Anda di halaman 1dari 4

ANATOMI APPENDIX

Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon).
Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix
vermiformis atau umbai cacing. Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium. Mesenterium ini
berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini
memungkinkan appendix dapat bergerak. Posisinya bisa di depan belakang kanan kiri yang akan
menyebabkan perbedaan gejala yang timbul jika terjadi peradangan
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang
n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus
FISIOLOGI APPENDIX
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem
kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke
appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis.
Appendiks menghasilkan lendir 1 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan
musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat
disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai
perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin
tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh
tubuh.

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing.

PENYEBAB Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Diantaranya adalah penyumbatan yang terjadi pada rongga apendiks. Obstruksi ini
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid,
benjolan/ tumor apendiks,penyempitan(striktur), benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di
atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi.
Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E.
histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan
terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.
PATOGENESIS
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding
apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya
obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama
mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun,
karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya
aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan
yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di
daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan
terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang
telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya
adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan dinding
apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan
parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan
tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

MANIFESTASI KLINIK
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa
mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa
jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam
dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan
adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan
obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.
Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis.
Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul
tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung
oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti
berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas
mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid
atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya
apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan
rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan
letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada
bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat
didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan
apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit
kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri
perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini.
Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas
juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut
kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka
kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak
apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan
pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil,
maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

DIAGNOSIS
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis masih mungkin
salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami
gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi,
radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis
meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam.
Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis
pada kasus yang meragukan.

TATA LAKSANA
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan
apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi.
Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama
kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini
merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu
sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan
terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan
apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis
serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi
antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

Anda mungkin juga menyukai