Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) atau Vertigo Posisi Paroksismal

Jinak (VPPJ) adalah gangguan keseimbangan yang sering dijumpai. Penyakit ini merupakan

penyakit degeneratif yang idiopatik yang sering ditemukan, kebanyakan diderita pada usia

dewasa muda dan usia lanjut. BPPV ini juga lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan

pria dengan perbandingan 2:1.1,2

BPPV merupakan penyebab vertigo yang paling sering di Amerika Serikat,

prevalensinya adalah 64 dari 100.000 penduduk.. Diperkirakan hampir 20% yang datang

berobat ke dokter merupakan BPPV.1 Di Indonesia, BPPV merupakan vertigo perifer yang

paling sering ditemui, yaitu sekitar 30%. Usia penderita BPPV yang paling banyak adalah

diatas 51 tahun. Jarang ditemukan pada orang yang berusia kurang dari 35 tahun bila tidak

didahului riwayat trauma kepala. 3

Pengobatan BPPV telah berubah pada beberapa tahun terakhir. Pengertian baru

tentang patofisiologi mempengaruhi perubahan penanggulangannya. Dengan demikian

identifikasi dan penatalaksanaan dapat dilakukan dengan tepat. 1

Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa ilmu pengetahuan mengenai BPPV terus

berkembang, disamping itu kasus ini sering dijumpai pada usia produktif dan menganggu
aktivitas, serta perlunya kita mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan mutakhir

penyakit ini maka dalam makalah ini akan dibahas seluruh aspek penting mengenai BPPV.

1.2. Batasan Masalah

Pembahasan tulisan ini dibatasi pada defenisi, patogenesis, diagnosis dan

penatalaksanaan benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).

1.3. Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan

penulis khususnya mengenai benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)

1.4. Metode Penulisan

Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai

literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek, sering digambarkan

sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness);

deskripsi keluhan tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau

sefalgi, terutama karena dikalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala) sering

digunakan secara bergantian.4

Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yang artinya memutar-merujuk pada sensasi

berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan gangguan

sistim keseimbangan 4

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) didefinisikan sebagai vertigo dengan

nistagmus vertikal, horizontal atau rotatoar yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepaia.

Terdapat masa laten sebelum timbulnya nistagmus, reversibilitas, kresendo, dan fenomena

kelelahan (fatigue). Lama nistagmus terbatas, umumnya kurang dari 30 detik. BPPV dikenal juga

dengan nama vertigo postural atau kupulolitiasis, merupakan gangguan keseimbangan perifer

yang sering dijumpai. 4,5


2.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer 1,5

Gambar 1. Right membranous labyrinth 6

Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang yang paling

keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam, tetapi secara khusus

dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin

membrane. Labirin membrane terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut

bentuk labirin tulang. Antara labirin membrane dan labirin tulang terdapat perilimf, sedang

endolimf terdapat didalam labirin membrane. Berat jenis endolimf lebih tinggi daripada cairan

perilimf. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung dalam perilimf,

yang berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis semisirkularis, yaitu
horizontal (lateral), anterior (superior), posterior (inferior). Selain ke tiga kanalis ini terdapat

pula utrikulus dan sakulus.

Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:

1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam pendengaran.

2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan utrikulus.

Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan sakulus sel sensoriknya

berada di makula, sedangkan di kanalis sel sensoriknya berada di krista ampulanya)

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya

tergantung kepada inputbsensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visial dan

proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga

menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.1,5

Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis semisirkularis

dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis

semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan sudut, sedangkan sel-sel pada

organ otolit peka terhadap gerak linier, khususnya percepatan inier dan terhadap perubahan

posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan

percepatan linier ini disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari

struktur-struktur yang menutupi sel rambut.

Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut pada organ

otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang dijelaskan oleh posisi dari

stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan menyebabkan stereosilia membengkok

kearah kinosilium, maka sel-sel rambut akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang

berlawanan sehingga stereosilia menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi.

Kanalis semisirkularis

Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada rotasi sel-sel

dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak lurus satu dengan yang lainnya,

dan masing-masing kanalis dari satu telinga terletak hampir satu bidang yang sama dengan

kanalis telinga satunya. Pada waktu rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi

sementara yang satunya akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan

terdapat percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan, maka serabut-

serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara serabut-serabut yang

kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertikal misalnya rotasi kedepan, maka kanalis

anterior kiri dan kanan kedua sisi akan tereksitasi, sementara kanalis posterior akan terinhibisi.

Organ otolit

Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang hampir horizontal,

dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal. Berbeda dengan sel rambut kanalis

semisirkularis, maka polarisasi sel rambut pada organ otolit tidak semuanya sama. Pada makula

utrikulus, kinosilium terletak di bagian samping sel rambut yang terdekat dengan daerah sentral

yaitu striola. Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan linier, sebagian serabut

aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan adanya polarisasi yang
berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi,

walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula.

Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron ekstraokularis

merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata dan refleks vestibulo-okularis

(RVO). RVO adalah gerakan mata yang mempunyai suatu komponen lambat berlawanan arah

dengan putaran kepala dan suatu komponen cepat yang searah dengan putaran kepala.

Komponen lambat mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi menstabilkan suatu bayangan

pada retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali mengarahkan tatapan ke bagian lain dari

lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata selama rangsangan vestibularis merupakan

suatu contoh dari nistagmus normal.

2.3. Etiologi

Pada sekitar 50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Beberapa kasus BPPV

dijumpai pada orang di bawah umur 50 tahun setelah mengalami jejas atau trauma kepala atau

leher, infeksi telinga tengah atau operasi stapedektomi dan orang yang lebih tua proses

degenerasi pada telinga dalam juga merupakan penyebab BPPV sehingga insiden BPPV

meningkat dengan bertambahnya usia. 1,2,4,7

Banyak BPPV yang timbul spontan, disebabkan oleh kelainan di otokonial berupa deposit

yang berada di kupula bejana semisirkularis posterior. Deposit ini menyebabkan bejana menjadi

sensitif terhadap perubahan gravitasi yang menyertai keadaan posisi kepala yang berubah.4

2.4. Perjalanan penyakit

Perjalanan penyakit dari BPPV sangat bervariasi. Pada sebagian besar kasus gangguan

menghilang secara spontan dalam kurun waktu beberapa minggu, namun dapat kambuh setelah
beberapa waktu, bulan atau tahun kemudian. Ada pula penderita yang hanya satu kali

mengalaminya. Sesekali dijumpai penderita yang kepekaannya terhadap vertigo posisional

berlangsung lama.2,4

Serangan vertigo umumnya berlangsung singkat, kurang dari 1 menit. Namun, bila

ditanyakan kepada penderita, mereka menaksirnya lebih lama sampai beberapa menit. Bila

serangan vertigo datang bertubi-tubi, hal ini mengakibatkan penderitanya merasakan kepalanya

menjadi terasa ringan, merarsa tidak stabil, atau rasa mengambang yang menetap selama

beberapa jam atau hari.2,6,7

BPPV sering dijumpai pada kelompok usia menengah yaitu pada usia 40-an dan 50-an

tahun. Wanita agak lebih sering daripada pria. BPPV jarang dijumpai pada anak atau orang yang

sangat tua. Nistagmus kadang dapat disaksikan waktu terjadinya BPPV dan biasanya bersifat

torsional (rotatoar). 2

2.5. Patofisiologi

Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis semisirkularis

tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain. Pada pangkal setiap kanalis

semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni ampula. Di dalam ampula terdapat kupula,

yakni alat untuk mendeteksi gerakan cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala.

Sebagai contoh, bila seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis

semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke arah ampula.

Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak sehingga timbul sensasi kepala

menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis semisirkularis akan mengurangi

atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang
sebenarnya. Hal ini menimbulkan sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga

timbul sensasi berupa vertigo.2,4

Terdapat 2 teori yang menjelaskan patofisiologi BPPV, yakni teori kupulolitiasis dan

kanalolitiasis.

Teori Kupulolitiasis

Pada tahun 1962, Schuknecht mengajukan teori kupulolitiasis untuk menjelaskan

patofisiologi BPPV. Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang melekat pada kupula krista

ampularis. Schuknecht menemukan partikel basofilik yang melekat pada kupula melalui

pemeriksaan fotomikrografi. Dengan adanya partikel ini maka kanalis semisirkularis menjadi

lebih sensitif terhadap gravitasi. Teori ini dapat dianalogikan sebagai adanya suatu benda berat

yang melekat pada puncak sebuah tiang. Karena berat benda tersebut, maka posisi tiang menjadi

sulit untuk tetap dipertahankan pada posisi netral. Tiang tersebut akan lebih mengarah ke sisi

benda yang melekat. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita

dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah

posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul

nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan

waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.

Teori Kanalitiasis

Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala BPPV

disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam kanalis semisirkularis.

Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis posterior. Bila kepala dalam posisi duduk
tegak, maka kanalit terletak pada posisi terendah dalam kanalis semisirkularis posterior. Ketika

kepala direbahkan hingga posisi supinasi, terjadi perubahan posisi sejauh 90. Setelah beberapa

saat, gravitasi menarik kanalit hingga posisi terendah. Hal ini menyebabkan endolimfa dalam

kanalis semisirkularis menjauhi ampula sehingga terjadi defleksi kupula. Defleksi kupula ini

menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala dikembalikan ke awal, maka terjadi

gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah yang berlawanan. Model gerakan

partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil

terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu
2,4
organ saraf dan menimbulkan pusing.

Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan

"delay" (latency) nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika

mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam

menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan konsep kelelahan

"fatigability" dari gejala pusing. Parnes dan McClure pada tahun 1991 memperkuat teori ini

dengan menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis semisirkularis poster. Saat melakukan

operasi kanalis tersebut. 2,4,6

Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras, otokonia yang

terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini kemudian memasuki

kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit didalam kanalis semisirkularis ini akan

memnyebabkan timbulnya keluhan vertigo pada BPPV. Hal inilah yang mendasari BPPV pasca

trauma kepala. 2,4,6


Gambar 2: Patofisiologi 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Bashiruddin J, vertigo posisi paroksisimal jinak. dalam : Soepardi EA, Iskandar N editor. Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai

Penerbit FK-UI.2007. hal 104-109

2. Li J, Benign paroxysmal positioning vertigo. Diakses dari : www.emedicine.com. Pada tanggal 5

Mei 2009.

3. Lumbantobing SM. Vertigo Tujuh Keliling. Edisi pertama. Jakarta:Balai Penerbit FK-UI.1996

4. Riyanto B. Vertigo: Aspek Neurologi Jakarta: Cermin dunia Kedokteran no.144.2004. hal 41-46

5. Anderson JH, Levine SC, sistem vestibulari. Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler PA, editor.

Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi keenam. Jakarta: EGC.1997.Hal 39-44
6. Hain, Timothy C. Benign Paroxismal Positioning Vertigo. Diakses dari :

www.entgr.com/bppv.htm. pada tanggal 5 Mei 2009

7. Nurimaba N, Patofisiologi. Dalam : PERDOSSI editor. Vertigo Patofisiologi, Diagnosis, dan

Terapi. Jakarta:Jansen Pharmaceutica.1999 Hal 29-31

Anda mungkin juga menyukai