kental purulen
perselubungan, air fluid level
Post nasal drip

Antibiotika spektrum Antibiotik, Dekongestan


Antibiotik
luas lokal, Analgetik

Dekongestan lokal tetes


Terapi Dekongestan lokal Diatermi
hidung
tetes hidung, Analgetik Pungsi dan irigasi sinus
Antihistamin, operasi radikal: CWL,
Analgetik
mukolitik Diatermi, BSEF
Pungsi irigasi
Komplikasi

1. Orbita :

2. Mukokel (kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus) erosi tulang deformitas
wajah, proptosis atau enopthalmus, diplopia. nyeri pada wajah, sakit kepala.

Peradangan atau reaksi edem yang ringan

- Selulitis orbita

- Abses subperiosteal

- Abses Orbita

Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik yakni


berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan.

Tujuan dasar dari terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium
sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada
orang dewasa antara lain:

1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi


utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas
antara lain:

Amoksisilin + asam klavulanat

a. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime


b. Florokuinolon : ciprofloksasin
c. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
d. Klindamisin
e. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason

b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi
dan rinosinusitis fungal alergi.

3. Terapi penunjang lainnya meliputi:

a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis -adrenergik


b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap
iritan dan nutrisi yang cukup
Terapi pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan peralatan
yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.

Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:

Sinus maksila:

1. Antrum lavage

Indikasi : Untuk membersihkan pus

Kontraindikasi : Sinusitis maksilaris akut, fraktur pada os maksilaris, anak-anak dibawah


umur 3 tahun

2. Nasal antrostomi

Indikasi : Kasus refraktori dari sinusitis maksilaris kronik yang purulen

Kontraindikasi : Polipoidal hyperthropy, osteitis dan keganasan

3. Operasi Caldwell Luc

Indikasi : Sinusitis maksilaris akut, dental cyst, oroantal fistula

Kontraindikasi : Anak-anak dibawah 17 tahun

Sinus etmoid : Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral

Tujuan terapi sinusitis adalah

1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik

Prinsip pengobatan ialaha membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-
sinus pulih secara alami.

Antibiotik dengan dekongestan merupakan terapi pilihan untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotyik yang di pilih
ialah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkiran kuman telah resisiten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat di berikan amoksisilin-klavulanat atau jenis
sefalosporin generasi ke-2.Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic diberiakan selama 10-14
hari meskipun gejala klinik sudah hilang.

Selain dekongestan oral dan topical terapi lain dapat di berikan jika diperlikan ,seperti
analgetik, mukolitik,steroid oral, pencucian rongga hidung dengan NaCl .Antihistamin tidak
rutin diberikan karena sifat antikolegerniknya dapat menyebabkan secret menjadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya di berikan antihistamin generasi ke 2.

RESEP

Dr.Budi Anton
SIP 6543212
Jln Cawang no 12,06/04
Jakarta
Jakarta 22 Juli 2016
R/ amoksisilin tab 500 mg no IX

S3 dd I tab pc

R/ Afrin ggt nasal 10ml no I lag

S2 dd I gtt nasalis dex.et.sinis m.et.v

Pro: Tn.X
TONSILITIS AKUT

Disusun Oleh:

1161050078 Sasmiza

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI TERAPAN


PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
TONSILITIS AKUT

A. Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau
kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus
pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu : Tonsilitis Akut
dan Tonsilitis Kronik

B. Etiologi
Tonsillitis akut ini lebih disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta
hemolitikus, pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes. Virus
terkadang juga menjadi penyebab penyakit ini. Tonsillitis ini seringkali terjadi mendadak
pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1-4 derajat celcius.

C. Patogenesis dan Patofisiologi

Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel


kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear

D. Manifestasi Klinis
Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang kadang
pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak lemas dan mengeluh
sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau,
yaitu :

Suhu tubuh naik sampai 400C. Otitis media akut


Rasa gatal atau kering ditenggorokan. Abses parafaring.
Lesu. Abses peritonsil.
Nyeri sendi, odinofagia. Bronkitis,
Anoreksia dan otolgia. Nefritis akut, artritis, miokarditis.
Bila laring terkena suara akan menjadi serak.
Dermatitis.
Tonsil membengkak. Pruritis.
Pernapasan berbau. Furunkulosis
Komplikasi Tonsilitis Akut
1. D. Komplikasi

2. Meskipun jarang, tonsilitis akut dapat menimbulkan komplikasi lokal yaitu


abses peritonsil, abses parafaring dan otitis media akut. Komplikasi lain yang bersifat
sistemik dapat timbul terutama oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus berupa sepsis
dan infeksinya dapat tersebar ke organ lain seperti bronkus (bronkitis), ginjal (nefritis
akut & glomerulonefritis akut), jantung (miokarditis & endokarditis), sendi (artritis) dan
vaskuler (plebitis).

3. E. Penatalaksanaan

4. Tonsilitis akut pada dasarnya termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri
(self-limiting disease) terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang baik. Pasien
dianjurkan istirahat dan makan makanan yang lunak. Berikan pengobatan simtomatik
berupa analgetik, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Berikan
antibiotik spektrum luas misalnya sulfonamid. Ada yang menganjurkan pemberian
antibiotik hanya pada pasien bayi dan orang tua.
5. Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per oral selama 10 hari.
Jika anak mengalami kesulitan menelan bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
Penisilin V 1,5 juta IU 2 x sehari selama 5 hari atau 500 mg 3 x sehari.
Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg 3 x sehari atau amoksisilin 500 mg 3 x sehari
yang diberikan selama 5 hari. Dosis pada anak : eritromisin 40 mg/kgBB/ hari,
amoksisilin 30 50 mg/kgBB/hari.
Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 1 3 hari tidak meningkatkan
komplikasi atau menunda penyembuhan penyakit.
Antibiotik hanya sedikit memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko demam
rematik.
Bila suhu badan tinggi, penderita harus tirah baring dan dianjurkan untuk banyak
minum. Makanan lunak diberikan selama penderita masih nyeri menelan.
Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling aman) lebih efektif daripada
antibiotik dalam menghilangkan gejala. Nyeri faring bahkan dapat diterapi dengan
spray lidokain.
Pasien tidak lagi menularkan penyakit sesudah pemberian 1 hari antibiotik.
Bila dicurigai adanya tonsilitis difteri, penderita harus segera diberi serum anti difteri
(ADS), tetapi bila ada gejala sumbatan nafas, segera rujuk ke rumah sakit.

6. TONSILITIS KRONIS
7.
8.

9.

10.

11.

12.

13.Disusun Oleh:

14.1061050016 Agita Ginting

15.

16.

17.KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
18.PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
19.FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
20.JAKARTA
21.
22.
23.
24. TONSILITIS KRONIS

25.

26. Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan
ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada
tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk
waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan. Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman
Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes,
dapat juga disebabkan oleh infeksi virus.

27. Penatalaksanaan tonsillitis kronik

28. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap.

29. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil

30. The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical
Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya
tonsilektomi yaitu:

31. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.

32. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial.

33. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas,
sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.

34. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.

35. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

36. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus


hemoliticus

37. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

38. Otitis media efusa atau otitis media supurataif

39. Pemberian Terapi lokal hanya untuk sementara, yang paling utama adalah
dilakukan tonsilektomi.

40. Penulisan Resep


41. R/ Tantum Verde 7,5 mg / 5 ml 60 ml No I lag

42. S 3 dd 15 ml

43. TONSILITIS DIFTERI


44.
45.

46.

47.

48.

49.

50.Disusun Oleh:

51.1061050019 Yosua Siwabessy

52.

53.

54.KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
55.PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
56.FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
57.JAKARTA
58.
59.
60.
61. TONSILITIS DIFTERI
62.
63.
64. 1. EPIDEMIOLOGI

65. Pada awal tahun 1990, WHO melaporkan endemic


difteri diBrazil, India, Indonesia, Filipina, dan beberapa
bagian dari Uni Soviet. Angka kematian berkisar 5-10%, dan lebih tinggi pada anak usia
< 5 tahun.

66. Penelitian di India, melaporkan bahwa insiden tertinggi terlihat pada kelompok umur
0-5 tahun (58%), rasio laki-laki banding perempuan 1,833:1, Sebagian besar pasien
berasal dari pedesaan (47%) dan wilayah kesukuan (39,5%)

67.

68. 2. ETIOLOGI

69. Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit,
yang disebabkan oleh basil Gram Positif Corynebacterium diphteriae dan
Corynebacterium ulceran.

70. Korinebakteri berdiameter 0,5-1 m dan panjang beberapa mikrometer. Secara khas,
organisme ini memiliki pembengkakan iregular pada satu ujung yang memberikan
gambaran bentuk gada. Pada agar darah, koloni C. diphteriae berukuran kecil, granular,
dan berwarna abu-abu, dengan tepi tidak teratur, dan dapat mempunyai zona hemolisis.
Pada agar kalium telurit, koloni berwarna coklat hingga hitam, karena telurit di reduksi
secara intrasellular.

71.

72. 3. PATOGENESIS

73. Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernafasan bagian atas, tapi dapat
juga masuk melalui kulit, genital, atau mata. C. diphteriae dalam hidung atau mulut
berkembang di sel epitel saluran nafas atas terutama tonsil, kadang kulit, konjungtiva, dan
genital. Basil menghasilkan eksotoksin yang menyebabkan reaksi inflamasi lokal,
selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.
74. Toksin terdiri atas 2 fragmen, fragmen B berikatan dengan reseptor penjamu dan sifat
proteolitik yang memotong lapisan membrane lipid, sehingga membantu fragmen A
masuk ke sel penjamu. Selanjutnya terjadi destruksi epitel dan nekrosis. Pada daerah
nekrosis terbentuk fibrin yang diinfiltrasi sel darah putih membentuk patchy exudat. Pada
keadaan lanjut, toksin diproduksi lebih banyak dan nekrosis semakin luas. Jika
membrane menyebar ke bronchial dapat menimbulkan dispneu. Kerusakan jaringan lokal,
menyebabkan toksin menyebar melalui limpa dan hematogen ke organ lain seperti
miokardium, ginjal, dan system saraf.

75.

76. 4.MANIFESTASI KLINIK

77. Kelainan pernafasan dimulai dengan sakit tenggorokan dan radang faring ringan.
Pembentukan pseudomembran ditandai dengan pembentukan lapisan abu-abu padat.
Pembentukan membrane tebal adalah karakteristik untuk infeksi difteri pada faring
posterior.

78. Pada pasien difteri umumnya datang dengan keluhan : demam dan kadang mengigil,
malaise, sakit tenggorokan, sakit kepala, limfadenopati dan pembentukan
pseudomembran, suara serak, disfagia, dispnea, stridor pernafasan, mengi, dan batuk.

79. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan kesulitan bernafas, takikardi, dan pucat. Pada
saluran nafas ditemukan pseudomembran dengan karakteristik mukosa edema, berbentuk
berkelompok, tebal, dan berwarna abu-abu dan mudah berdarah bila dilepas dari
dasarnya. Kelainan system saraf terjadi pada 75% pada penderita difteri yang berat. Pada
keadaan berat juga pasien terlihat gaduh, pucat dan mulut terbuka, pembesaran kelenjar
getah bening, pembengkakan jaringan lunak leher, nafas cepat dan dangkal, dan kematian
karena sumbatan saluran nafas atau gagal jantung.

80.

81. 5. PENATALAKSANAAN

82. Pengobatan sebagian besar terletak pada supresi cepat bekteri penghasil toksin dengan
obat antimikroba dan antitoksin spesifik. Antitoksin difteri diproduksi Oleh berbagai
binatang melalui injeksi berulang toksoid yang dipekatkan dan dimurnikan.

83. Pemberian antibiotic penisilin procain 1.200.000 unit/hari intramuscular, 2 kali


selama 4 hari, Eritromisin 2 gr/hari oral 4 kali sehari, dan dapat juga di berikan
amoksisilin, rifampisin, dan klindamisin.

84.
85. 6. PROGNOSIS

86. Prognosis bergantung pada virulensi basil, lokasi dan luas membrane, kekebalan
penderita, cepat lambatnya pengobatan, dan pengobatan yang diberikan. Pada difteri
dengan keterlibatan jantung prognosisnya buruk dengan angka kematian 60-90%.

87.

88. 7. PENCEGAHAN

89. Pencegahan terbaik dengan vaksinasi. Untuk vaksin anak dan remaja dengan DTaP
dan dewasa Tdap tiap 10 tahun atau ketika terjadi paparan [1].

90. Membatasi kontak dengan basil seminimal mungkin, pasien difteri harus diisolasi dan
bahayanya dapat dikurangi dengan pemberian antibiotic.

91.

92. DAFTAR PUSTAKA

93. 1. Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 6.
InternaPublishing, Jakarta.

94. 2. Nugroho AW, dkk. 2012. Mikrobiologi Kedokteran, edisi 25. EGC,
Jakarta

95.3. Maheriya KM, dkk. 2014. Clinical and Epidemiological Profile of


Diphtheria in Tertiary Care Hospital. Gujarat Medical Journal. Vol. 69,
no. 2. <http://medind.nic.in/gaa/t14/i2/gaat14i2p105.pdf>

96.

97.

98.

99.
100.
101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108. FARINGITIS
109.
110.

111.

112.

113.

114.

115. Disusun Oleh:

116. 1161050070 Gimyarevski Elliasaf Tanihatu

117.
118.

119. KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
120. PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
121. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
122. JAKARTA
123.
124.
125.
126. FARINGITIS

127. Faringitis adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang


tenggorokan yang disebabkan oleh virus maupun bakteri. Bakteri yang
menyebabkan faringitis adalah Streptokokus grup A, korinebakterium,
arkanobakterium, Neisseria gonorrhea atau Chlamydia pneumonia.

128. Tatalaksana:

Jika penyebabnya bakteri: antibiotik

129. Antibiotik: Penicilin

130. Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan


untuk sintesis dinding sel mikroba. Diantara semua penisilin, penisilin G
mempunyai aktivitas terbaik terhadap kuman Gram-positif yang sensitif.
Kelompok ampisilin aktivitasnya terhadap Gram-positif tidak sekuat penisilin G,
tetapi efektif terhadap beberapa mikroba Gram-negatif dan tahan asam, sehingga
dapat diberikan per oral.

131. Terapi dengan penisilin G adalah yang terbaik untuk penyakit faringitis
khusunya untuk mencegah timbulnya demam reumatik. Tetapi penisilin V oral cukup
efektif bila diberikan 500 mg tiap 6 jam selama 10 hari. Faringitis supuratif sebaiknya
diberi 0,6 juta unit penisilin G prokain setiap hari selama 10 hari atau 1,2 juta unit
penisilin G benzatin IM untuk satu kali. Anak dibawah 5 tahun diberi setengah dosis
tersebut.

132. Contoh Resep:

133. dr. Tiara Cintya Jakarta, 21 Juni 2016


134. SIP: 116 105 0097

135. Jl. Usaha no.49

136. Jakarta

137. R/ Amoksisilin tab. 500 mg No. XV

138. S 3 dd I tab pc (sampai habis)

139. _________________________________________

140. Pro: Y

141.
142.
143.
144.

145. LARINGITIS
146.
147.

148.

149.

150.

151.
152. Disusun Oleh:

153. 1161050097 Tiara Cintya Destinahayun

154.

155.

156. KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
157. PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
158. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
159. JAKARTA
160.
161.
162.
163. LARINGITIS

164. Laringitis adalah radang laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri
yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi
virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus.
Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumonia.

165. Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, respirasi,


sirkulasi, menelan, emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk
mencegah agar makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalan
menutup aditus laring dan rima glotis yang secara bersamaan. Benda asing yang telah
masuk ke dalam trakea dan sekret yang berasal dari paru juga dapat dikeluarkan lewat
reflek batuk. Fungsi respirasi laring dengan mengatur mengatur besar kecilnya rima
glotis. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara maka didalam traktus trakeo-
bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Oleh karena itu laring juga
mempunyai fungsi sebagai alat pengatur sirkulasi darah. Fungsi laring dalam proses
menelan mempunyai tiga mekanisme yaitu gerakan laring bagian bawah keatas,
menutup aditus laringeus, serta mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan
tidak mungkin masuk kedalam laring. Laring mempunyai fungsi untuk
mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain yang
berkaitan dengan fungsinya untuk fonasi dengan membuat suara serta mementukan
tinggi rendahnya nada.
166. Penatalaksaan Laringitis:

167. Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada
indikasi masuk rumah sakit apabila :

168. Usia penderita dibawah 3 tahun

169. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted

170. Diagnosis penderita masih belum jelas

171. Perawatan dirumah kurang memadai

172. Terapi :

173. 1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari

174. 2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit

175. 3. Istirahat

176. 4. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila
ada muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9
%) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray

177. 5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada


demam, bila ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri analgetik, hidung
tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA),
efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun
spray.Pemberian antibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari,
intravena, terbagi 4 dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi
dalam 4 dosis atau sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat
diberikan kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5
mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.

178. 6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak
berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi
obstruksi jalan nafas.

179. 7. Pencegahan : Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan
membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum
banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada
tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan
alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering. jangan berdehem untuk
membersihkan tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi
abnormal pada pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan
menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir.

180.
181. Contoh Resep:

182. dr. Eki Jakarta, 21 Juni 2016


183. SIP: 116 105 0097
184. Jl. Usaha no.49
185. Jakarta
186.
187. R/ Paracetamol tab. 500 mg No. IX
188. S 3 dd I tab feb dur
189. _________________________________________
190. R/ Pseudoefedrin tab. 30 mg No. IX
191. S 3 dd I tab
192. _________________________________________
193. R/ Dexametason tab. 0,5 mg No. IX
194. S 3 dd I tab
195. _________________________________________
196.
197. Pro: Y
198. Umur: ......
199.

200. Umur: ......

201.

202.
203. BPPV (Benign Paroksimal
Positional Vertigo)
204.
205.
206.

207.

208.

209.

210. Disusun Oleh:

211. 1161050064 Anastasia Anggita Saraswati

212. 1261050286 Joshua Ardito Danudoro

213.

214.

215. KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
216. PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
217. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
218. JAKARTA

219.
220. BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

221.

222. PENGERTIAN
223. Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) merupakan satu dari
banyak kelainan yang menyebabkan rasa pusing. 90% kasus veratigo posisional/
nistagmus berhubungan dengan BPPV, yang telah diakui sebagai entitas klinis
sejak 1800-an dan awal 1900-an. Pada tahun 1921, Barany menjelaskan
karakteristik nistagmus dan vertigo yang dipicu oleh perubahan posisi dan
dihubungkan gejalanya dengan kelainan organ otolitik. Pada tahun 1952, Dix dan
Hallpike menjelaskan nistagmus vertikal torsional yang dipicu oleh posisi spesifik
telinga di arah bawah dengan periode laten beberapa detik (biasanya kurang dari
20 detik) dan arah nistagmus berbalik ke posisi tegak. Nistagmus juga
menunjukkan kelelahan dengan penurunan progresif dalam intensitas dalam
pengulangan maneuvers. Penulis menciptakan istilah "benign paroxysmal
positional vertigo" dan tes posisional provokatif dinamai dengan nama mereka
untuk menghormatinya. Schucknecht adalah orang pertama yang memberikan
konsep patofisiologi dari BPPV. Pada tahun 1969, ia mengusulkan teori
cupololithiasis pada dasar studi patologis yang menunjukkan debris otholitic
yang melekat pada cupula. Berdasarkan teori, cupula menjadi berat karena adanya
debris otholitic yang melekat, bisa dibelokkan dengan perubahan posisi hingga
menyebabkan nistagmus. Namun, konsep cupulolithiasis memiliki beberapa
keterbatasan dan karenanya tidak mampu menjelaskan semua karakteristik
nistagmus dan vertigo di BPPV. Pada tahun 1979, Hall mengusulkan konsep
"canalolithiasis", yang menyatakan bahwa debris otholitic dari macula utricular
bermigrasi ke kanal semisirkular melalui portio nonampularry, menyebabkan
vertigo dan nistagmus karena pergerakan bebas di dalam kanal semisirkular dan
merangsang aliran endolymph selama perubahan posisi. Konsep canalolithiasis
didukung oleh pengamatan intraoperatif dari debris yang berlebihan yang
mengambang bebas dalam endolymph pada kanal semisirkular posterior. Konsep
ini membentuk dasar teoritis dari canalith repositioning maneuvers (CRMs) untuk
mengobati BPPV.
224. Sebelum tahun 1980-an, diyakini bahwa BPPV hanya terjadi di kanal
semisirkular posterior. Namun, pada tahun 1985 konsep dan fitur klinis dari BPPV
melibatkan kanal semisirkular horizontal (HC-BPPV) yang dikenalkan oleh Mc-
Clure, yang menjelaskan tujuh kasus dengan nistagmus geotropik (nistagmus ke
arah dasar) selama manuver Dix-Hallpike tanpa adanya bukti lesi sentral.
Selanjutnya, tipe apogeotropik BPPV juga dilaporkan, di mana nistagmus ke arah
atas selama kepala dalam posisi lateral dalam keadaan supine. Nistagmus torsional
ke arah bawah selama kepala tergantung lurus (straight head hanging/SHH) atau
Dix-Hallpikes maneuver juga dianggap berasal dari BPPV kanal anterior (AC-
BPPV) ketika tidak ada patologis sentral. Namun, adanya AC-BPPV telah
ditentang oleh pihak lain.
225.
226. GEJALA-GEJALA BPPV
227. Gejala utama dari BPPV adalah vertigo (sensasi berputar) dipengaruhi
perubahan posisi kepala yang berhubungan dengan gravitasi. Pasien biasanya
merasa mulai pusing saat bangun dari tempat tidur, berguling di tempat tidur,
memiringkan kepala ke belakang, misalnya untuk mencari sesuatu di rak atau
membungkuk ke depan misalnya ketika memperbaiki sepatunya. Namun, gejala
BPPV dapat bervariasi antara pasien dan dapat bermanifestasi pusing non spesifik,
instabilitas postural, pusing karena cahaya dan mual. Vertigo dalam BPPV
biasanya intermiten dan bergantung pada posisi. Pasien dengan BPPV tidak
mengalami vertigo yang berat selama aktivitas sehari-hari yang dilakukan dengan
postur tegak, tetapi ketika bangun dari tempat tidur.
228. Pada BPPV, vertigo biasanya bersifat sementara, durasinya
berhubungan dengan durasi posisi nistagmus, yang biasanya sembuh dalam waktu
30 detik pada BPPV kanal posterior (PCBPPV). Namun, durasi relatif lebih lama
(kadang-kadang lebih dari 1 menit) pada HC-BPPV. Walaupun begitu, kadang
pasien dengan BPPV melaporkan pusing yang persisten dan tidak seimbang,
dengan memperhatikan cermat riwayatnya mengungkapkan bahwa dalam
kebanyakan kasus, memburuknya gejala dipengaruhi dengan perubahan posisi.
229.
230. EPIDEMIOLOGI
231. Terdapat kekurangan dari studi epidemiologi pada BPPV. Prevalensi
BPPV telah dilaporkan 10.7-64 per 100.000 populasi. Menurut sebuah penelitian
terbaru di Jerman yang menggunakan telepon berbasis wawancara, prevalensi
BPPV adalah 2,4% dengan kejadian 1 tahun 0,6%. BPPV idiopatik biasanya
terjadi pada orangtua dan perempuan, dengan rasio perempuan dan laki-laki
adalah 2-3:1 dan usia puncaknya terjadi dalam dekade keenam kehidupan. BPPV
lebih sering melibatkan telinga kanan, faktor yang mungkin terkait adalah
kebiasaan tidur ke sisi kanan pada populasi umum. Sebagian besar BPPV
berkembang dalam kanal semisirkular horizontal dan posterior. PC-BPPV
mewakili 60-90% dari semua kasus BPPV dan HC-BPPV 5-30% kasus. Namun,
HCBPPV sekarang tampaknya lebih banyak daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Proporsi HCBPPV- dihubungkan penurunan kasus dengan
peningkatan interval waktu rata-rata dari onset gejala ke diagnosis, mungkin
karena tingkat resolusi spontan yang lebih tinggi pada HC-BPPV. Dengan
demikian, proporsi relatif dari setiap jenis BPPV mungkin tergantung pada nilai
setiap klinik. BPPV jarang melibatkan kanalis semisirkularis anterior. BPPV
timbul dari beberapa kanal yang juga telah dijelaskan.
232.
233. ETIOLOGI
234. Penyebab BPPV sebagian besar tidak diketahui (idiopatik). Mengingat
tingginya prevalensi BPPV kalangan perempuan paruh baya, faktor hormonal
mungkin memainkan peran dalam perkembangan BPPV. Dalam penelitian terbaru,
nilai densitas mineral tulang menurun baik pada perempuan maupun laki-laki
dengan BPPV idiopatik dibandingkan dengan kontrol normal tanpa ada riwayat
pusing. Prevalensi osteopenia (-2,5 < T-score < 1,0) dan osteoporosis (T-score <
-2,5) juga ditemukan lebih tinggi baik pada perempuan dan laki-laki dengan
BPPV dibandingkan dengan kontrol normal. Selain itu, perempuan dengan usia >
45 tahun, T-score terendah juga menurun pada kelompok rekuren, dibandingkan
dengan kelompok de novo. Temuan ini menunjukkan keterlibatan metabolisme
kalsium yang terganggu pada BPPV idiopatik dan hubungan yang signifikan
antara osteopeni/osteoporosis dan BPPV idiopatik. Otokonia merupakan deposit
kalsium karbonat dalam bentuk gabungan kristal kalsit dan tulang yang
mengandung 99% kalsium yang ditemukan dalam tubuh. Penurunan kadar
estrogen dapat menganggu struktur internal otokonia atau interkoneksinya dan
keterikatan matriks gelatin.
235. Selain itu, peningkatan konsentrasi kalsium bebas dalam endolymph
karena peningkatan resorbsi kalsium dapat mengurangi kapasitas untuk
melarutkan otokonia yang lepas. BPPV dapat terjadi secara sekunder untuk
berbagai gangguan yang merusak telinga bagian dalam dan melepas otolit dari
makula utrikular. Trauma kepala menyebabkan kerusakan mekanik pada telinga
yang merupakan penyebab umum dari BPPV. Pasien jarang mengalami BPPV
setelah operasi mastoid atau jika terlibat dalam posisi miring kepala yang
persisten, seperti tukang cukur atau dokter gigi. Dibandingkan dengan bentuk
idiopatik, BPPV traumatik memiliki beberapa ciri khas, yaitu tingginya kejadian
bilateral, keterlibatan multiple kanal pada sisi yang sama, setara antara perempuan
dan laki-laki, distribusi pada usia lebih muda, lebih sulit untuk diobati dan
frekuensi rekuren/ sering kambuh. Selain itu, BPPV dapat berkembang secara
sekunder ke salah satu dari penyakit telinga bagian dalam (misalnya, neuritis
vestibular, labyrinthitis dan penyakit Meniere) yang menyebabkan degenerasi dan
melonggarnya otokonia, tetapi tidak sepenuhnya menghambat fungsi kanal
semicircular. Insiden BPPV juga diketahui lebih tinggi pada pasien dengan
migrain, walaupun mekanisme yang tepat masih belum jelas. BPPV telah
dilaporkan terjadi dalam hubungannya dengan giant-cell arteritis, diabetes, and
hyperuricemia.
236. MEKANISME PATOLOGI
237. Lepasnya debris otolith dapat menempel pada cupula (cupulolithiasis)
atau dapat mengambang bebas di kanal semisirkular (canalolithiasis) (gambar 1).
Penelitian patologis telah menunjukkan bahwa kedua kondisi tersebut dapat
terjadi. Debris otholith menyingkir dari cupula dan memberikan sensasi berputar
melalui efek gravitasi langsung pada cupula atau dengan menginduksi aliran
endolymph selama gerakan kepala di arah gravitasi (gambar 2). Menurut teori
cupulolithiasis, deposit cupula (heavy cupula) akan memicu efek gravitasi pada
krista. Namun, gerakan debris yang bebas mengambang adalah mekanisme
patofisiologi yang saat ini diterima sebagai ciri khas BPPV. Menurut teori
canalolithiasis, partikel mengambang bebas bergerak di bawah pengaruh gravitasi
ketika merubah posisi kanal dalam bidang datar vertical. Tarikan hidrodinamik
partikel menginduksi aliran endolymph, menghasilkan perpindahan cupular dan
yang penting mengarah ke respon yang khas diamati.
238.
239. Gambar 1
240.

241. Gambar 2
242.

243. Beberapa studi telah berusaha untuk mengidentifikasi utrikular


(otolithic) abnormalitas di BPPV, tetapi telah menghasilkan hasil yang tidak
konsisten. Pasien dengan BPPV dapat menunjukkan kelainan di vestibular yang
menimbulkan potensial myogenic, horizontal visual subjektif dan gain during
off-vertical axis rotation
244.
245. DIAGNOSIS
246. Setiap jenis BPPV didiagnosis dengan mengamati pola nistagmus yang
diinduksi selama manuver posisi yang telah dirancang untuk bergerak hanya
saluran yang terlibat dalam arah gravitasi maksimum. Namun, pengamatan yang
tepat dari nistagmus memerlukan fiksasi yang dihilangkan selama manuver.
247.
248. PC-BPPV
249. Dalam PC-BPPV, posisi nistagmus diinduksi dengan Dix- Hallpikes
maneuver ke arah kanal yang terkena (Gambar 3). Selama Dix-Hallpikes
maneuver, diyakini bahwa debris otolitik yang bebas mengambang
(canalolithiasis) dalam kanal posterior bergerak menjauh dari cupula dan
menstimulasi kanal posterior dengan menginduksi ampullofugal aliran endolymph
(hukum pertama Ewald). Eksitasi dari kanal posterior mengaktifkan otot superior
oblik ipsilateral dan otot rectus inferior kontralateral, yang menghasilkan deviasi
mata ke bawah dengan torsi ke arah telinga atas.
250. Gambar 3

251.
252. Akibatnya, nistagmus yang dihasilkan akan ke atas dan torsional,
dengan kutub teratas mata ke arah telinga bawah. Nistagmus biasanya dimulai
dengan latensi singkat beberapa detik, sembuh dalam waktu 1 menit (biasanya
kurang dari 30 detik) dan arahnya berlawanan dari posisi duduk. Nistagmus
berkurang (misalnya mata lelah) dengan pemeriksaan ulang. Cupulolithiasis dapat
ada dalam kanal posterior. Dibandingkan dengan canalolithiais, cupulolithiasis
tipe PC-BPPV cenderung memiliki latensi lebih pendek dan waktu konstan yang
lebih lama (yaitu lebih persisten). Dix-Hallpikes maneuver telah dianggap sebagai
gold standard untuk diagnosis PCBPPV. Namun, manuver ini harus dilakukan
dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat operasi leher, sindrom radikulopati
cervical dan diseksi pembuluh darah, karena memerlukan posisi rotasi dan
ekstensi leher. The side-lying test dapat digunakan sebagai alternative ketika
Dix-Hallpikes maneuver tidak dapat dilaksanakan; setelah pasien duduk di meja
pemerikaan, pasien segera berbaring dengan kepala berpaling 45 ke arah yang
berlawanan (gambar 4).
253. Gambar 4
254.

255.
256. HC-BPPV
257. HC-BPPV didiagnosis dengan supine roll test (manuver Pagnini-
McClure), di mana kepala diputar sekitar 90 ke setiap sisi dengan posisi supine
(gambar 5). Nistagmus horizontal akan mengarah ke dasar (geotropic nystagmus)
(gambar 5A) atau mengarah ke atas (apogeotropic nystagmus) (gambar 5B).
Nistagmus yang diinduksi cenderung lebih persisten pada HC-BPPV
dibandingkan PC-BPPV. Nistagmus yang timbul selama posisi HC-BPPV
biasanya menunjukkan kelelahan yang lebih kecil dan lebih singkat dibandingkan
yang timbul pada PC-BPPV.
258. Gambar 5A

259.
260. Gambar 5B

261.
262.
263. Penentuan sisi yang terkena (lateralisasi) sangat penting untuk
pengobatan yang tepat dari HC-BPPV menggunakan CRMs, yang akan dibahas
kemudian (Tabel 1). Karena aliran ampullopetal endolymph menimbulkan respon
yang lebih besar daripada aliran ampullofugal dalam kanal horizontal (Hukum
kedua Ewald), nistagmus yang diinduksi akan lebih kuat ketika kepala menoleh ke
arah telinga yang terkena pada tipe geotropic HC-BPPV. Sebaliknya, kepala
berpaling ke telinga yang sehat akan menghasilkan nystagmus kuat pada HC-
BPPV apogeotropic.
264. Tabel 1
265.

266. Penentuan telinga yang terkena kadang sulit karena adanya respon
yang agak simetris terutama jika nistagmus yang diinduksi tidak diketahui. Dalam
kasus ini, temuan lain mungkin memberikan petunjuk untuk menentukan telinga
terkena. Pada HC-BPPV, nistagmus dapat dirangsang dengan berbaring telentang
dari posisi duduk [lying-down nystagmus (LDN)] atau dengan menekuk kepala ke
depan sambil duduk [head-bending nystagmus (HBN)]. Hingga 80% kasus HC-
BPPV, LDN dan HDN saling berlawanan. Pada geotropic HC-BPPV, HBN lebih
berpengaruh pada telinga yang terkena, sedangkan LDN lebih ke arah telinga yang
sehat. HBN pada geotropic HC-BPPV berasal dari migrasi ampullopetal dari
otolith, sedangkan LDN dijelaskan dengan perpindahan ampullofugal dari otolith
pada kanal horizontal. Sebaliknya, sebagian besar HBN adalah kontralesi dan
LDN biasanya ipsilesional ketika diamati pada HCBPPV apogeotropik. HBN dan
LDN pada HC-BPPV apogeotropik dijelaskan dengan defleksi heavy cupula
sebagai respon perubahan posisi.
267. Pada HC-BPPV apogeotropik, nistagmus horizontal yang diinduksi
dapat hilang ketika kepala menoleh 10-20 ke arah telinga yang terkena, dengan
posisi supine (titik nol). Titik nol merupakan sejajarnya heavy cupula dalam arah
vektor gravitasi. Nistagmus spontan yang juga dikenal sebagai pseudospontaneus
nystagmus, tidak jarang dalam HC-BPPV. Pada laporan sebelumnya, 66-76%
pasien HC-BPPV memperlihatkan nistagmus spontan. Nistagmus spontan pada
HC-BPPV berhubungan dengan posisi anatomi kanal semisirkular horizontal,
yang cenderung 30 ke arah yang berlawanan dari bidang horizontal. Oleh karena
itu, gaya gravitasi dapat mempengaruhi debris otolithic dalam kanal atau heavy
cupula, bahkan ketika dalam posisi duduk tegak. Untuk alasan yang sama,
nistagmus pseudospontaneous hilang ketika kepala pasien ditundukkan ke depan
sekitar 30. Dalam posisi ini, karena kanal horisontal sejajar dengan bidang datar
horizontal, efek gravitasi dikesampingkan. Namun, nistagmus pseudospontaneous
harus dibedakan dari continues nystagmus dengan vertigo terus menerus yang
dihasilkan dari apa yang disebut canalith jam dan tekanan endolymph negatif
antara plug dan cupula.
268. Pada BPPV, reversal spontan pada nistagmus posisi awal jarang terjadi
tanpa perubahan posisi. Pada geotropic HC-BPPV, nistagmus geotropik awal
kadang berbalik arah ketika kepala menoleh ke arah sisi yang lesi dan nistagmus
yang diinduksi kuat (kecepatan fase lambat maksimal = 104 62 / sec, mean
SD). Adaptasi jangka pendek dari reflek vestibule-ocular tampaknya menjadi
mekanisme utama yang mendasari reversal spontan dari posisi awal nistagmus.
269.
270. AC-BPPV
271. BPPV jarang melibatkan kanal semisirkular anterior, dan AC-BPPV
menunjukkan beberapa karakteristik yang berlawanan dengan PC-BPPV. Pada
AC-BPPV, SHH seperti Dix-Hallpikes maneuver keduanya dapat menimbulkan
nistagmus dengan komponen ipsitorsional (kutub atas mata ke arah telinga yang
terkena). Selain itu, nistagmus torsional pada AC-BPPV dapat tidak jelas, seperti
pada PC-BPPV. Tipe kanal-campuran BPPV BPPV dapat melibatkan multiple
kanal semisirkular. Tipe kanal-campuran dari BPPV, yang paling umum adalah
kombinasi PC dan HC-BPPV, sekitar 1,5-5,0% dari seluruh kasus BPPV di
literature. Tipe kanal-campuran dari BPPV sering melibatkan kanal pada sisi yang
sama (misalnya kanal horizontal kanan dan posterior kanan), tetapi keterlibatan
bilateral juga telah dilaporkan. Trauma dapat meningkatkan resiko dari kanal-
campuran BPPV.
272.
273. DIAGNOSA BANDING
274. Banyak pasien BPPV khawatir bahwa mereka menderita gangguan
serius, seperti stroke. Meskipun BPPV adalah penyakit jinak dan timbul dengan
sendirinya, penyakit yang lebih serius seperti stroke sirkulasi posterior dapat
menyerupai BPPV. Namun, posisi sentral nistagmus biasanya menyertai vertigo
persisten, ketidakseimbangan dan gejala serta tanda neurologis lain (Tabel 2).
275. Tabel 2
276.

277. Karena nistagmus posisional merupakan temuan khas dari lesi yang
mengenai cerebellum dan AC-BPPV merupakan kondisi yang jarang, hanya 1,5-
5% dari seluruh kasusu BPPV, diagnosis AC-BPPV seharusnya hanya pada kasus
khas tanpa defisit neurologis lain. Bahkan pada pasien itu, kemungkinan patologi
sentral harus diteliti ketika CRMs berulang gagal untuk mengatasi gejala dan
nistagmus. Dalam studi sebelumnya, 72% pasien dengan nistagmus posisional
menunjukkan kelainan sentral, sementara 24% (sebagian besar diduga AC-BPPV)
tidak diketahui etiologinya tanpa patologi sentral. Pada kesempatan langka, telah
dilaporkan vertigo posisional paroksismal sentral menyerupai BPPV setelah infark
dorsolateral lalu ventrikel keempat atau nodulus atau plak soliter yang mengenai
brachium conjunctivum.
278.
279. PENGOBATAN
280. BPPV biasanya berupa gangguan yang timbul dengan sendirinya dan
dapat sembuh dengan berjalannya waktu tanpa pengobatan khusus. Menurut
sebuah laporan pada BPPV yang tidak diobati, sebagian besar HC-BPPV sembuh
dalam waktu 16 19 hari dan PC-BPPV 39 47 hari sejak onsetnya. Namun,
diagnosis yang benar dan manuver reposisi yang tepat memungkinkan
penyembuhan yang cepat dan sederhana untuk BPPV.
281. Pada tahun 1970an, pengobatan BPPV banyak melibatkan pemberian
supresan vestibular dan pembatasan perubahan posisi yang sangat berperan
menimbulkan vertigo, yang berarti bahwa perbaikan kondisi membutuhkan waktu
yang lama. Setelah latihan Brandt-Daroff diperkenalkan tahun 1980, disarankan
agar pasien dengan BPPV melakukan latihan aktif. Dengan mengadopsi latihan
Brandt-Daroff, masa pengobatan BPPV lebih singkat 10-14 hari. Namun, tujuan
dari latihan ini adalah untuk habituasi dan kompensasi sistem vestibular. Pasien
dengan BPPV tidak diobati secara efektif sampai akhir tahun 1980 dan awal 1900,
ketika CRMs diperkenalkan.
282.
283. CRMs
284.
285. PC-BPPV
286. Metode yang paling popular untuk pengobatan PC-BPPV adalah
Semonts liberatory dan Epleys maneuver. Epleys maneuver menggunakan
perubahan posisi kepala secara bertahap (gambar 6) untuk membersihkan free
floating otolithic debris keluar dari kanalis semisirkular dan kembali ke dalam
utrikulus. Awalnya diterapkan vibrasi mastoid yang tidak lama kemudian manuver
reposisi oleh Eplay dianjurkan.
287. Gambar 6
288.

289. Awalnya, pasien diminta untuk mempertahankan posisi tegak selama


48 jam setelah manuver reposisi, namun pembatasan posisi setelah pengobatan
tidak diharuskan dan dapat disederhanakan. Secara teori, vertigo posisional dapat
diatasi setelah reposisi debris otolitic ke dalam utrikulus dengan Epleys
maneuver. Tingkat keberhasilan yang dilaporkan adalah sekitar 80% setelah satu
putaran manuver reposisi, tingkat keberhasilan meningkat dengan pengulangan.
Menurut meta-analisis terbaru dari modified Epleys maneuver untuk PC-BPPV,
pengobatan menunjukkan peningkatan perbaikan gejala empat kali dan nistagmus
lima kali lebih tinggi dibandingkan kelompok placebo. Hasil dari Epleys
maneuver dapat diprediksi bahkan selama dilakukan manuver. Ketika kepala
diputar 90 kearah sisi yang tidak terkena setelah Dix-Hallpikes maneuver, posisi
nistagmus berkembang ke arah yang sama dengan manuver (orthotropic
nystagmus), jika sekelompok partikel bergerak ke arah yang sesuai ke dalam crus,
menghasilkan keberhasilan reposisi. Namun, arah nistagmus dapat terbalik ketika
heavy cupula dengan debris otolithic melekat pada ampullopetally atau jika
partikel bergerak kembali ke cupula, menandakan bahwa reposisi tidak berhasil.
Epleys maneuver merupakan metode yang dianjurkan untuk pengobatan PC-
BPPV, dengan konfirmasi bukti level A menurut American Academy of Neurology.
290. Semonts liberatory maneuver juga membantu pengobatan PC-BPPV
(gambar 7) dan dapat dianggap sebagai alternatif untuk kondisi ini, terutama
pasien dengan kesulitan menegakkan leher karena gangguan tulang belakang.
Namun efektivitas dari Semonts liberatory maneuver belum dapat ditetapkan.
Baru-baru ini, sebuah protokol untuk pengobatan PC-BPPV telah diperkenalkan
dengan Epleys dan Semonts maneuver. Setelah didiagnosisi oleh dokter,
pengobatan dengan manuver dijelaskan ke pasien, yang dapat dengan mudah
dilakukan di luar rumah sakit.
291. Gambar 7
292.

293.
294. Geotrpik HC-BPPV
295. Rotasi 270 atau 360 sekitar sumbu (disebut juga barbecue maneuver)
ke arah telinga yang tidak terkena merupakan metode popular untuk pengobatan
geotropic HC-BPPV. Manuver ini dilakukan dengan memutar kepala 90 ke arah
sisi yang sehat dengan posisi supine (gambar 8). Dengan manuver ini, debris
otolith yang bebas mengambang bermigrasi dalam arah ampullofugal, yang
akhirnya memasuki utrikulus terus menuju kanal horizontal akhir nonampula.
Berbaring dengan telinga yang sehat di bawah selama sekitar 12 jam (posisi yang
lama) dapat digunakan, terutama pada pasien dengan gejala berat yang tidak dapat
membuat perubahan posisi. Gufonis maneuver merupakan alternatif lain. Setelah
duduk di meja periksa, pasien berbaring miring ke arah sisi yang sehat dengan
gerakan lateral yang cepat dan tetap dalam posisi ini selama 1-2 menit sampai
terjadi resolusi dari nistagmus. Setelah melakukan rotasi kepala yang cepat 45 ke
arah lantai, dengan pasien tetap mempertahankan posisi ini selama 2 menit,
kemudian kembali ke posisi awal secara perlahan-lahan. Keuntungan utama dari
Gufonis maneuver adalah manuver ini sederhana untuk dilakukan.
296. Gambar 8

297.
298.
299. Apogeotropik HC-BPPV
300. Apogeotropik HC-BPPV dihubungan dengan cupulolitiasis atau
canalolithiasis dengan lengan anterior pada kanal semisirkular horizontal.
Penjelasan ini sesuai dengan karekterisitik nistagmus posisional yang diamati
pada HC-BPPV, tujuan terapi untuk melepaskan debris otholith dari cupula atau
memindahkan debris dari lengan anterior ke posterior pada kanal horizontal. Jika
debris otolitik melekat pada sisi utrikulus dari cupula, pelepasan seharusnya
dengan resolusi segera dari vertigo positional dan nistagmus. Dalam hal adhesi
dari sisi kanal pada cupula atau free-floating particles dalam lengan anterior,
pelepasan dan pergeseran debris otolith ke dalam lengan posterior akan
menyebabkan transisi ke geotropic HC-BPPV. Terapi menggoyangkan kepala
pada bidang horizontal, modified Semont maneuver, dan metode Gufonis
maneuver telah diusulkan sebagai regimen pengobatan untuk apogeotropik HC-
BPPV.
301. Tujuan dari menggoyangkan kepala untuk melepas debris otholithic
dari cupula, terlepas dari sisi yang mana yang terlekat, menggunakan alternatif
kekuatan percepatan dan perlambatan. Modified semonts maneuver terdiri dari
tiga tahap: 1) pasien dibawa ke posisi berbaring dengan sisi telinga yang terkena
di bagian bawah. 2) kepala pasien dimiringkan ke bawah 45, dipertahankan
selama 2-3 menit. 3) pasien kembali ke posisi duduk semula. Manuver ini awalnya
dirancang unutk menghilangkan debris yang melekat pada sisi utrikulus dari
cupula. Pada Gufonis maneuver untuk apogeotropik HC-BPPV, pasien duduk
dengan kepala diarahkan lurus ke depan kemudian dengan cepat bergerak ke
posisi berbaring dengan arah sisi yang terkena, pertahankan posisi ini untuk 1
sampai 2 menit setelah akhir dari nistagmus apogeotropik. Kepala kemudian
dengan cepat diangkat 45 dan dipertahankan selama 2 menit, kemudian kembali
ke posisi duduk secara perlahan. Gufonis maneuver dirancang untuk
menyingkirkan debris otholithic dari lengan anterior dari kanal semisirkular
horizontal dekat cupula. Sebuah studi baru-baru ini mengadopsi uji coba
prospektif secara acak, menemukan bahwa manuver menggoyangkan kepala lebih
efektif daripada modified semonts maneuver dalam pengobatan HC-BPPV.
Namun, efektivitas dari masing masing manuver harus ditentukan dengan
menerapkan perbandingan kepala per kepala.
302.
303. AC-BPPV
304. Berbagai manuver reposisi juga telah dikembangkan untuk pengobatan
AC-BPPV. Sebaliknya dalam Epleys maneuver, pasien juga mengalami urutan
perubahan posisi yang sama setelah Dix-Hallpikes maneuver pada sisi telinga
yang sehat. Manuver reposisi modifikasi dan mempertahankan posisi yang
berkepanjangan juga diadopsi untuk pengobatan BPPV tertentu.
305.
306. REHABILITASI
307. Terlepas dari saluran/kanal yang terkena, latihan Brandt-Daroff dapat
dicoba saat manuver reposisi gagal atau jika pasien tidak dapat mentoleransi
maneuver reposisi (gambar 9). Latihan dapat diulang bebas sampai gejala
berkurang.
308. Gambar 9
309.

310. Berhubungan dengan PC-BPPV, rehabilitasi vestibular menunjukkan


hasil pengobatan yang lebih unggul dibandingkan dengan placebo. Namun,
rehabilitasi vestibular kurang efektif dibandingkan CRMs dalam menghasilkan
resolusi gejala yang lengkap. Ada cukup data tentang respon HC-BPPV untuk
rehabilitasi vesibular.
311.
312. TERAPI BEDAH
313. Dengan CRMs berulang dan latihan Brandt-Daroff, pasien masih dapat
mengalami vertigo persisten akibat disabilitas posisi atau frekuensi kambuhan
yanga merupakan refrakter dari manuver reposisi. Terapi bedah dapat
dipertimbangkan dalam kesempatan yang jarang, yang disebut juga incratable
BPPV. Transeksi nervus ampula posterior yang mempersarafi kanal posterior
(singular neurectomy) atau oklusi kanal semisirkular posterior (saluran penutup)
telah dilakukan untuk incratable BPPV. Neurektomi tunggal, dijelaskan oleh
Gacek pada tahun 1974, merupakan prosedur yang efisien yang dibuat untuk
mengontrol gejala incratable BPPV., dengan risiko yang dapat diterima
gangguan pendengaran pasca operasi. Penyumbatan dan oklusi kanal juga
merupakan teknik yang efektif dengan rendahnya resiko gangguan pendengaran.
Namun, intervensi bedah diterapkan jika seluruh CRMs/latihan telah dicoba dan
gagal.
314.
315.
316.
317. TERAPI MEDIKAMENTOSA
318. Obat rutin seperti vestibular supresan (misalnya antihistamin dan
benzodiazepine) tidak dianjurkan pada pasien BPPV. Dokter dapat memberikan
obat untuk 1) mengurangi sensasi berputar dari vertigo atau 2) mengurangi gejala
pusing yang menyertai. Namun, tidak ada vestibular supresan yang efektif seperti
CRMs untuk BPPV dan tidak dapat digunakan sebagai pengganti untuk manuver
reposisi. Obat anti vertigo, seperti dimenhydrinate (Dramamine), belladonna
alkaloid scopolamine (Transderm-Scop), dan benzodiazepine (Valium),
diindikasikan untuk mengurangi gejala pusing dan mual sebelum melakukan
CRM.
319.
320. PROGNOSIS DAN KEKAMBUHAN
321. Vertigo sering berulang pada BPPV, dengan tingkat kekambuhan
dilaporkan 15-37% setelah efektifitas awal CRMs. Pada studi terbaru, tingkat
kekambuhan 50% untuk rata-rata 10 tahun periode follow-up. Kekambuhan
terbanyak (80%) terjadi pada masa tahun pertama setelah pengobatan. Faktor yang
berhubungan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi yaitu wanita, adanya
penyakit sebelumnya seperti trauma, labyrinthitis dan hidrops endolimfatik,
adanya osteopeni/osteoporosis, HC-BPPV dan riwayat tiga atau lebih serangan
BPPV sebelum pengobatan.
322.
323. KESIMPULAN
324. BPPV merupakan gangguan yang umum yang menyebabkan vertigo
posisiona paroksismal. Walaupun BPPV merupakan penyakit jinak yang dapat
diobat dengan manuver yang relative sederhana di tempat tidur, studi Amerika
Utara melaporkan biaya BPPV lebih dari US $ 2.000 per individu, sebagian besar
biaya yang dikeluarkan untuk prosedur diagnosis yang tidak sesuai dan terapi
yang tidak efektif. Diagnosis yang benar dan pengobatan yang tepat berdasarkan
konsep BPPV akan mengurangi biaya dan prosedur diagnostik yang tidak perlu.
325.

326.
327.
328.
329. MENIERE SYNDROME
330.
331.

332.

333.

334.

335.

336. Disusun Oleh:

337. 1261050270 Narendraswari Mendina K.

338. 1261050197 Jeremia Kurniawan

339.

340.

341. KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
342. PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
343. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
344. JAKARTA
345.
346.

347. PENYAKIT MENIERE

348.

349. Penyakit Meniere adalah kelainan telinga dalam berupa hidrops endolimfe
idiopatik yang ditandai dengan trias : vertigo, tinitus, dan tuli sensorineural.

350. Gejala klinis penyakit Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfa
pada kokhlea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul
diduga disebabkan oleh :

1. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri


2. Berkurangnya tekanan osmotik di dalam kapiler
3. Meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler
4. Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan
endolimfa.

351. Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal, ditemukan pelebaran dan


perubahan morfologi pada membrane Reissner. Terdapat penonjolan ke dalam skala
vestibule, terutama di daerah apeks kokhlea Helikotrema. Sakulus juga mengalami
pelebaran yang dapat menekan utrikulus. Pada awalnya pelebaran skala media
dimulai dari apeks kokhlea, kemudian dapat meluas mengenai bagian tengah dan
basal kokhlea. Hal ini yang dapat menjelaskan terjadinya tuli saraf nada rendah pada
penyakit Meniere.

352. Penyebab pasti penyakit Meniere belum diketahui. Penambahan volume


endolimfa diperkirakan karena adanya gangguan biokimia cairan endolimfa dan
gangguan klinik pada membrane labirin.

353. Penatalaksanaan :

354. Non-farmakologi

Diet rendah natrium ( 1500 mg/hari)


Diet rendah kafein, nikotin, alkohol, dan makanan mengandung teofilin, misalnya coklat
Rehabilitasi vestibuler

355. Farmakologi

1. Simptomatik
Supresan vestibuler
- Antagonis reseptor H1
o Dimenhidrinat 50-100 mg PO/IV/IM setiap 4-6 jam, dosis maksimal 400
mg/hari
o Difenhidramin 25-50 mg PO setiap 4-6 jam/ hari, dosis maksimal 300 mg/hari
o Meklizin 2 x 12,5 mg hingga 3 x 50 mg/hari
o Prometazin 25 mg PO atau 12,5-25 mg IV/IM setiap 4-6 jam
- Benzodiadiazepin
356. Lorazepam 2 x 0,5 mg
357. Klonazepam 2 x 0,5 mg
358. Diazepam 2 x 2 mg PO
- Antiemetik
359. Granisetron 2 x 1 mg PO atau 10 g/kg Iv
360. Metoklopramid 3 x 10 mg PO atau 10 mg IM
361. Ondansetron 3 x 4-8 mg PO atau 1 x 32 mg IV
362. Skopolamin 0,3-0,65 mg IV/IM/SK, dapat diulang setiap 6-8 jam jika
perlu
363. 2. Diuretik, untuk mengurangi gejala vestibuler

Hidroklorotazid 12,5-50 mg PO per hari


Triamteren 100-300 mg PO per hari atau dibagi jadi 2 kali sehari

364. 3. Steroid

Untuk serangan akut, berikan metilprednisolon IM/IV dilanjutkan prednison 1


mg/kg PO per hari selama 10-14 hari lalu diturunkan bertahap
Deksametason 4 mg PO selama 4 hari dapat diberikan PO, IM,atau
transtimpani
Steroid transtimpani, lebih baik dibandingkan steroid oral yang memiliki efek
sistemik

365. 4. Pembedahan

366. Dilakukan jika terapi farmakologi selama 3-6 bulan gagal menangani
penyakit Meniere
Operasi sakus endolimfatikus, mencakup mastoidektomi dan
dekompresi/pembuatan pirau pada sakus endolimfatikus yang menghubungkan
ruang subarakhnoid atau ruang mastoid
Operasi pemotongan saraf vestibularis (vestibular nerve section)
Operasi pembuatan pirau, untuk menurunkan tekanan hidrops endolimfe tanpa
tindakan destruktif
Labirintektomi

367. Contoh Resep:

368. R/ Diazepam 2 mg tab No. X

369. S 2 dd I tab pc (paraf)

370. R/ Betahistine mesylate 6 mg tab No. X

371. S 2 dd I tab pc (paraf)

372. R/ Flunarizine 5 mg tab no X

373. S 2 dd I tab m et v (paraf)

374. Pro : Tn. X

375. Umur : 60 th

376.
377.
378.
379.
380.
381.
382.
383.
384.
385.
386. MIRINGITIS BULLOSA
387.
388.

389.

390.

391.

392.

393. Disusun Oleh:

394. 1161050098 Filda Sharifah

395. 1261050009 Nadilla Garyudanefi

396.

397.

398. KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
399. PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
400. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
401. JAKARTA
402.
403.

404.

405. Miringitis atau inflamasi pada membran timpani merupakan salah satu jenis
kelainan yang dapat mengakibatkan gangguan pendengaran dan menimbulkan
sensasi kongesti serta nyeri telinga. Setelah tiga minggu, suatu miringitis akut
akan menjadi subakut, dan apabila tidak tertangani hingga 3 bulan, maka kita
sudah dapat mengkategorikannya sebagai suatu kasus kronik.

DEFINISI
Miringitis bulosa merupakan suatu miringitis akut yang ditandai oleh adanya
pembentukan bulla pada membran timpani.1 Adapun referensi lain menyebutkan
bahwa miringitis bulosa adalah bentuk perandangan virus yang jarang dalam
telinga yang menyertai selesma dan influenza.

406. PATOGENESIS
Suatu infeksi virus menyebabkan gangguan epitel pernapasan dan disfungsi
tuba Eustachius, yang menyebabkan tekanan negative di telinga tengah dan
akumulasi sekresi pada telinga tengah. Disfungsi tuba Eustachius memungkinkan
mikroba pathogen untuk masuk dari nasofaring ke telinga tengah dan
menyebabkan serangan otitis media akut. Telah diperkirakan adanya lesi bulosa
mungkin hanya manifestasi dari cidera mekanik membran timpani atau reaksi
jaringan non-spesifik untuk beberapa agen infektif. Dalam beberapa kasus iritasi
tahap awal otitis media akut kausa bakteri, dilain kasus mungkin karena agen
infeksi virus. Karelitz merasa bahwa faktanya dalam hampir semua kasus
myringitis, infeksi saluran nafas atas yang ada, menunjukkan bahwa jalurnya
adalah melalui tuba eustachius, pertama menyebabkan radang telinga tengah dan
kemudian secara sekunder menyebabkan myringitis bulosa.8
Middle ear fluid (MEF) telah sering ditemukan pada myringitis bulosa dan
mungkin timbul sebagai akibat dari pecahnya bulla ke telinga tengah atau bulla
mungkin telah muncul secara sekunder setelah radang telinga tengah. Pada tulang
temporal manusia otitis media akut telah ditunjukkan bahwa membran timpani
lebih tebal dibandingkan dengan telinga normal. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh pembengkakan lapisan jaringan subepitel dan submukosa
membran timpani. Selain itu, ada banyak kapiler dan infiltrasi sel inflamasi ke
dalam lapisan jaringan subepitel dan submukosa. Studi histology pada myringitis
bulosa kurang, tetapi dapat dibayangkan bahwa di awal penyakit reaksi inflamasi
yang kuat diprakarsai oleh paparan pathogen yang menyebabkan akumulasi cairan
kotor pada membran timpani.8

MANIFESTASI KLINIS
Myringitis bulosa dianggap sebagai penyakit self limiting disease, kadang-
kadang menjadi rumit oleh infeksi sekunder yang purulen. Namun komplikasi
serius seperti meningoensefalitis telah dilaporkan dalam beberapa kasus yang
langka. Karakteristik gambaran klinis pasien yaitu tiba-tiba nengalami sakit
telinga yang parah atau otalgia. Pada anak-anak dengan gejala otitis media akut
biasanya tidak spesifik, karena mereka tidak dapat mengungkapkan gejala atau
asal usul rasa sakit. Dalam myringitis akut otalgia sifatnya berdenyut. Nyeri
biasanya terletak di dalam telinga, tetapi dapat menyebar ke ujung mastoid,
tengkuk, temporomandibula bersama wajah.1,8
Pada kebanyakan pasien nyeri mereda dalam satu atau dua hari, namun
beberapa keluhan biasanya dirasakan selama tiga hari sampai empat hari. Rasa
sakit tidak sepenuhnya hilang setelah myringotomi atau setelah bulla pecah
spontan. Membran timpani kembali ke keadaan normalnya dalam dua atau tiga
minggu. Otoskopi menunjukkan suatu membran timpani meradang dengan satu
atau lebih bulla. Bulla ini penuh dengan cairan bening, agak kuning atau
perdarahan.1,7,8
Beberapa bulla hampir tidak bisa dibedakan dan beberapa menempati sebagian
besar membran timpani. Bulla yang muncul paling sering pada sisi posterior atau
postero inferior membran timpani atau pada dinding kanalis posterior. Bulla ini
tampaknya hanya melibatkan lapisan subepitel dari membran timpani. Myringitis
bulosa sering terdeteksi hanya unilateral sedangkan di beberapa penelitian
proporsi infeksi bilateral tersebut telah 11-33%. Jika bulla pecah maka debit
serosanguineous durasi pendek muncul di saluran telinga, kecuali keadaannya
menjadi rumit oleh invasi bakteri saat discharge menjadi purulen. Peningkatan
suhu tubuh biasanya terlihat dalam perjalanan awal myringitis tersebut. Bulla
paling sering menghilang dengan sendirinya. Dalam sebagian besar kasus bulla
berlangsung tiga atau empat hari.8

DIAGNOSIS
Anamnesis
Secara umum, keluhan utama pasien yang mengalami miringitis adalah nyeri pada
daerah telinga yang onsetnya 2-3 hari terakhir sebab bulla terbentuk pada area
yang kaya akan persarafan pada epitel terluar membran timpani. Keluhan pada
telinga dan gangguan pendengaran. Kemudian dari anamnesis lebih lanjut, bisa
kita dapatkan riwayat demam serta kemungkinan riwayat trauma pada saluran
telinga akibat membersihkan telinga, atau pun akibat penetrasi benda asing.
Kadang juga pasien mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari telinga. Adanya
riwayat penyakit saluran pernafasan dan gangguan telinga sebelumnya juga perlu
ditanyakan.1

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis miringitis bulosa adalah otoskopi.
Adapaun beberapa temuan yang bisa didapatkan dari pemeriksaan otoskopi pada
pasien miringitis antara lain:1
- Terdapat tanda-tanda inflamasi pada membran impani, seperti warna membran
terlihat lebih merah, serta tampak mengalami deformasi, dan refleks cahaya
memendek atau bahkan menghilang sama sekali.
- Karakteristik dari miringitis bulosa adalah adanya bulla pada membran
timpani. Kita harus dapat membedakan antara bulla yang berasal dari membran
timpani dan bula yang berasal dari saluran telinga luar. Bulla ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan pada membran timpani.
- Pada beberapa kasus dapat ditemukan nyeri ketika pinna ditarik.
- Pneumatik otoskopi, dengan pemeriksaan ini kita dapat menentukan apakah
miringitis bulosa sudah menyebabkan perforasi.
Pemeriksaan lain:1
- Pada pemeriksaan kelenjar, terdapat limfadenopati servikal posterior.
- Pada pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan
pendengaran.
- Tympanometri: pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan bukti adanya
cairan di belakang membran timpani. Sehingga kita dapat mengetahui adanya
otitis media yang menyertai miringitis bulosa.
- Tympanoparasintesis: pemeriksaan ini dilakukan untuk kultur dan identifikasi
agen penyebab miringitis bulosa.

407.
408.
409. Gambar 5. Sebuah bula besar yang berisis cairan serosa pada permukaan
superfisial membran timpani kanan pada regio umbo

411.
412.
413. Gambar 6. Miringitis bulosa pada telinga kanan

414.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk miringitis hemoragik atau bulosa:
- Otitis eksterna
- Herpes zoster otikus ( Sindroma Ramsay-Hunt)

415. Sindrom Ramsay-Hunt ini harus dibedakan dari myringitis akut. Pada sindrom
Ramsay-Hunt, ada paralisis saraf perifer pada wajah, disertai dengan ruam
vesikuler eritematosa di telinga (oticus zoster) atau di dalam mulut, dan lepuh
terlihat dalam banyak kasus di daerah antihelix, fossa dari antihelix dan atau
lobulus. Dalam beberapa kasus lepuhan juga terlihat di dalam liang telinga.
Virus Varicella zoster adalah agent dari sindrom ini.

416.

417.

418. PENATALAKSANAAN

419. Prosedur penatalaksanaan miringitis

- Pembersihan kanalis auditorius eksterna


- Irigasi liang telinga untuk membuang debris (kontraindikasi bila status
membran timpani tidak diketahui)
- Timpanosintesis, yaitu pungsi kecil yang dibuat di membran timpani dengan
sebuah jarum untuk jalan masuk ke telinga tengah. Prosedur ini dapat
memungkinkan dilakukan kultur dan identifikasi penyebab inflamasi.
- Miringotomi, dimana pada otitis media akut miringotomi dan pembuangan
cairan mencegah terjadinya pecahnya membran timpani setelah bulging.
Tindakan ini menyembuhkan gejala lebih cepat, dan insisi sembuh dalam
waktu lebih cepat.
- Timpanostomi dengan insersi pipa ke telinga tengah memungkinkan drainase.
420.

421. Myringitomi atau insisi bulla

422. Pada beberapa dekade terakhir, telah direkomendasikan untuk dilakukan insisi
bulla sebagai terapi pilihan. Namun beberapa mengatakan bahwa myringotomi
dapat meningkatkan risiko infeksi sekunder pada telinga tengah. Miringotomi
ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani agar terjadi drainase sekret
dari telinga tengah ke liang telinga luar. Miringotomi ini merupakan indikasi
untuk kasus otitis media supuratif akut dengan eksudasi pada timpani.

423. Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan dengan


syarat tindakan ini harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak harus
tenang dan dapat dikuasai, sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik.
Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Untuk tindakan ini
haruslah memakai lampu kepala yang mempunyai sinar cukup terang, memakai
corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga, dan pisau khusus
(miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan steril.

424.

425. Medikamentosa

426. Prinsip pengobatan adalah meredakan nyeri dan mencegah terjadinya infeksi
sekunder. Penanganan miringitis bulosa terdiri dari pemberian analgetika untuk
nyeri dan memelihara kebersihan dan kekeringan telinga. Terapi konservatif
ditujukan untuk mengurangi rasa nyeri. Analgetik, obat anti-inflamasi,
antipruritics, antihistamin, dan antibiotik dapat diberikan. Dalam hal komplikasi
supuratif, membran timpani berlubang, atau kecurigaan dari mastoiditis,
dianjurkan konsultasi pada dokter ahli. Saran dari dokter ahli diperlukan untuk
memilih pengobatan yang sesuai dan untuk memastikan perawatan yang berhasil
pada myringitis kronis disertai dengan perforasi membran timpani. Pengobatan
khusus perforasi membran timpani meliputi:

- Larutan alkohol yang mengandung asam salisilat merangsang pertumbuhan


epitel yang sangat berguna jika tingkat pertumbuhan epithelium berkurang.
Namun, ketika kontak dengan mukosa telinga tengah, alkohol bisa
menyebabkan sakit telinga dan iritasi berlebihan mukosa dengan
meningkatnya sekresi lendir berikutnya.
- Larutan burowi dapat membantu menghilangkan peradangan pada mukosa
pada telinga tengah, tetapi dapat menyebabkan maserasi dari epidermis dalam
liang telinga.
427.

428. Pemberian antibiotik:

429. Lini I

- Amoksisilin
430. Dewasa = 3 x 500 mg/hari
431. Bayi/anak = 50 mg/kgBB/hari
- Eritromisin
432. Dosis dewa dan anak sama dengan dosis amoksisilin
- Cotrimoksazol
433. Dewasa = 2 x 2 tablet
434. Anak = TM 40 dan SMZ 200 mg
435. Suspensi 2 x 1 cth
436.

437. Lini II

438. Bila ditengarai oleh kuman yang sudah resisten (infeksi berulang)

439. - Kombinasikan amoksisilin dan asam klavulanat dengan dosis:

440. Dewasa = 3 x 625 mg/hari

441. Bayi.anak = disesuaikan dengan BB dan usia

442. - Sefalosporin II/III oral (cefuroksim, cefiksim, cefadroxyl, dsb)

443. Antibiotik diberikan 7-10 hari. Pemberian yang tidak adekuat dapat
menyebabkan kekambuhan.

444.
445. Pemberian kortikosteroid:

446. Prednison 40-60 mg/hari (single dose) diberikan pada pagi hari selama satu
minggu kemudian dosis diturunkan perlahan.

447.

448. Pemberian analgetik:

449. Dengan pemberian asetaminofen dengan kodein. Hasil yang baik didapat dari
penggunaan larutan asetil salisilat.

450.

451. Resep :

452. R/ amoksisilin tab 500mg No.I

453. S 3 dd I tab

454.

455. R/ prednison tab 40 mg No.I

456. S 1 dd I tab p.d. Sing

457.

458.
459.
460.
461.
462.
463.
464.
465.
466.
467.
468.
469.
470.
471. PAROTITIS
472.
473.

474.

475.

476.

477.

478. Disusun Oleh:

479. 1161050250 Mentari Setiawati

480. 1261050186 Christian J. Marulitua Sihotang


481.

482.

483. KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI DAN FARMASI


TERAPAN
484. PERIODE 13 JUNI 23 JULI 2016
485. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
486. JAKARTA
487.

488. PAROTITIS
489. Parotitis adalah infeksi kelenjar ludah/parotis dan saraf akut menular oleh
Paramyxovirus, pembesaran kelenjar ludah (pembengkakan sel epitel dan
penymbatan saluran). Kadang ada degenerasi dan nekrosis jaringan pankreas dan
nyeri. Menurut Hipokrates : bengkak, nyeri pada telinga dan pembesaran satu/dua
testis.
490.
491. Etiologi
492. Oleh Johnson dan Goodpasture. Untaian RNA tunggal terdiri dari 7
gena mengkode 7 protein, terbungkus selaput lemak dan protein, ukuran 100-600 nm,
panjang 15.000 nukleotida
493. Genus : Rubulavirus, subfamili Paramyxovirinae, famili Paramyxiviridae
494. Strain terdiri dari 10 genotipe : A-J, berbeda virulensi. Sifat virus sitopatik,
berhubungan dengan antigenik Myxovirus. Bisa diisolasi dari : saliva, LCS, darah,
urin, otak, dapat dikultur dari jaringan manusia dan kera
495.
496. Patofisiologi
Multiplikasi di saluran nafas lewat darah ke kelenjar ludah, jaringan yang rentan
Hipersensitivitas jaringan lokal oleh multiplikasi virus terjadi pembengkakan
Edema periduktal dan infiltrasi limfosit pada jaringan ikat
Kerusakan saluran : pembengkakan sel epitel, infiltrasi PMN, deskuamasi epitel
lengkap, lumen melebar
Pembengkakan sitoplasma sel epitel berisi badan inklusi basofilik, kerusakan pada
asinus
Testis : edema, kerusakan fokal epitel penutupan ektensif perivaskuler oleh limfosit,
tanpa gangguan spermatogenesis (epitel germinal normal)
497.
498. Manifestasi
Masa inkubasi 14-24 hr (puncak hari 17-18), riwayat kontak 2-3 minggu sebelumnya
Nyeri otot leher
Pembengkakan kelenjar parotis unilateral bilateral
Nyeri daerah parotis (terutama bila makan/ minum yang asam) & leher
Anoreksia, disfagia, trismus
Sakit kepala, muntah, malaise
Pembesaran kelenjar submandibularis & sublingualis
25-30% penderita nyeri ketika mengunyah atau menelan, terutama menelan cairan
asam (cth : jus jeruk)
Kelenjar liur disentuh, timbul nyeri
Suhu naik sampai 38,9-40 C
Pembengkakan terjadi pada hari kedua : berbentuk lonjong atau setengah lonjong
Gejala lain yang mungkin ditemukan :
Nyeri testis
Benjolan di testis
Pembengkakan skrotum
499.
500.
501.
502.
503.
504.
505.
506.
507.
508.
509.
510.
511.
512.
513.
514.
515.
516.
517.
518.
519.
520.
521. Komplikasi
Bisa terjadi setelah masa pubertas, sebelum, maupun selama sesudah kelenjar liur
membengkak, atau tanpa pembengkakan
Orkitis : peradangan pada salah satu atau kedua testis (setelah sembuh testis mungkin
akan menciut, jarang kerusakan permanen sehingga terjadi kemandulan)
Ovoritis : peradangan pada salah satu atau kedua indung telur (nyeri perut ringan dan
jarang mandul)
Ensefalitis atau meningitis (5-10%) : peradangan otak atau selaput otak (sakit
kepala, kaku kuduk, mengantuk, koma atau kejang, kebanyakan akan sembuh total). 1
per 400-6.000 penderita mengalami kerusakan otak atau saraf permanen (tuli, lumpuh
otot wajah)
Peradangan ginjal (air kemih kental dan jumlah banyak)
Miokarditis
Mastitis
522. Trombositopenia purpura
523.
524. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik dan manifestasi klinis
Faktor yang harus diperhatikan :
Riwayat kontak 2-3 minggu sebelumnya
Pembengkakan parotis dan keterlibatan kelenjar lain
Tanda meningitis aseptik
Laboratorium rutin : tidak spesifik menunjukkan leukopeni dengan limfositosis relatif
Bisa peningkatan CRP
Serologi : CF, HI, ELISA dan virus neutralisation
Isolasi virus
Amilase serum meningkat pada 70% kasus
PCR lebih sensitif dari ELISA
525.
526.
527.
528.
529. Diagnosis banding
Parotitis Supurativa
Radang kelenjar limfe leher
Salivary Calculus : sumbatan batu saluran parotis, yang sering ductus mandibular
Limfadenopati akibat radang di mulut & sekitarnya
Penyakit lain yang bergejala pembengkakan kelenjar parotid : Sarkoidosis, Sindrom
Uveoparotitis (Mickulic)
530.
531. Pencegahan
Vaksin hidup attenuated/dilemahkan. >90% menghasilkan antibodi. Reaksi : jarang
sekali.
Diberi sebagai MMR pada umur 15 bulan, dan booster pada umur 4-6 tahun atau 12
tahun
532.
533. Penatalaksanaan
Istirahat
Intake makanan & cairan cukup disesuaikan
Boleh kompres pembengkakan (dengan hangat atau dingin, sesuai keinginan pasien)
Analgetika dan antipiretika
Metampiron : >6th 250-500mg/x , max 2g/hr
Paracetamol 10-15 mg /kgBB/hr
534.
535. Edukasi
Karena terdapat gangguan menelan/mengunyah (makanan lunak dan hindari minuman
asam yang menimbulkan nyeri)
Daerah pipi/leher dikompres bergantian panas dan dingin
Aspirin tidak boleh diberikan (sindrom Reye)
Pembengkakan testis (tirah baring untuk mengurangi nyeri), bisa dikompres dengan
es batu
Mual dan muntah akibat pankreatitis, bisa diberikan cairan melalui infus
536.

Anda mungkin juga menyukai