TINJAUAN PUSTAKA
1. Berpencar (diverging)
4
2. Bergabung (merging)
3. Bersilang (weaving)
4. Berpotongan (crosing)
5
1. Sudut simpang harus mendekati 900, dan sudut yang lain dihindari demi
keamanan lalu lintas.
2. Harus disediakan fasilitas agar gerakan blokir kiri dapat dilepaskan dengan
konflik yang terkecil terhadap gerakan kendaraan yang lain.
3. Lajur terdekat dengan kerb harus lebih lebar dari yang biasa untuk
memberikan ruang bagi kendaraan tak bermotor.
4. Lajur membelok yang terpisah sebaiknya direncanakan menjauhi garis
utama lalu lintas, panjang lajur membelok harus cukup mencegah antrian
terjadi pada kondisi arus tertinggi yang dapat menghambat lajur terus.
5. Pulau lalu lintas tengah harus digunakan bila lebar jalan lebih dari 10 m untuk
memudahkan pejalan kaki menyebrang.
6. Jika jalan utama mempunyai median, sebaiknya paling sedikit lebarnya 34
m, untuk memudahkan kendaraan dari jalan kedua menyebrang dalam dua
langkah (tahap).
7. Daerah konflik simpang sebaiknya kecil dan dengan lintasan yang jelas bagi
gerakan yang berkonflik.
6
2. Semakin banyak fase yang digunakan maka kapasitas simpang akan semakin
berkurang.
3. Diperlukan biaya yang lebih besar untuk pembuatan simpang bersinyal
dibandingkan dengan simpang tak bersinyal.
Persimpangan adalah faktor utama dalam menentukan kapasitas jaringan jalan
terutama di perkotaan. Idealnya, persimpangan diatur secara berhirarki berdasarkan
volume lalu lintas yang melewatinya. Hirarki pengaturan adalah tanpa pengaturan,
prioritas, bundaran, lampu lalu lintas dan persimpangan tidak sebidang untuk volume
tertinggi atau persilangan antara jalan utama dengan rel kereta api (Dirjen
Perhubungan Darat, 1998). Penjelasan hirarki pengendalian persimpangan yang dapat
berdasarkan volume lalu lintas adalah:
1. Apabila pada arus minor kendaraan/hari kurang dari 9.000 kend/hari dan arus
mayor kurang dari 45.000 kend/hari maka digunakan persimpangan prioritas.
2. Apabila pada arus minor kendaraan/hari lebih dari 9.000kend/hari dan kurang
dari 12.000 kend/hari sedangkan di arus mayor kurang dari 40.000 kend/hari
maka digunakan pengaturan lalu lintas dengan bundaran.
3. Apabila pada arus minor kendaraan/hari lebih dari 12.000 kend/hari, maka
digunakan pengaturan menggunakan persimpangan tidak sebidang.
Beberapa cara mengatasi masalahmasalah kemacetan lalu lintas pada
persimpangan baik bersinyal maupun tak bersinyal sebagai berikut (Departemen PU,
1997):
1. Dengan rambu lalu lintas atau marka jalan STOP pada jalan minor dengan
maksud memberikan memberikan prioritas bagi lalu lintas pada jalan mayor.
2. Melalui penegakan aturan hak jalan lebih dulu dari kiri.
3. Pengaturan oleh polisi ada jamjam tertentu saja, seperti pada jamjam sibuk.
4. Pulaupulau lalu lintas dan bundaran, digunakan apabila lebar jalan lebih dari
10 m untuk memudahkan pejalan kaki menyebrang, dapat juga memisahkan
titiktitik konflik arus lalu lintas sehingga pengendara dapat secara cepat
mengambil keputusan, mengikuti arah mana yang akan diambil.
5. Dengan alat pemberi isyarat lalu lintas pada persimpangan.
Yang dijadikan kriteria bahwa suatu persimpangan sudah harus dipasang alat
pemberi isyarat lalu lintas adalah (Dirjen Perhubungan Darat, 1998):
7
1. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan ratarata di atas
750 kendaraan/hari selama 8 jam secara kontinu.
2. Waktu tunggu atau hambatan ratarata kendaraan di persimpangan telah
melampaui 30 detik.
3. Persimpangan digunakan oleh ratarata lebih dari 175 pejalan kaki/jam
selama 8 jam secara kontinu.
4. Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.
5. Merupakan kombinasi dari sebabsebab tersebut di atas.
6. Atau, karena pada daerah yang bersangkutan dipasang suatu sistem
pengendalian lalu lintas terpadu (Area Traffic Control/ATC), sehingga setiap
persimpangan yang termasuk didalam daerah yang bersangkutan harus
dikendalikan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas.
Syaratsyarat tersebut diatas tidak baku dan dapat disesuaikan situasi dan
kondisi setempat.
8
3. Kondisi lingkungan: ukuran kota, tipe lingkungan dan kelas hambatan
samping.
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Nilai kapasitas dasar (smp/jam)
Fw = Faktor koreksi lebar masuk
Fm = Faktor koreksi median jalan utama
Fcs = Faktor koreksi ukuran kota
Frsu = Faktor koreksi tipe lingkungan dan hambatan samping
Flt = Faktor koreksi prosentase belok kiri
Frt = Faktor koreksi prosentase belok kanan
Fmi = Faktor koreksi rasio arus jalan minor
1. Kapasitas Dasar (CO)
9
Nilai kapasitas dasar ditentukan menurut tipe simpang berdasarkan Tabel 2.2
di bawah ini:
10
Faktor penyesuaian median jalan utama diperoleh dengan menggunakan Tabel
2.3 berikut:
Tabel 2. 3 Faktor penyesuaian median utama (Fm)
11
0,9 0,9 0,8 0,8 0,7
5 0 6 1 6
12
Gambar 2.4 Faktor penyesuaian belok kanan
Sumber: Departemen PU, (1997)
8. Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Simpang (FMI)
Rasio penyusunan terhadap rasio arus jalan yang ditinjau dapat ditentukan dari
gambar di bawah ini:
13
QTOT
C
DS = (2.2)
Dimana:
QTOT = Arus total sesungguhnya (smp/jam) dari formulir USIG II
C = Kapasitas sesungguhnya dari formulir USIG II
14
Gambar 2.7 Tundaan rata rata jalan utama DMA (det/smp)
Sumber: Departemen PU, (1997)
Batas nilai peluang antrian (QP%) ditentukan dari hubungan empiris antara
peluang antrian (QP%) dengan derajat kejenuhan (DS) pada gambar:
15
Gambar 2.8 Batas batas antrian QP (%) terhadap derajat kejenuhan DS
Sumber: Departemen PU,(1997)
Cara yang paling tepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat derajat
kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati dan membandingkannya dengan
pertumbuhan lalu lintas tahanan dan umur fungsional yang diinginkan dari simpang
tersebut. Jika derajat kejenuhan yang diperoleh terlalu tinggi, maka diperlukan
perubahan asumsi yang terkait dengan penampang melintang jalan dan sebagainya
serta perlu diadakan perhitungan ulang. Jika untuk penilaian operasional
persimpangan, maka nilai derajat kejenuhan yang tinggi mengindikasikan
ketidakmampuan persimpangan dalam mengatasi jumlah kendaraan yang dilewatkan.
Penilaian perilaku lalu lintas dapat juga dilakukan dengan mengetahui tundaan
kendaraan yang terjadi pada persimpangan yang ditinjau. Nilai DS<0,75 adalah nilai
yang masih ditoleransi. Jika nilai DS>0,75 maka simpang tersebut perlu di evaluasi.
16
1. Untuk memisahkan lintasan dari gerakan gerakan lintasan yang saling
berpotongan dalam kondisi dan waktu yang sama. Hal ini adalah keperluan
mutlak bagi gerakan gerakan lalu lintas yang datang dari jalan jalan
yang saling berpotongan (konflik konflik utama).
2. Memisahkan gerakan membelok dari lalu lintas lurus melawan, atau untuk
memisahkan gerakan lalu lintas membelok dari pejalan kaki yang
menyebrang jalan (konflik konflik kedua).
Gambar 2.9 Konflik konflik utama dan kedua pada simpang bersinyal
dengan empat lengan
Sumber: Departemen PU,(1997)
Sedangkan untuk konflik konflik utama dan kedua, ada simpang dengan tiga lengan
seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
17
Gambar 2.10 Konflik utama dan kedua pada simpang dengan tiga lengan
Sumber: Departemen PU, (1997)
Jika hanya konflik konflik utama yang dipisahkan maka kemungkinan untuk
mengatur sinyal lampu lalu lintas dengan dua fase. Masing masing sebuah fase
untuk jalan yang berpotongan, metode ini selalu dapat diterapkan jika gerak belok
kanan dalam suatu persimpangan tidak dilarang. Karena pengaturan dua fase
memberikan kapasitas tertinggi dalam beberapa kejadian, maka pengaturan tersebut
disarankan sebagai dasar dalam kebanyakan analisa lampu lalu lintas.
Jika pertimbangan keselamatan lalu lintas atau pembatasan kapasitas
memerlukan pemisahan satu atau lebih gerakan belok kanan, maka banyaknya fase
harus ditambah. Penggunaan kebih dari dua fase biasanya akan menambah waktu
siklus dan rasio waktu yang disediakan untuk pergantian antar fase. Walaupun hal ini
memberikan suatu keuntungan dari sisi keselamatan lalu lintas pada umumnya,
berarti bahwa setiap kapasitas seluruh dari simpang tersebut akan berkurang.
Sebagian besar fasilitas jalan, kapasitas dan perilaku lalu lintas adalah fungsi
dari keadaan geometrik dan tuntutan lalu lintas. Dengan menggunakan sinyal,
perancang dapat mendistribusikan kapasitas jalan kepada berbagai pendekat melalui
alokasi waktu hijau pada tiap pendekat. Sehingga untuk menghitung kapasitas dan
perilaku lalu lintas, pertama tama perlu ditentukan fase dan waktu signal yang
paling sesuai pada kondisi yang ditinjau.
18
Terdapat beberapa pengaturan lalu lintas dan pengatur lalu lintas pada
persimpangan (Departemen PU, 1997):
1. Pengaturan waktu tetap
Pengaturan waktu tetap umumnya dipilih bila simpangan tersebut
merupakan bagian dari sistem sinyal lalu lintas terkoordinasi.
2. Pengaturan sinyal semi aktuasi
Pengaturan sinyal semi aktuasi (detektor hanya dipasang pada jalan minor
atau tombol penyeberangan pejalan kaki) umumnya dipilih bila simpang
tersebut tunggal dan terdiri dari sebuah jalan minor atau penyeberangan
pejalan kaki dan berpotongan dengan sebuah jalan arteri utama. Pada
keadaan ini sinyal selalu hijau untuk jalan utama bila tidak ada kebutuhan
dari jalan minor.
3. Pengaturan total aktuasi
Pengaturan sinyal total aktuasi adalah moda pengaturan yang paling efisien
untuk simpang tunggal diantara jalan-jalan dengan kepentingan dan
kebutuhan lalu lintas yang sama atau hampir sama.
4. Pengaturan sinyal terkoordinasi
Pengaturan ini umumnya diperlukan bila jarak antara simpang bersinyal
yang berdekatan adalah kecil (kurang dari 100 m).
5. Fase sinyal
Fase sinyal umumnya mempunyai dampak yang besar pada tingkat kinerja
dan keselamatan lalu lintas sebuah simpang daripada jenis pengaturan.
Waktu hilang sebuah simpang bertambah dan rasio hijau untuk setiap fase
berkurang bila fase tambahan diberikan. Maka sinyal akan efisien bila
dioperasikan hanya dengan dua fase, yaitu hanya waktu hijau untuk konflik
utama dipisahkan. Tetapi dari sudut keselamatan lalu lintas, angka
kecelakaan umumnya berkurang bila konflik utama antara lalu lintas belok
kanan dipisahkan dengan lalu lintas terlawan, yaitu dengan fase sinyal
terpisah untuk lalu lintas belok kanan.
6. Fase dan lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan
Fase dan lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan disarankan terutama
pada keadaan-keadaan berikut:
19
a. Pada jalan-jalan arteri dengan batas kecepatan diatas 50 km/jam,
kecuali bila jumlah kendaraan belok kanan kecil sekali (kurang dari 50
kendaraan/jam per arah).
b. Bila terdapat lebih dari satu lajur terpisah untuk lalu lintas belok
kanan pada salah satu pendekat.
c. Bila arus belok kanan selama jam puncak melebihi 200 kendaraan/jam
dan keadaan berikut dijumpai:
1) Jumlah lajur mencukupi kebutuhan kapasitas untuk lalu lintas lurus
dan belok kiri sehingga lajur khusus lalu lintas tidak diperlukan.
2) Jumlah kecelakaan untuk kendaraan belok kanan di atas normal
dan usaha-usaha keselamatan lainnya yang tidak dapat diterapkan.
7. Belok kiri langsung
Belok kiri langsung sedapat mungkin digunakan bila ruang jalan yang
tersedia mencukupi untuk belok kiri melewati antrian lalu lintas lurus dari
pendekat yang sama dan dengan aman bersatu dengan arus lalu lintas lurus
dari fase lainnya yang masuk ke lengan simpang yang sama.
Adalah salah satu alat (instrument) untuk mengontrol arus lalu lintas di suatu
simpang jalan sebidang dengan memberikan prioritas bagi masing-masing pergerakan
lalu lintas secara beruntun atau bergantian dalam suatu periode waktu untuk
memerintahkan para pengemudi untuk berhenti atau berjalan. Alat ini menggunakan
indikasi lampu hijau, kuning dan merah. Keberhasilan suatu Alat Pemberi Isyarat
Lampu Lalu Lintas (APILL) sebagai alat pengendali persimpangan tergantung dari
unsur alat pengatur (controller) yang digunakan, yang merupakan otot (hardware)
dari semua program waktu tergantung kemampuan dari pengatur waktu tetap
(pretimed controller) dan alat pengatur waktu otomatis (actuated controller). Pada
umumnya di Indonesia menggunakan tipe alat pengatur waktu tetap (pretimed
controller) adalah panjang waktu siklus sudah ditetapkan lebih awal untuk masing-
masing program waktu untuk setiap harinya sebagai input alat pengatur (controller).
Alat pengatur waktu tetap dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Alat pengatur waktu tetap dengan program tunggal (single)
20
Alat pengatur waktu tetap adalah perangkat elektronik yang digunakan
untuk memprogram rencana penyalaan (timing plan) alat pemberi isyarat
lalu lintas (APILL). Alat pengatur ini memiiki kemampuan terbatas yaitu
hanya satu program dalam waktu sehari untuk mengalirkan beban arus lalu
lintas yang bergerak dari setiap kaki persimpangan sangat berubah-ubah
setiap jam dalam sehari. Inilah kelemahan dari alat pengatur ini, alat ini
hanya cocok digunakan untuk volume lalu lintas yang rendah dan tetap
sepanjang hari, harga APILL ini juga relatif murah.
2. Alat pengatur waktu tetap dengan program banyak (multi)
Perkembangan terbaru sebagai pengembangan alat pengatur waktu tetap
program tunggal adalah alat pengatur waktu tetap dengan program banyak
(multi). Alat pengatur ini relatif fleksibel dan memiliki kemampuan cukup
baik, yaitu memiliki program waktu lebih dari 8-10 rencana penyalaan
(timing plan) waktu siklus ditambah flashing yang sehari dan jumlah fase
yang dapat diatur sesuai dengan keinginan. Rencana penyalaan untuk hari
tertentu dan hari khusus dapat diprogramkan.
Lalu lintas pada suatu persimpangan yang diatur dengan alat pemberi isyarat
lalu lintas harus mematuhi aturan yang disampaikan oleh isyarat lampu tersebut.
Keberhasilan dari pengaturan ini dengan alat pemberi isyarat lalu lintas ditentukan
dengan berkurangnya penundaan waktu untuk melalui persimpangan (waktu antri
yang minimal) dan berkurangnya angka kecelakaan pada persimpangan yang
bersangkutan.
2.7 Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang
2.7.1 Waktu Antar Hijau (IG)
Waktu antar hijau adalah periode kuning + merah semua antara dua fase
sinyal yang berurutan (Departemen PU, 1997). Maksud dari periode antar hijau
diantara dua fase yang berurutan adalah untuk:
1. Memperingati lalu lintas yang sedang bergerak bahwa fase telah berakhir.
2. Menjamin agar kendaraan yang terakhir pada fase hijau yang baru saja
diakhiri memperoleh waktu yang cukup untuk keluar dari daerah konflik
21
sebelum kendaraan pertama dari fase berikutnya memasuki daerah yang
sama.
Untuk analisis operasional dan perencanaan, disarankan untuk membuat suatu
perhitungan rinci waktu antara hijau untuk pengosongan dan waktu hilang. Pada
analisis yang dilakukan bagi keperluan perancangan, waktu antar hijau berikut dapat
dianggap sebagai nilai normal. Nilai normal waktu antar hijau dapat dilihat pada
Tabel 2.6 atau rumus dibawah ini:
IG = Amber (A) + All Red (AR) (2.4)
Tabel 2. 6 Nilai normal waktu antar hijau
Ukuran Simpang Lebar Jalan Rata - rata Nilai Normal Waktu Antara
Hijau
Kecil
Sedang 69m 4 detik/fase
Besar 10 14 m 5 detik/fase
15 m 6 detik/fase
Waktu merah semua adalah jumlah semua periode antara hijau dalam siklus
yang lengkap. Waktu hilang dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus
dengan jumlah waktu hijau dalam semua fase yang berurutan (Departemen PU,
1997). Prosedur untuk perhitungan perincian adalah sebagai berikut:
Waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan pada akhir setiap
fase harus memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis henti pada
akhir sinyal kuning), berangkat dari titik konflik sebelum kedatangan kendaraan yang
datang pertama dari fase berikutnya pada titik yang sama. Jadi, merah semua
merupakan fungsi dari kecepatan dan jarak dari kendaraan yang berangkat dan datang
dari garis henti sampai titik konflik. Titik konflik dan jarak untuk keberangkatan dan
kedatangan seperti Gambar 2.11 berikut:
22
Gambar 2.11 Titik konflik dan jarak untuk kedatangan dan keberangkatan
Sumber: Departemen PU, (1997)
Titik konflik kritis pada masing-masing fase (i) adalah titik yang
menghasilkan waktu merah semua sebesar:
L EV l EV L AV
V EV V AV
MERAH SEMUA = (2.5)
Dimana:
LEV, LAV = Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan
yang berangkat dan yang datang (m)
lEV = Panjang kendaraan yang berangkat (m)
VEV, VAV = kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang
datang (m/det).
Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV dan IEV tergantung dari komposisi lalu
lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai sementara berikut dapat dipilih
dengan ketiadaan aturan di Indonesia akan hal ini.
23
Perhitungan dilakukan untuk semua gerak lalu lintas yang bersinyal (tidak
termasuk belok kiri jalan terus). Apabila periode merah untuk semua masing-masing
akhir fase yang diterapkan, waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai
jumlah dari waktu-waktu antar hijau:
LTI = (MERAH SEMUA + KUNING) I = Igi (2.6)
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di Indonesia biasanya adalah
3,0 detik (Departemen PU, 1997)
Fase sinyal adalah bagian dari siklus sinyal dengan lampu hijau disediakan
bagi kombinasi tertentu dari gerakan lalu lintas (Departemen PU, 1997). Untuk
merencanakan fase sinyal dilakukan berbagai alternative antara lain :
1. Dua fase existing
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan menggunakan dua fase tanpa
memisahkan arus terlawan. Pengaturan dua fase seperti terlihat pada gambar
dibawah ini:
24
2. Tiga fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase pergerakan lalu lintas.
Pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase seperti terlihat pada gambar
dibawah ini:
25
Sumber: Departemen PU, (1997)
5. Empat fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan empat fase pergerakan lalu
lintas. Pengaturan empat fase:
26
Gambar 2.17 Penentuan tipe pendekat
Sumber: Departemen PU, (1997)
Lebar pendekat efektif (We), ditentukan berdasarkan data dari lebar pendekat
(Wa), lebar masuk (Wmasuk) dan lebar keluar (Wkeluar). Untuk semua pendekat,
apabila pergerakan belok kiri langsung (left turn on red) diperkenankan dan tidak
terpengaruh oleh pergerakan lain dalam pendekat (pergerakan belok kiri langsung
dapat melewati antrian kendaraan dengan arah atau membelok kanan pada saat lampu
merah), maka lebar efektif ditentukan berdasarkan nilai dari:
We = Wmasuk
= Wa W LTOR (2.7)
27
Jika WEXIT < We (1 PRT), maka We sebaiknya diberi nilai baru sama dengan
WEXIT dan analisa selanjutnya untuk pendekat ini dilakukan hanya untuk bagian lalu
lintas lurus saja yaitu Q = QST
28
Gambar 2.18 S0 untuk pendekat tipe O tanpa lajur belok kanan terpisah
Sumber: Departemen PU, (1997)
29
Tabel 2. 7 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)
Jumlah Penduduk Kota ( Juta Faktor Penyesuaian Ukuran
Jiwa) Kota (FCS)
< 0,1 0,82
0,1 - 0,5 0,83
0,5 - 1 0,94
1,0 - 3,0 1,00
> 3,0 1,05
Sumber: Departemen PU, 1997
Faktor jarak parkir tepi jalan disesuaikan dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
30
Fp = Faktor jarak parkir tepi jalan
Lp = Jarak antar garis henti dan kendaraan yang parkir pertama (m)
Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat yang ditinjau, dapat
dihitung dengan rumus (hanya untuk pendekat tipe P, tanpa median, jalan
dua arah):
Dimana :
Pengaruh arus belok kiri dihitung dengan rumus (hanya untuk pendekat tipe
P tanpa LTOR) :
Dimana :
Q
S
FR = (2.13)
Dimana :
31
S = Arus jenuh (smp/jam hijau)
Nilai kritis FRcrit (maksimum) dari rasio yang ada dihitung rasio arus pada simpang
dengan penjumlahan rasio arus kritis tersebut:
Dari kedua nilai di atas maka didapat rasio fase (Fase Ratio) PR untuk tipe fase
yaitu :
FRerit
IFR
PR = (2.15)
Perlu diperhatikan :
1. Jika LTOR harus dikeluarkan dari analisa hanya gerakan gerakan lurus dan
belok kanan saja yang dimaksud dalam nilai Q.
2. Jika We dan Wkeluar hanya gerakan lurus saja yang dimasukkan nilai Q
3. Jika suatu pendekat mempunyai sinyal hijau dalam dua fase, yaitu satu
untuk arus terlawan (O) dan yang lain untuk arus terlindung (P), gabungan
arus lalu lintas sebaiknya dihitung sebagai smp rata rata berbobot untuk
kondisi terlawan dan terlindung, hasilnya dimasukkan ke dalam basis
gabungan fase tersebut.
Dimana :
32
FRerit = Nilai tertinggi arus dari seluruh pendekat yang berhenti pada
suatu fase
IFRerit= rasio arus simpang = Jumlah FRerit dari seluruh fase pada
simpang.
Waktu siklus yang didapat kemudian disesuaikan dengan waktu siklus yang
direkomendasikan pada Tabel 2.9 di bawah :
Waktu siklus yang melebihi 130 detik harus dihindari kecuali pada kasus yang
sangat khusus (simpang sangat besar), karena hal itu sering menyebabkan kerugian
kapasitas keseluruhan. Jika perhitungan menghasilkan waktu siklus yang jauh lebih
tinggi dari pada batas yang disarankan, maka hal ini menandakan bahwa kapasitas
dari daerah simpang tersebut adalah tidak mencukupi.
Waktu hijau adalah waktu nyala hijau dalam suatu pendekat (Departemen PU,
1997). Perhitungan waktu hijau untuk tiap fase dijelaskan dengan rumus :
gi = (Cua LTI) PRi 10 det (2.17)
Dimana :
gi = Tampilan waktu hijau pada fase 1 (dtk)
Cua = Waktu siklus (dtk)
LTI = Waktu hilang total persiklus (dtk)
PRi = Rasio fase
Siklus hijau yang lebih pendek dari 10 detik harus dihindari, karena dapat
mengakibatkan pelanggaran lampu merah yang berlebihan dan kesulitan bagi pejalan
kaki untuk menyebrang jalan, dan bila disesuaikan harus dimasukkan dalam waktu
siklus.
33
2.12.3 Waktu Siklus yang Disesuaikan (c)
Wakt siklus yang disesuaikan dihitung berdasarkan pada waktu hijau yang
diperoleh dan telah dibulatkan dan waktu hilang. Dinyatakan dengan rumus :
c = g + LT (2.18)
2.12.4 Kapasitas dan Derajat Kejenuhan Persimpangan
Hal terpenting dalam konsep kapasitas adalah nilai kritis V/C yang merupakan
rasio V/C untuk simpang sebagai acuan. Nilai V/C bervariasi dari 1,00 dimana arus
lalu lintas sama dengan kapasitas, sampai nilai V/C sama dengan 0,00. Nilai V/C
yang lebih besar dari 1,00 menunjukan adanya ketidakmampuan kapasitas dalam
melayani arus lalu lintas. Hal ini terjadi bila arus lalu lintas yang ada melampaui
kapasitas simpang yang ataupun proyeksi arus lalu lintas melampaui kapasitas
simpang.
34
Yang dimaksud dengan panjang antrian adalah banyaknya kendaraan yang
berada pada persimpangan tiap jalur saat nyala lampu merah (Departemen PU, 1997).
Panjang antrian digunakan dalam kinerja persimpangan adalah utuk mengetahui
panjang antrian maksimum kendaraan dalam sekali waktu siklus pada persimpangan.
Rumus untuk menentukan rata rata panjang antrian berdasarkan Manual Kapasitas
Jalan Indonesia (MKJI) 1997,adalah :
Untuk derajat kejenuhan (DS) > 0,5 :
( DS 0,5)
0,25 C ( DS 1) ( DS 1) 2 8
C
NQ1 = (2.21)
Untuk derajat kejenuhan (DS) 0,5
NQ1 = 0
Dimana :
NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dalam fase hijau sebelumnya
GR = Derajat Kejenuhan
C = Kapasitas (smp/jam)
Maka panjang antrian kendaraan adalah mengalikan NQmax dengan luas rata
rata yang dipergunakan per smp (20 m2) kemudian dibagi dengan lebar masuknya.
NQmax didapat dengan menyesuaikan nilai NQ dalam peluang yang diinginkan untuk
terjadi pembebanan lebih POL (%) dengan menggunakan gambar 2.12. Untuk
35
perencanaan dan perancangan disarankan POL 5%, untuk operasi suatu nilai POL = 5
- 10% mugkin dapat diterima :
Gambar 2.19 Angka henti (NS) masing-masing pendekat yang didefinisikan sebagai
jumlah berhenti rata-rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian)
sebelum melewati persimpangan.
Sumber: Departemen PU, (1997)
NQ
0,9 3600
Q XC
NS = (2.26)
Dimana:
36
Jumlah kendaraan terhenti (NSv)
N SV
QTOT
NStot = (2.28)
Dimana:
a. Tundaan lalu lintas (DT) yaitu waktu menunggu yang disebabkan interaksi antar
lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan dengan rumus:
37
0,5 (1 GRj ) NQ1 3600
(1 GRj DSj ) Cj
DTj =c
(2.30)
Atau,
NQ1 3600
Cj
DTj =c A+
(2.31)
Dimana:
0,5 (1 GRj )
(1 GRj DSj )
A =
C = Kapasitas (smp/jam)
DS = Derajat kejenuhan
38
2.14.2 Tingkat Pelayanan Simpang
5 A
> 60,0 F
Sumber: Transportation Research Board,1994
Dari tabel diatas dapat dijabarkan mengenai tingkat pelayanan simpang dengan
lampu lalu lintas, sebagai berikut:
1. Tingkat Pelayanan A
Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan yang sangat rendah, kurang
dari atau sama dengan 5,0 dtk/smp. Hal ini terjadi bila sebagian besar kendaraan
datang pada fase hijau sehingga banyak kendaraan yang tidak berhenti. Panjang
siklus yang juga dapat menghasilkan tundaan yang rendah (sangat lancar).
39
2. Tingkat Pelayanan B
Opera lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 5,0 dan 15,0
dtk/smp. Biasanya hal ini terjadi bila panjang siklus pada simpang pendek.
Kendaraan berhenti lebih banyak dari tingkat pelayanan A, menghasilkan
tundaan rata rata tinggi (lancar).
3. Tingkat Pelayanan C
Operasi laalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang >15,0 dan
25,0 dtk/smp. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan oleh siklus yang lebih
panjang. Pada tingkat pelayanan ini jumlah kendaran yang berhenti adalah
signifikan, meski tetap cukup banyak kendaraan yang terus melalui simpang
tanpa harus berhenti (cukup lancar).
4. Tingkat Pelayanan D
Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan rentang > 25,0 dan 40,0
detik/smp. Pada tingkat pelayanan D ini pengaruh dari kemacetan sudah lebih
terlihat. Tundaan yang lebih besar bias dihasilkan dari kombinasi panjang siklus
yang lebih rendah dan rasio V/C > 0,75 0,90. Banyak kendaraan yang harus
berhenti pada simpang (mendekati macet).
5. Tingkat Pelayanan E
Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 40,0 dan
60,0 detik/smp. Pada tingkat pelayanan E ini dijadikan sebagai batas tundaan
yang masih dapat diterima. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan dari panjang
siklus yang panjang, serta rasio V/C mendekati 1,00 (macet)
6. Tingkat Pelayanan F
Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan yang lebih besar dari 60
detik/smp. Pada tingkat pelayanan F ini tundaan sudah tidak dapat diterima, hal
ini disebabkan oleh kejenuhan pada simpang akibat arus yang melalui simpang
melampaui kapasitas simpang dan juga dapat terjadi bila nilai V/C > 1,00 atau
dapat juga waktu siklus yang terlalu panjang (sangat macet).
40
41