Anda di halaman 1dari 15

Mencermati Kemiskinan yang Terjadi pada Negara Berkembang di Asia

Oleh redaksi pada Sen, 12/03/2007 - 12:04.

Krisis keuangan pada tahun 1997 menyebabkan pengangguran dan kehilangan pendapatan dalam
ekonomi yang berkembang di Asia Timur dan Tenggara, meningkatkan penderitaan masyarakat
miskin. Walaupun Asia Selatan tidak mengalami hal yang sama dari krisis itu, meningkatnya
populasi di daerah itu menyebabkan pertumbuhan penduduk miskin. Tepatnya, lebih banyak
orang dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan di Asia saat ini daripada tahun 1995. Di
antara negara berkembang di Asia, persentase total populasi hidup di bawah garis kemiskinan
juga lebih tinggi daripada 5 tahun yang lalu. Kemiskinan dapat diukur dari pendapatan dan
indikator sosial lainnya seperti angka melek huruf, angka harapan hidup dan status
gizi. KEMISKINAN, KETIDAKMERATAAN DAN PE
RTUMBUHAN EKONOMI Negara berkembang di Asia yang termasuk berpendapatan rendah
atau miskin, dilihat dari posisinya di bawah garis kemiskinan secara nasional maupun
internasional yaitu berpendapatan di bawah 1 dolar per hari, pendapatan kotor (gross domestic
product/GDP) per kapita sebagai indikator pembangunan ekonomi dan menghasilkan ukuran
perbedaan pendapatan antar kelompok populasi dengan pendapatan terendah dan tertinggi.
Proporsi penduduk suatu negara yang berada di bawah garis kemiskinan bervariasi, dari 9 persen
di Cina sampai dengan 46 persen di Laos. Di Indonesia, pada tahun 1998, terdapat 17 persen
penduduk yang erbada di bawah garis kemiskinan. Proporsi negara dengan pendapatan di bawah
1 dolar per hari juga bervariasi, mulai dari di bawah 2 persen di Thailand sampai dengan lebih
dari 50 persen di Nepal, sedangkan di Indonesia hanya 8 persen. Selisih antara dua ukuran itu,
mencerminkan besarnya variasi setiap negara mendefinisikan kemiskinan di negaranya sendiri.
Data yang ada juga menunjukkan adanya kaitan antara mengurangi kemiskinan dengan
pembangunan ekonomi. Negara dengan GDP tinggi seperti Malaysia dan Thailand cenderung
sedikit proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kontrasnya, negara dengan
GDP per kapita rendah seperti Nepal, Laos, Vietnam dan Bangladesh mempunyai proporsi
penduduk miskin yang besar. Perbandingan pendapatan antara penduduk termiskin dengan
penduduk terkaya menunjukkan variasi bermakna dari ketidakmerataan pendapatan di Asia.
Pembangunan ekonomi yang relatif lebih tinggi di Malaysia dan Thailand berhubungan dengan
perbedaan jauh antara kaya dan miskin. Kontrasnya, kejadian tidak meratanya pendapatan sangat
rendah terjadi di negara Asia Selatan. Negara yang berada pada peringkat menengah GDP per
kapitanya justru menunjukkan variasi besar dari ketidakmerataan pendapatan. Kecenderungan
sejak tahun 1970 di Thailand dan Sri Lanka menunjukkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan
dapat membantu penduduk miskin daripada meningkatkan ketidakmerataan. Tahun 1970-an,
pendapatan per kapita relatif sama pada 2 negara itu. Perbedaan pendapatan lebih besar di
Thailand dan lebih besar lagi sampai 20 tahun kemudian. Tahun 1990, 20 persen penduduk
termiskin di Thailand mendapatkan 4 persen dari total pendapatan, dibandingkan dengan 9
persen untuk kelompok yang sama di Sri Lanka. Karena pertumbuhan ekonomi Thailand lebih
cepat, tahun 1990, 20 persen penduduk termiskin berpendapatan rata-rata 45 persen (atau 61
dolar per tahun) daripada Sri Lanka yang hanya 42 dolar per tahun. INDIKATOR SOSIAL
DARI KEMISKINAN Ada tiga indikator sosial dari kemiskinan yaitu angka melek huruf orang
dewasa, angka harapan hidup saat lahir dan malnutrisi anak. Secara umum, indikator itu cukup
baik pada negara Asia Timur, diikuti oleh Asia Tenggara dan terburuk di Asia Selatan. Negara
dengan tingkat kemiskinan tinggi biasanya menduduki peringkat rendah dari indikator sosial.
Kecuali, Sri Lanka, Filipina dan Vietnam yang tinggi indikator sosialnya namun juga tinggi
tingkat kemiskinannya. Sama halnya dengan ukuran pendapatan, informasi tingkat nasional
mungkin menggambarkan besarnya ketidakmerataan di suatu negara. Pendidikan, kesehatan dan
status gizi sangat bervariasi menurut jender, umur, pendapatan rumah tangga, suku, agama, kasta,
desa/kota dan wilayah geografis. Ketidaksetaraan jender dalam indikator sosial merupakan
gambaran di Asia Selatan (kecuali Sri Lanka), dan di Papua Nugini. Di India dan Indonesia, ada
perbedaan tajam di indikator sosial di setiap wilayah. Di semua negara berkembang di Asia,
indikator sosial cenderung lebih rendah di desa daripada di kota. Angka melek huruf Melek
huruf dapat dicapai dengan menamatkan sekolah dasar selama 4 sampai 5 tahun. Angka melek
huruf pada orang dewasa hampir sama tingginya di Filipina, Thailand, dan Vietnam yang
mencapai 95 persen, sedangkan Indonesia sebesar 84 persen. Angka melek huruf yang tinggi
menggambarkan pencapaian yang tinggi dari suatu negara kecuali Thailand yang relatif rendah
pendapatannya. Rata-rata angka melek huruf di bawah 60 persen di negara lain Asia Selatan
(Bangladesh, India, Nepal, Pakistan) dan Laos. Angka harapan hidup Angka harapan hidup
waktu lahir sangat rendah (kurang dari 65 tahun) pada kebanyakan negara Asia Timur dan
Tenggara, Asia Selatan (kecuali Sri Lanka) dan Papua Nugini. Angka harapan hidup yang tinggi
di Sri Lanka, Cina dan Vietnam menggambarkan prestasi di tengah pembangunan ekonomi yang
moderat. Walaupun kebanyakan negara Asia telah menunjukkan kemajuan angka harapan hidup,
namun penyakit serius dan perilaku tidak sehat masih menyebar. Negara berkembang di Asia
Timur mempunyai angka TB dan merokok yang tinggi di dunia. HIV/AIDS merupakan ancaman
yang berkembang di banyak negara Asia dan lebih besar daripada estimasi prevalensi saat ini.
Prevalensi malaria tinggi di Sri Lanka dan Kamboja, dan strain malaria yang kebal ditemukan di
Thailand, Kamboja, Myanmar dan India. Malnutrisi pada anak Malnutrisi pada anak dan ibu
hamil sangat umum terjadi di negara berkembang Asia. Lebih dari 40 persen anak di bawah usia
5 tahun (balita), menunjukkan tanda malnutrisi kronis di semua negara Asia Selatan, kecuali Sri
Lanka, Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Vietnam, dan Papua Nugini. Prevalensi malnutrisi
anak di Indonesia (42 persen), sangat tinggi di negara dengan tingkat pembangunan ekonomi
yang cukup baik. Hal itu kontras dengan prevalensi malnutrisi yang lebih rendah di Sri Lanka
(hanya 18 persen-padahal GDP negara itu lebih rendah daripada Indonesia), kecuali di negara
dengan GDP yang lebih rendah.KEMISKINAN DAN FERTILITAS Di antara negara
berkembang di Asia, hanya Cina, Thailand dan Sri Lanka saja yang telah mengurangi rata-rata
fertilitas sampai ke tahap penggantian (angka total fertilitas 2,1 per perempuan). Fertilitas yang
tinggi berimplikasi pada angka ketergan-tungan rasio, jumlah orang yang tergantung (biasanya
anak-anak) di populasi di-bandingkan dengan jumlah orang dewasa di tempat kerja. Di negara
seperti Pakistan, Nepal dan Filipina, di mana fertilitas tetap tinggi walaupun sudah ada program
keluarga berencana, data yang ada menunjukkan bahwa masalah utama dalam membatasi
fertilitas bukanlah rendahnya informasi atau akses kontrasepsi tetapi lebih ke arah rendahnya
kualitas pelayanan KB (terutama pelayanan yang tersedia untuk penduduk miskin), lalu adanya
rasa takut akan efek samping medis, serta hambatan sosial, budaya dan agama untuk
menggunakan alat KB. Di Kamboja, Laos dan Myanmar, kurangnya kemajuan dalam
mengurangi fertilitas juga merefleksikan rendahnya pengetahuan dan akses untuk alat KB. Di
seluruh wilayah Asia, fertilitas cenderung lebih tinggi pada penduduk miskin. Hal itu
menyebabkan, faktor lainnya seimbang, dalam peningkatan proporsi penduduk yang hidup
miskin. Untuk beberapa hal, makin tinggi fertilitas pada penduduk miskin, menyebabkan
perbedaan dalam hal pengetahuan dan akses terhadap alat KB. Contohnya, angka pemakaian
kontrasepsi tidak bervariasi seperti halnya pendapatan di negara seperti Indonesia dan
Bangladesh yang mempunyai program KB yang mapan dan efektif, ataupun di negara di mana
program KB itu kurang berhasil seperti di Pakistan dan Nepal. Namun demikian, fertilitas yang
lebih tinggi di antara penduduk miskin dapat merefleksikan kebutuhan yang besar untuk
mempunyai anak. Di negara yang sukses mengurangi fertilitas, rasio ketergantungan sudah
rendah. Data terbaru menunjukkan bahwa pengurangan itu meningkatkan produktivitas tenaga
kerja dengan meningkatkan tabungan dan rasio antara modal-tenaga kerja. Hal itu mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berhubungan dengan transisi fertilitas yang dikenal sebagai bonus
kependudukan. Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia telah mendapat keuntungan dari
peningkatan tabungan rumah tangga berhubungan dengan menurunnya beban ketergantungan.
Negara itu juga mendapat keuntungan dari tabungan sektor publik dengan makin sedikitnya
jumlah anak yang butuh sekolah dan pelayanan kesehatan. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Investasi di sumber daya manusia Investasi sektor publik dalam bidang pendidikan, gizi dan
KB berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan penduduk miskin. Investasi serupa juga
memperkuat pendapatan yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi. Gambaran penting dari
investasi di sumber daya manusia merupakan suatu derajat sinergi yang dapat dicapai. Investasi
pada pendidikan perempuan, contohnya mem-promosikan pening-katan di bidang kesehatan dan
gizi serta mengurangi fertili-tas saat anak perempuan me-masuki usia reproduksi. Investasi di
bidang KB juga mengarah ke pengurangan fertilitas dan melebarkan jarak kelahiran
berhubungan dengan peningkatan di bidang kesehatan ibu dan anak, gizi dan pendidikan. Di
banyak negara Asia, ada peningkatan perhatian tentang tidak efisiennya pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan KB yang diberikan oleh pemerintah. Satu pendekatan untuk meningkatkan
efisiensi adalah desentralisasi pelayanan pemerintah. Beberapa negara memberikan porsi yang
lebih besar kepada LSM dan sektor swasta dalam menyediakan pelayanan sosial untuk
masyarakat miskin. Perhatian lainya adalah untuk menjamin investasi dalam sumber daya
manusia yang menguntungkan penduduk miskin seperti halnya kelompok penduduk yang tidak
diuntungkan, mencakup perempuan, anak-anak, penduduk desa, etnis minoritas dan kelompok
agamawan.Memperkuat pertumbuhan ekonomi Pengalaman negara ekonomi industri baru di
Asia, seperti Korea Selatan dan Taiwan, menunjukkan bahwa seluruh kerangka kebijakan
berdasarkan insentif pasar dan orientasi mengarah ke pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci untuk mengurangi kemiskinan karena pertumbuhan
meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja, salah satu aset yang tersedia di negara miskin.
Antara tahun 1965 dan 1990, ekonomi Asia Timur yang menekankan pasar untuk terlaksana
dengan bebas dan konsisten untuk perdagangan rata-rata lebih cepat 2 point persen per tahun,
dibandingkan dengan ekonomi Asia Selatan yang lebih kaku dan tertutup untuk perdagangan.
Pendekatan yang paling sukses untuk mengurangi kemiskinan adalah berdasarkan pada kerangka
kebijakan keseluruhan yang memperkuat pertumbuhan ekonomi, dengan tekanan pada sektor
yang memberikan pekerjaan untuk penduduk miskin. Untuk menjamin pertumbuhan ekonomi
me-nguntungkan masyarakat yang tidak beruntung, kebijakan harus menggunakan investasi yang
tepat di sumber daya manusia seperti pendidikan, kesehatan dan pelayanan KB. Disadur dari:
Knowles, J. A Look at Poverty in the Developing Countries of Asia. Asia-Pacific Population and
Policy. No. 52, January 2000

Anda mungkin juga menyukai