Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Atribusi

Teori atribusi dikembangkan oleh Kelley (1967), kemudian Green serta

Mitchell(1979).Mereka berpandangan bahwa perilaku kepemimpinan disebabkan

oleh atributpenyebab. Fritz Heide(1958) yang berargumentasi bahwa perilaku

seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor

yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti faktor kemampuan usaha dan

kekuatan eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar, seperti kesulitan dalam

pekerjaan atau keberuntungan (Ikhsan & Ishak, 2005). Teori atribusi mempelajari

proses bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan, atau

sebab perilakunya yang dipengaruhi oleh kekuatan internal dan eksternal yang akan

mencerminkan perilaku kepemimpinan seseorang tersebut.

Teori ini tidak terlepas dari perilaku orang dalam organisasi, yaitu perilaku

pimpinan dan perilaku bawahan. Kepemimpinan tidak terlepas dari cara berpikir,

berperasaan, bertindak, bersikap, dan berperilaku dalam kerja di sebuah organisasi

dengan bawahannya atau orang lain (Waworuntu, 2003). Tindakan atau keputusan

yang diambil oleh pemimpin ataupun orang yang diberikan wewenang disebabkan

oleh atribut penyebab. Termasuk tindakan tidak etis maupun kecurangan yang

terjadi. Faktor seperti pengendalian internal merupakan faktor yang dapat menjadi

penyebab terjadinya kecurangan tersebut.


Sistem pengendalian internal merupakan proses yang dijalankan untuk

memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian keandalan laporan keuangan,

kepatuhan terhadap hukum, dan efektivitas dan efisiensi operasi, Mulyadi dan

Puradiredja (dalam Fauwzi, 2011). Dengan adanya sistem pengendalian yang

efektif diharapkan dapat mengurangi adanya perilaku tidak etis dan

kecenderungankecurangan akuntansi.

Secara lebih spesifik, individu akan berusaha menganalisis mengapa

peristiwa tertentu muncul dan dari hasil analisis tersebut akan mempengaruhi

perilaku mereka di masa mendatang. Proses atribusi juga dapat menjadi hal yang

penting dalam memahami perilaku dari orang lain. Perilaku orang lain dapat

diperiksa atas dasar keunikan, konsistensi dan konsensus. Keunikan merupakan

tingkatan di mana seseorang berperilaku secara serupa dalam situasi yang berbeda.

Konsistensi merupakan tingkatan dimana seseorang menunjukkan perilaku yang

sama pada waktu yang berbeda. Konsensus merupakan tingkatan dimana orang lain

menunjukkan perilaku yang sama. Mengetahui sejauh mana perilaku seseorang

menunjukkan kualitas ini dapat sangat bermanfaat dalam membantu memahami

perilaku tersebut.

2.1.2 Fraud Triangle Teory

Berdasarkan teori ini ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang

melakukan kecurangan. Ketiga faktor tersebut digambarkan dalam segitiga

kecurangan (fraud triangle). Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi yang umumnya

hadir pada saat fraud terjadi yaitu pressure, opportunity, dan rationalization.

Cressey (1953) dalam Tuannakotta (2007) menyimpulkan bahwa kecurangan


secara umum mempunyai tiga sifat umum. Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi

yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu pressure, opportunity, dan

rationalization.

1) Insentif/tekanan (pressure). Manajemen atau pegawai lain merasakan

insentif atau tekanan untuk melakukan kecurangan. Karyawan mungkin

merasa mendapat tekanan untuk melakukan kecurangan karena adanya

kebutuhan atau masalah finansial. Menurut Salman (dalam Kurniawati,

2012) tekanan yaitu insentif yang mendorong orang melakukan

kecurangan karena tuntutan gaya hidup, ketidakberdayaan dalam soal

keuangan, perilaku gambling, mencoba-coba untuk mengalahkan

sistem dan ketidakpuasan kerja.

2) Kesempatan (opportunity). Situasi yang membuka kesempatan bagi

manajemen atau pegawai untuk melakukan kecurangan. Menurut

Montgomery et al.(dalam Kurniawati, 2012) kesempatan yaitu peluang

yang menyebabkan pelaku secara leluasa menjalankan aksinya yang

disebabkan oleh pengendalian internal yang lemah, ketidakdisiplinan,

kelemahan dalam mengakses informasi, tidak ada mekanisme audit,

dan sikap apatis. Longgarnya pengendalian internal dan kurangnya

pengasawan dalam suatu perusahaan dapat memicu karyawan untuk

melakukan kecurangan. Dari longgarnya pengendalian dan kurangnya

pengawasan tersebut karyawan merasa mendapatkan kesempatan untuk

melakukan kecurangan.
3) Sikap atau rasionalisasi (rationalization). Menurut Norbarani (2012)

rasionalisasi merupakan sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis

yang membenarkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan

kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang

cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud.

Rasionalisasi menyebabkan pelaku kecurangan mencari pembenaran

atas perbuatannya.

Gambar 2.1 Fraud Triangle Theory

Pressure

Opportunity Rationalizations

Sumber : Fraud Triangle Theory oleh Cressey (1953) dalam Norbarani (2012)

2.1.3 Pengendalian Internal

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) seperti dinyatakan dalam PSA No.

69 (IAI,2001:319.2), Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh

dewan komisaris, manajemen, dan personil lain entitas yang didesain untuk

memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut

ini: keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi, dan kepatuhan

terhadap hukumdan peraturan yang berlaku.


Pengendalian internal merupakan suatu sistem yang terdiri dari kebijakan,

prosedur, cara, dan peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan agar rencana dan

tujuan dapat dicapai dengan baik (Zulkarnain, 2013). Menurut PP No. 8 Tahun

2006 pengendalian internal adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh manajemen

yang diciptakan untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian

efektivitas, efesiensi, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang

berlaku, dan keandalan penyajian laporan keuangan. Perkembangan pengendalian

internal pemerintah di Indonesia ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah

(PP) nomor 60 tahun 2008 tentang sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP).

Pengendalian Internal yang lemah ataupun longgar merupakan salah satu faktor

yang paling mengakibatkan kecurangan tersebut sering terjadi. Lane and OConnell

(2009) menegaskan bahwa jika bentuk penekanan untuk mengikuti SPI

diperhatikan secara khusus, akan mengurangi fraud.Pengendalian Internal terdiri

dari kebijakan dan prosedur yang diterapkan untuk memberikan keyakinan

memadai bahwa tujuan tertentu suatu entitas akan tercapai (Halim, 2003). Menurut

Abiola (2013) sistem pengendalian intern dapat digambarkan sebagai keseluruhan

sistem kontrol, keuangan dan sebaiknyaditetapkan oleh manajemen untuk

meneruskan usaha dari perusahaan agar tetap berjalan tertib dan efisien.

Instansi Pemerintah penting untuk menerapkan Sistem Pengendalian

Internal untuk mencegah terjadinya tindak kecurangan yang dapat merugikan

instansi.Penerapan Sistem Pengendalian Intern secara baik yang diharapkan dapat

memotivasi dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Aprishella, 2014).

Pengendalian internal yang kuat akan mampu menurunkan tingkat kecenderungan


kecurangan akuntansi, jika pengendalian internalnya lemah maka kecenderungan

kecurangan akuntansi akan semakin besar (Adelin, 2013). Dengan Adanya

pengendalian internal yang efektifdidalam suatu instansi, maka akan

memungkinkan terjadinya pengecekan silang terhadap pekerjaan seseorang oleh

orang lain. Hal ini menurunkan peluang terjadinya kecurangan dan akan

menghindarkan terjadinya tindakan-tindakan penyimpangan yang dapat merugikan

perusahaan.

2.1.4 Integritas

Integritas merupakan kualitas yang mendasari kepercayaan publik dan

merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusannya

(Ayuningtyas, 2012). Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain,

bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa.

Mulyadi (2002) mendefinisikan integritas sebagai prinsip moral yang tidak

memihak, jujur, seseorang yang berintegritas tinggi memandang fakta seperti apa

adanya dan mengemukakan fakta tersebut seperti apa adanya. Menurut Sunarto

(dalam Sukriah, 2009) menyatakan bahwa integritas dapat menerima kesalahan

yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat

menerima kecurangan prinsip.

Berdasarkan beberapapengertian integritas yang diungkapkan diatas,

peneliti menyimpulkan bahwaintegritas adalah komitmen untuk melakukan segala

sesuatu sesuai dengan prinsip yangbenar dan etis, sesuai dengan nilai dannorma,

dan ada konsistensi untuk tetapmelakukan komitmen tersebut pada setiapsituasi

tanpa melihat adanya peluangataupunpaksaan untuk keluar dariprinsip.


2.1.5 Kecenderungan Kecurangan Akuntansi

Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (KKA) adalah keinginan untuk

melakukan segala sesuatu untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak

jujur seperti menutupi kebenaran, penipuan, manipulasi, kelicikan atau mengelabui

yang dapat berupa salah saji atas laporan keuangan, korupsi dan penyalahgunaan

aset (Shintadevi, 2015).Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) kecurangan

akuntansi merupakan penyalahgunaan/penggelapan atau perbuatan yang tidak

semestinya. Pihak manajemen melakukan kecurangan biasanya untuk kepentingan

perusahaan dan karyawan melakukan kecurangan untuk keuntungan individu

(Adelin, 2013).Fraud menyangkut caracara yang dihasilkan oleh akal manusia

yang dipilih oleh seseorang untuk mendapatkan suatu keuntungan dari pihak lain

dengan penyajian yang salah/palsu (Zulkarnain, 2013). Kecurangan mencakup

kejutan, tipu daya, caracara licik dan tidak jujur yang digunakan untuk menipu

orang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Singleton et al. (2010), yang

mengemukakan bahwa fraud, theft, defalcation, irregularities, white collar crime,

dan embezzlement adalah terminologi yang sering dipertukarkan.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menjelaskan kecurangan akuntansi sebagai:

(1) Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan yaitu salah

saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan

keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan, (2) Salah saji yang timbul

dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (seringkali disebut dengan

penyalahgunaan atau penggelapan) yang berkaitan dengan pencurian aktiva entitas


yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi

yang Berlaku Umum (PABU) di Indonesia.

Lin et al.(2003) kecurangan akuntansi oleh pimpinan dapat dilakukan

dengan memanfaatkan berbagai sumber penipuan baik berupa pemalsuan atau

penyembunyian bukti-bukti transaksi, penyajian informasi dan laporan keuangan

yang tidak benar, ataupun salah saji akibat perlakuan yang tidak semestinya

terhadap aset. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan

dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian

aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar barang atau jasa yang

tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat

disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat

menyangkut satu atau lebih individu di antara pegawai atau pihak ketiga. Menurut

Albrecht (2004), pelanggaran terhadap etika, kejujuran dan tanggung jawab

merupakan inti dari tindakan kecurangan akuntansi.

Kondisi Penyebab Terjadinya Kecurangan Akuntansi

Menurut Arens (2008:432), penyebab terjadinya kecurangan disebut

dengan segitiga kecurangan (fraud triangle), yaitu :

1) Insentif/tekanan. Manajemen atau pegawai lain merasakan insentif atau

tekanan untuk melakukan kecurangan. Karyawan mungkin merasa

mendapat tekanan untuk melakukan kecurangan karena adanya kebutuhan

atau masalah finansial.

2) Kesempatan. Situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen atau

pegawai untuk melakukan kecurangan.Longgarnya pengendalian internal


dan kurangnya pengasawan dalam suatu perusahaan dapat memicu

karyawan untuk melakukan kecurangan. Dari longgarnya pengendalian

dan kurangnya pengawasan tersebut karyawan merasa mendapatkan

kesempatan untuk melakukan kecurangan.

3) Sikap atau rasionalisasi. Ada sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai

etis yang membenarkan manajemen atau pegawai untuk melakukan

tindakan yang tidak jujur, atau mereka berada dalam lingkungan yang

cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan yang

tidak jujur.

Tipe-tipe Kecurangan Akuntansi

Menurut Tunggal (2013) terdapat dua tipe kecurangan akuntansi yaitu :

1) Kecurangan eksternal

Kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap suatu perusahaan/entitas,

seperti kecurangan yang dilakukan pelanggan terhadap usaha, wajib pajak

terhadap pemerintah.

2) Kecurangan internal

Tindakan tidak legal yang dilakukan oleh karyawan, manager dan eksekutif

terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Kecurangan tersebut akan

menimbulkan kerugian yang besar bagi perusahaan itu sendiri.

Jenis-jenis Kecurangan akuntansi

Arens (2008:430-432) menjelaskan bahwa kecurangan menggambarkan

setiap upaya penipuan yang sengaja, yang dimaksudkan untuk mengambil


harta atau hak orang atau pihak lain. Dua jenis kecurangan akuntansi yang

utama adalah:

1) Pelaporan keuangan yang curang

Pelaporan keuangan yang curang adalah salah saji atau pengabaian

jumlah atau pengungkapan yang disengaja dengan maksud mampu menipu

para pemakai laporan keuangan tersebut. Sebagian besar kasus melibatkan

salah saji jumlah yang disengaja, bukan pengungkapan. Pengabaian jumlah

kurang lazim dilakukan, tetapi perusahaan dapat saja melebihsajikan laba

dengan mengabaikan utang usaha dan kewajiban lainnya.

Kebanyakan kasus pelaporan keuangan yang curang melibatkan

upaya melebihsajikan laba baik dengan melebihsajikan aktiva dan laba atau

dengan mengabaikan kewajiban dan beban, perusahaan juga sengaja

merendahsajikan laba. Hal ini mungkin dilakukan dalam upaya mengurangi

pajak penghasilan. Perusahaan juga mungkin sengaja merendahsajikan laba

ketika laba itu tinggi untuk membentuk cadangan laba atau cookie jar

reserve, yang dapat digunakan untuk memperbesar laba dalam periodik

mendatang, praktik ini disebut income smoothing (perataan laba) dan

earnings management (pengaturan laba). Pengaturan laba (earnings

management) menyangkut tindakan manajemen yang disengaja untuk

memenuhi tujuan laba, sedangkan perataan laba (income smoothing)

merupakan salah satu bentuk pengaturan laba di mana pendapatan dan

beban ditukar-tukar di antara periodik-periodik untuk mengurangi fluktuasi

laba. Salah satu teknik untuk meratakan laba adalah dengan mengurangi
nilai persediaan dan aktiva lain perusahaan yang diperoleh pada saat

akuisisi, yang menghasilkan laba yang lebih tinggi ketika aktiva tersebut

nanti dijual.

2) Penyalahgunaan aktiva

Penyalahgunaan (misappropriation) aktiva adalah kecurangan yang

melibatkan pencurian aktiva entitas. Dalam banyak kasus, tetapi tidak

semata, jumlah yang terlibat tidak material terhadap laporan keuangan.

Akan tetapi, pencurian aktiva perusahaan seringkali mengkhawatirkan

manajemen, tanpa memperhatikan materialitas jumlah yang terkait, karena

pencurian bernilai kecil menggunung seiring dengan berjalannya waktu.

Istilah penyalahgunaan aktiva biasanya digunakan untuk mengacu

pada pencurian yang melibatkan pegawai dan orang lain dalam lain

organisasi.Penyalahgunaan aktiva biasanya dilakukan pada tingkat hierarki

organisasi yang lebih rendah. Namun, dalam beberapa kasus, manajemen

puncak terlibat dalam pencurian aktiva perusahaan. Karena manajemen

memiliki kewenangan dan kendali yang lebih besar atas aktiva organisasi,

penyelewengan yang melibatkan manajemen puncak dapat menyangkut

jumlah yang signifikan.

Klasifikasi Fraud

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi

Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat dalam Zulkarnain(2013),

mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan

dikenal dengan istilah Fraud Tree yaitu:


1) Financial Statement Fraud (Kecurangan Laporan Keuangan)

Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan

yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material

Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan

ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial.

2) Asset Misappropriation (Penyalahgunaan Aset)

Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam Kecurangan Kas

dan Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya, serta

pengeluaranpengeluaran biaya secara curang (fraudulent

disbursement).

3) Corruption (Korupsi)

Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE,

bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di

Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan

kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal

(illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).

Fraud pada Sektor Pemerintahan

Semua jenis fraud dapat terjadi pada sektor pemerintahan, akan tetapi

yang paling sering terjadi adalah korupsi (Pristiyanti, 2012). Korupsi adalah

tindakan seorang pejabat atau petugas yang secara tidak sah dan tidak dapat

dibenarkan memanfaatkan pekerjaannya atau karakternya untuk

mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau untuk orang lain dengan

melanggar kewajiban dan hak. Korupsi meliputi penyuapan, konflik


kepentingan, pemberian tanda terima kasih yang tidak sah, dan pemerasan

secara ekonomi.

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Pengendalian Internal pada Kecenderungan Kecurangan

Akuntansi

Menurut Kusumastuti (2012) sistem pengendalian internal diharapkan

mampu mengurangi adanya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh

manajemen. Jika pengendalian internal tidak berjalan dengan baik, prosedur tidak

dilakukan sebagaimana mestinya, maka akan membuka kesempatan bagi pegawai

yang terlibat dalam kegiatan operasional organisasi untuk melakukan kecurangan.

Penelitian Adelin (2013) menunjukkan bahwa Efektivitas pengendalian internal

berpengaruh signifikan negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi,

artinya semakin efektif pengendalian internal perusahaan, semakin rendahnya

kecenderungan kecurangan akuntansi perusahaan. Penelitian Zainal (2013)

efektivitas pengendalian intern berpengaruh signifikan negatif terhadap kecurangan

akuntansi. Hal ini berarti bahwa kecenderungan kecurangan akuntansi dapat

dikurangi jika sistem pengendalian internal yang efektif diterapkan dalam

perusahaan. Semakin baik pengendalian internal menyebabkan tingkat terjadinya

kecenderungan kecurangan akuntansi menurun.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikembangkan hipotesis:

H1 : Pengendalian internal berpengaruh negatif padakecenderungan kecurangan

akuntansi.
2.2.2 Pengaruh Integritas pada Kecenderungan Kecurangan Akuntansi

Pope (2008) menjelaskan bahwa saat ini pendekatan yang paling ampuh

untuk memberantas korupsi di seluruh dunia masih berada pada upaya untuk

meningkatkan standar tata pemerintahan dengan menggunakan Sistem Integritas

Nasional. Lembaga Transparancy International (2014) menjelaskan bahwa Sistem

Integritas Nasional adalah sistem yang didalamnya terdiri atas pilar-pilar para

penyelenggara sistem pemerintahan atau keorganisasian, yang mana dalam

pelaksanaannya menjunjung tinggi integritas demi tegaknya kewibawaan institusi

tersebut. Prinsip integritas mengharuskan seseorang untuk memiliki kepribadian

yang dilandasi oleh unsur kejujuran, keberanian, bijaksana, dan bertanggung jawab

untuk membangun kepercayaan guna memberidasar dalam mengambil suatu

keputusan yang dapat diandalkan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat

dikembangkan hipotesis:

H2 : Integritas berpengaruh negatif padakecenderungan kecurangan akuntansi.

Anda mungkin juga menyukai