Anda di halaman 1dari 73

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber penerimaan Negara yang diandalkan pemerintah untuk

pembiayaan pembangunan sebagaimana tercantum dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdiri dari dua sumber penerimaan

negara yaitusumber dana luar negeri dan sumber danadalam negeri. Sumber

dana luar negeri, misalnya pinjaman luar negeri dan hibah, sedangkan sumber

dana dalam negeri misalnya penjualan migas dan non migas serta pajak. Saat ini

dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan pajak

merupakan sumber penerimaan dalam negeri yang terbesar yaitu 70% dari

seluruh penerimaan negara.Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No.

6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan Undang-

Undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umumdan Tata Cara Perpajakan,

pengertian pajak adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh

orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang,

dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Guna melaksanakan dan merealisasikan fungsi pajak sebagai alat untuk

memakmurkan rakyat maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai

lembaga yang berwenang dalam mengumpulkan pajak melakukan

perubahan mendasar di segala aspek perpajakan untuk mewujudkan citra

dan target pajak menjadi nyata. Reformasi dilakukan terhadap empat

sasaran utama, yaitu mereformasi Undang-Undang Perpajakan, moral,

etika, dan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak serta peningkatan


2

kepatuhan Wajib Pajak.Dalam upaya meningkatkan kepatuhan

pajakpemerintah telah melakukan langkah-langkah perbaikan dan perubahan

dalam pemungutan pajak sebagai usaha meningkatkan penerimaan pajak, salah

satunya pada awal tahun 1984, pemerintah telah melakukan reformasi system

perpajakan di Indonesia yaitu perubahan dari official assessment system menjadi

self assessment system yang sampai saat ini masih dipakai dalam system

pemungutan pajak di Indonesia. Pada self assessment system wajib pajak diberi

kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar/menyetor

dan melaporkan besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan peraturan

perundang-undangan perpajakan.

Martowardojo (2011) menegaskan kepatuhan wajib pajak dalam

memenuhi kewajiban pajaknya masih sangat rendah untuk

Indonesia.Masih saja terdapat wajib pajak yang belum benar atau tidak

sesuai ketentuan dalam melaporkan Surat Pemberitahuan (Rudaedi,

2012).Rendahnya angka kepatuhan wajib pajak tentunya akan

berdampak terhadap penerimaan negara yang merupakan salah satu

modal pembangunan. Berikut ini data rasio penyampaian SPT Tahunan

PPhpada tahun 2010-2012 yang diumumkan dirjen pajak:

Tabel 1. Rasio Penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun 2010-2012

Uraian 2010 2011 2012

WP Terdaftar (wajib 14.101.933 17.694.317 17.69.278


SPT)

Wajib Pajak 1.590.933 1.590.154 1.026.388


Badan

Wajib pajak 12.567.000 16.140.163 16.632.890


orang
Pribadi
3

Penyampaian SPT 8.202.309 9.332.626 9.482.480


Tahunan PPh

Wajib Pajak 501.348 520.375 547.659


Badan

Wajib Pajak 7.700.961 8.812.251 8.934.821


Orang Pribadi

Rasio Kepatuhan 58,16% 52,74% 53,70%


(%)

Wajib Pajak 32,66% 32,72% 53,36%


Badan

Wajib Pajak 61,28% 54,72% 53,72%


Orang
Pribadi

Sumber: Harian Bisnis Indonesia 30 Juli 2015 (www.ortax.org)

Dari tabel diatas di ketahui bahwa angka kepatuhan khususnya pada

Wajib Pajak badan masih sangat rendah walaupun pada periode 2010-2012

selalu mengalami kenaikan dari 32,66% pada tahun 2010 menjadi 53,70%

pada tahun 2012. Sedangkan untuk orang pribadi mencapai 53,72%. Terdapat

perbedaan yang cukup signifikan antara rasio tingkat kepatuhan DJP secara

nasional dengan rasio tingkat kepatuhan di KPP Madya Malang.Data rasio

kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan KPP Madya

Malang 2010-2015

N Tahun
Jenis WP
o 2010 2011 2012 2013 2014 2015
1 Terdaftar 991 991 1,507 1,507 1,577 1,577
2 Wajib SPT Tahunan PPh 805 805 1,282 1,286 1,250 1,221
SPT Tahunan Yang
3 disampaikan 761 744 1,218 1,209 1,359 1,184
95% 92% 95% 94% 99% 97%
Rasio Kepatuhan
Sumber : Seksi Pengolahan Data dan Informasi KPP Madya Malang

Pada table diatas dapat diketahui bahwa rasio kepatuhan penyampaian

SPT Tahunan PPh Badan di KPP Madya Malang memiliki rasio diatas 90% dan
4

cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hal ini berbeda dengan

pencapaian tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan secara nasional dalam

penyampaian SPT Tahunan PPh Badan yang masih dibawah 60%.Sedangkan

target penerimaan pajak KPP Madya Malang terus meningkat dari tahun ke

tahun seiring dengan meningkatnya target penerimaan pajak nasional. Berikut ini

pada table 3 merupakan gambaran peningkatan realisasi penerimaan pajak KPP

Madya Malang dalam kurun waktu tahun 2010- 2015.

Tabel 3. Rencana dan realisasi penerimaan pajak KPP Madya Malang

2013-2015

(dalam milyar rupiah)

Tahun
N Renc Realisas Renc Realisas Renc Realisas
Jenis Pajak
o 2013 i 2014 i 2015 i
2013 2014 2015
PPh Pasal
21/23/26/Fina
1 l 745 693 909 894 1.339 1.197
PPh Pasal
2 25/29 Badan 374 409 932 1.183 2.105 2.110
3 PPN/ PPnBM 2.732 2.414 5.587 4.975 10.256 9.860
4 Pajak lainnya 57 38 39 42 67 49
Jumlah 3.907 3.554 7.467 7.094 13.767 13.217
% realisasi 91% 95% 96%
Sumber : Seksi Pengolahan Data dan Informasi KPP Madya Malang

Pada table diatas dapat diketahui bahwa rasio realisasi penerimaan

pajak KPP Madya Malang memiliki rasio diatas 90% dan cenderung mengalami

kenaikan dari tahun ke tahun.Pencapaian rasio tingkat kepatuhan yang tinggi

tersebut seiring dengan capaian realisasi penerimaan pajak yang tinggi .Suryadi

(2006) dalam penelitiannya menegaskan bahwa terdapat pengaruh positif

kepatuhan wajib pajak terhadap kinerja penerimaan pajak.Dalam upaya

menggenjot realisasi penerimaan pajak tersebut, KPP Madya Malang telah

melakukanbeberapa inovasi pelayanan, penyuluhan dan intensifikasi


5

pengawasan kepada Wajib Pajak. Strategi inovasi pelayanan KPP Madya

Malang yang selalu digalakkan yaitu dengan diadakannyaprogram sosialisasi/

kelas pajak, SMS broadcasting, roadshow SPT Tahunan dan Sosialisasi interaktif

melalui media masa.Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan informasi

tentang peraturan dan ketentuan perpajakan terbaru kepada Wajib Pajak. Untuk

memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, dan sebagai salah satu bentuk

dari pelayanan prima, KPP Madya Malang secara rutin melakukan sosialisasi

dan penerimaan SPT Tahunan melalui drop box yang diselenggarakan

diberbagai kota dengan tujuan untuk lebih mendekati Wajib Pajak yang berada

jauh dari lokasi KPP Madya Malang. Selain inovasi tersebut KPP Madya Malang

juga melakukan layanan yang telah dikembangkan DJP yang berorientasi pada

pemanfaatan teknologi dan mengarah kepada layanan berbasis online.Beberapa

dari layanan tersebut adalah e-filing, e-bupot, e-billing, e-faktur, dan e-

registration.Selain itu strategi intensifikasi pajak juga dilakukan, yaitu dengan

penggalian potensi dari Wajib Pajak yang telah terdaftar dengan himbauan-

himbauan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) serta pengujian kepatuhan

Wajib Pajak melalui pemeriksaan pajak.

Sejak tahun 2002, DJP telah meluncurkan program perubahan atau

reformasi administrasi perpajakan yang biasa disebut modernisasi.Jiwa dari

program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan

sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan

memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini.Strategi yang

ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif

kepada para Wajib Pajak (DJP,2007).Pelayanan prima merupakan inovasi yang

saat ini sedang gencar dibangun oleh DJP sebagai daya dorong untuk mencapai

visi dan misinya.Dengan pelayanan berbasis teknologi modern diharapkan

memberi kemudahan bagi wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban


6

perpajakannya dan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan sukarela Wajib

Pajak.Jatmiko (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan pelayanan fiskus terhadap kepatuhan wajib

pajak.Olabede (2011) dalam penelitiannya juga menyimpulkan persepsi tentang

kualitas pelayanan pajak berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap

kepatuhan wajib pajak.

Pengawasan intensif kepada para Wajib Pajakditekankan dalam rangka

untuk meningkatkan kepatuhan dan menjaga agar wajib pajak tetap berada

dalam koridor peraturan perpajakan.DJP melakukan upaya pengawasan dan

penegakan hukum atas pelaksanaan self assessment systemyaitu melalui

pemeriksaan pajak dengan tujuan untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Karyoto

(2011) Audit perpajakan atau pemeriksaan pajak merupakan hal tindakan penting

untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan kinerja perpajakan. Pemeriksaan

pajak dapat memberikan efek jera (detterent effect) kepada Wajib pajak sehingga

dapat mengurangi penggelapan pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

DJP memerlukan proses penentuan arah untuk mencapai visi dan misi

nya di masa yang akan datang. Visi DJP adalah menjadi institusi penghimpun

penerimaan negara yang terbaik demi menjamin kedaulatan dan kemandirian

negara dan misi nya adalah menjamin penyelenggaraan negara yang berdaulat

dan mandiri dengan (1).mengumpulkan penerimaan berdasarkan kepatuhan

pajak sukarela yang tinggi dan penegakan hukum yang adil, (2) pelayanan

berbasis teknologi modern untuk kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan,

(3) aparatur pajak yang berintegritas, kompeten dan professional, (4)

kompensasi yang kompetitif berbasis sistem manajemen kinerja.Sehingga

benang merah dalam penelitian ini yaitu peneliti akan meneliti tentang misi DJP

yang dipengaruhi oleh faktor wajib pajak yaitu pemeriksaan pajak, kualitas

pelayanan, kepatuhan sukarela dan penerimaan pajak.


7

1.2 Research Gap

Research gap dan kebaruan penelitian ini dibandingkan penelitian

terdahulu adalah penelitian ini merupakan sintesis beberapa variabel

penelitian.Terdapat beberapa variabel pemeriksaan pajak yang pernah diteliti di

luar negeri yaitu diantaranya diteliti oleh Allingham and Sandmo (1972), Alm et

al. (1992), Kleven et.al (2011) ), Modugu (2014)dan penelitian dalam negeri yaitu

diantaranya oleh Aritonang (2001) , Kariyoto (2011), Arsyad (2013).Terdapat

beberapa variabel Kualitas pelayanan yang pernah diteliti di luar negeri yaitu

diantaranya diteliti oleh Olabede (2011), dan penelitian dalam negeri yaitu

diantaranya oleh Jatmiko (2006), Nurlis and Kamil (2015), Trisnawati

(2015).Variabel kepatuhan wajib pajak yang telah diteliti diluar negeri diantaranya

oleh Allingham and Sandmo (1972), Alm et al. (1992), Modugu (2014), Kleven

et.al (2011), Boylan (2009), Gupta and Mookherjee (2003), dan penelitian dalam

negeri yang telah dilakukan oleh Suryadi (2006) , Kariyoto (2011), Arsyad (2013).

Variabel penerimaan pajak telah diteliti oleh Gupta and Mookherjee (2003),

Suryadi (2006), Boylan (2009), Kheradyar (2015), Ladi (2015).

Dalam beberapa penelitian terdahulu telah banyak dilakukan penelitian

tentang pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan, dimana banyak

disimpulkan bahwapemeriksaan pajakberpengaruh terhadap kepatuhan

pajak.Allingham and Sandmo (1972) menyimpulkan bahwa tarif pajak, tingkat

hukuman dan audit perpajakan merupakan alat yang efisien untuk mengurangi

terjadinya penghindaran pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib

pajak.Alm et.al (1992) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan

pemeriksaan pajak dan sanksi penalti yang baik akan meningkatkan kepatuhan

Wajib Pajak. Kepatuhan dan kinerja penerimaan pajak dapat ditingkatkan melalui

pemeriksaan pajak (Aritonang, 2001).Suryadi (2006) dalam penelitinnya


8

membuktikan bahwa Kepatuhan Wajib Pajak yang diukur dari pemeriksaan

pajak, penegakan hukum dan kompensasi pajak berpengaruh signifikan terhadap

kinerja penerimaan pajak.Kleven et.al(2011) dalam penelitiannya menyimpulkan

bahwa penegakan hukum dalam hal ini pemeriksaan pajak dapat mengurangi tax

evasion atau penggelapan pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib

pajak dan terdapat perbedaan kepatuhan antara wajibpajak yang sering diaudit

dan tidak diaudit dimana perusahaan yang diaudit memiliki kepatuhan yang lebih

tinggi.Pendekatan dalam penelitian terdahulu tersebut menekankan bahwa

kepatuhan pajak yang merupakan dampak dari pemeriksaan pajak adalah

sebagai suatu paksaan. Kepatuhan pajak karena keterpaksaan tersebut

dilakukan Wajib Pajak karena semata- mata ingin melaksanakan kewajiban

perpajakan sesuai dengan peraturan pemerintah. Kepatuhan ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu diantara karena tarif pajak, pertimbangan ekonomi, sanksi

atas ketidakpatuhan dan kemungkinan audit atau pemeriksaan pajak.

Selain kepatuhan pajak sebagai paksaan (enforced compliance) sangat

diperlukan juga kepatuhan pajak yang berasal dari kesadaran dan keikhlasan

Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Kepatuhan ini disebut

dengan kepatuhan sukarela ( voluntary compliance). Terwujudnya kepatuhan

sukarela wajib pajak merupakan salah satu misi DJP yaitu mengumpulkan

penerimaan berdasarkan kepatuhan pajak sukarela yang tinggi.Sehingga dalam

penelitian ini peneliti menambahkan variable kualitas pelayanan prima dimana

faktor kualitas pelayanan ini diharapkan dapatmemudahkan dan mengurangi

biaya Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sehingga dapat

menumbuhkan kepatuhan sukarela wajib pajak.Jatmiko (2006) dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan

pelayanan fiskus terhadap kepatuhan wajib pajak.Olabede (2011) dalam

penelitiannya juga menyimpulkan persepsi tentang kualitas pelayanan pajak


9

berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kepatuhan wajib pajak.Nurlis

and Kamil (2015) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kesadaran Wajib

Pajak, pengetahuan, sanksi pajak dan pelayanan pajak berpengaruh positif

terhadap kepatuhan pajak.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkonfirmasi ulang dan menguji secara

empiris model kepatuhan pajak dengan mensintesis variabel penelitian

terdahulubaik dari dalam dan luar negeri yang meliputi kualitas pelayanan,

pemeriksaan wajib pajak, kepatuhan wajib pajak dan Penerimaan. Sebagian

besar penelitian terdahulu tentang kepatuhan pajak menggunakan obyek

penelitian wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama. Obyek penelitian ini

adalah tax profesional dari wajib pajak Badan yang terdaftar di KPP Madya. Tax

profesional ini merupakan profesional diperusahaan yang ahli dibidang

perpajakan.Penelitian ini mempunyai nilai tambah berupa kajian yang lebih

menyeluruh dibandingkan dengan penelitian-penelitian kepatuhan pajak

sebelumnya yaitu faktor-faktor yang menentukan kepatuhan pajak dan pengaruh

kepatuhan pada penerimaan pajak dari sudut pandang pemeriksaan pajak

sebagai alat untuk mewujudkan kepatuhan pajak dan kualitas pelayanan yang

prima sebagai alat untuk menumbuhkan kepatuhan pajak sukarela.

Penelitian ini menggunakan model hipotesis yang dikembangkan oleh

Suryadi (2006)dan Kriyoto (2011), namun terdapat perbedaanyang signifikan

antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.Peneliti menambahkan

variabel kualitas pelayanan dari replikasi penelitian Jatmiko (2006) dan Olabade

(2011) dimana peneliti ingin mengkonfirmasi ulang hasil penelitian tersebut yaitu

terdapat pengaruh secara signifikan dan positif

persepsitentangkualitaspelayananpajakterhadapkepatuhanwajibpajakorangpriba

di. Kariyoto (2011) dalam penelitiannya menggunakan persepsi Account

Representative di seluruh Kantor Pelayanan Pajak yang berada di Wilayah


10

Kanwil DJP Jawa Timur III sedangkan dalam penelitian ini peneliti menggunakan

persepsi Wajib Pajak Badan yang telah dilakukan pemeriksaan pajak dan atau

memanfaatkan pelayanan prima di KPP Madya Malang sehingga dapat diketahui

secara obyektif pengaruh kepatuhan pajak yang dipaksa (enforced

compliance)dari hasil pemeriksaan pajak dan kepatuhan pajak sukarela

(voluntary compliance) yang muncul dari pemanfaatan kualitas pelayanan prima

dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak.Peneliti ingin melakukan

penelitian dengan menggunakan sudut pandang dari sisi Wajib Pajak bukan dari

sudut pandang petugas pajak karena Wajib Pajak memiliki peran yang dominan

dalam pelaksanaan self assessment.Sample dalam penelitian Jatmiko (2006),

adalah Wajib Pajak orang pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak

Pratama atau Small Taxpayer Office sedangkan dalam penelitian ini

menggunakan sample Wajib Pajak Badan di KPP Madya atau Medium Taxpayer

Office karena berdasarkan hasil penelitian Suryadi (2006) terdapat perbedaan

kesadaran Wajib Pajak besar dan Wajib Pajak kecil dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya. Wajib Pajak besar lebih memiliki kesadaran yang tinggi

dibandingkan Wajib Pajak kecil. Demikian juga sample yang digunakan oleh

Trisnawati (2015) yaitu Wajib Pajak hotel, restoran dan hiburan berbeda dengan

penelitian ini yang menggunakan Wajib Pajak dengan semua jenis klasifikasi

usaha .

Uraian diatas merupakan latar belakang penulis untuk melakukan

penelitian ini.Pelayanan prima sebagai salah satu strategi dan daya dorong untuk

meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance)wajib pajakdalam

pelaksanaan self assesment danpemeriksaan pajak sebagai alat pengawasan

terhadap kepatuhan wajib pajak (enforced compliance) dimana keduanya

merupakan faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan self assesment

system untuk tercapainya tingkat kepatuhan pajak yang tinggi dan dapat
11

meningkatkan penerimaan pajak. Penelitimenggunakan variable kualitas

pelayanan, pemeriksaan Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak dan penerimaan pajak,

dengan tujuan untuk mengkaji lebih dalam kepatuhan pajak yang didukung oleh

kualitas pelayanan dan pemeriksaan pajak dan pengaruhnya terhadap

penerimaan pajak.

1.3 Motivasi Penelitian

Penilitian ini dilaksanakan dengan didasari motivasi untuk mengkaji isu-

isu perpajakan terkini yaitu diantaranya adalah kesatu,masih rendahnya tingkat

kepatuhan pajak di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui tingkat kepatuhan wajib

pajak dalam melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dan orang pribadi masih

sangat rendah, yaitu dengan rata- rata masih dibawah 60%. Apabila hal ini

berlangsung terus menerus untuk tahun yang akan datang, akan semakin berat

sumber penerimaan negara dalam membiayai pembangunan bangsa. Untuk

meningkatkan penerimaan pajak pada sistem self assesment yang dipakai dalam

sistem perpajakan di Indonesia sangatlah bergantung pada kepatuhan Wajib

Pajak. Selain kepatuhan wajib Pajak yang terbentuk secara terpaksa diperlukan

pula kepatuhan sukarela wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Pemerintah berusaha menumbuhkan kesadaran sukarela wajib pajak yaitu salah

satunya dengan memberikan sarana dan pelayanan prima, memantau dan

memberi dukungan agar wajib pajak dapat dengan mudah dan nyaman

melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Kedua, terus meningkatnya target penerimaan pajak dari tahun ke

tahun. Target penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus meningkat seiring

dengan meningkatnya Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam usaha meningkatkan penerimaan pajak ini sangat diperlukan kepatuhan

sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.


12

Ketiga, tingginya tingkat kepatuhan pajak di KPP Madya Malang.

Capaian tingginya tingkat kepatuhan tersebut sangat berbeda dengan capaian

tingkat kepatuhan secara nasional.Berdasarkan data rasio kepatuhan

penyampaian SPT Tahunan PPh Badan di KPP Madya Malang memiliki rasio

diatas 90% (cukup tinggi) sedangkan pencapaian tingkat kepatuhan Wajib Pajak

Badan secara nasional dalam penyampaian SPT Tahunan PPh Badan yang

masih dibawah 60%.KPP Madya Malang merupakan perwujudan dari proses

modernisasi Direktorat Jenderal Pajak yang telah mengaplikasikanpelayanan

berbasis teknologi modern yang memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam

pemenuhan kewajiban perpajakannya dan meningkatkan kesadaran dan

kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

1.4 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah kualitas pelayananberpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak

Badan di Kantor Pelayanan PajakMadya Malang?


2. Apakah pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak

Badan di Kantor Pelayanan PajakMadya Malang?


3. Apakah kualitas pelayanan berpengaruh terhadap penerimaan pajak di

Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang?


4. Apakah pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak di

Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang?


5. Apakah kepatuhan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak di

Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisa pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepatuhan

Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.


13

2. Untuk menganalisa pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan

Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.


3. Untuk menganalisa pengaruhkualitas pelayanan terhadap penerimaan

pajak di Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.


4. Untuk menganalisa pengaruh pemeriksaan pajak terhadap penerimaan

pajak di Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.


5. Untuk menganalisa pengaruhkepatuhan pajak terhadap penerimaan

pajak di Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat

berguna dan bermanfaat bagi penulis dan pihak- pihak yang berkepentingan

antara lain :

1. Kontribusi Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan memberikan bukti empiris

tentang factor- factor yang berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak

berupa kajian tentang kualitas pelayanan, pemeriksaan pajak yang

mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dan penerimaan pajak dalam

ranah studi akuntansi.Bukti ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai masalah perpajakan khususnya kualitas

pelayanan, pemeriksaan Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

dan penerimaan pajak.


2. Kontribusi Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi praktis bagi Direktorat

Jenderal Pajak (DJP) dan wajib pajak tentang pengaruh kualitas

pelayanan, pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dan

penerimaan pajak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

wawasan dan pengetahuan dibidang perpajakan dan sumber informasi

khususnya pemahaman mengenai Pengaruh kualitas

pelayanan,pemeriksaan pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dan


14

penerimaan pajak sehingga diharapkan dapat menunjang penelitian yang

sejenis pada masa yang akan datang.


3. Kontribusi Kebijakan
Penelitian ini secara tidak langsung diharapkan memberikan informasi

kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak Madya

Malang khususnya sebagai penyusun sistem perpajakan selaku regulator

tentang kualitas pelayanan, pemeriksaan pajak untuk meningkatkan

kepatuhan wajib pajak dan penerimaan pajak. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atau menjadi

masukan dan tambahan informasi bagi Kantor Pelayanan Pajak Madya

Malang untuk mengatasi kekurangan- kekurangan dalam hubungannya

dengan kualitas pelayanan, pemeriksaan pajak, sehingga dapat

dilaksanakan dengan baik dan dapat membantu meningkatkan kepatuhan

dan penerimaan pajak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Maksimalisasi Utilitas

Penelitian tentang faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak pada

awalnya hanya melihat dari sisi kepentingan ekonomi Wajib Pajak. Pada tahun

1972 Allingham dan Sandmo mulai melakukan penelitian yang spesifik mengenai

kepatuhan pajak. Allingham dan Sandmo (1972) melakukan penelitian tentang

hubungan antara penghasilan, tariff pajak, kemungkinan diperiksa dan besarnya

sanksi perpajakan pada perilaku tax evasion. Dalam penelitian tersebut tax
15

evasion diwujudkan dengan pelaporan pajak yang lebih kecil dari seharusnya.

Allingham dan Sandmo (1972) berasumsi bahwa manusia mempunyai tujuan

memaksimalkan keuntungan/ utilitas mereka.Utilitas tersebut merupakan fungsi

dari penghasilan, tarif pajak, kemungkinan diperiksa fiskus, dan besarnya sanksi

pajak. Wajib Pajak akan berusaha sebisa mungkin agar mendapatkan expected

utility yang tinggi. Teori ini dinamakan sebagai Teori Maksimalisasi Utilitas. Teori

ini berkeyakinan tidak ada individu bersedia membayar pajak secara sukarela

(voluntary compliance). Oleh sebab itu individu akan selalu menentang untuk

membayar pajak (risk aversion). Untuk menjelaskan teorinya tersebut, Allingham dan

Sandmo (1972) merumuskan suatu model :

D = D (I,t,p, f)

D :declared income

I : pendapatan tetap

t : tarif pajak

p : probabilitas untuk diaudit

f :penalty rate

Menurut teori ini , faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan pajak antara

lain : pendapatan tetap (I), tarif pajak (t), probabilitas dilakukan audit (p), dan

besarnya sanksi yang mungkin dikenakan (f). Individu diasumsikan memiliki

endowment pendapatan yang tetap yang harus dilaporkan ke pemerintah untuk

menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkannya. Declared Income merupakan

tingkat pendapatan wajib pajak yang dilaporkan pada tingkat tarif pajak t. Pendapatan

yang tidak dilaporkan tidak dikenai pajak, tetapi konsekuensinya individu

dimungkinkan untuk di audit dengan denda sanksi sebesar f yang harus di bayar

untuk setiap pendapatan yang tidak dikenakan pajak.


16

Teori ini berkeyakinan bahwa secara mendasar diyakini bahwa penghindaran

pajak tergantung dan berbanding terbalik pada kemungkinan terkena sanksi dan

besarnyasanksi yang dikenakan. Bagian penghasilan yang diselundupkan menurun

sejalan dengansemakin tingginya denda dan sanksi. Intinya teori ini semata-mata

meletakkan kepatuhanpajak pada pundak wajib pajak, sementara perilaku aparat

pajak (fiskus) diabaikan samasekali padahal dalam prakteknya perilaku kepatuhan

wajib pajak berbanding lurus denganbagaimana fiskus memperlakukan mereka

(Yitzhaki, 1974).
Analisis teoritis dari model ini mengindikasikan bahwa dengan

meningkatkan kemungkinan audit dan sanksi pajak yang berat dapat meningkatkan

kepatuhan wajib pajak. Teori ini juga dapat memprediksi hubungan positif antara tarif

sanksi dengan tingkat kepatuhan wajib pajak. Selain itu model teori ini dapat

memprediksi besarnya tarif pajak dengan mengasumsikan bahwa wajib pajak

menunjukkan tanda penurunan yang signifikandari prilaku penghindaran pajak dan

anggapan bahwa kenaikan tarif pajak juga akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak

yang ada.Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka teori maksimalisasi utilitas

menjelaskan bahwa perilaku kepatuhan wajib pajak dipengaruhi adanya keadilan

dalam sistem perpajakan yang berlaku. Dalam hal ini otoritas pajak perlu meyakinkan

wajib pajakbahwa manfaat yang akan di terima ketika membayar pajak lebih besar

daripada risiko atausanksi yang harus ditanggung wajib pajak jika tidak patuh dalam

membayar pajak. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan pemahaman

mengenai manfaat dari membayar pajak kepada wajib pajak.

2.2 Teori Pembelajaran Sosial

Teori pembelajaran sosial dikemukakan oleh Albert Bandura (1977) dalam

Masruroh dan Zulaikha (2013).Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat belajar
17

melalui pengamatan dan pengalaman langsung Robbins dan Judge (2008) dalam

Masruroh dan Zulaikha (2013). Teori pembelajaran sosial relevan untuk menjelaskan

perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Teori ini

dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa Wajib Pajak akan patuh dalam membayar

dan melaporkan pajak yang menjadi kewajibannya jika lewat pengamatan dan

pengalaman langsungnya, pajak yang dibayarkan telah digunakan untuk membantu

pembangunan di wilayahnya (Jatmiko, 2006).

2.3 Definisi Pajak

Dewasa ini masalah perpajakan menjadi topik pembicaraan yang hangat

dikalangan masyarakat luas.Sebelum membicarakan masalah perpajakan perlu

kita pahami dahulupengertianpajak. Beberapa ahli dibidang perpajakan telah

mendefinisikannya, beragam definisi dari para ahli yaitu sebagai berikut: menurut

Adriani (1991), seperti yang dijelaskan oleh Waluyo (2008) pajak adalah iuran

kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib

membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi

kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas

Negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan menurut Mardiasmo

(2006) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-

undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.


Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 6 Tahun 1983

sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan Undang- Undang No.16

Tahun 2009 tentang Ketentuan Umumdan Tata Cara Perpajakan, pengertian

pajak adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
18

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak

mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :

1. Iuran wajib dari rakyat kepada Negara.


2. Pajak bersifat memaksa dan dipungut berdasarkan undang-undang.
3. Tidak terdapat timbal balik dari hegara yang secara langsung dapat

ditunjuk.
4. Pajak digunakan untuk keperluan pemerintah/ negara membiayai

pengeluaran-pengeluaran pemerintah dengan tujuan kemakmuran rakyat.

Definisi pajak yang dikemukakan oleh Soemitro dalam Mardiasmo

(2011:1), Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-

undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukkan, dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.


Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-

unsur:

1. Iuran rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak adalah negara,

iuran tersebut adalah uang bukan barang.


2. Berdasarkan undang undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan

kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya


3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung

dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya

kontrprestasi individual oleh pemerintah


4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-

pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Penegertian pajak menurut Undang-undang no 28 tahun 2007 tentang

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak


19

mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Definisi pajak yang dikemukakan oleh Djajadiningrat dalam Resmi

(2013:1) pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke kas

negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang

memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan suatu hukuman, menurut

peraturan yang telah ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak

ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara

kesejahteraan umum.
Definisi pajak yang dikemukakan oleh Feldmann dalam Resmi (2013:2):

Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada

penguasa (menurut norma norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa

adanya kontraprestasi, dan semata mata digunakan untuk menutup pengeluaran

pengeluaran umum. Dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2007 KUP di jelaskan

bahwa, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Selain itu dalam pengertian pajak yang telah dijabarkan tersebut

terkandung pula 2 fungsi pajak, yaitu: (1) Fungi Budgetair (Sumber Keuangan

Negara)dan (2) Fungsi Regularend (Pengatur). Fungsi budgetair memiliki arti

bahwa pajak merupakan salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk

membiayai pengeluaran - pengeluarannya. Oleh karena itu pemerintah berupaya

memaksimalkan penerimaan di sektor pajak.Sedangkan fungsi regularend

memiliki arti bahwa pajak merupakan alat untuk pengatur atau melaksanakan

kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan -

tujuan tertentu di luar bidang keuangan (Mardiasmo, 2003:1).


Berdasarkan teori di atas pajak merupakan hal yang tidak boleh di

remehkan oleh masyarakat karena untuk pembayaran pajak hasilnya akan di


20

gunakan untuk pembangunan negara yang utamanya akan mensejahterakan

masyarakat dalam hal ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

2.4 Self Assessment System

Pada awal tahun 1984, sistem perpajakan di Indonesia berubah dari

official asessment system menjadi self assessment system.Berikut ini pengertian

self assessment sytem menurut beberapa ahli :


Pengertian self assessment system menurut Mardiasmo (2008) menjelaskan

bahwa:
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib

Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.


Menurut Siti Resmi (2009) pengertian self assessment system menjelaskan

bahwa:
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak

untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya

sesuai dengan ketentuan undang- undang perpajakan yang berlaku.


Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa self assessment

systemmemberi kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung,

memperhitungkan, membayar/ menyetor dan melaporkan besarnya pajak yang

terhutang sesuai dengan peraturan perundang- undangan perpajakan.


Pelaksanaan self assessment system yang memberi kepercayaan

kepada masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan sendiri kewajiban

perpajakannya harus diimbangi dengan voluntary compliance ( kepatuhan

sukarela) masyarakat yang sesuai ketentuan perpajakan sudah harus membayar

pajak, dengan kesadaran dan kemauan sendiri harus mendaftarkan diri menjadi

pembayar pajak, menghitung sendiri pajak yang terutang, membayar sendiri

kekurangan pajaknya dan melaporkan semua itu ke kantor pajak (Rini, 2008).

2.5 Pengertian Wajib Pajak Badan

Berdasarkan Undang-UndangNo 6 Tahun 1983 sebagaimana telah

beberapakali diubah terakhir dengan Undang- Undang No.16 Tahun 2009tentang


21

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian Wajib Pajak adalah

orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan

pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan pengertian Badan

adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang

melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara

atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,

kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk

badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

2.6 Kepatuhan Wajib Pajak

2.4.1 Definisi Kepatuhan Wajib Pajak


Kepatuhan pajak merupakan masalah klasik yang dihadapi otoritas pajak

di seluruh dunia. Kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai kemauan Wajib

Pajak untuk tunduk terhadap regulasi perpajakan di suatu Negara

(Andreoni,Erard dan Feinstein: 1998). Pada umumnya kepatuhan pajak, dapat

dibagi menjadi dua. Pertama, kepatuhan secara administratif atau secara formal,

yang mencakup sejauh mana Wajib Pajak patuh terhadap persyaratan

prosedural dan administrasi pajak, termasuk mengenai syarat pelaporan serta

waktu untuk menyampaikan dan membayar pajak. Kedua,kepatuhan secara

teknis atau materiil, yang mengacu pada perhitungan jumlah beban pajak secara

benar (OECD: 2001).


Selama empat dekade terakhir, penelitian tentang kepatuhan pajak baik

secara teoritis maupun empiris telah banyak dilakukan.Secara umum, terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan Wajib Pajak, yang

dapat diklasifikasikan dalam lima kategori( OECD:2001) , yaitu:


22

a. Upaya pencegahan (deterrence), misalnyaintensitas pemeriksaan pajak,

risiko terdeteksi,serta tingkat sanksi yang dikenakan. Hal ini berangkat dari

konsep bahwa risiko terdeteksimaupun sanksi dapat merubah perilaku

kepatuhan pajak.
b. Norma atau nilai yang berlaku, baik norma yang dipegang olehpribadi

maupun norma sosial.


c. Kesempatan, baik untuk patuh (terkait dengan biaya kepatuhan yang rendah,

maupun aturan yang sederhana dan tidak kompleks) atau

tidakpatuh(kesempatan untuk menggelapkan pajak).


d. Keadilan (fairness) yang terkait dengan hasilataupun prosedur, serta

kepercayaan baik terhadap pemerintah (otoritas pajak) maupunterhadap

Wajib Pajak lainnya.


e. Faktor ekonomi, yang mencakup segala factor yang berhubungan dengan

kondisi ekonomi secaraumum, kondisi usaha ataupun industri, serta nilai

pajak yang harus dibayar.

Harinurdin (2009) menyatakan wajib pajak yang patuh berarti wajib pajak

tersebut telah sadar pajak, yaitu memahami akan hak dan kewajiban

perpajakannya serta melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan dengan

benar. Selanjutnya Sari (2009), mendefiniskan kepatuhan perpajakan sebagai

suatu keadaan bahwa wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan

melaksanakan hak perpajakannya. Jadi, kepatuhan wajib pajak adalah perilaku

wajib pajak yang menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan

perpajakan yang berlaku di Indonesia (Syakura, 2014).


2.4.2 Indikator Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan pajak badan adalah kepatuhan tax professional dalam

memenuhi kewajiban perpajakan perusahaan. Penelitian Brown dan Mazur

(2003) dalam Mustikasari (2007) mengukur kepatuhan pajak dengan 3

pengukuran yaitu :
23

a. Kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance), Kepatuhan dalam

penyerahan SPT didasarkan atas ketepatan dalam pembayaran tidak

melebihi dari ketentuan yang sudah ditentukan kantor pajak.


b. Kepatuhan pembayaran (payment compliance), Kepatuhan dalam

pembayaran didasarkan atas ketepatan dalam nilai dan besaran yang harus

dibayar dan waktu pembayaran.


c. Kepatuhan pelaporan (reporting compliance). Kepatuhan dalam pelaporan

didasarkan atas ketepatan dalam waktu pelaporan nilai pajak yang harus

dibayarkan ke kantor pajak. Indikator ketiga variabel kepatuhan mengacu

pada definisi kepatuhan material pada KMK No. 544/04/2000 stdd KMK No.

235/KMK. 03/2003 Kepdirjen No. KEP-550/PJ. /2000 stdd KEP-213/PJ/2003

Peraturan Menteri Keuangan - 192/PMK. 03/2007.

2.7 Kualitas Pelayanan


2.7.1 Pengertian Kualitas

Dalam situasi persaingan global yang semakin kompetitif, persoalan

kualitas produk menjadi isu sentral bagi setiap perusahaan. Kemampuan

perusahaan untuk menyediakan produk berkualitas akan menjadi senjata untuk

memenangkan persaingan, karena dengan memberikan produk berkualitas,

kepuasan konsumen akan tercapai. Oleh karena itu perusahaan harus

menentukan definisi yang tepat dan pemahaman yang akurat tentang kualitas

yang tepat.

Menurut American Society for Quality Control (Kotler, 2007:50) : Kualitas

adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau

jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang

telah ditentukan atau bersifat laten.

Selanjutnya menurut Duran dalam bukunya Quality Control Handbook,

seperti yang dikutip oleh Lupiyoadi (2001), kualitas dapat diartikan sebagai biaya

yang dapat dihindari (avoidable) dan yang tidak dapat dihindari (unavoidable).
24

Yang termasuk dalam biaya yang dapat dihindari misalnya biaya akibat

kegagalan produk, sementara yang termasuk biaya yang tidak dapat dihindari

misalnya biaya kegiatan pengawasan kualitas.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa definisi

kualitas bersumber dari dua sisi, produsen dan konsumen.Produsen menentukan

persyaratan atau spesifikasi kualitas, sedangkan konsumen menentukan

kebutuhan dan keinginan. Pendefinisian akan akurat jika produsen mampu

menerjemahkan kebutuhan dan keinginan atas produk ke dalam spesifikasi

produk yang dihasilkan.

2.7.2 Pengertian Pelayanan

Menurut Kotler (2000), pelayanan merupakan setiap tindakan atau

kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada

dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Umar

(2003), pelayanan secara umum adalah rasa menyenangkan yang diberikan

kepada orang lain disertai kemudahan-kemudahan dan memenuhi segala

kebutuhan mereka. Payne (2000), pelayanan adalah rasa menyenangkan atau

tidak menyenangkan yang diterima oleh penerima pelayanan pada saat

memperoleh pelayanan. Payne juga mengatakan bahwa pelayanan pelanggan

mengandung pengertian:

1) Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menerima, memproses,

menyampaikan dan memenuhi pesanan pelanggan dan untuk menindak

lanjuti setiap kegiatan yang mengandung kekeliruan.

2) Ketepatan waktu dan reliabilitas penyampaian jasa kepada pelanggan

sesuai dengan harapan mereka.

3) Serangkaian kegiatan yang meliputi semua bidang bisnis yang terpadu

untuk menyampaikan produk-produk dan jasa tersebut sedemikian rupa


25

sehingga dipersepsikan memuaskan oleh pelanggan dan merealisasikan

pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.

4) Total pesanan yang masuk dan seluruh komunikasi dengan pelanggan.

5) Penyampaian produk kepada pelanggan tepat waktu dan akurat dengan

segala tindak lanjut serta tanggapan keterangan yang akurat.

2.7.3 Pengertian Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan adalah hak mutlak yang harus dimiliki oleh

perusahaan atau instansi yang menawarkan jasa, karena dengan kualitas

pelayanan kepada konsumen, perusahaan atau instani dapat mengukur tingkat

kinerja yang telah dicapai.

Menurut Lewis dan Booms dalamTjiptono dan Chandra (2005), kualitas

pelayanan sebagai ukuran seberapa baik tingkat layanan yang diberikan mampu

sesuai dengan harapan pelanggan.Sedangka menurut Tjiptono (2001), kualitas

pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas

tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.Pengertian

kualitas pelayanan menurut Supranto (2006: 226) adalah sebuah kata yang bagi

penyedia merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Sementara

menurut Rangkuti (2004:28) bahwa:Kualitas jasa didefinisikan sebagai

penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan konsumen. Definisi

tersebut menekankan pada kelebihan dari tingkat kepentingan konsumen

sebagai inti dari kualitas jasa.

Jadi, faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu, Jasa

yang diharapkan dan jasa yang dirasakan atau dipersepsikan. Apabila jasa yang

dirasakan sesuai dengan jasa yang diharapkan, maka kualitas pelayanan

tersebut akan dipersepsikan baik atau positif. Demikian juga sebaliknya apabila

jasa yang dipersepsikan lebih jelek dibandingkan dengan jasa yang diharapkan
26

maka kualitas jasa yang dipersepsikan negatif atau buruk.Maka sebaiknya

kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi

harapan pelanggannya secara konsisten.

Dikaitkan dengan pelayanan perpajakan maka pelayanan dapat

didefinisikan sebagai pelayanan dalam bentuk jasa di bidang perpajakan oleh

Direktorat Jendral Pajak melalui satuan kerja yang ada dibawahnya dalam

rangka memenuhi ketentuan perpajakan yang telah ditetapkan dan dapat

menjadi sumbangan terbesar penerimaan negara. Salah satu aspek yang

menjadi peranan penting bagi fiskus yang dalam hal ini Direktorat Jendral

Pajak adalah aspek pelayanan terhadap wajib pajak. Tidak dapat dipungkiri

bahwa pelayanan memegang kunci dalam menanamkan citra Direktorat

Jendral Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada wajib pajak

sebagaimana disebutkan dalam salah satu misi DJPyaitumenjamin

penyelenggaraan negara yang berdaulat dan mandiri dengan pelayanan

berbasis teknologi modern untuk kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan.

2.7.4 Dimensi Kualitas Pelayanan

Salah satu cara membedakan sebuah perusahaan penyedia jasa adalah

memberikan jasa dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaing mereka secara

konsisten (Kotler, 2007:55). Harapan maupun penilaian konsumen terhadap

kinerja perusahaan menyangkutbeberapa faktor penentu kualitas jasa. Menurut

Parasuraman yang dikutip oleh FandyTjiptono (2006:69) ada 10 faktor utama

yang menentukan kualitas jasa yaitu:

1. Reability

Menyangkut dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance)

dankemampuan untuk dipercaya (dependability).Hal ini berarti

perusahaanmemberikan jasanya secara tepat semenjak saat


27

pertama.Selain itu juga berartibahwa perusahaan yang bersangkutan

memenuhi janjinya, misalnyamenyampaikan jasanya sesuai dengan

jadwal yang disepakati.

2. Responsiveness

Yaitu keamanan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan

jasanyasesuai dengan jadwal yang disepakati.

3. Competence

Artinya setiap orang dalam perusahaan memiliki keterampilan

danpengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.

4. Access

Meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti

lokasifasilitas jasa yang mudah terjangkau, waktu menunggu yang tidak

terlalu lama,saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi, dan lain-

lain.

5. Courtesy

Meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan yang

dimilikipara contact personnel (seperti resepsionis, operator telepon, dan

lain-lain).

6. Communication

Artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang

dapatmereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan

pelanggan.

7. Credibility

Yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama

perusahaan,reputasi perusahaan karakteristik pribadi contact personnel,

dan interaksidengan pelanggan.

8. Security
28

Yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan.Aspek ini

meliputikeamanan secara fisik (psysical safety), keamanan financial

(financialsecurity), dan kerahasiaan (confidentiality).

9. Understanding/Knowing the Customer

Yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan.

10. Tangible

Yaitu bukti fisik dari jasa berupa fasilitas fisik, peralatan yang

dipergunakan,representasi fisik dari jasa (misalnya kartu kredit plastik).

Kesepuluh dimensi tersebut dapat disederhanakan menjadi lima

dimensi,sumber dari Tjiptono (2005 : 111), yaitu :

1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam

menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan

kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan

lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan

oleh pemberi jasa.

2. Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk

memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan

terpercaya.

3. Responsiveness atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk

membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat

kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.

4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan,

kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk

menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan.

5. Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual

atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya

memahami keinginan konsumen.


29

Kualitas layananan didefinisikan sebagai penilaian nasabah atas

keunggulan atau keistimewaan suatu produk atau layanan secara menyeluruh

(Zeithaml 2000).Dengan demikian pelayanan merupakan upaya memberikan

kesenangan-kesenangan kepada nasabah dengan adanya kemudahan agar

nasabah dapat memenuhi kebutuhannya.


Dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuriman et.al (dalam

Tjiptono, 2001, p.85) adalah sebagai berikut :


1. Bukti langsung (tangible), yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam

menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan

kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat diandalkan

keadaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti nyata dari pelayanan yang

diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas fisik, perlengkapan dan

peralatan yang digunakan, teknologi, penampilan pegawai, dll.


2. Kehandalan (Reliability) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan

pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.

Kinerja harus sesuai dengan harapan nasabah, yang berarti: ketetapan

waktu, pelayanan yang sama untuk semua nasabah tanpa kesalahan,

sikap yang simpatik dan akurasi yang tinggi.


3. Daya tanggap (Responsiveness) yaitu kebijakan untuk membantu dan

memberikan pelayanan yang cepat (responsiveness) dan tepat kepada

para nasabah dengan penyampaian informasi yang jelas. Tanpa

Membiarkan nasabah menunggu dan mendapat persepsi yang negatif

dalam kualitas pelayanan.


4. Jaminan (Assurance), adanya kepastian yaitu pengetahuan, kesopan

santunan dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan

rasa percaya para nasabah kepada perusahaan. Hal ini meliputi beberapa

komponen antara lain:


a. Komunikasi (Communication), yaitu secara Terus menerus

memberikan Informasi kepada nasabah dalam bahasa dan

penggunaan kata yang jelas sehingga para nasabah dapat dengan


30

mudah mengerti di samping itu perusahaan hendaknya dapat secara

cepat dan tanggap dalam menyikapi keluhan dan komplain yang

dilakukan oleh nasabah.


b. Kredibilitas (Credibility), perlunya jaminan atas suatu kepercayaan

yang diberikan kepada nasabah, believability atau sifat kejujuran.

Menanamkan kepercayaan, memberikan kredibilitas yang baik bagi

perusahaan pada masa yang akan datang.


c. Keamanan (Security), adanya suatu kepercayaan yang tinggi dari

nasabah akan pelayanan yang diterima. Tentunya pelayanan yang

diberikan memberikan suatu jaminan kepercayaan yang maksimal.


d. Kompetensi (Competence) yaitu keterampilan yang dimiliki dan

dibutuhkan agar dalam memberikan pelayanan kepada nasabah dapat

dilaksanakan dengan optimal.


e. Sopan Santun (Courtesy), dalam pelayanan adanya suatu nilai moral

yang dimiliki oleh perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada

nasabah. Jaminan akan kesopan santunan yang ditawarkan kepada

nasabah sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.


5. Empati (Empathy), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat

individu atau pribadi yang diberikan kepada para nasabah dengan

berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan

diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang nasabah,

memahami kebutuhan nasabah secara spesifik, serta memiliki waktu

pengoperasian yang nyaman bagi nasabah.


Menurut Parasuriman, et.al terdapat dua faktor utama yang

mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service.

Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan

yang diharapkan maka kualitas jasa yang dipersepsikan baik dan

memuaskan.Jika pelayanan yang diterima melampaui harapan konsumen,

maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas pelayanan yang


31

ideal.Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang

diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk

2.8 Pemeriksaan Pajak

2.5.1. Pengertian Pemeriksaan Pajak


Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik

Indonesia Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan,

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,

keterangan, dan bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional

berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.


Fokus pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak

dalam menjalankan asas self assesment, yaitu mengisi, menghitung,

memperhitungkan, memungut, memotong, dan melaporkan seluruh kewajiban

perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


2.5.2. Jenis Pemeriksaan Pajak

1. Jenis pemeriksaan pajak menurut ruang lingkupnya adalah:


a. Pemeriksaan pajak sederhana merupakan pemeriksaan yang

mencakup suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan tahun-

tahun sebelumnya.
b. Pemeriksaan pajak lengkap merupakan pemeriksaan yang mencakup

seluruh jenis pajak.


2. Jenis pemeriksaan pajak menurut lokasinya adalah:
a. Pemeriksaan lapangan merupakan pemeriksaan pajak yang dilakukan

di tempat Wajib Pajak.


b. Pemeriksaan kantor merupakan pemeriksaan pajak yang dilakukan di

Kantor Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak.

2.5.3 Kriteria Wajib Pajak yang Diperiksa

Kriteria Wajib Pajak yang diperiksa adalah:

a. Wajib Pajak pindah Kantor Pelayanan Pajak.


32

b. SPT Tahunan Pasal 21 dan SPT Masa PPN terjadi lebih bayar sehingga

Wajib Pajak mengajukan restitusi atau kompensasi.


c. SPT Tahunan tidak dilaporkan dalam 2 (dua) tahun berturut-turut. d. SPT

Masa PPN dalam tahun berjalan tidak dilaporkan selama 3 (tiga) bulan

berturut-turut.
2.6.3 Tujuan Pemeriksaan Pajak
1. Menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang berdasarkan SKPKB,

SKPKBT, SKPLB, SKPN, Surat Keberatan, Surat Banding, Surat Teguran

dalam hal:
a. SPT tidak disampaikan tepat pada waktunya meskipun sudah

mendapat teguran secara tertulis dan untuk menguji kepatuhan Wajib

Pajak.
b. Penentuan besarnya jumlah angsuran pajak dalam suatu masa pajak

bagi Wajib Pajak baru.


c. Wajib Pajak mengajukan keberatan / banding.
2. Tujuan pemeriksaan lainnya adalah mengumpulkan bahan-bahan yang

nantinya akan dijadikan dasar untuk:


a. Menyusun norma perhitungan.
b. Mencocokan Data dan alat keterangan.
c. Mengetahui secara pasti keadaan usaha atau pekerjaan Wajib Pajak

dari pihak ketiga, dimana Wajib Pajak tersebut ada hubungannya

dengan pihak ketiga itu.


d. Hal-hal lain yang berhubungan dengan pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.


2.6.4 Kewajiban dan Hak Wajib Pajak yang Diperiksa
1. Kewajiban Wajib Pajak yang Diperiksa.
a. Memperlihatkan atau meminjamkan buku atau catatan maupun

dokumen yang menjadi dasar dan dokumen lain yang berhubungan

dengan penghasilan yang diperoleh, dari kegiatan usaha maupun

pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek terutang Wajib Pajak.


b. Memberikan kesempatan untuk memasuki ruang atau tempat yang

dipandang perlu dan memberi bantuan untuk kelancaran

pemeriksaan.
c. Memberikan keterangan yang diperlukan baik secara tertulis maupun

secara lisan 2.
33

2. Hak Wajib Pajak yang Diperiksa.


a. Meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan tanda pengenal

dan surat perintah pemeriksaan


b. Meminta penjelasan maksud dari tujuan pemeriksaan.
c. Meminta perincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara

hasil pemeriksaan dengan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam

SPT.
2.6.5 Metode Pemeriksaan Pajak

Beberapa jenis metode pemeriksaan yaitu:

1. Metode Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan

melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam SPT, yang

langsung dilakukan terhadap laporan keuangan dan buku, catatan serta

dokumen pendukung.
2. Merode Tidak Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan

melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam SPT, dilakukan

secara tidak langsung melalui suatu pendekatan penghitungan tertentu

mengenai penghasilan dan biaya.


3. Metode Vertikal adalah dengan membandingkan komponen biaya atau

harga pokok untuk dibandingkan dengan penjualan, hal ini untuk melihat

sejauh mana pengaruh atau dampak biaya yang ada terkait dengan

harga jual, metode ini juga dibandingkan dari tahun sebelumnya.


4. Metode Horisontal adalah dengan melihat sejauh mana kenaikan aktiva

atau penurunan aktiva dibandingkan dengan tahun sebelumnya, hal ini

berguna untuk memastikan adanya pembelian aktiva dan penjualan

aktiva.
2.6.6 Indikator Pemeriksaan Pajak

Pada prinsipnya pemeriksaan dapat dilakukan terhadap semua Wajib

Pajak, namun karena keterbatasan sumber daya manusia atau tenaga

pemeriksa di Direktorat Jenderal Pajak, maka pemeriksaan tidak dapat dilakukan

terhadap semua Wajib Pajak. Pemeriksaan hanya akan dilakukan terutama

terhadap Wajib Pajak yang SPT-nya menyatakan Lebih Bayar karena hal ini telah
34

diatur dalam UU KUP. Di samping itu pemeriksaan dilakukan juga terhadap Wajib

Pajak tertentu dan Wajib Pajak yang tingkat kepatuhannya dianggap rendah.

Pada masa yang akan datang, dengan kuasa Pasal 17C UU KUP, pemeriksaan

terhadap Wajib Pajak yang SPT-nya menyatakan Lebih Bayar akan dikurangi

jumlahnya, sehingga pemeriksaan dapat lebih diarahkan kepada Wajib Pajak

yang tingkat kepatuhannya rendah tersebut atau Wajib Pajak yang memenuhi

kriteria tertentu. Pemeriksaan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak dapat

dibedakan menjadi Pemeriksaan Rutin, Pemeriksaan Kriteria Seleksi,

Pemeriksaan Khusus, Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, Pemeriksaan Tahun

Berjalan, dan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Menurut Bwoga (2005:17), jenis-jenis pemeriksaan tersebut secara

ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Rutin

Pemeriksaan rutin adalah pemeriksaan yang bersifat rutin yang dilakukan

terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban

perpajakannya.

2. Pemeriksaan Kriteria Seleksi

Pemeriksaaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak

orang pribadi yang terpilih berdasarkan skor resiko tingkat kepatuhan secara

komputerisasi.

3. Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan yang secara khusus dilakukan terhadap Wajib Pajak

sehubungan dengan adanya data, informasi, laporan atau pengaduan yang

berkaitan dengan Wajib Pajak tersebut, atau untuk memperoleh data atau

informasi untuk tujuan tertentu lainnya.

4. Pemeriksaaan Wajib Pajak Lokasi


35

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap cabang, perwakilan, pabrik dan atau

tempat usaha yang pada umumnya berbeda lokasinya dengan wajib pajak

domisili.

5. Pemeriksaan Tahun Berjalan

Pemeriksaan yang dilakukan dalam tahun berjalan terhadap wajib pajak untuk

jenis-jenis pajak tertentu atau untuk seluruh jenis pajak dapat dilakukan

terhadap wajib pajak domisili atau wajib pajak lokasi.Pelaksanaan

pemeriksaan tahun berjalan ini hanya dapat dilakukan terhadap masa pajak

sampai dengan bulan Oktober dari tahun pajak yang bersangkutan.

6. Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan

tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Sedangkan berdasarkan Peraturan menteri keuangan No 184/ PMK

03/2015 tentang perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor 17

/PMK.03/2013 tentang tata cara pemeriksaan menjelaskan terdapat dua jenis

pemeriksaan yaitu pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan.

1. Pemeriksaan Lapangan

Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak

berwenang:

a. melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi

dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan

dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib

Pajak, atau objek yang terutang pajak;


b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau

tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan

buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau


36

pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi

petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan

bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;


d. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran

Pemeriksaan, antara lain berupa:


1) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila

dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan

peralatan dan/atau keahlian khusus;


2) memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang

bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau


3) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan

Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;


e. melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak

dan/atau tidak bergerak;


f. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
g. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang

mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit

pelaksana Pemeriksaan.
2. Pemeriksaan Kantor

Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak

berwenang:

a. memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak

dengan menggunakan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor;


b. melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang

menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data

yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang

diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang

terutang pajak;c. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna

kelancaran Pemeriksaan;
c.meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
d. meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak; dan
37

e. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga

yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui

kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

Pemeriksaan pajak sesuai dengan benchmark pada penelitian ini

merujukpada pendapat Setiawan (2006: 6-7) yang menyatakan bahwa ada

enamindikator yang dijadikan alat audit perpajakan untuk menguji kepatuhan

materiilwajib pajak dan meningkatkan kinerja perpajakan. Indikator ini peneliti

anggaprelevan dengan tujuan penelitian berikut: (a) pemeriksaan pembukuan

wajibpajak; (b) pemeriksaan catatan dan dokumen terkait; (c) melakukan

wawancaradan pengujian fisik; (d) melakukan uji silang dengan pihak ketiga; (e)

melakukanrekonsiliasi bukti transaksi; (f) memeriksa objek PPh pemotongan

pemungutandengan laporan R/L wajib pajak.

2.9 Penerimaan Pajak


Menurut Waluyo (2006:2) Pajak adalah iuran kepada negara (yang

dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut

peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung

dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang

menyelenggarakan pemerintahan. Suandy (2008:9) Pajak adalah iuran wajib,

berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-

norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa

kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.


Pendapatan atau penerimaan adalah suatu hasil yang ingin dicapai

oleh setiap organisasi secara optimal.Adapun pengertian penerimaan pajak

menurut Suryadi (2006:105)Penerimaan pajak merupakan sumber

pembiayaan negara yang dominan baik untuk belanja rutin maupun


38

pembangunan. Dari pengertian tersebut bahwa penerimaan dapat menjadi

sumber pembiayaan pembangunan untuk menunjang kemandirian

pembiayaan pemerintah dan dilaksanakan secara efektif dan efisien.


Dari pengertian pajak ini dapat disimpulkan Penerimaan pajak

merupakan penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang bersumber dari

pajak rakyat. Tidak hanya sampai pada definisi singkat di atas bahwa dana

yang diterima di kas negara tersebut akan dipergunakan untuk pengeluaran

pemerintah guna meningkatkan kemakmuran rakyat, sebagaimana maksud dari

tujuan negara yang disepakati oleh para pendiri awal negara ini yaitu

mensejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran yang berasaskan kepada

keadilan sosial.
Menurut Siti (2004:2) Faktor-faktor yang berperan penting dalam

mempengaruhi dan menentukan optimalisasi pemasukkan dana ke kas negara

melalui pemungutan pajak kepada warga negara antara lain:

a. Kejelasan dan Kepastian

Peraturan Perundang-undangan dalam Bidang Perpajakan Secara

formal, pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang demi ter-capainya

keadilan dalam pemungutan pajak (No taxation without representation. atau

Taxation without representation is robbery) (Mayhew, 1750). Namun

keberadaan undang-undang saja tidaklah cukup.Undang-undang haruslah

jelas sederhana dan mudah dimengerti, baik oleh fiskus, maupun oleh

pembayar pajak. Timbulnya konflik mengenai interpretasi atau tafsiran

mengenai pemungutan pajak akan berakibat pada terhambatnya

pembayaran pajak itu sendiri.

2. Tingkat Intelektualitas Masyarakat

Sejak tahun 1984, sistem perpajakan di Indonesia menganut

prinsip Self Assessment. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada

pem-bayar pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bidang


39

perpajakan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007

Pasal 4 ayat (1) menyatakan: wajib pajak wajib mengisi dan menyampaikan

Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

Sementara di Pasal 12 ayat (1) dinyatakan: setiap wajib pajak wajib

membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan, dengan tidak meng-gantungkan pada adanya surat

ketetapan pajak. Dalam hal ini, pem-bayar pajak mengisi sendiri Surat

Pemberitahuan (SPT) yang dibuat pada setiap akhir masa pajak atau akhir

tahun pajak.Selanjutnya, fiskus melakukan penelitian dan pemeriksaan

mengenai kebenaran pem-beritahuan tersebut.Dengan menerapkan prinsip

ini, pembayar pajak harus memahami peraturan perundang-undangan

mengenai perpajakan sehingga dapat melakukan tugas administrasi

perpajakan.Untuk itu, in-telektualitas menjadi sangat penting sehingga

tercipta masyarakat yang sadar pajak dan mau memenuhi kewajibannya

tanpa ada unsur pe-maksaan.Namun, semuanya itu hanya dapat terjadi bila

memang undang-undang itu sendiri sederhana, mudah dimengerti, dan tidak

menimbulkan kesalahan persepsi.

3. Kualitas Fiskus (Petugas Pajak)

Kualitas fiskus sangat menentukan di dalam efektivitas

pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Bila

dikaitkan dengan optimalisasi target penerimaan pajak, maka fiskus haruslah

orang yang berkompeten di bidang perpajakan, memiliki kecakapan teknis,

dan bermoral tinggi.

4. Sistem Administrasi Perpajakan yang Tepat

Seberapa besar penerimaan yang diperoleh melalui pemungutan

pajak juga dipengaruhi oleh bagaimana pemungutan pajak itu dilakukan.


40

Menurut Smith dikutip oleh Waluyo (2006:14) pemungutan pajak hendaknya

didasarkan atas empat asas, yaitu:

a. Equity/Equality di mana keadilan merupakan pertimbangan penting dalam

membangun sistem perpajakan. Dalam hal ini, pemungutan pajak

hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya. Negara tidak


b. boleh melakukan diskriminasi di antara sesama pembayar pajak.
c. Certainty, yaitu pajak yang harus dibayar haruslah terang (certain) dan

tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Kepastian hukum harus

tercermin mengenai subyek, obyek, besarnya pajak dan juga ke-tentuan

mengenai pembayaran.
d. Convenience adalah pajak harus dipungut pada saat yang paling baik

bagi pembayar pajak, yaitu saat diterimanya penghasilan.


e. Economy, yaitu pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-

hematnya. Biaya pemungutan hendaknya tidak melebihi pemasukan

pajaknya.

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Penerimaan Negara yang diandalkan pemerintah untuk pembiayaan

pembangunan salah satunya adalah pajak. Untuk melaksanakan dan

merealisasikan fungsi pajak sebagai alat untuk memakmurkan rakyat maka

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai lembaga yang berwenang dalam

mengumpulkan pajak telah melakukan perubahan mendasar di segala aspek

perpajakan untuk mewujudkan citra dan target pajak menjadi nyata. Dalam

upaya meningkatkan penerimaan pajak pemerintah telah melakukan langkah-

langkah perbaikan dan perubahan dalam pemungutan pajak dimulai pada awal
41

tahun 1984, pemerintah telah melakukan reformasi system perpajakan di

Indonesia yaitu perubahan dari official assessment system menjadi self

assessment system.

Dengan masih rendahnya tingkat kepatuhan dan penerimaan pajak,

pada tahun 2002 DJP mencoba berbenah kembali yaitu dengan meluncurkan

program perubahan atau reformasi administrasi perpajakan yang biasa disebut

modernisasi. Jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good

governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan

dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal

dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus

pengawasan intensif kepada para Wajib Pajak (DJP,2007). Pelayanan prima

berbasis teknologi modern diharapkan memberi kemudahan bagi wajib pajak

dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dan meningkatkan kesadaran dan

kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pengawasan intensif kepada wajib pajak

dilakukan DJP melalui pemeriksaan pajak dengan tujuan untuk menguji

kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan pajak di KPP Madya Malang telah berhasil

mencapai tingkat kepatuhan yang cukup tinggi, hal tersebut sangat berbeda

dengan capaian tingkat kepatuhan secara nasional. Berdasarkan data rasio

kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan di KPP Madya Malang

memiliki rasio diatas 90% (cukup tinggi) sedangkan pencapaian tingkat

kepatuhan Wajib Pajak Badan secara nasional dalam penyampaian SPT

Tahunan PPh Badan yang masih dibawah 60%.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas penelitian dilakukan

dengan mengembangkan konstruk yang telah diteliti oleh peneliti terdahulu.

Beberapa variabel dalam penelitian ini telah diteliti oleh para peneliti terdahulu.

Pemeriksaan pajak yang optimal dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pajak.


42

Hal tersebut dikarenakan kegiatan pemeriksaan secara langsung memberikan

intervensi dan monitoring kepada wajib pajak untuk dapat melaksanakan

kewajiban perpajakannya sesuai dengan koridor undang- undang perpajakan.

Tentunya kegiatan pemeriksaan harus dilakukan dengan benar dan dilakukan

oleh orang-orang yang tepat yang memiliki integritas sehingga kegiatan

pemeriksaan dapat berjalan secara efektif serta berdampak pada meningkatnya

rasio kepatuhan wajib pajak.

Hasil dari penelitian Allingham and Sandmo (1972), Alm et.al (1992),

(Aritonang, 2001), Suryadi (2006), Kleven et.al (2011) menyimpulkan bahwa

kepatuhan dan kinerja penerimaan pajak dapat ditingkatkan melalui pemeriksaan

pajak. Pendekatan dalam penelitian terdahulu tersebut yaitu dengan melihat

kepatuhan pajak yang merupakan pengaruh dari pemeriksaan pajak adalah

sebagai suatu kepatuhan paksaan (enforced compliance).

Selain kepatuhan pajak sebagai suatu paksaan (enforced compliance),

dalam menggenjot penerimaan pajak sangat dibutuhkan juga kepatuhan pajak

yang berasal dari kesadaran dan keikhlasan Wajib Pajak dalam melaksanakan

kewajiban perpajakan. Kepatuhan ini disebut dengan kepatuhan sukarela

( voluntary compliance). Terwujudnya kepatuhan sukarela wajib pajak dalam

mengumpulkan penerimaan pajak merupakan salah satu misi DJP yaitu

mengumpulkan penerimaan berdasarkan kepatuhan pajak sukarela yang tinggi.

Sehingga dalam penelitian ini peneliti menambahkan variable kualitas pelayanan

dimana faktor kualitas pelayanan ini diharapkan dapat memudahkan dan

mengurangi biaya Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya

sehingga dapat menumbuhkan kepatuhan sukarela wajib pajak.


43

Jatmiko (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan pelayanan fiskus terhadap kepatuhan wajib pajak.

Olabede (2011) dalam penelitiannya juga menyimpulkan persepsi tentang

kualitas pelayanan pajak berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap

kepatuhan wajib pajak. Nurlis and Kamil (2015) dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa kesadaran Wajib Pajak, pengetahuan, sanksi pajak dan

pelayanan pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak.

Mengacu pada penelitian terdahulu pada bab sebelumnya dan uraian

latar belakang diatas , model kerangka konsep penelitian dirancang adalah

sebagai berikut:

Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Rhoades (1999)

Pemeriksaan Aritonang (2001)

(X1) Suryadi (2006)


H1
H3
Allingham and Sandmo (1972)

Alm et al. (1992)

Rhoades (1999)
H5
Kariyoto (2011)

Jatmiko (2006)
Kepatuhan (Y1) Penerimaan
Pajak (Y2)
Olabede (2011) Rhoades (1999)

Nurlis(2015)

H2
44

H4

Kualitaspelayan Connoli and Baninnster


an (X2) (2008)

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebgai

berikut:
Hipotesis 1 : Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan

Wajib Pajak.
Hipotesis 2 : Kualitas pelayanan berpengaruh terhadap kepatuhan

Wajib Pajak
Hipotesis 3 : Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan

pajak
Hipotesis 4 : Kualitas pelayanan pajak berpengaruh terhadap

penerimaan pajak
Hipotesis 5 : Kepatuhan pajak berpengaruh terhadap penerimaan

pajak

3.2 Pengembangan Hipotesis Penelitian

3.2.1 Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan


di Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.
45

Pemeriksaan menurut Pasal 1 ayat (25) Undang-undang Nomor 28 Tahun

2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah serangkaian

kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang

dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar

pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan

dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan. Pelaksanaan pemeriksaan pajak mempunyai

peran yang penting dalam menguji dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

Indikator yang terdapat dalam melaksanakan pemeriksaan pajak meliputi:

pendidikan dan pelatihan teknis pemeriksa; integritas pemeriksa; rasio pemeriksa

dan wajib pajak; memeriksa di tempat wajib pajak; melakukan pemeriksaan atas

buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen; melakukan konfirmasi

kepada pihak ketiga, memberitahukan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak,

dan melakukan sidang penutup (Closing Conference).

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Allingham and Sandmo

(1972) menyimpulkan bahwa tarif pajak, tingkat hukuman dan audit perpajakan

merupakan alat yang efisien untuk mengurangi terjadinya penghindaran pajak

sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Alm et.al (1992) dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan pemeriksaan pajak dan sanksi

penalti yang baik akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Kepatuhan dan

kinerja penerimaan pajak dapat ditingkatkan melalui pemeriksaan pajak

(Aritonang, 2001).

Kariyoto (2011) dengan judul penelitian Pengaruh Reformasi Perpajakan,

Audit Perpajakan, Kepatuhan dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kinerja

Perpajakan (Studi Pada Kantor Wilayah Direktorat Pajak Jawa Timur III). Tujuan

dilakukannya penelitian untuk menguji dan membuktikan secara empiris

pengaruh reformasi perpajakan, audit perpajakan, kepatuhan dan kesadaran


46

wajib pajak terhadap kinerja perpajakan. Temuan utama penelitian Kariyoto

(2011) memberikan informasi bahwa peran reformasi perpajakan, audit

perpajakan, kepatuhan wajib pajak dalam meningkatkan kinerja perpajakan

terbukti efektif. Peran reformasi perpajakan, audit perpajakan, kesadaran wajib

pajak juga terbukti efektif dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Kleven et.al (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penegakan

hukum dalam hal ini pemeriksaan pajak dapat mengurangi tax evasion atau

penggelapan pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan

terdapat perbedaan kepatuhan antara wajib pajak yang sering diaudit dan tidak

diaudit dimana perusahaan yang diaudit memiliki kepatuhan yang lebih tinggi.

Pemeriksaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan

tingkat kepatuhan wajib pajak, baik formal maupun material dari peraturan

perpajakan. Tujuan utamanya adalah untuk menguji dan meningkatkan tax

compliance seorang wajib pajak dimana kepatuhan ini akan sangat berdampak

pada penerimaan pajak. Pemeriksaan pajak dapat dilakukan di kantor atau di

tempat wajib pajak yang ruang lingkup pemeriksaannya meliputi satu jenis pajak,

beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak.

Berdasarkan teori, penjelasan, dan bukti empiris di atas, dikembangkan

hipotesis sebagai berikut :

H : pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di


1
Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.

3.2.2 Pengaruh kualitas pelayan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di


Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang

Pelayanan prima merupakan inovasi yang saat ini sedang gencar

dibangun oleh DJP sebagai daya dorong untuk mencapai visi dan misinya.

Pelayanan merupakan setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh
47

satu kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan

kepemilikan apapun Kotler (2000). Pelayanan perpajakan disini merupakan suatu

tindakan yang ditawarkan oelh DJP kepada Wajib Pajak yang pada dasarnya

tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan. Salah satu misi DJP

adalah menjamin penyelenggaraan negara yang berdaulat dan mandiri dengan

pelayanan berbasis teknologi modern untuk kemudahan pemenuhan kewajiban

perpajakan. Dengan pelayanan berbasis teknologi modern diharapkan memberi

kemudahan bagi wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dan

meningkatkan kesadaran dan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Kualitas

layananan didefinisikan sebagai penilaian nasabah atas keunggulan atau

keistimewaan suatu produk atau layanan secara menyeluruh (Zeithaml 2000).

Kualitas pelayanan pajak merupakan penilaian Wajib Pajak dalam rangka

pelaksanaan kewajiban perpajakannya atas keunggulan atau keistimewaan

pelayanan prima DJP secara menyeluruh.

Indikator dalam kualitas pelayanan meliputi; bukti langsung

(tangible), kehandalan (Reliability), daya tanggap (Responsiveness),

jaminan (Assurance), empati (Empathy). Parasuriman et.al (dalam

Tjiptono, 2001, p.85) terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi

kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa

yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang

diharapkan maka kualitas jasa yang dipersepsikan baik dan memuaskan.

Jika pelayanan yang diterima melampaui harapan konsumen, maka

kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas pelayanan yang ideal.

Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang

diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk


48

Jatmiko (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh

Sikap Wajib Pajak Pada Pelaksanaan Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus

dan Kesadaran Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi

Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Semarang)

menyimpulkan bahwa pelaksanaan sanksi denda, sikap WP terhadap

pelayanan fiskus dan sikap wajib pajak terhadap kesadaran perpajakan

memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan WP.


Olabede (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

persepsi tentang kualitas pelayanan pajak berpengaruh secara signifikan

dan positif terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi,sedangkan

kondisi keuangan wajib pajak sebagai variabel moderasi berpengaruh

positif tetapi tidak signifikan terhadap hubungan antara persepsi tentang

kualitas pelayanan fiskus dan kepatuhan wajib pajak orang pribadi;

preferensi risiko juga sebagai variabel moderasi berpengaruh negatif dan

tidak signifikan terhadap hubungan antara persepsi tentang kualitas

pelayanan fiskus dan kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Selain itu,

gabungan antara kondisi keuangan wajib pajak dan preferensi risiko

dalam memoderasi hubungan antara persepsi tentang kualitas

pelayanan fiskus dan kepatuhan wajib pajak orang pribadi berpengaruh

positif dan signifikan.


Nurlis and Kamil (2015) dalam penelitiannya menyimpulkan

bahwa kesadaran Wajib Pajak, pengetahuan, sanksi pajak dan

pelayanan pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Andreas

and Savitri (2015) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh

sosialisasi perpajakan, pengetahuan, Kebijaksanaan memiliki NPWP dan


49

kualitas pelayanan terhadap kepatuhan dimana kesadaran wajib pajak

sebagai variabel moderasi menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh

sosialisasi perpajakan, pengetahuan, Kebijaksanaan ber NPWP dan

kualitas pelayanan terhadap kepatuhan namun tidak dimoderasi oleh

kesadaran wajib pajak.

Berdasarkan teori dan temuan empiris tersebut di atas, dikembangkan

hipotesis sebagai berikut:

H2 : Kualitas pelayanan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak


Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang

3.2.3. Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Penerimaan Pajak Badan di

Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang

Penelitian Rhoades (1999) yang berjudul The Impact of Multiple

Component Reporting on Tax Compliance and Audit Strategies menyimpulkan

bahwa terdapat pengaruh positif pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan dan

penerimaan pajak. Demikian juga menurut Aritonang (2001) dari hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemeriksaan pajak

terhadap kepatuhan pajak dan penerimaan pajak. Dalam penelitian tersebut

disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan pajak membantu menyelamatkan uang

negara serta membantu Direktorat Jenderal Pajak untuk mengamankan pencapaian

target penerimaan negara dari sektor pajak.

Suryadi (2006) melakukan penelitian dengan judul Model Hubungan

Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib Pajak dan Pengaruhnya

Terhadap Kinerja Penerimaan Pajak: Suatu Survei Di Wilayah Jawa Timur.

Tujuan penelitian Suryadi (2006) yaitu mengkaji variabel-variabel yang


50

mempengaruhi kinerja penerimaan pajak, terutama variabel kesadaran,

pelayanan dan kepatuhan Wajib Pajak. Hasil penelitiannya adalah kepatuhan

Wajib Pajak yang diukur dari pemeriksaan pajak, penegakan hukum dan

kompensasi pajak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penerimaan pajak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2015)

disimpulkan bahwa pengetahuan pajak, kualitas pelayanan, pemeriksaan pajak

dan kesadaran wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepatuhan wajib pajak membayar pajak hotel, pajak restoran dan pajak hiburan

di Kota Denpasar. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan sistem pemeriksaan

yang dilakukan oleh fiskus, peningkatan kesadaran yang didukung oleh semakin

besarnya pengetahuan perpajakan serta peningkatan kualitas pelayanan akan

dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak membayar pajak hotel,pajak restoran

dan pajak hiburan di Kota Denpasar sehingga dapat meningkatkan Pendapatan

Asli Daerah.

Pemeriksaan pajak merupakan alat yang efisien untuk mengurangi

terjadinya penghindaran pajak sehingga dapat mengamankan potensi

penerimaan pajak yang hilang serta meingkatkan penerimaan pajak.

Berdasarkan uraian diatas maka didapatkan hipotesis dugaan sementara seperti

berikut:

H3 : Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak di Kantor


Pelayanan Pajak Madya Malang
51

3.2.4 Pengaruh Kualitas pelayanan terhadap Penerimaan Pajak Badan di

Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang

Connoli and Baninnster (2008) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk

mengetahui Pengaruh eTax Filing & dan kualitas pelayanan terhadap

penerimaan pajak melalui sistem online menyimpulkan bahwa terdapat

peningkatan penerimaan pajak yang disebabkan karena efektifitas eTax Filing &

kualitas pelayanan yang baik.

Normala and Mustapha (2014) melakukan penelitian tentaang Analisis

peningkatan kualitas pelayanan terhadap perilaku wajib pajak dalam membayar

pajak, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa peningkatan pelayanan

perpajakan akan berpengaruh positif terhadap perilaku wajib pajak dalam

membayar pajak.

Dengan peningkatan kualitas pelayanan prima dari DJP kepada wajib

pajak diharapkan dapat mengurangi biaya wajib pajak dan mempermudah Wajib

Pajak dalam menyelesaikan kewajiban pajaknya, pelayanan yang baik dapat

membantu kesulitan ataupun permasalahan terkait perhitungan penyetoran dan

pelaporan yang dilakukan oleh wajib pajak sehingga wajib pajak mengerti dan

paham akan kewajiban pajaknya yang harus dipenuhi, dengan pelayanan yang

baik akan mendorong kesadaran wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban

pajaknya sehingga pelayanan berdampak pada meningkatnya kepatuhan wajib

pajak dan penerimaan pajak. Berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas,

diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H4 : Pengaruh kualitas pelayanan terhadap penerimaan Pajak Badan di Kantor


Pelayanan Pajak Madya Malang
52

3.2.5 Pengaruh kepatuhan pajak terhadap Penerimaan Pajak Badan di

Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang

Terwujudnya kepatuhan wajib pajak merupakan salah satu misi DJP,

dengan kepatuhan wajib pajak yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan

penerimaan negara dari sektor perpajakan. Dalam sudut pandang yang berbeda

terdapat dua jenis kepatuhan wajib pajak, diantaranya yaitu kepatuhan

keterpaksaan (enforced compliance) yang terbentuk dari hasil pemeriksaan

pajak, pertimbangan ekonomi, tarif pajak,dan sanksi atas ketidakpatuhan dan

kepatuhan sukarela (voluntary compliance) yang terbentuk karena kualitas

pelayanan prima DJP sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan keikhlasan

Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

Rhoades (1999) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan

meningkatnya kepatuhan pajak dapat meningkatkan penerimaan pajak.

Kepatuhan atas pelaporan pajak- pajak penghasilan dapat mengurangi tindakan

penghidaran pajak dan dapat meningkatkan penerimaan pajak. Penelitian

Suryadi (2006) mengkaji variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja

penerimaan pajak, terutama variabel kesadaran, pelayanan dan kepatuhan Wajib

Pajak. Hasil penelitian tersebut yang berkaitan dengan kepatuhan dan

penerimaan pajak didapatkan bahwa kepatuhan wajib pajak yang diukur dari

pemeriksaan pajak, penegakan hukum dan kompensasi pajak berpengaruh

signifikan terhadap kinerja penerimaan pajak. Hal ini menunjukkan bahwa

kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengaruh besar terhadap kinerja penerimaan

pajak.

Kariyoto (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kepatuhan

wajib pajak dapat membantu meningkatkan pendapatan negara melalui

Direktorat Jenderal Pajak untuk pencapaian target kinerja penerimaaan


53

perpajakan. Penelitian tersebut mengungkapkan kepatuhan wajib pajak meliputi

kepatuhan perhitungan dan pembayaran pajak terhutang, kepatuhan

pembayaran tunggakan, dapat meningkatkan kinerja perpajakan berupa

peningkatkan pendapatan negara sektor pajak.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, diajukan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

H5 : Pengaruh kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan Pajak Badan di


Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu cara sistematis untuk meneliti dan

mengkaji suatu fenomena dengan menggunakan metode ilmiah dan

aturan-aturan yang berlaku. Menurut Unarjan (2003) metode penelitian

adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang perlu diperhatikan

dan diterapkan dalam usaha pengumpulan data dan analisa. Dalam

penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan

kuantitatif. Bungin (2008) mengemukakan bahwa:

Penelitian kuantitatif dengan format deskriptif bertujuan untuk

menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau

berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek


54

penelitian berdasarkan apa yang terjadi, pada umumnya penelitian

ini menggunakan statistik induktif untuk menganalisis data penelitian.

Selain format deskriptif, jenis penelitian yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah penelitian eksplanatori atau penelitian yang

diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi (Notoatmodjo,

2005). Jenis penelitian eksplanatori tersebut sama dengan korelasional,

dimana pada metode ini dijelaskan hubungan atau pengaruh antara

variabel yang diteliti. Metode korelasi ini bertujuan untuk meneliti sejauh

mana variabel pada satu faktor berpengaruh terhadap variabel pada faktor

lainnya (Hasan, 2002).

Sehubungan dengan tujuan penelitian maka secara keseluruhan ini

menggunakan metode survey, yaitu penelitian yang diperoleh dari

pengambilan sampel suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai

alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun, 2006: 3). Adapun

pengujian variabel dalam penelitian ini adalah pengaruh variabel

pemeriksaan pajak (X1), kualitas layanan (X2), terhadap kepatuhan (Y1)

dan Penerimaan pajak (Y2) Pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang.

4.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti dilakukan.

Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya

Malang yang berada dibawah naungan Kementerian Keuangan. Objek

penelitiannya adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Malang,

sedangkan responden penelitian ini adalah Wajib Pajak Badan yang


55

terdaftar dan telah dilakukan pemeriksaan pajak pada Kantor Pelayanan

Pajak Madya Malang. Pemilihan lokasi ini diharapkan dapat

menggambarkan persoalan penelitian yang telah dirumuskan pada model

kerangka teoritis.

4.3. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau

subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2010). Senada dengan pendapat tersebut, Margono (2010)

juga mengungkapkan bahwa populasi adalah seluruh data yang menjadi

perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan.

Sehingga dalam ruang lingkup penelitian ini, populasi dalam penelitian

adalah seluruh Wajib Pajak Badan yang terdaftar di KPP Madya Malang.

4.3.2. Sampel

Menurut Sugiyono (2005), sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan

peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi.

Sehingga dalam ruang lingkup penelitian ini, sample dalam penelitian

adalah seluruh Wajib Pajak Badan yang terdaftar dan telah dilakukan

pemeriksaan pajak pada tahun 2013 sampai dengan 2015 di KPP Madya

Malang.
56

Unit analisis dalam penelitian ini adalah staf pajak atau tax

professional yang melaksanakan kewajiban perpajakan perusahaan yang

terdaftar pada KPP Madya Malang. Peneliti memilih unit analisis tersebut

karena staf pajak atau tax professional merupakan pelaku aktivitas

perpajakan perusahaan. Oleh karena itu, untuk dapat menjelaskan

perilaku individu atas kepatuhan wajib pajak badan dalam model

kepatuhan wajib pajak lebih baik di wakili oleh staf pajak atau tax

professional perusahaan.

4.3.3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara random sederhana purposive sampling atau judgement sampling,

yaitu dilakukan dengan mengambil secara langsung dari populasinya

dengan criteria atau tujuan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.

Teknik purposive sampling sampling ini digunakan untuk mengetahui

pengaruh pemeriksaan dan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh KPP

Madya Malang terhadap kepatuhan dan penerimaan sehingga sampel

yang diambil adalah 100 Wajib Pajak Badan yang terdaftar dan telah

diperiksa pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 oleh KPP Madya

Malang.

4.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional merupakan abstraksi yang mewakili objek atau

fenomena. Konsep yang tidak mudah diamati dan diukur secara empiris

karena lebih abstrak, dikenal sebagai konstruk (Utami dan Supramono,


57

2004: 30-31) seperti kinerja perpajakan, kesadaran, kepatuhan, reformasi

perpajakan maupun audit perpajakan dan konsep lain yang berkaitan

dengan sikap dan perilaku. Fungsi definisi operasional variabel sebagai

fondasi komunikasi, tanpa adanya definisi yang telah disepakati bersama

sulit menjalin komunikasi atau menyampaikan gagasan kepada orang lain.

Oleh karena itu untuk menghindari kerancuan masing-masing konsep

perlu diberi batasan atau definisi operasional yang jelas dipakai sebagai

pijakan menyusun instrumen penelitian. Definisi operasional diambil dari

buku atau sumber lain misalnya website dan jurnal. Namun bila definisi

tersebut tidak dapat ditemukan pada sumber pustaka, peneliti dapat

memberikan definisi sendiri sesuai dengan konteks penelitian yang

sedang dilakukan. Penelitian ini mempunyai dua jenis variabel, yaitu

varibel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen adalah variabel

yang memengaruhi nilai dari variabel lain dalam model. Variabel eksogen

dalam penelitian ini meliputi dua variabel yaitu pemeriksaan pajak (X 1),

kualitas layanan (X2). Variabel endogen adalah variabel yang dipengaruhi

oleh variabel eksogen dalam model, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kepatuhan Wajib

Pajak (Y1) dan penerimaan pajak (Y2). Definisi Operasional:

1. Pemeriksaan pajak (X1)

Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan

pembukuan, pemeriksaan catatan dan dokumen, melakukan

wawancara dan pengujian fisik, melakukan uji silang dengan pihak

ketiga, melakukan rekonsiliasi perpajakan, menguji objek PPh


58

pemotongan pemungutan dengan laporan laba rugi wajib pajak

(Setiawan, 2006:6). Pengukurannya menggunakan alat ukur skala

Likert 5 poin, yaitu 5 (sangat setuju); 4 (setuju); 3 (ragu); 2 (tidak

setuju); 1 sangat tidak setuju. Indikator :

a. Pemeriksaan Pembukuan Wajib Pajak


b. Pemeriksaan Catatan dan Dokumen
c. Wawancara dan Pengujian Fisik
d. Uji Silang dengan Pihak Ketiga
e. Rekonsiliasi
f. Objek PPh dan R/L

2. Kulitas Pelayanan

Menurut Lewis dan Booms dalamTjiptono dan Chandra (2005),

kualitas pelayanan sebagai ukuran seberapa baik tingkat layanan yang

diberikan mampu sesuai dengan harapan pelanggan. Sedangkan

menurut Tjiptono (2001), kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan

yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut

untuk memenuhi keinginan pelanggan. Pengertian kualitas pelayanan

menurut Supranto (2006: 226) adalah sebuah kata yang bagi penyedia

merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Sementara

menurut Rangkuti (2004:28) bahwa:Kualitas jasa didefinisikan sebagai

penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan konsumen.

Definisi tersebut menekankan pada kelebihan dari tingkat kepentingan

konsumen sebagai inti dari kualitas jasa.

Dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuriman et.al (dalam

Tjiptono, 2001:85) adalah sebagai berikut :

a. Bukti langsung (tangible)


b. Kehandalan (Reliability)
c. Daya tanggap (Responsiveness)
59

d. Jaminan (Assurance)
e. Empati (Empathy),

3. Kepatuhan Wajib Pajak (Y1) suatu keadaan dimana wajib pajak

memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak

perpajakannya.

Indikator:

a. Kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance), Kepatuhan dalam

penyerahan SPT didasarkan atas ketepatan dalam pembayaran

tidak melebihi dari ketentuan yang sudah ditentukan kantor pajak.


b. Kepatuhan pembayaran (payment compliance), Kepatuhan dalam

pembayaran didasarkan atas ketepatan dalam nilai dan besaran

yang harus dibayar dan waktu pembayaran.


c. Kepatuhan pelaporan (reporting compliance). Kepatuhan dalam

pelaporan didasarkan atas ketepatan dalam waktu pelaporan nilai

pajak yang harus dibayarkan ke kantor pajak.


4. Peneriman pajak (Y2)
Pendapatan atau penerimaan adalah suatu hasil yang ingin

dicapai oleh setiap organisasi secara optimal. Adapun pengertian

penerimaan pajak menurut Suryadi (2006:105) Penerimaan pajak

merupakan sumber pembiayaan negara yang dominan baik untuk

belanja rutin maupun pembangunan. Dari pengertian tersebut bahwa

penerimaan dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan untuk

menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah dan dilaksanakan

secara efektif dan efisien. Indikator penerimaan pajak yang baik

adalah:
a. Kesesuaian pembayaran antara kewajiban perpajakan
b. Memiliki ketepatan perhitungan dengan baik
60

c. Memiliki efektifitas tinggi (realisasi sesuai dengan target)


d. tidak terdapat kesalahan pelaporan perpajakan

4.5. Instrumen Penelitian dan Skala Pengukuran

4.5.1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menurut Arikunto (2010) adalah alat atau

fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar

pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih

cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen

dalam penelitian ini menggunakan instrumen angket, yakni sejumlah

pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari

responden dalam arti laporan tentang pribadi atau hal-hal yang responden

ketahui. Penelitian ini juga menggunakan instrumen dokumentasi yaitu

berupa data-data tertulis dari dokumen-dokumen yang menunjang

penelitian seperti struktur organisasi, data karyawan, sejarah perusahaan,

dan sejenisnya.

4.5.2. Skala Pengukuran

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

menggunakan format skala likert. Menurut Sugiyono (2010), Skala Likert

dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi

seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena yang telah

ditetapkan oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel

penelitian. Jenis pertanyaan atau pernyataan dalam kuisioner yang

digunakan bersifat tertutup dengan 5 (lima) alternatif jawaban. Setiap

jawaban dihubungkan dengan bentuk pertanyaan atau dukungan sikap

yang diungkapkan dengan kata-kata seperti pada tabel 4.3.Formulasi


61

skala likert dirancang sedemikian rupa agar memungkinkan responden

menjawab dengan berbagai tingkatan jawaban yang lebih leluasa. Dengan

demikian jawaban dari instrumen berupa pertanyaan diberi skor 1-5

dengan ketentuan sebagai berikut (Riduan dan Kuncoro, 2011: 20).

Tabel 4.3 Nilai Skor Penggunaan Kuesioner atau Angket

N Jawaban Nilai Skor


o
1. Sangat Setuju/Sangat Puas/Sangat Baik/Sangat 5
Penting
2. Setuju/Puas/Baik/Penting 4
3. Netral/Cukup Puas/Sedang/Cukup Penting 3
4. Tidak Setuju/Kurang Puas/Buruk/Kurang Penting 2
5. Sangat Tidak setuju/Tidak Puas/ Buruk Sekali/Tidak 1
Penting
Sumber: Riduwan dan Kuncoro (2011)

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas


4.6.1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan

atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2010). Pengujian validitas

instrumen dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi Pearson

Product Moment. Pengujian dilakukan pada level signifikasi 0,05 (5%)

dengan bantuan software SPSS 17. Formula korelasi Pearson Product

Moment adalah:
n XY ( X )( Y )
rxy
{n X 2 ( X ) 2 }{n Y 2 ( Y ) 2 }

dimana uraian dari rumus tersebut adalah:

rxy
= Koefisien Korelasi

X = Skor Butir (tiap pertanyaan atau item)

Y = Total skor Butir


62

N = Jumlah Sampel (Responden)

Valid atau tidaknya suatu sistem instrumen dapat diketahui dengan

membandingkan indeks korelasi Pearson Product Moment dengan level

signifikasin 5% dengan nilai kritisnya, dimana r dapat digunakan rumus

yaitu apabila nilai korelasi lebih besar dari 0,3 (dilihat dari r tabel) maka

dinyatakan valid dan begitu pula sebaliknya Arikunto (2010). Terdapat 4

(empat) instrumen pengukuran untuk mengukur 4 (empat) variabel

penelitian yaitu pemeriksaan (X1), kualitas layanan (x2) terhadap

kepatuhan (Y1) dan penerimaan pajak (Y2).

4.6.2. Uji Reabilitas

Menurut Sugiyono (2010), instrumen yang reliabel adalah instumen

yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama,

akan menghasilkan data yang sama. Instrumen dikatakan andal (reliabel)

jika memiliki koefisien keandalan reliabilitas sebesar 0,6 atau lebih. Uji

Reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan Alpha Cronbach pada

tingkat = 0,60 atau lebih dengan menggunakan bantuan SPSS 17.

Variabel dinyatakan reliabel jika alpha bernilai > 0,6. Formula dari Alpha

Cronbach sebagai berikut:

(
k
)(1
b 2 )
k 1 ( 2t )

dimana uraian dari rumus tersebut adalah:

: Koefisien Alpha Cronbach

k : Jumlah butir pertanyaan


63

b2 :
Jumlah varian butir

t2 : Jumlah varian total

4.6.3. Hasil Uji Validitas dana Reliabilitas


Uji validasi dan reabilittas variabel pemeriksaan (X1), kualitas

layanan (X2 terhadap kepatuhan (Y1) dan peneriman pajak (Y2).

Nilai r hitung (Corrected Item-Total Corelation) seluruh pertayaan

pada variabel pelatihan kerja lebih besar dibandingkan r Tabel (0,268)

maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan dalam kuesioner

dinyatakan valid. Sedangkan nilai Cronbach Alpha rata-rata seluruh butir

pernyataan adalah 0,763 > 0,60. Maka dapat dinyatakan bahwa

keselurahan butir pernyataan pada variabel dinyatakan reliabel.

4.7. Teknik Pengumpulan Data


4.7.1. Sumber Data

Sumber data berupa benda, hal, atau orang dimana peneliti

mengamati, membaca dan bertanya tentang data yang nantinya akan

digunakan sebagai sumber data. Sumber data yang digunakan yaitu:

a. Data Primer
Data yang relevan dengan pembahasan yang didapat dari

sumber utama yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber

data primer diperoleh langsung berdasarkan jawaban responden

terhadap penyebaran angket kepada responden yaitu para seluruh

wajib pajak yang terdaftar dan telah dilakukan pemeriksaan pajak di

KPP Madya Malang.


b. Data Sekunder
Sumber data sekunder sifatnya melengkapi data primer yang

disesuaikan dengan tujuan penelitian, berupa data yang diperoleh dari


64

bahan-bahan tertulis seperti literatur, jurnal, penelitian terdahulu, dan

dokumen yang reevan untuk mendukung analisis dalam penelitian ini.

Data sekunder yang diperoleh dari Kantor Pelayanan Pajak Madya

Malang.
4.7.2. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode

sebagai berikut:

a. Metode survei yaitu pengumpulan data dan informasi yang

dilakukan dengan mendatangi langsung obyek penelitian yang

bersangkutan, sehingga data dan informasi yang diperoleh dapat

diyakini kebenarannya, di mana responden yang diamati tidak terlalu

besar jumlahnya, menurut Indriantoro (2002: 152). Pada metode

survei peneliti menggunakan angket untuk memperoleh data secara

langsung dari objek yang diteliti. Angket yaitu proses pengumpulan

data dan informasi dengan cara mengajukan seperangkat

pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk

mendapatkan data. Model yang digunakan peneliti dalam penelitian

ini adalah model Semantic Deferential dan skala Likert, dimana

berbentuk checklist. Angket diberikan kepada seluruh wajib pajak.


b. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu pengumpulan data dimana peneliti

menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah,

dokumen, peraturan-peraturan,dan sebagainya (Arikunto, 2002:

158). Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang jumlah

kepatuhan wajib pajak.

4.8. Metode Analisis Data


65

4.8.1. Analisis Statistik Deskriptif

Menurut Sugiyono (2012) teknik analisis data yang digunakan

adalah statistik deskriptif, yaitu statistik yang digunakan untuk

menggambarkan atau mendeskripsikan suatu objek penelitian melalui

data sampel atau populasi. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan

hasil dari distribusi frekuensi jawaban responden melalui angket yang

dibagikan oleh peneliti. Data mentah tersebut kemudian diolah,

ditabulasikan dalam tabel atau dalam bentuk diagram, dan dijelaskan

dalam bentuk deskriptif. Data diolah berupa data mengenai responden

dan rata-rata serta presentasi dari hasil angket. Analisis data ini digunakan

untuk menggambarkan variabel pemeriksaan pajak (X1), kualitas

pelayanan (X2), kepatuhan wajib pajak (Y1) dan Penerimaan Pajak (Y2).

Nilai mean (rata-rata) dari setiap jawaban responden dikategorikan

berdasarkan skala interval satu sampai lima (1-5) dengan cara

menghitung panjang kelas interval berdasarkan rumus sebagai berikut:

R 51
i=
k = 5 = 0, 80

dimana uraian dari rumus tersebut adalah:

i = panjang kelas interval

R = rentang jarak (jarak antara angka tertinggi dan terendah)

k = jumlah kelas

Berdasarkan interval 0,80 maka disusunlah skala kategori jawaban

responden seperti pada tabel 4.8

Tabel 4.8 Penentuan Kategori Skor Berdasarkan Kategori Jawaban


Responden
66

No Skala Kategori Skor Nilai Skor


1 > 4, 20 5, 00 Sangat Puas 5
2 > 3, 40 4, 20 Puas 4
3 > 2, 60 3, 40 Cukup Puas 3
4 > 1, 80 2, 60 Kurang Puas 2
5 1, 00 1, 80 Tidak Puas 1
Sumber: Sugiyono dalam Bogar (2011)

4.8.2. Analisis Statistik Interfal

Statistik inferensial adalah teknik statistik yang digunaakan

menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi

(Sugiyono, 2010). Berdasarkan hipotesis dan rancangan penelitian, maka

data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

teknik analisis jalur (path analysis). Software yang akan digunakan untuk

mengolah data adalah SPSS 17. Lebih lanjut, Sugiyono (2011)

menyatakan bahwa analisis jalur digunakan untuk melukiskan dan

menguji hubungan antar variabel yang berbentuk sebab akibat, dengan

demikian dalam model hubungan antar variabel tersebut, terdapat variabel

independen dan dependen.

Menurut Solimun (2008) bahwa penggunaan analisis jalur dalam

analisis data penelitian didasarkan pada beberapa asumsi berikut:

1. Hubungan antar variabel yang akan dianalisis berbentuk linier dan

aditif,
2. Hanya model rekursif dapat dipertimbangkan, yaitu hanya system aliran

kausal ke satu arah. Sedangkan pada model yang mengandung kausal

resiprokal tidak dapat dilakukan analisis jalur,


3. Observed variables diukur tanpa kesalahan (instrumen harus valid dan

reliabel),
4. Model yang dianalisis dispesifikasikan (diidentifikasikan) dengan benar
67

berdasarkan teori-teori dan konsep-konsep yang relevan.

Langkah-langkah untuk menguji Path analysis menurut Riduwan dan

Kuncoro (2011) sebagai berikut:

1. Merumuskan hipotesis dan persamaan struktural

Persamaan struktural dalam penelitian ini:

Y1 = py1x1X1 + py1x2X2 + py11

Y2 = py2x1X1 + py2x2X2 + py2 y1Y2 2

1
Pemeriksaan Py2x1
(X1)
Py1x1
Penerimaan
Kepatuhan Py2y Pajak
(Y1) 1 (Y2)

Kualitas Py1x2
Layanan Py2x2
(X2)
Gambar 4. 1 Model Diagram Jalur Hipotesis

Menghitung koefisien jalur yang didasarkan pada koefisien regresi

a. Gambaran diagram jalur lengkap, menetukan sub-sub

strukturalnya yang sesuai dengan hipotesis yang diajukan.


b. Menghitung koefisien regresi untuk struktur yang telah

dirumuskan.
Pada dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi

yang distandarkan, yaitu koefisien regresi yang dihitung dari

basis data yang telah di set dalam angka baku atau Z-score

(data yang telah di set dengan rata-rata = 0 dan standar deviasi

= 1). Koefisien jalur yang distandarkan ini digunakan untuk

menjelaskan besarnya pengaruh (bukan memprediksi) variabel


68

bebas (eksogen) terhadap variabel lain yang diberlakukan

sebagai variabel terikat (endogen).


Khusus untuk program SPSS 17, menu analisis regresi,

koefisien path ditunjukkan oleh output yang dinamakan

Coefficient yang dinyatakan sebagai Standardized Coefficient

atau yang lebih dikenal dengan nilai beta.


Jika ada diagram jalur sederhana mengandung satu unsur

hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen,

maka koefisien path-nya adalah sama dengan koefisien korelasi

r sederhana.
2. Menghitung koefisien jalur secara individu
Selanjutnya untuk mengetahui signifikasi analisa jalur, maka

dibandingkan nilai probabilitas 0,05 lebih kecil atau sama dengan

nilai probabilitas Sig atau (0,05 <Sig), maka Ho diterima dan Ha

ditolak, artinya tidak signifikan. nilai probabi;litas 0,05 lebih besar

atau sama dengan nilai probabilitas Sig atau (0,05 >Sig), maka Ho

ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan.


3. Meringkas dan Menyimpulkan
Meringkas hasil penelitian dan membandingkan dengan hasil

penelitian terdahulu. Terakhir, menyimpulkan hasil penelitian secara

keseluruhan dan memberikan saran baik untuk peneliti selanjutnya

maupun objek penelitian.


69

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, Icek. 1991. Organizational of Behavior and Human Decision


Processes. University of Massachusetts at Amherst.
Amin Purnawan. 2004. Pelaksanaan Tindakan Penagihan Pajak
Kaitannya Dengan Kepatuhan Wajib Pajak dan Aspek Keadilannya.
Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004
Arsyad, Muhammad. 2013, Analisis Pengaruh Sosialisasi, Pemeriksaan,
dan Penagihan Aktif Terhadap Kesadaran Pajak dan Kepatuhan
Wajib Pajak Badan di kantor Pelayanan pajak Pratama Medan
Timur, Tesis Universitas Sumatera Utara
Bobek, D., Richard C Hatfield., 2003. An Investigation of Theory of
Planned Behavior ahn the Role of Moral Obligation in Tax
Compliance. Behavioral Research in Accounting,
Bradley, Cassie Francies, 1994. An Empirical Investigation of Factors
Affecting Corpotare Tax Compliance Behavior. Disertation, The
University of Alabama, USA.
Brown, Robert E. and Mazur Mark J., 2003. IRSs Comprehensive
Approach to Compliance Measurement. National Tax Journal.
September 2003. Vol. 56, Iss.: 3.
Darmayanti, Theresia Woro, (2004). Pelaksanaan Self Assesment System
Menurut Wajib Pajak (Studi Kasus pada Wajib Pajak Badan
Salatiga). Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Volume X No. 1, 109-128.
Eisenhardt, K.M. 1989. Agency Theory: An Assessment and Review.
Academy of Management Review, 14 (1), 57-74.
Gunadi, 2002. Indonesian Taxation 2002; A Reference Guide. Jakarta:
Multi Utama Publishing.
Gunadi, 2006. Akuntansi Pajak. Cetakan Sembilan. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Hutagaol, John (2007), Strategi Meningkatkan Kepatuhan Pajak, Jurnal
Akuntabilitas Vol.6 No.2, hal 186-193
70

Jatmiko, A.N. 2006. Pengaruh Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan


Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran Perpajakan
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris terhadap Wajib
Pajak Orang Pribadi di Kota Semarang). Tesis Magister Akuntansi
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Jensen, M.C. dan Meckling, W.H. 1976 Theory of the Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics, 3 (4), 305-360.
Kariyoto (2011), Pengaruh Reformasi Perpajakan, Audit Perpajakan,
Kepatuhan dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kinerja
Perpajakan (Studi Pada Kantor Wilayah Direktorat Pajak Jawa
Timur III), Disertasi FEB Universitas Brawijaya.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi 2009. Yogyakarta. Penerbit
Andi
Marduati Andi. 2012. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Teguran
dan Surat Paksa terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Makassar Barat, skripsi FEB
Universitas Hasanuddin
Mustikasari, Elia, (2007). Kajian Empiris tentang Kepatuhan Wajib Pajak
Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya. Simposium
Nasional Akuntansi X:1-42
Organization for Economic Cooperation and Development. (2004). OECD
Principles of Corporate Governance 2004. The OECD Paris.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pemeriksaan
Primerdo,Rizki. 2015, Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak Terhadap
Efektivitas Penerimaan Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama
Surakarta). Skripsi FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Purnomo, Hadi. Reformasi Administrasi Perpajakan, Dalam Heru
Subyantoro dan Singgih Riphat, peny., Kebijakan Fiskal: Pemikiran,
Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
Februari 2004. hal. 218-233.
Rahayu Dewi. 2010. Analisis Pengaruh Pemeriksaan Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Semarang Selatan. Naskah Publikasi
Rahayu, Siti Kurnia. 2010 .PERPAJAKAN INDONESIA : Konsep dan
Aspek Formal, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Resmi, Siti. 2008. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi Keempat. Jakarta:
Salemba Empat.
71

Richardson, Grant. (2006). The Impact of Tax Fairness Dimensions on


Tax Compliance Behavior in an Asian Jurisdiction: The Case of Hong
Kong, International Tax Journal.
Rini, Indah. 2008, Analisis Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Memenuhi Kewajiban Perpajakan
Pada Kantor Pelayanan Pajak Kebayoran Dua, Tesis FISIP
Universitas Indonesia
Rudaedi,Dedi. 2012. Penerimaan Pajak Masih terhambat 3 masalah.
Jakarta Infobanknews.com
Santosa, W. 2008.Analisis Resiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai
Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Keuangan
Publik Vol.. 5. No. 1, Oktober 2008 hal. 85-137.
Sari, Lidya Purnama dan Afrianti. 2010. Pengaruh Self Assessment
System Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat Skripsi, Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Sarwono, Jonathan 2006,Analisis Data Penelitian Menggunakan
SPSS,ANDI.Yogyakarta
Sekaran, U. 2003. Research Method for Business A Skill Building
Approach. Fourth Edition. John Wiley & Sons, Inc.
Siahaan, Fadjar O.P., (2005). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak Badan pada
Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya. Disertasi Program
Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Tidak dipublikasikan.
Siti Kurnia Rahayu, 2010 . Perpajakan Indonesia : Konsep dan Aspek
Formal, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Siti Resmi. 2013. Perpajakan: Teori dan Kasus. Yogyakarta: Salemba
Empat
Soemarso S.R. 2007. Akuntansi suatu pengantar edisi 5. Jakarta: Rineka
Cipta
Suryadi. 2006. Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan,
Kepatuhan Wajib Pajak dan Pengaruhnya terhadap Kinerja
Penerimaan Pajak: Suatu Survei di Wilayah Jawa Timur. Jurnal
Keuangan Publik, Vol. 4, No. 1
Syakura ,Muhammad Abadan (2014), Analisis Perilaku Wajib Pajak
Badan Atas Penerapan Perencanaan Pajak dan Kepatuhan Wajib
Pajak Badan (Studi Pada Wajib Pajak Badan di Kota Samarinda),
Thesis FEB Universitas Brawijaya.
72

Trisnawati , Ni Luh Mika (2015), Analisis Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Membayar Pajak Hotel,
Pajak Restoran Dan Pajak Hiburan Di Kota Denpasar, Thesis
Studi Ilmu Ekonomi Universitas Udayana
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
Waluyo. 2008. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Yeni, Rahma. 2013. Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan
Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh
Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama Padang, Skripsi FE
Universitas Negeri Padang.
Boylan, S.J. 2010. Audits and Taxpayer Compliance: Experience on the
Effec of Earned Versus Endowed Income. Abstracts Journal of
American Taxation, Forthcoming. Available at SSRN:
http:/ssrn.com/ abstract=1628148.
Setiawan, A. 2006. Teknik Audit dan Pelaksanaan Pemeriksaaan Pajak.
Lingkaran, Jakarta.
Susanto, H. 2012.Membangun kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib
Pajak. Diakses tanggal 11 Maret 2016 dari
http://www.pajak.go.id/content/membangun-kesadaran-dan-
kepedulian-sukarela-wajib-pajak.
Boylan S.C (2009). Prior Audits and Taxpayer Compliance: Experimental
Evidence on the Effect of Earned Versus Endowed Income,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1628148
Thurman Q.C, John C. And Rigss L, (1984), Neutralization and Tax
Evasion: How Effective Would a Moral Appeal Be in Improving
Compliance to Tax Laws?, Law and Policy Journal, Vol. 6 No. 3.
73

Anda mungkin juga menyukai