STRUMA NODUSA
Disusun Oleh :
Astari Ferlisa
1102012030
Pembimbing :
dr. H. Supriyono, Sp.B
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 31 tahun
Pekerjaan : Guru
Pendidikan : UNIV/PT
Agama : Islam
No CM : 06.2*.**
II. ANAMNESIS
Dilakukan autoananesis pada Senin, 30 januari 2017 pukul 06.30 WIB di Ruang
1. Keluhan Utama :
Pasien mengeluh teraba benjolan di daerah leher.
2. Keluhan Tambahan :
Benjolan dirasakan semakin lama semakin membesar.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik bedah RSUD cilegon desember 2016 dengan
keluhan terdapat benjolan pada daerah leher semenjak satu tahun yang lalu.
membesar di tempat yang sama. Benjolan ikut bergerak ketika menelan. Tidak
terdapat nyeri saat menelan. Tidak terdapat nyeri pada saat benjolan ditekan.
1
Tidak terdapat jantung berdebar. Pasien mengaku sering mengkonsumsi
makanan di pinggir jalan dan terdapat penurunan berat badan akhir akhir ini.
A Pemeriksaan umum
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 150/100 mmHg
- Respirasi : 24 x/menit
- Nadi : 80x/menit
- Suhu : 37o C
B Status Generalis
- Kepala : Normochepal
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil bulat isokor
Reflek cahaya (+/+)
- Telinga : Simetris kanan dan kiri, Serumen (-)
- Hidung : Discharge (-), Septum deviasi (-)
- Mulut : Sianosis (-) dan bibir tidak kering
- Leher : Inspeksi -> Bentuk normal, simetris, trachea ditengah,
Terlihat ada benjolan
Palpasi -> Teraba benjolan
- Thorax
a. Jantung
2
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS IV linea
midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas kanan atas ICS II LPS dextra
Batas kanan bawah ICS IV LPS dextra
Batas kiri atas ICS II LPS sinistra
Batas kiri bawah ICS V LMC sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular,murmur -/-, gallop-/-
b. Paru
Inspeksi : Pergerakan pernapasan simetris kanan & kiri,
Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
Fremitus vocal kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru-hepar ICS VI dextra
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Abdomen
Inspeksi : Perut datar dan simetris
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen dan asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+), nyeri tekan (-)
- Ektremitas
Superior : Edema (-/-) dan reflex fisiologis (+/+)
Inferior : Edema (-/-) dan reflex fisiologis (+/+)
C Status Lokalis
Regio Colli
1. Inspeksi : Tampak benjolan di medial
Diameter benjolan 4cm
Tidak terlihat hiperemis
Warna sama dengan kulit
3
Hemoglobin 12.4 g/ dL 12.0 14.0
Hematokrit 38.3 % 37.0 43.0
Eritrosit 4.77 106/ uL 4.00 5.00
MCV/VER 80.3 Fl 82.0 92.0
MCH / HER 26.0 pg 27.0 31.0
MCHC / KHER 32.4 g/dl 32.0 36.0
Leukosit 5.88 103/uL 5.00 10.00
Trombosit 250 103/uL 150 - 400
Golongan darah O
Rhesus Positif
Masa pendarahan 2.00 menit 1.00 6.00
Masa pembekuan 11.00 menit 10 - 15
Glukosa Sewaktu 169 mg/ dl <200
HBsAg Non reaktif Non reaktif
Anti HIV penyaring rapid Non reaktif Non reaktif
YANG TOTAL TOTAL
V. RESUME
Anamnesis
Pasien datang ke poliklinik bedah RSUD cilegon desember 2016 dengan
keluhan terdapat benjolan pada daerah leher semenjak satu tahun yang lalu.
4
membesar di tempat yang sama. Benjolan ikut bergerak ketika menelan. Tidak
terdapat nyeri saat menelan. Tidak terdapat nyeri pada saat benjolan ditekan.
makanan di pinggir jalan dan terdapat penurunan berat badan akhir akhir ini.
VIII. PENATALAKSANAAN
Pre operasi :
- Inj Cefotaxim 1 gr
- IVFD RL 20 TPM
- Pasien dipuasakan
5
Pro operasi:
- Isthmolobektomi
Pasca operasi :
- IVFD RL 20 TPM
- Inj Ketolorac 3 x 1 amp
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- As. Mefenamat 3 x 500 mg
- Drain terpasang (Pemantauan produksi drain)
- Cek PA
- Latihan Berjalan
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
Follow Up
6
A/ Struma nodusa non toxic pre op
P/ - IVFD RL 20 TPM
- Ceftriaxon 1 amp
- Puasa
31 Januari 2017 S/ Os mengeluh pusing, lemas, suara serak
Ruang Bougenville
(sulit berbicara) & nyeri pada bekas luka
operasi
pada kassa
Drainase terisi darah +/- 50 cc
Nyeri pada palpasi bekas luka
pada kassa
7
Tidak ada cairan pada drain
Nyeri pada palpasi bekas luka
BAB I
PENDAHULUAN
8
pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari
1.000 pria.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang
anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali
sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu
penyakit atau kelainan.
2.1 Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan
isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian keempat
yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis tengah.
Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.
9
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 30 gram dan terletak antara tiroidea
dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang
disebut true capsule.
10
Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal
tiroid sebelum masuk ke laring.
11
BAB III
PEMBAHASAN
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,
seperti yang ditemukan pada Graves disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah
satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.
12
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid
Tremor
Diare
Exophtalmus
13
Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :
Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah
Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan
tungkai
3.1 Struma Difusa Toksik
3.1.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit ini juga
biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,
hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda
dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan
adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa
exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak
diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap
reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit
ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
14
3.1.2 Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat.
3.1.3 Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas.
Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali
asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat
badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac
output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi
meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan
mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom
dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan
fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit
tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu.
15
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang
tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya
cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan
elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor
pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan
lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata
terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata
akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.
Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves
3.1.4 Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
16
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus
yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia
dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun
dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka
disebut juga Plummers disease.
3.2.2 Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid
yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam
15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah
menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon
tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
3.2.3 Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan
Plummers disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
3.2.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan Graves
yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
17
3.3.2 Patofisiologi
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya
dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid.
Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun
pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi
oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk
folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan
terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel
dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.
18
3.3.3 Gejala Klinis
Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar
tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi
mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak
dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.
3.3.4 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama
4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian
tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga
mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan
operatif.
3.4.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang
yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang
belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
3.4.3 Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
19
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
3.4.4 Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam
teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus
3.5 Karsinoma Tiroid
3.5.1 Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel)
yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang
memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang
menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)
dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa
disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan
membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup
banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.
20
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-25 %
dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas 40
tahun.Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada
pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko jenis
keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.
3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari kanker
tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis terjadi secara cepat,
mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang yang
hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker
ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan hidup setelah
ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik diantara
kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling
sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering ketempat jauh
seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin
karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.
21
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan
di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau
hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih
jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan
menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada
tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan
tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecendrungan
ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-
gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo
dan ada tidaknya benjolan di leher.
3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-
tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar
adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien
diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak
saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan
pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :
- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
22
Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis
pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral
biasanya menjadi pilihan.
23
trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher
yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan
terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring
terjadi kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita
menjadi lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi,
karena terjadi pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M.
Krikotiroid. Kemungkinan nervus terligasi saat operasi
BAB IV
KESIMPULAN
Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting
untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk
mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat
diketahui secara dini.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis
pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh
pasie. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam
jangka waktu tertentu.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Sjamsoehidajat and Wim de Jong, Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, EGC,
Jakarta, 2010, Hal 807-808
25