PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Urtikaria adalah reaksi vaskuler kulit ditandai dengan munculnya bercak umumnya
dikelilingi lingkaran merah atau suar dan terkait dengan gatal, menyengat, atau sensasi
menusuk. Bercak ini disebabkan oleh udem lokal sekitar pusat daerah, dapat terjadi lesi yang
menyatu menghasilkan pola anulus atau polisiklik. Pembengkakan subkutan (angioudem)
dapat menyertai bercak. Angioudem dapat menyerang saluran penceraan, pernapasan, seperti
menimbulkan sakit perut, coriza, asma dan masalah pernapasan. Keterlibatan saluran
pernapasan dapat menimbulkan obstruksi. Anafilaksis dan hipotensi juga dapat terjadi.1
Urtikaria merupakan alasan tersering pasien untuk datang ke layanan primer, IGD,
departemen kulit dan alergi. Ini ditandai dengan meningkatnya angka kejadian. Sebagaimana
bercak individu tidak lebih dari 24 jam terakhir tetapi seluruh serangan biasanya bertahan
lebih lama. Hampir semua pola klinis urtikaria bercak dapat disertai dengan angioudem, tapi
terjadinya angioudem (tanpa bengkak) khusus yang signifikan karena beberapa pasien
memiliki kekurangan C1 esterase inhibitor (C1 INH ).2
Gangguan langka yang sering diwariskan.. Urtikaria vaskulitis adalah penyakit
sistemik yang didefinisikan oleh kerusakan pembuluh darah kecil, tapi itu mungkin kadang-
kadang hadir dengan bercak atau angioudem itu, tanpa mengkonfirmasikan durasi lebih dari
24 jam (melalui pemeriksaan serial lesi ditandai dan biopsi). Sementara urtikaria jarang
progresif untuk anafilaksis. Pengelolaan urtikaria tergantung pada pemahaman penyebab,
pemicu, dan faktor pemberat dalam menentukan terapi yang paling tepat.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular kulit dengan karakteristik gambaran bengkak, halo
kemerahan atau flare disertai dengan rasa gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Bengkak
disebabkan oleh edema setempat.1
Urtikaria sering digunakan untuk mendeskripsikan istilah untuk bengkak berulang di
kulit, dengan angioedema terlihat sebagai entitas yang terpisah. Namun ada peningkatan
penerimaan bahwa istilah urtikaria lebih tepat digunakan untuk menentukan penyakit
dimana klinis ditentukan oleh kedalaman pembengkakan.2
Urtikaria adalah reaksi vaskuler dikulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan hilang perlahan-lahan, berwarna
pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.3
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
1 Lapisan epidermis atau kutikel
2 Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)
3 Lapisan subkutis (hipodermis)
Tidak garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, ditandai dengan adanya jaringan
ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.4
1 Lapisan epidermis
Lapisan epidermis adalah lapiisan kulit dinamis, senantiasa beregenerasi,
sennantiasa beregenerasi, berespons terhadap rangsangan di luar maupun dalam tubuh
manusia. Tebalnya bervariasi antara 0,4-1,5 mm. Penyusun terbesar epidermis adalah
keratinosit.5
Lapisan epidermis terdiri atas: stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.3
a Startum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan
terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).3
b Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi
protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas ditelapak
tangan dan kaki.4
c Stratum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pula prickle cell layer
(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang
biasanya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih
karena banyak mengandung glikogen dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel
ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Diantara sel-sel
stratum spinosum terdapat jembatanjembatan antar sel (intracelluler bridges)
yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar
jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulud
Bizzore. Diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel
stratum spinosum mengandung banyak glikogen.3
d Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus kolumna yang tersusun
ventrikel pada perbatasan dermo-epidermal berbeda seperti pagar (palisade).
Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah.3,4
2 Lapisan dermis
lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan
ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen seluler dan
folikel rambut.3
Dermis merupakan jaringan dibawah epidermis yang juga memberi ketahanan
pada kulit, termoregulasi, perlindungan imunologik, dan ekskresi. Secara garis besar
dibagi menjadi dua bagian yakni:5
a Pars papilare
Pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.
b Pars retikulare
Pars retikulare yaitu bagian dibawahya yang menonjol kearah subkutan,
bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen,
elastin, dan retikulin. Dasar (matrix) lapisan ini terdiri atas lapisan ini
terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitinsulfat, dibagian ini
terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas,
membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan
hidroksisilin kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur
menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolegen muda.
Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah
mengembang serta lebih elastis.3,4
3 Lapisan subkutis
Lapisan subkutis adalah lanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar
berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti
terdesak kepinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk
kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang fibrosa.
Dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh dua pleksus, yaitu pleksus yang terletak dbagian atas
dermis (pleksus superficial) dan terletak disubkutis (pleksus profunda).3
Subkutis yang terdiri atas jaringan lemak mampu mempertahankan suhu
tubuh, dan merupakan cadangan energi, juga menyediakan banttalan yang meredam
trauma melalui permukaan kulit.5
2 Fungsi Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap begitupun yang larut lemak.
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap aair memungkinkan kulit ikut
mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi oleh
tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vesikulum.
Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antar sel, menembus sel-sel epidermis
atau melaui muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak melalui sel-sel epidermis
daripada melalui muara kelenjar.4
3 Fungsi ekskresi
Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Kelenjar lemak
dalam fetus atas pengaruh hormon androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk
melindungi kulitnya terhadap cairan amnion, pada waktu lahir dijumpai sebagai
vernix caseosa. Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan sebum ini
selain meminyaki kulit juga menahan evaforasi air yang berlebihan sehingga kulit
tidak menjadi kering. Produk kelenjar lemak dan keringat dikulit menyebabkan
keasaman kulit pada pH 5-6,5 .4
4 Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap
rangsangan panas diperankan oleh badan-badan ruffini di dermis dan subkutis.
Terhadap dingin diperankan oleh badan badan Krause yang terletak di dermis.
Badan taktil maissner terletak di papila dermis berperan terhadap tekanan diperankan
oleh badan paccini di epidermis. Saraf-saraf sensorik lebih banyak jumlahnya
didaerah erotik.3
7 Fungsi keratinisasi
Lapisan epidermis dewasa mempunyai tiga jenis sel utama yaitu keratinosit, sel
langerhans, melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel
basal yang lain akan berpindah keatas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum,
makin keatas sel semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama
inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini
berlangsung terus menerus seumur hidup dan sampai sekarang belum sepenuhnya
dimengerti. Matoltsy berpendapat mungkin keratinosit melalui proses sintesis dan
degradasi menjadi lapisan tanduk. Proses ini berlangsung normal selama 15-21 hari
dan memberi perlindungan terhadap infeksi secara mekanis fisiologi. 3
2.3. Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria
(kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup
mereka. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urtikaria kronis
tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia
menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.
Urtikaria dapat terjadi pada semua jenis kelamin dan berbagai kelompok umur. Angka
kejadian pada urtikaria akut (40-60%) dibandingkan pada urtikaria kronik (10-20%).6
2.4 Etiologi
Pada penyidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya, diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam antara lain :
1. Obat
Obat- obatan merupakan penyebab tersering pada akut urtikaria. Penicillin dan
antibiotik terkait lainnya adalah yang tersering. Bermacam-macam obat dapat
menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik
(penisilin, sefalosporin, dan diuretik). Ada pula obat yang secara nonimunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat
kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari
asam arakidonat.1,4
2. Makanan
Makanan merupakan penyebab tersiring pada urtikaria akut, dimana pada urtikaria
kronik, makanan merupakan faktorr yang kurang berperan. Peranan makanan ternyata
lebih penting pada urtikaria yang akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan yang
bersifat alergenic seperti; Makanan berupa protein, coklat, kacang, tomat, strawberri, keju,
bawang putih, bawang merah, telor, susu atau bahan lain yang dicampurkan kedalamnya
seeprti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria
alergika.1,4
3. Gigitan/sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, agaknya hal
ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (Tipe 1) dan tipe seluler (Tipe 4). Tetapi venom dan
toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan
serangga lainnya, menimbulkan urtika bentuk papular disekitar tempat gigitan, biasanya,
sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, minggu, atau bulan.4
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.4
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (Tipe I). Reaksi ini sering
dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan napas. Selain itu debu rumah,
acrolein ( diproduksi oleh pembakaran rokok yang mengandung glycerin)1,4
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repelent,
dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria.4
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau memegang
benda dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar uv, radiasi, dan panas
pembakaran; faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes
atau semprotan air, vibrasi dan tekanan berulang-ulang contohnya pijatan, keringat,
pekerjaan berat, demam, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik
maupun nonimunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul
beberapa jam kemudian, fenomena ini disebut demografisme atau fenomena darier.4
8. Infeksi dan Infestasi
Bermacam-macam infeksi menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infeksi parasit.4
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.4
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominan.4
11. Penyakit Sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat mmenimbulkan urtikaria, reaksi
lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.4
12. Alcohol
Urtikaria dapat dipicu dengan meminum alkohol. Mekanisme alkohol dapat
mempengaruhi langsung sel mast belum diketahui. Wine (alkohol) secara umum
mengandung sulfit.1,4
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik.
Disebut akut bila diserangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung selama 4
minggu tetapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria
kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumnya laki-laki lebih sering
daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan. Penyebab
urtikaria akut lebih muda diketahui, sedangkan pada urtikaria kronik sulit ditemukan. Ada
kecendrungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.4
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya, yaitu urtikaria
papular bila berbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetesan air, dan girata bila
ukurannya besar-besar. Terdapat pula yang anular dan arsinar. Ada pula yang menggolongkan
berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya maka dikenal urtikaria
imunologik, non-imunologik, dan idiopatik sebagai berikut :
I. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
a. bergantung pada IgE ( reaksi alergik tipe I)
1. pada atopi
2. antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. ikut sertanya komplemen
1. pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
2. pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
3. defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. reaksi alergi tipe IV
II. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
a langsung memacu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat
golongan opiat dan bahan kontras )
b bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakdionat (misalnya
aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, golongan azodyes)
c trauma fisik, misalnya dermografisme rangsangan dingin, panas atau sinar, dan
bahan kolinergik.
III. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik.4
2.6 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler
yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan
pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema
setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan permeabilitas kapiler
dapat terjadi akibat pelepasan mediator mediator misalnya histamine,
kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.5
FAKTOR NON IMUNOLOGIK FAKTOR IMUNOLOGIK
Bahan kimia pelepas mediator (morfin, kodein) Reaksi tipe I (IgE)
(inhalan, obat, makanan, infeksi)
Reaksi Tipe II
PELEPASAN MEDIATOR
Reaksi Tipe III
IDIOPATIK ?
URTIKARIA
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria meliputi:8
1 Lokalisasi : badan, ekstremitas, kepala dan leher
2 Efloresensi : eritema dan edema setempat yang berbatas tegas dengan
elevasi kulit, kadang kadang bagian tengah tampak pucat
3 Ukuran : beberapa milimeter, sampai sentimeter
4 Bentuk : papular, lentikular, numular, plakat
5 Dermographism
b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang paling memungkinkan
menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa, diantaranya
adalah:8
1 Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak anak
2 Angioedema pada bibir, lidah atau laring
3 Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasi adanya hepatitis
atau penyakit kolestatik hati
4 Pembesaran kelenjar tiroid
5 Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma
6 Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan penyambung,
rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus (SLE)
7 Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospam (asthma)
8 Ekstremitas untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur
3. Pemeriksaan Penunjang
a Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urirn, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin
perlu diperiksa pada dugaan urtikaria dingin.3
b Pemeriksaan Gigi, Telinga- Hidung- Tenggorokan, serta Usapan Vagina
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.3
c Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan
tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-
allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien
sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang
cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-
releasing autoantibodies.7
d Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes tes alergi
memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini
dipertimbangkan secara hati hati untuk menjamin keamanannya.7
e Tes Eliminasi Makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.3
f Tes Foto Tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.3
g Suntikan Mecholyl Intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria
kolinergik.3
h Tes Fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya
alergi pada suhu tertentu.3
i Pemeriksaan Histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.
Pada urtikaria pemeriksaan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat
perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara
serabut serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat
dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit
yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskular dan
mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang
bersangkutan.8
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik.
Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infitrat selular, yaitu campuran
limfosit, polymorphonucler leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi
fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria
atipikal memiliki vaskulitis pada biopsy kulit. Spektrum histopatologi berhubungan
derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik
(parah).8
2.9 Penatalaksanaan
Hal terpenting dalam penatalaksanaan urtikaria adalah identifikasi dan eliminasi
penyebab dan atu faktor pencetus. Pasien juga dijelaskan tentang pentingnya menghindari
konsumsi alkohol, kelelahan fisik dan mental, tekanan pada kulit misalnya pakaian yang
ketat, dan suhu lingkungan yang sangat panas, karena hal hal tersebut akan memperberat
gejala urtikaria.5
Asian consensus guidelines yang diajukan oleh AADV pada tahun 2011 untuk
pengelolaan urtikaria kronis dengan menggunakan antihistamin H1 non-sedasi, yaitu:5
a Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala menetap setelah 2 minggu.
b AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila gejala menetap 1-4 minggu
c AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + antagonis leukotrien, bila terjadi eksaserbasi
gejala, tambahkan kortikosteroid sistemik 3-7 hari
d Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambahkan siklosporin A, AH2, dapson,
omalizumab
e Eksaserbasi diatasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7 hari
Terapi ini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin H1 generasi baru (non-sedasi)
yang dikonsumsi secara teratur, bukan hanya digunakan ketika lesi muncul. Pemberian
antihistamin tersebut harus mempertimbangkan usia, status kehamilan, status kesehatam
dan respons individu. Bila gejala menetap setelah 2 minggu, diberikan terapi lini kedua,
yaitu dosis AH1-ns dinaikkan, dapat mencapai 4 kali dosis biasa, dengan
mempertimbangkan ukuran tubuh pasien. Bila gejala menetap 1-4 minggu, dianjurkan
penggunaan terapi lini ketiga, yaitu mengubah jenis antihistamin menjadi AH1 sedasi atau
AH1-ns golongan lain, ditambah dengan antagonis leukotrien, misalnya zafirlukast atau
montelukast.7
Dalam terapi lini ketiga ini, bila muncul eksaserbasi lesi, dapat diberikan
kortikosteroid sistemik (dosis 10 30 mg prednison) selama 3-7 hari. Bila gejala menetap
1-4 minggu, dianjurkan pemberian terapi lini keempat, yaitu penambahan antihistamin H2
dan imunoterapi. Imunoterapi dapat berupa siklosporin A, omalizumab, imunoglobulin
intravena (IVIG), plasmaferesis, takrolimus oral, metotreksat, hikroksisklorokuin dan
dapson. Eksaserbasi lesi yang terjadi selama terapi lini keempat, diatasi dengan
pemberian kortikosteroid sistemik (prednison 10-30 mg) selama 3-7 hari.5
Dalam tatalaksana urtikaria, selain terapi sistemik, juga dianjurkan untuk pemberian
terapi topikal untuk mengurangi gatal, berupa bedak kocok atau losio yang mengandung
menthol 0,5-1 % atau kalamin. Dalam praktek sehari sehari, terapi lini pertama dan
kedua dapat diberikan oleh dokter umum, dan apabila penatalaksanaan tersebut tidak
berhasil, sebaiknya pasien dirujuk untuk penatalaksanaan lebih lanjut.5
Pada urtikaria yang luas atau disertai dengan angioedema, perlu dilakukan rawat inap
dan selain pemberian antihistamin, juga diberikan kortikosteroid sistemik
(metilprednisolon dosis 40 200 mg) untuk waktu yang singkat. Bila terdapat gejala syok
anafilaksis, dilakukan protokol anafilaksis termasuk pemberian epinefrin 1: 1000
sebanyak 0,3 ml intramuscular setiap 10-20 menit sesuai kebutuhan.5
2.10 Prognosis
Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui dengan mudah,
untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis merupakan tantangan bagi dokter maupun
pasien, karena membutuhkan penanganan yang komprehensif untuk mencari penyebab dan
menentukan jenis pengobatannya. Walaupun umumnya tidak mengancam jiwa, namun
dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar. Urtikaria yang luas atau disertai
dengan angioedema merupakan kedaruratan dalam ilmu kesehatan kulit dan kelamin.,
sehingga membutuhkan penanganan yang tepat untuk menurunkan mortalitas.7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya edema setempat
yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat atau kemerahan,
umumnya dikelilingi halo kemerahan (flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat
atau tertusuk. Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Faktor usia, ras, jenis
kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim memengaruhi jenis pajanan yang akan
dialami seseorang. Penyebab urtikaria sangat beragam diantaranya obat, makanan dan food
additive, infeksi dan infestasi, proses inflamasi, penyakit sistemik dan keganasan, proses
autoimun dan rangsangan fisik. Pemeriksaan penunjang pada urtikaria terutama ditujukan
untuk mencari penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah : pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan kadar IgE, uji tusuk kulit, uji serum autolog,
uji demografisme, dan pemeriksaan histopatologis. Hal terpenting dalam penatalaksanaan
urtikaria adalah identifikasi dan eliminasi penyebab dan atau faktor pencetus. Pasien juga
dijelaskan tentang pentingnya menghindari kelelahan fisik dan mental, tekanan pada kulit,
suhu lingkungan yang sangat dingin ataupun terlalu panas, karena hal-hal tersebut akan
memperberat gejala urtikaria.
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSU dr. PIRNGADI MEDAN
ANAMNESIS :
Keluhan utama : bentol-bentol kemerahan disertai gatal diwajah sejak 1
hari yang lalu.
Keluhan tambahan : tidak ada
Riwayat Perjalanan Penyakit : Awalnya Os mengaku muncul bentol-bentol kemerahan
dan terasa gatal di kelopak mata kanan dan kiri, dahi dan di bawah mata pada malam
hari. Keluhan ini dirasakan oleh Os setelah menyantap mie sop pada siang harinya. Os
mengaku setelah setelah gejala muncul, Os mengkonsumsi CTM, namun bentol-bentol
masih menetap. Riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan serta disengat
serangga maupun kontak dengan zat-zat kimia disangkal oleh Os. Oleh sebab itu Os
berobat ke RSU dr. Pirngadi Medan.
Riwayat Penyakit Terdahulu : tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Pemakaian Obat : CTM
LOKALISASI : Regio Orbitalis, Regio Infraorbita, Regio Zygomatica
RESUME
Anamnesa :
Telah datang seorang pasien perempuan bernama Leontin Hasudungan Pakpahan,
berusia 47 tahun, bangsa Indonesia, suku melayu, agama Protestan ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSU dr. Pirngadi Medan pada tanggal 10 September 2016 dengan keluhan utama
bentol-bentol kemerahan disertai gatal diwajah sejak 1 hari yang lalu. Awalnya Os mengaku
muncul bentol-bentol kemerahan dan terasa gatal di kelopak mata kanan dan kiri, dahi dan di
bawah mata pada malam hari. Keluhan ini dirasakan oleh Os setelah menyantap mie sop pada
siang harinya. Os mengaku setelah setelah gejala muncul, Os mengkonsumsi CTM, namun
bentol-bentol masih menetap. Riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan serta
disengat serangga maupun kontak dengan zat-zat kimia disangkal oleh Os. Oleh sebab itu Os
berobat ke RSU dr. Pirngadi Medan.
Lokalisasi : Regio Orbitalis, Regio Infraorbita, Regio Zygomatica
Ruam : urtika dan eritema
Pemeriksaan Penunjang : tidak dilakukan pemeriksaan
DIAGNOSA BANDING :
1 Urtikaria
2 purpura anafilaktoid
3 vaskulitis
Pemriksaan Anjuran :
1 Darah Rutin
2 Pemeriksaan IgE
3 Scratch Test
4 Prick Test
Penatalaksanaan :
Prognosis :
- Quo ad Vitam : Bonam
- Quo ad Functionam : Bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
Dokumenntasi:
DISKUSI
KASUS TEORI
Keluhan utama bentol-bentol kemerahan Urtikaria adalah reaksi vaskuler dikulit
disertai gatal diwajah sejak 1 hari yang akibat bermacam-macam sebab biasanya
lalu. Awalnya Os mengaku muncul ditandai dengan edema setempat yang
bentol-bentol kemerahan dan terasa gatal cepat timbul dan kemerahan, meninggi di
di kelopak mata kanan dan kiri, dahi dan permukaan kulit, sekitarnya dikelilingi
di bawah mata pada malam hari. halo.3
Keluhan ini dirasakan oleh Os setelah Makanan merupakan penyebab tersering
menyantap mie sop pada siang harinya. pada urtikaria akut, dimana pada urtikaria
kronik, makanan merupakan faktor yang
kurang berperan. Peranan makanan
ternyata lebih penting pada urtikaria yang
akut, umumnya akibat reaksi
imunologik.1,4
Ruam berupa urtika dan eritema. Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa
Keluhan utama bentol-bentol kemerahan terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak
disertai gatal diwajah sejak 1 hari yang eritema dan edema setempat berbatas
lalu. tegas, kadang-kadang bagian tengah
tampak lebih pucat. Pada keadaan ini
jaringan yang lebih sering terkena ialah
muka, disertai sesak nafas, serak dan
rhinitis.3,4
Penatalaksanaan untuk pasien ini terdiri Berdasarkan teori diberikan antihistamin
atas penatalaksanaanya umum dan H-1 non sedasi.
penatalaksanaanya secara khusus. Eksaserbasi lesi yang terjadi selama
Penatalaksanaanya secara umum meliputi terapi lini keempat, diatasi dengan
edukasi untuk mengenali dan pemberian kortikosteroid sistemik
menghindari faktor pencetus, serta (prednison 10-30 mg) selama 3-7
menghindari gigitan serangga. hari.5
Sedangkan, penatalaksanaan secara
khusus pada pasien ini diberikan
pengobatan sistemik seperti
metilprednisolon 4 mg tablet 1x3,
loratadine 10 mg tablet 1x1.
DAFTAR PUSTAKA
1 James, William D., dkk. 2006. Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology
Tenth Edition. USA: Elsevier Saunders
2 Bolognia, Jean L., dkk. 2012. Dermatology Third Edition.USA: Elsevier Saunders
3 Djuanda, A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
4 Aisyah, Siti. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: FKUI.
5 Menaldi, Sri linuwih SW. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketujuh (cetak
ulang 2016). Jakarta: FKUI
6 Vella, dkk. 2011. Urtikaria-Study Retrospektif. Surabaya: FKUNAIR. Diakses pada
tanggal 14 September 2016. Dikutip dari http://Urtikaria.studi.retrospektif-pdf/
7 Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. 2006. Urtikaria dan Angioedema
dalam: Buku Ajar Ilmu Pennyakit Dalam. Jakarta: FKUI
8 Wong, H.K. 2016. Urtikaria, Acute. Emedicine, artikel tanggal 14 september 2016.
Dikutip dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-prit
9 http://www.google.com/anatomi-kulit-picture/. Diakses pada tanggal 14 September
2016