Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

STRUMA NODUSA

Disusun Oleh :
Astari Ferlisa
1102012030

Pembimbing :
dr. H. Supriyono, Sp.B

DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI SALAH SATU


PERSYARATAN TUGAS KEPANITERAAN DI BAGIAN ILMU
BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON 2017

LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. N

Umur : 31 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Guru

Pendidikan : UNIV/PT

Alamat : Jl. Plorida RT/RW 004/004, Link Baru

Status pernikahan : Menikah

Agama : Islam

Tanggal masuk RS/ Jam : Minggu, 29 Januari 2017/ 17.00

No CM : 06.2*.**

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoananesis pada Senin, 30 januari 2017 pukul 06.30 WIB di Ruang

Bangsal Bougenville kamar 6 RSUD Cilegon.

1. Keluhan Utama :
Pasien mengeluh teraba benjolan di daerah leher.
2. Keluhan Tambahan :
Benjolan dirasakan semakin lama semakin membesar.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik bedah RSUD cilegon desember 2016 dengan

keluhan terdapat benjolan pada daerah leher semenjak satu tahun yang lalu.

Awalnya benjolan yang muncul berukuran kecil, semakin lama semakin

membesar di tempat yang sama. Benjolan ikut bergerak ketika menelan. Tidak

terdapat nyeri saat menelan. Tidak terdapat nyeri pada saat benjolan ditekan.

1
Tidak terdapat jantung berdebar. Pasien mengaku sering mengkonsumsi

makanan di pinggir jalan dan terdapat penurunan berat badan akhir akhir ini.

Mual muntah disangkal. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi setelah

proses persalinan caesar.


4. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pada tahun 2012 pasien pernah memiliki benjolan di leher (tempat yang sama
dengan keluhan sekarang) dan sudah di lakukan operasi. Benjolan berukuran
kurang lebih 3 cm dan tidak membesar. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien
mengatakan benjolan di leher tersebut didiagnosis hipertiroid. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi obat obatan ataupun makanan.

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada riwayat penyakit seperti pasien dalam keluarga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 30 Januari 2017 pada pukul 06.30 WIB.

A Pemeriksaan umum
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 150/100 mmHg
- Respirasi : 24 x/menit
- Nadi : 80x/menit
- Suhu : 37o C

B Status Generalis
- Kepala : Normochepal
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil bulat isokor
Reflek cahaya (+/+)
- Telinga : Simetris kanan dan kiri, Serumen (-)
- Hidung : Discharge (-), Septum deviasi (-)
- Mulut : Sianosis (-) dan bibir tidak kering
- Leher : Inspeksi -> Bentuk normal, simetris, trachea ditengah,
Terlihat ada benjolan
Palpasi -> Teraba benjolan
- Thorax
a. Jantung

2
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS IV linea
midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas kanan atas ICS II LPS dextra
Batas kanan bawah ICS IV LPS dextra
Batas kiri atas ICS II LPS sinistra
Batas kiri bawah ICS V LMC sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular,murmur -/-, gallop-/-

b. Paru
Inspeksi : Pergerakan pernapasan simetris kanan & kiri,
Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
Fremitus vocal kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru-hepar ICS VI dextra
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

- Abdomen
Inspeksi : Perut datar dan simetris
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen dan asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+), nyeri tekan (-)

- Ektremitas
Superior : Edema (-/-) dan reflex fisiologis (+/+)
Inferior : Edema (-/-) dan reflex fisiologis (+/+)

C Status Lokalis
Regio Colli
1. Inspeksi : Tampak benjolan di medial
Diameter benjolan 4cm
Tidak terlihat hiperemis
Warna sama dengan kulit

2. Palpasi : Nyeri tekan (-)


Konsistensi lunak
Ukuran 3 cm x 1.5 cm
Warna tidak kemerajm
Permukaan licin
Batas tegas
Gerak : mobile pada saat menelan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium darah ( 27 Januari 2017)
Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan

3
Hemoglobin 12.4 g/ dL 12.0 14.0
Hematokrit 38.3 % 37.0 43.0
Eritrosit 4.77 106/ uL 4.00 5.00
MCV/VER 80.3 Fl 82.0 92.0
MCH / HER 26.0 pg 27.0 31.0
MCHC / KHER 32.4 g/dl 32.0 36.0
Leukosit 5.88 103/uL 5.00 10.00
Trombosit 250 103/uL 150 - 400
Golongan darah O
Rhesus Positif
Masa pendarahan 2.00 menit 1.00 6.00
Masa pembekuan 11.00 menit 10 - 15
Glukosa Sewaktu 169 mg/ dl <200
HBsAg Non reaktif Non reaktif
Anti HIV penyaring rapid Non reaktif Non reaktif
YANG TOTAL TOTAL

Laboratorium darah (29 Januari 2017)


Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan
PT Pasien 12.4 g/ dL 12.0 14.0
Kontrol 38.3 % 37.0 43.0
MCH / HER 26.0 pg 27.0 31.0
MCHC / KHER 32.4 g/dl 32.0 36.0
Leukosit 5.88 103/uL 5.00 10.00
SGOT 48 U/L < 31
SGPT 62 U/L < 33
Albumin 4.20 g/dl 3.5 5.2
Ureum darah 14 mg/dl < 50
Kreatinin darah 0.50 mg/dl 0.60 1.20
Natrium darah 140.8 mEq/L 132 - 147
Kalium darah 4.22 mEq/L 3.30 5.40
Klorida darah Non reaktif Non reaktif
Anti HCV

V. RESUME
Anamnesis
Pasien datang ke poliklinik bedah RSUD cilegon desember 2016 dengan

keluhan terdapat benjolan pada daerah leher semenjak satu tahun yang lalu.

Awalnya benjolan yang muncul berukuran kecil, semakin lama semakin

4
membesar di tempat yang sama. Benjolan ikut bergerak ketika menelan. Tidak

terdapat nyeri saat menelan. Tidak terdapat nyeri pada saat benjolan ditekan.

Tidak terdapat jantung berdebar. Pasien mengaku sering mengkonsumsi

makanan di pinggir jalan dan terdapat penurunan berat badan akhir akhir ini.

Mual muntah disangkal. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi setelah

proses persalinan caesar.


Pada tahun 2012 pasien pernah memiliki benjolan di leher (tempat yang

sama dengan keluhan sekarang) dan sudah di lakukan operasi. Benjolan

berukuran kurang lebih 3 cm dan tidak membesar. Berdasarkan hasil anamnesis,

pasien mengatakan benjolan di leher tersebut didiagnosis hipertiroid. Pasien

tidak memiliki riwayat alergi obat obatan ataupun makanan.


Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 150/100 mmHg
- Respirasi : 24 x/menit
- Nadi : 80x/menit
- Suhu : 37o C
- Status generalis : Teraba massa pada palpasi regio coli

VI. DIAGNOSIS KERJA


Struma nodusa non toxic sinistra T3NoMx

VII. DIAGNOSIS BANDING


Limfoma
Timoma
Tumor dermoid

VIII. PENATALAKSANAAN
Pre operasi :
- Inj Cefotaxim 1 gr
- IVFD RL 20 TPM
- Pasien dipuasakan

5
Pro operasi:
- Isthmolobektomi

Pasca operasi :
- IVFD RL 20 TPM
- Inj Ketolorac 3 x 1 amp
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- As. Mefenamat 3 x 500 mg
- Drain terpasang (Pemantauan produksi drain)
- Cek PA
- Latihan Berjalan

IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
Follow Up

30 Januari 2017 S/ Os tidak memiliki keluhan, pasien


(Ruang bougenville)
sudah dipuasakan untuk persiapan operasi.

O/ KU : Tampak sakit sedang


KS : Compos mentis
TD : 150/100 mmHg
N : 60 x/ min
RR : 24 x/min
S : 37OC
STATUS LOKALIS
Regio coli
I : Tidak ada kelainan
P : Teraba massa lunak, berukuran 3

x 1.5 cm, warna tidak ada

kemerahan, permukaan licin, tidak

terdapat nyeri tekan, batas tegas dan

ikut bergerak jika menelan.

6
A/ Struma nodusa non toxic pre op
P/ - IVFD RL 20 TPM
- Ceftriaxon 1 amp
- Puasa
31 Januari 2017 S/ Os mengeluh pusing, lemas, suara serak
Ruang Bougenville
(sulit berbicara) & nyeri pada bekas luka

operasi

O/ KU : Tampak sakit sedang


KS : Compos mentis
TD : 120/80 mmHg
N : 84 x/ min
RR : 20 x/min
S : 36OC
STATUS LOKALIS
Regio coli
Tidak ada rembesan darah dan pus

pada kassa
Drainase terisi darah +/- 50 cc
Nyeri pada palpasi bekas luka

A/ Struma nodusa non toxic post op H+1


P/ - IVFD RL 20 TPM
- Pengantian drain
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- As. Mefenamat 3 x 500 mg
- Inj Ketolorac 3 x 1 amp
1 Febuari 2017 S/ Os masih serak, suara kecil. Sedikit nyeri
Ruang Bougenville
pada bekas luka operasi

O/ KU : Tampak sakit sedang


KS : Compos mentis
TD : 110/80 mmHg
N : 85 x/ min
RR : 20 x/min
S : 36OC
STATUS LOKALIS
Regio coli
Tidak ada rembesan darah dan pus

pada kassa

7
Tidak ada cairan pada drain
Nyeri pada palpasi bekas luka

A/ Struma nodusa non toxic post op H+2


P/ - IVFD RL 20 TPM
- Pelepasan drain
- Inj Ketolorac 3 x 1 amp
- Pasien dipulangkan

BAB I
PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan


jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan
perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Struma
merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme
dapat didiagnosis secara tepat.
Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan
lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding

8
pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari
1.000 pria.

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang
anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali
sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu
penyakit atau kelainan.
2.1 Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan
isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian keempat
yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis tengah.
Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.

9
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 30 gram dan terletak antara tiroidea
dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang
disebut true capsule.

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :


. 1) A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa
2) A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3) A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta

10
Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal
tiroid sebelum masuk ke laring.

2.2 Fisiologi Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan hormon
Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah sebagian besar T3
dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin (TBPA)
dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam
darah dan berperan dalam mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh
thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise
dan pelepasannya dipengaruhi oleh thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar
thyroid juga mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat menurunkan
kalsium serum berpengaruh pada tulang.
Fungsi hormon tiroid antara lain :
1) meningkatkan kecepatan metabolisme
2) efek kardiogenik
3) simpatogenik
4) pertumbuhan dan sistem saraf

11
BAB III
PEMBAHASAN
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,
seperti yang ditemukan pada Graves disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah
satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.

12
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :


1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi
dengan cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikian
juga dengan kelenjar tiroid pada saat pertumnuhan akan dipacu untuk
bekerja memproduksi hormon tiroksin sehingga lama kelamaan akan
membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.
2) Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut,
tiroiditis subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)
3) Neoplasma
Jinak dan ganas
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon
tiroid di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar
berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa
disebut hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :

Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan

Tidak tahan panas dan hiperhidrosis

Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga


menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam jangka
panjang dapat menjadi fibrilasi atrium

Tremor

Diare

Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria

Exophtalmus

13
Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :

Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah

Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik

Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah

Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan
tungkai
3.1 Struma Difusa Toksik
3.1.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit ini juga
biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,
hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda
dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan
adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa
exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak
diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap
reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit
ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.

Gambar : penderita penyakit Graves

14
3.1.2 Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat.
3.1.3 Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas.
Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali
asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat
badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac
output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi
meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan
mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom
dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan
fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit
tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu.

15
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang
tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya
cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan
elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor
pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan
lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata
terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata
akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.
Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves

3.1.4 Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.2 Struma Nodosa Toksik


3.2.1 Definisi

16
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus
yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia
dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun
dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka
disebut juga Plummers disease.
3.2.2 Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid
yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam
15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah
menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon
tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
3.2.3 Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan
Plummers disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
3.2.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan Graves
yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.3 Struma Difusa Nontoksik


3.3.1 Definisi
Struma endemik Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan
pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan
berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter
diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah dasar/preadolescent
(6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi karena
defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan,
seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan
pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik

17
3.3.2 Patofisiologi

Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya


defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan
sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter
seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin
menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari
sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran
ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut
kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi
iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada.
Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid
mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.

Goiter Difus

Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya
dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.

Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.

Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.

Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid.
Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun
pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi
oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk
folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan
terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel
dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.

18
3.3.3 Gejala Klinis
Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar
tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi
mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak
dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.
3.3.4 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama
4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian
tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga
mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan
operatif.

3.4 Struma Nodosa Nontoksik


3.4.1 Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma
nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang
menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda
toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa
nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-
tanda keganasan yang mungkin ada.

3.4.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang
yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang
belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
3.4.3 Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala

19
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.

3.4.4 Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam
teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus
3.5 Karsinoma Tiroid
3.5.1 Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel)
yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang
memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang
menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)
dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa
disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan
membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup
banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.

3.5.2 Klasifikasi karsinoma tiroid


1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis paling
umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih
banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan ini.
Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau sebagai pembesaran
kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe ke daerah lain pada
tiroid atau, pada beberapa kasus, ke paru.

20
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-25 %
dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas 40
tahun.Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada
pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko jenis
keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.
3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari kanker
tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis terjadi secara cepat,
mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang yang
hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker
ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan hidup setelah
ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik diantara
kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling
sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering ketempat jauh
seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin
karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.

3.5.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas


Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul
tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan
kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul
yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang
sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul
ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan
enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama
yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berrys Sign)
3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma
3.5.1 Anamnesis

21
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan
di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau
hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih
jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan
menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada
tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan
tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecendrungan
ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-
gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo
dan ada tidaknya benjolan di leher.
3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-
tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar
adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien
diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak
saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan
pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :
- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid
terbagi atas :
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan
teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau
plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-
120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-
1,7 ng/dl.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan
pada serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti
antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating hormone antibody
3. Pemeriksaan radiologis

22
Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis
pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral
biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,


membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya
jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat
dengan scanning tiroid.

Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131


yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian
tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24
jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold
nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan
dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah
dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm
nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi
yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot
nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih
dan jarang pada neoplasma.
4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini
perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif
hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
3.5.4 Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang
belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya.
Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi

23
trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher
yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan
terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring
terjadi kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita
menjadi lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi,
karena terjadi pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M.
Krikotiroid. Kemungkinan nervus terligasi saat operasi
BAB IV
KESIMPULAN
Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting
untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk
mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat
diketahui secara dini.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis
pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh
pasie. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam
jangka waktu tertentu.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Sjamsoehidajat and Wim de Jong, Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, EGC,
Jakarta, 2010, Hal 807-808

2. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor


Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.
3. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme : Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757-778.
4. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,
Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
5. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

25

Anda mungkin juga menyukai