Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang
yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya.
Penyandang tunanetra umumnya sering dianggap kurang memiliki rasa percaya
diri dalam lingkungannya serta dipandang negatif oleh masyarakat.
Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa masyarakat Indonesia
berkecenderungan menderita 15 tahun lebih cepat dibandingkan masyarakat di
daerah subtropis. Berdasarkan hasil data 2010, Badan Kesehatan Dunia WHO
merillis data bahwa di dunia ada 40 45 juta penderita tunanetra. Ironisnya lagi,
90% penduduk yang mengalami kebutaan berada di wilayah atau negara miskin.
Indonesia meraut angka 1,5% dari total penyandang tunanetra di dunia yang
menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah tunanetra terbanyak
di Asia. Provinsi Sulawesi Selatan masuk kedalam 5 besar urutan provinsi yang
paling banyak memiliki penyandang tunanetra (selain pulau Jawa dan Sumatera
Utara) yaitu sebanyak 286.060 jiwa yang menderita low vision dan 27.118 jiwa
menderita totally blind. Dari total tersebut, lebih dari 15.000 jiwa adalah anak-
anak yang masih dalam usia sekolah.
Pada anak tunanetra, pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang wajib
dipenuhi. Seperti yang telah diatur dalam UU No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12
tahun 1945 bahwa setiap anak tak terkecuali terkena pendidikan wajib belajar.
Tujuan pendidikan itu sendiri adalah membantu mencerdaskan dan membentuk
karakter manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Menurut data
statistik SLB 2015/2016, sekitar 70 SLB dan Yayasan di Provinsi Sulawesi
Selatan yang melayani anak tunanetra belum secara utuh memadai dalam hal
penanganan tunanetra mulai dari sarana aksesibilitas, tenaga pengajar, metode
pengajaran dan kelas ketrampilan. Hal tersebut diakui langsung oleh Kepala
Sekolah Luar Biasa Biringkanaya tingkat kota. Berdasarkan data dari Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2012, tercatat jumlah anak tunanetra usia

1
sekolah yang bersekolah hanya 0,87 %. Jadi, selebihnya diperkirakan terhambat
akses ke pendidikan.
Pada tahun 2011, perhitungan kasar dari Persatuan Penyandang Cacat
Indonesia (PPCI) memaparkan bahwa penyandang cacat tunanetra usia produktif
yang sudah bekerja di sektor informal hanya 0,001 % atau sekitar 300 orang dari
keseluruhan total jumlah penduduk di Indonesia. Data tersebut membuktikan
bahwa masih banyak tunanetra yang gagal mengoptimalkan potensi diri sehingga
dalam kehidupannya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain
yang sangat berpengaruh dalam tingkat penggangguran di Indonesia. Dengan
sedemikian banyaknya jumlah tunanetra, komponen pendi- dikan menyadari
bahwa tunanetra pun harus diupayakan pengembangan intelektualnya agar dapat
menjadi insan yang produktif. Hal tersebut nampak dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama memperoleh pendidikan.
Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya akses pendidikan yang lebih mudah
dan wadah yang lebih khusus dan spesifik dalam mengem- bangkan potensi
penyandang tunanetra agar dapat berkembang maksimal dan dapat berguna bagi
dirinya sendiri serta bagi bangsa dan negara ini.

B. Pengertian Judul
Pendidikan: Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, proses, pembuatan, cara mendidik.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga:2005:232)
Tunanetra : tidak dapat melihat; buta.

Jadi, Pusat Pendidikan Tunanetra adalah tempat yang menjadi wadah fisik
yang menyediakan fasilitas pendidikan nonformal, pembinaan maupun
pembelajaran awal proses adaptasi bagi kaum yang lemah fungsi penglihatan
dengan tujuan untuk memandirikan dan memberdayakan kaum tunanetra dalam
dunia pendidikan reguler dan dunia pekerjaan kelak.

2
C. Rumusan Masalah
adapun pokok permasalahan dari latar belakang di atas adalah se- bagai
berikut:
1. Non Arsitektural

a. Bagaimanakah karakteristik anak dalam ketunanetraan?


b. Bagaimana mewujudkan suatu lingkungan pembinaan penyandang
tunanetra dengan strategi dan pola pembelajaran yang optimal melalui
fasilitas bangunan yang disediakan?
2. Arsitektural

a. Bagaimana menerapkan standar aksesibilitas yang dibutuhkan


tunanetra pada bangunan?
b. Bagaimana menentukan jenis kebutuhan ruang dan besaran ruang
untuk mewadahi seluruh kegiatan di pusat pendidikan penyandang
tunanetra di Makassar?
c. Apa kriteria dalam pemilihan material dan utilitas pada bangunan yang
aman bagi penyandang tunanetra dan pelaku aktivitas lainnya?

D. Tujuan dan Sasaran pembahasan


1. Tujuan Pembahasan

Pembahasan ini bertujuan untuk menyusun dan merancang wadah yang


ditujukan khusus kepada para penyandang tunanetra yang akan melayani
segala kegiatan yang berhubungan dengan tunanetra baik dalam bidang
pendidikan dan pembinaan, terutama pada perancangan ruang belajar, asrama,
lapangan olahraga daln lainnya yang sesuai dengan karakter dan kegiatan anak.
2. Sasaran Pembahasan

Mempelajari dasar-dasar perwujudan bangunan dan ruang dalam melalui


pendekatan arsitektur yang berdasarkan pada pola kegiatan anak tunanetra dan
standar-standar, serta faktor-faktor makro dan mikro yang akan berpengaruh
terhadap tuntutan kebutuhan fungsi, dan menyusun acuan perancangan pusat
pendidikan tunanetra di makassar dengan pendekatan pada aksesibilitasnya.

Anda mungkin juga menyukai