Anda di halaman 1dari 17

Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji serta syukur ke hadirat Allah yang maha kuasa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan
makalah dengan judul PERDAGANGAN SYARIAH untuk memenuhi persyaratan
tugas MID Mata Kuliah Manajemen SDM.

Saya menyadari bahwa di dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, saya telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki sehingga
dapat selesai dengan baik, dan oleh karena itu dengan rendah hati, saya berharap
kepada pembaca yang budiman untuk memberikan masukan, saran dan kiritik yang
sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT. Telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu


sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala
urusan kepentingan hidup masing-masing, salah satunya adalah dengan jual beli, baik
dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara
demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan
yang lain menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba atau tamak tetap ada pada manusia,
suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia,
dan juga menjadi kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar
dan teratur. Oleh sebab itu agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.
Kehidupan dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat
hidup sendiri. Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang
lainnya, atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia
adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua
masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah,
misalnya dalam kasus jual beli.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia
itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk
aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus dijadikan sebagai
tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka
sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-
khalifah yang tangguh di muka bumi.
Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat,
melalaikan aspek ini sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau
haram menurut syariat Islam.
Jual beli (al-bai) adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain
dari al-bai adalah asy-syira, al-mubadah, danat-tijaarah. Allah membolehkan jual
beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan
bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat
terhadap kewajiban lainnya. Jika asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya
diantara bentuk jual ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan
hukumnya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan masalah
dalam pembahasan ini adalah:
1. Apa pengertian dan dasar hukum jual beli?
2. Apa saja rukun dan syarat jul beli?
3. Apa saja hal-hal yang terlarang dalam jual beli?
4. Hikmah apa sajakah yang dapat diambil dari kegiatan jual beli?

C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami arti, dasar hukumnya, rukunnya jual beli
2. Dapat memaknai sekaligus mampu menerapkan jual beli yang islami/sah dalam
kehidupan sehari-hari
3. Dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang menyangkut jual beli yang tidak sah.
4. Mengetaui hikmah jual beli

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian

Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bai',
al-tijarah, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :

Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS. Fathir : 29)
Secara bahasa, jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (
). Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. [1]
Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-
beli adalah ( ) yang berarti : tukar menukar harta dengan harta secara
kepemilikan.[2]
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa jual-beli sebagai (
) , yang artinya pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan dan
penguasaan.[3]
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar
barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan
melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan".

B. Dasar Masyru'iyah
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh berdasarkan kitabullah
dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :

Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba. (QS. Al-
Baqarah : 275)

Sedangkan dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :


, : ,-
-
, , ,
- ,
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: Apabila dua orang
melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih
antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan
masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan
khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain,
lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. (HR. Muttafaq
alaih)
- : :

Dari Rifaah Ibnu Rafi r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan
apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: Pekerjaan seseorang dengan tangannya
dan setiap jual-beli yang bersih. (HR Al-Bazzar.)[4]

Dari Abu Masud al-Anshary r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang mengambil
uang penjualan anjing, uang pelacuran dan upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)

C. Hukum Jual Beli


Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau
dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya
hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari
kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau
yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW. [5]

D. Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana
tanpa adanya rukun, maka jual-beli itu menjadi tidak sah hukumnya.
Rukunnya ada tiga perkara, yaitu:
Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
Adanya akad / transaksi
Adanya barang / jasa yang diperjual-belikan.
Kita bahas satu persatu masing-masing rukun jual-beli untuk lebih dapat
mendapatkan gambaran yang jelas.

1. Adanya Penjual dan Pembeli


Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi
ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan
pelaku yang harus berakal dan baligh.
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh
penjual atau pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari
mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak
sah, kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat
kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual-
beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi
bukan sebagai penentu jual-beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk
membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang
menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau
suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli.
Akad itu seperti : Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu
pembeli menjawab,"Aku terima".
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan.
Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistemmu'athaah, ( )yaitu
kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan
lafadz.
3. Adanya Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para
ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat
tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah, maka
barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dana arti bukan benda najis
atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain
bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan[6] dan
lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
: -
-

Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di
Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: Sesungguhnya Allah melarang jual-beli
minuman keras, bangkai, babi, dan berhala. (HR. Muttafaq Alaih)
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-
beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah
yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan
penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah,
melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan,
pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad,
tidak terjadi jual-beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis,
hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para
petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli
kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli. Pihak
petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan,
pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak
termasuk jual-beli.
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan
juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang
membahayakan atau merugikan manusia. Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i
menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti
kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung
gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut denganalatul-lahwi
(perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat
musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun,
maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda
yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan
alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.
c. Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang
tersebut menjadi wali (al-wilayah) atauwakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh
seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan
transaksi atas benda milik anak itu. Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah
seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada
pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik
toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya
bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu
batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual
barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk
mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang
memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan
oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayaytan hadits ini lemah, namun
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur
sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.

d. Bisa Diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas
apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.Demikian juga tidak sah menjual
burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara
pisik maupun secara hukum. Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut,
tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan
penyerahannya. Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual
setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan
merusak pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali
setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari
segi kualitasnya. Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat -meski hanya sample-
oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli
kucing dalam karung. Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya.
Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya
yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu
baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor,
disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan
kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas
dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak
rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat
jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa
dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya :
Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara :
Tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti
ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya,
seperti umumnya sample barang.
Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

E. Terlarangnya Jual Beli Karena Cacatnya Rukun Dan Syarat


a) Jual Beli Terlarang Karena Sebab Pelaku (Ahliah)
Para Ulama sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang
yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik.
Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sebagai berikut:
1. Jual-beli orang gila
Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah, begitu pula sejenisnya,
sebagai contoh, jual beli orang mabuk, dll.
2. Jual-beli anak kecil
Ulama fiqh sepakat bahwasanya jual beli yang dilakukan oleh anak kecil dipandang
tidak sah, kecuali dalam hal atau perkara yang sepele.
3. Jual-beli orang buta
Jual beli orang buta dianggap shahih menurut jumhur ulama jika barang yang
dibelinya diterangkan sifat-sifatnya.
4. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli terpaksa, keabsahannya ditangguhkan
sampai hilang rasa terpaksa.
5. Jual-beli fudhul, jual-beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya
6. Jual-beli orang terhalang
Yang dimaksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut atau
sakit.
7. Jual-beli malja,
Yaitu jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari
perbuatan dzalim.

b) Jual Beli Terlarang Karena Sebab Maqud Alaih (Obyek Transaksi)


Secara umum, ma'qud 'alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh
orang yang akad, yang biasa disebut barang jualan dan harga. Ulama fiqih sepakat
bahwa jual beli dianggap sah apabila ma'qud 'alaih adalah barang yang tetap atau
bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang yang akad, tidak
bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan syara'.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian Ulama, tetapi
diperselisihkan oleh sebagian yang lain.
1. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada.
Jumhur Ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan
tidak ada adalah tidak sah
2. Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan.
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau
ikan yang ada di air tanpa berdasarkan ketetapan syara'.
3. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul).
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut
jumhur ulama adalah batal sebab akan mendatangkan pertentangan.
4. Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang tidak jelas.
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak sah. Bila telah ada buah tetapi belum
matang, akadnya fasid menurut Ulama Hanafiyah dan batal menurut jumhur Ulama,
adapun juka buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang maka akadnya sah.
Keseluruhan jual beli di atas masuk kedalam transaksi gharar.
c) Jual Beli Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). Sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas
hasilnya (majhul al-aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sadi, al-gharar adalah
al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam
kategori perjudian. Sehingga, dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang
dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan;
pertaruhan, atau perjudian.Jual beli gharar atau yang mengandung ketidakpastian
dilarang dalam Islam.

Macam-macam jual beli gharar :


1. Bai Madum
Yaitu jual beli barang yang tidak ada atau belum ada (misal : menjual anak
kambing yang masih dalam kandungan). Pelarangan Bai Madum ini sesuai dengan
hadis Nabi yang menyebutkan Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada
padamu (H.R. Khamsah dari Hakim Bin Hizam). Namun Bay Madum bisa
dilakukan bila barang yang dijual dapat diukur dengan pasti dan dan penyerahannya
bisa dipastikan sesuai urf.
Contohnya:
Menjual anak onta yang masih dalam kandungan
Menjual buah yang masih di pohon (belum matang)
Menjual susu hewan yang masih di teteknya (Bisa kelihatan besar, ternyata isinya
lemak, susunya cair), disini ada spekulasi, tidak jelas
Jual beli barang yang tidak/belum ada

2. Bai Majuz at-Taslim


Yaitu jual beli yang sulit dalam penyerahan barangnya (misal : menjual motor yang
hilang atau hp yang hilang yang masih dalam pencarian).
Contohnya:
Jual beli motor yang hilang dan masih dalam pencarian
Jual beli HP yang masih dipinjam orang (teman) yang kabur
Jual-beli tanah properti yang belum jelas statusnya (pembebasannya)
Menjual burung piaraan (seperti merpati) yang mungkin kembali ke sarangnya.

3. Bai Majhul
Yaitu jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jeni, merek atau kuantitasnya
(misal: menjual radio yang tidak dijelakan mereknya). Bila tingkat majhulnya kecil
sehingga tidak menyebabkan pertentangan, maka jual beli sah, karena keidak tahuan
tidak menghalangi penyerahan dan penerimaan barang (misal : jual beli buah
berdasarkan kiloan tetapi secara tumpukan).
Contohnya:
Yaitu jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jenis, merek atau kuantitasnya.
Seperti jual beli murabahah HP Nokia yang tidak dijelaskan tipenya.
Jual beli radio yang tidak dijelaskan merknya.
Jual beli ini dilarang karena mengandung gharar (tidak jelas, tidak pasti yang mana
produk yang mau dibeli).
4. Bai Juzaf (Taksir)
Yaitu jual beli barang yang biasa ditakar, ditimbang dan dihitung, tetapi dilakukan
secara taksir/ perkiraan (misal : menjual setumpuk pakaian tanpa mengetahui
jumlahnya).
Contohnya:
Menjual setumpuk makanan tanpa mengetahui takarannya secara pasti
Menjual setumpuk buah tanpa mengetahui beratnya
Menjual setumpuk ikan tanpa mengetahuai berapa kg
Menjual setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya

5. Bai Muhaqalah
Yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah (Ijon).

6. Bai Mukhadarah
Yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas di panen.

7. Bai Mulamasah
Yaitu jual beli yang terjadi dengan cara hanya menyentuh suatu barang secara acak
(misal: seseorang yang menyentuh sebuah produk dengan tangannya di waktu malam,
maka orang yang telah menyentuh kain berarti telah membeli kain tersebut).
Contohnya:
Jual beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang menyentuh sebuah produk
dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh
berarti telah membeli kain tersebut
Jual beli ini dilarang jarena mengandung gharar. Tidak jelas barang mana yang
disentuh

8. Bai Munabazah
Yaitu jual beli secara lempar-melempar, sehingga barang tidak jelas dan tidak pasti.
Contohnya:
Jual beli secara lempar-melempar, sehingga objek barang tidak jelas dan tidak
pasti, apakah barang A, B, C atau lainnya
Seperti seorang berkata, Lemparkan padaku apa yang ada padamu, nanti
kulemparkan pula padamu apa yang ada padaku. Setelah terjadi saling melempar
barang, maka terjadilah jual-beli
Jual beli ini juga dilarang karena mengandung gharar

9. Bai Muzabanah (Barter Buah-buahan)


Yaitu jual beli yang menggunakan makanan yang masih belum jelas sebagai alat
pembayarnya (misal : buah-buahan saat masih di atas pohon yang masih basah /
belum bisa dimakan dijual sebagai pembayar untuk memperoleh kurma untuk
dimakan).
Contohnya:
Buah-buahan ketika masih di atas pohon yang masih basah (belum bisa
dimakan) dijual sebagai alat pembayar untuk memperoleh kurma dan anggur kering
(bisa dimakan). Penyerahannya di masa depan (future).
Jual beli ini dilarang karena buah yang di atas pohon belum bisa dipastikan
kualitas dan kuantitasnya. Jadi hanya berdasarkan perkiraan/taksiran. Karena itu
Rasul saw melarang.
Karena dikhawatirkan salah satu pihak ada yang dirugikan. Jual beli ini juga
mengandung gharar.
10. Bai Hashah
Yaitu jual beli dimana pembeli menggunakan kerikil dalam jual beli (kerikil
dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual, dan kerikil yang mengenai suatu
barang akan dibeli dan ketika itu terjadilah jual beli).
11. Hablul Habalah
Seseorang menjual seekor anak onta yang masih berada dalam perut induknya.
Jual beli semacam ini dilarang, karena mengandung gharar (ketidakpastian)
12. Madhamin dan Malaqih
Madhamin ialah menjual sperma hewan, di mana si Penjual membawa hewan
pejantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan
itu menjadi milik pembeli.
Malaqih, Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan
d) Jual Beli Terlarang Karena Objeknya Haram Dan Tidak Baik
Berikut adalah beberapa contoh jual beli yang dilarang karena haram dan tidak
thoyyib-nya objek jual beli.
Jual Beli Salib (simbol agama kristen)
Jual Beli Patung Yesus atau fotonya
Jual beli wanita dan anak bayi
Jual beli / Bisnis CD porno, majalah porno,dll
Jual Beli Narkoba dan segala barang lainnnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jual beli merupakan salah satu ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah
yaitu ijab-qabul, taradli, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, tidak ada
penipuan, pemalsuan, penimbunan dan lain sebagainya yang bersumber dari indera
manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan manusia.
2. Sesuatu hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusaknilai
amalan yang kita lakukan jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan
untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan
syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli. Agar terciptanya lingkungan
ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Untukitu
penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatanyang bersifat
kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untukmensejahterakan kehidupan rakyat
terutama dalam bidangperekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, jadi
diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli islam ini
sudahdapat dilihat dalam bab-bab makalah ini.

B. Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai
hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkaittentang hubungan jual beli yang
baik antara penjual juga pembeli,sehingga dapat mendorong munculnya penulisan
makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal
yangberkaitan dengan hubungan jual beli.

DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.Abdullah al Mushlih,Prof Dr.Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan


Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.
Prof. DR. Rachmat Syafei, MA, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia 2001.
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010
Departemen Agama RI, Al-hidayah Al-Quran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka,
Banten, Kalim, 2012
http://masudkhan2000.blogspot.com/2013_01_01_archive.ht

Anda mungkin juga menyukai