Anda di halaman 1dari 21

PERCOBAAN VI

RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT


(RESEPTOR HISTAMIN)

A. TUJUAN
1. Mengenal dan menjelaskan mengenai reseptor histamin.
2. Mengenal,mempraktekan dan melaksanakan percobaan yang melibatkan reseptor
histamin.
3. Menentukan nilai pD2 dari antihistamin.

B. DASAR TEORI
Reseptor adalah suatu makromolekul seluler yang secara spesifik dan
langsung berikatan dengan agonis atau ligan (obat, factor autokrin atau parakrin,
hormon, sitokin, neurotransmiter) untuk memicu signaling kimia antara dan dalam sel
sehingga menimbulkan efek. Reseptor berfungsi untuk mengenal dan mengikat suatu
ligan dengan spesifitas tinggi, dan meneruskan sinyal tersebut ke dalam sel melalui
perubahan permeabilitas membran, pembentukan second messenger, dan
mempengaruhi transkripsi gen (Siswandono,1995).
Antagonisme merupakan peristiwa manakala suatu senyawa atau obat mampu
meniadakan aksi suatu agonis atau ligan dalam menghasilkan efek. Senyawa tersebut
dinamakan sebagai antagonis. Antagonis memiliki afinitas terhadap reseptornya
akantetapi tidak memiliki efikasi. (Harmita, 2011).
Reseptor Histamin
Histamin menduduki atau berikatan dengan reseptor melalui dua kutub yaitu gugus
imino cincin imidazol dan gugus amino bebas rantai samping. Interaksi
pertama yaitu gugus imino cincin imidazol membentuk ikatan reversible dengan gugus
karbonil terpolarisasi dasri peptide reseptor dan interaksi kedua melibatkan gugus imino
bebas rantai samping membentuk ikatan hydrogen dengan residu protein histidin atau
arginin. Interaksi lain dapat melibatkan ikatan hidrofobik. (Anonim, 1986).
Macam reseptor histamin yang telah diketahui adalah sebagia berikut :

1 | Page
1. Reseptor H1

Reseptor H1 tersebar pada otot polos, endotel dan otak. Interaksi dengan reseptor
H1 menyebabkan kontraksi otot polos usus dan bronki, meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan meningkatkan sekresi mucus, yang dihubungkan dengan
peningkatan cGMP dalam sel. Interaksi dengan reseptor H1 juga menyebabkan
vasodilatasi arteri sehingga permeable terhadap cairan dan plasma protein, yang
menyebabkan sembab, pruritik, dermatitis, dan urikaria. Efek ini diblok oleh antagonis
H1.
Studi tentang distribusi histamin H1 - reseptor dalam jaringan mamalia yang
berbeda telah sangat dibantu oleh perkembangan radioligands selektif untuk subtipe
reseptor histamin khusus ini. [ 3H ] mepiramin awalnya dikembangkan pada tahun 1977
dan sejak saat itu telah berhasil digunakan untuk mendeteksi H1 - reseptor di berbagai
jaringan termasuk: otak mamalia, otot polos dari saluran udara, saluran pencernaan,
sistem genitourinari, dan sistem kardiovaskular (adrenal medulla, dan sel-sel endotel dan
limfosit). Dalam beberapa jaringan dan sel, perlu dicatat bahwa [3H] mepiramin
tambahan mengikat situs non - H - reseptor sekunder (Anonim, 1997).
Dalam sel-sel endotel vaskular , stimulasi H1 - reseptor menyebabkan beberapa
respon seluler termasuk : (a) perubahan permeabilitas pembuluh darah (terutama di
venula postcapillary) sebagai akibat dari kontraksi sel endotel (b) sintesis prostasiklin (c)
sintesis platelet-activating factor, (d) pelepasan Von Willebrand dan (e) pelepasan oksida
nitrat H1 - reseptor juga telah ditandai pada limfosit T manusia menggunakan iodo
bolpyramine dan terbukti meningkatkan [Ca2+] I (Anonim, 1997).
Dalam miokardium atrium manusia dan marmot ventrikel, histamin menghasilkan
efek inotropik negatif . Dalam miokardium manusia , respon ini dikaitkan dengan efek
penghambatan pada denyut jantung dan bisa diungkap ketika efek positif histamin pada
tingkat dan kekuatan kontraksi (dimediasi melalui reseptor H2) yang dilemahkan oleh
pemerintah conjoint adenosin atau adenosine A1 - reseptor agonis. Histamin H1 -
reseptor tersebar luas di otak mamalia. Dalam otak manusia , kepadatan lebih tinggi dari
H1 - reseptor yang ditemukan di neokorteks , hipokampus , nucleus accumbens ,
thalamus , dan posterior hipotalamus , sedangkan ganglia basal otak kecil dan
menunjukkan lebih rendah kepadatan. Di sebagian besar wilayah otak, ada tumpang
tindih dari situs mengikat reseptor H1 - utusan dan kadar asam ribonukleat kecuali dalam
hipokampus dan cerebellum dimana perbedaan tersebut kemungkinan akan
mencerminkan kehadiran berlimpah H1 - reseptor di dendrit piramidal dan sel Purkinje,

2 | Page
masing-masing. Aktivasi H1 - reseptor histamin menyebabkan penghambatan menembak
dan hyperpolarization di neuron hippocampal dan arus luar apamine - sensitif penciuman
interneuron bohlam efek paling mungkin dihasilkan oleh intraseluler rilis Ca2+. Namun,
banyak terutama vegetatif ganglia batang otak lain hipotalamus supraoptik, thalamic ,
dan neuron kortikal manusia sangat antusias oleh aktivasi reseptor histamin H1 - melalui
blok dari konduktansi kalium (Anonim, 1997).

2. Reseptor H2

Reseptor H2 tersebar pada mukosa lambung, otot jantung dan sel mast juga otak.
Interaksi histamine dengan reseptor H2 dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan
kecepatan kerja jantung. Produksi asam lambung disebabkan oleh penurunan cGMP dan
peningkatan cAMP. Peningkatan sekresi asam lambung dapat menyebabkan tukak
lambung. Efek tersebut diblok oleh antagonis H2.
Histamin H2 - reseptor - dirangsang akumulasi cAMP atau adenilat siklase
kegiatan telah dibuktikan dalam berbagai jaringan termasuk otak , dan jaringan jantung.
Histamin H2 - reseptor memiliki efek kuat terhadap sekresi asam lambung , dan
penghambatan proses sekresi ini dengan antagonis reseptor H2 telah memberikan bukti
untuk peran fisiologis penting dari histamin dalam regulasi sekresi lambung. Konsentrasi
tinggi histamin juga hadir di jaringan jantung dari sebagian besar spesies hewan dan
dapat memediasi chronotropic positif dan efek inotropik pada atrium atau ventrikel
jaringan melalui H2 reseptor stimulasi. H2 - reseptor - dimediasi relaksasi otot polos
juga telah didokumentasikan dalam saluran napas, rahim, dan otot polos pembuluh
darah . Akhirnya , histamin H2 - reseptor dapat menghambat berbagai fungsi dalam
sistem kekebalan tubuh. H2 - reseptor pada basofil dan sel mast telah terbukti negatif
mengatur pelepasan histamin
Selain itu, ada peningkatan bukti bahwa H2 - reseptor pada limfosit dapat
menghambat sintesis antibodi, proliferasi sel-T, sel - dimediasi sitolisis , dan produksi
sitokin. Dalam SSP, aktivasi reseptor H2 - histamin dapat menghambat sel-sel saraf,
tetapi tindakan yang paling menarik adalah blok tahan lama setelah hyperpolarization
dan akomodasi tembakan, efek dengan durasi sangat panjang menyebabkan potensiasi
dari eksitasi pada hewan pengerat transmisi di hippocampus dan otak manusia. Sebuah
eksitasi lambat juga umum. secara mendalam ditingkatkan, dan plastisitas sinaptik
diinduksi atau ditingkatkan (Anonim, 1997).

3. Reseptor H3

3 | Page
Reseptor H3 tersebar pada presinaptik otak, pleksus, mienterik, dan saraf lainnya.
Reseptor H3 tepatnya terletak pada ujung saraf histamine jaringan otak dan jaringan
perifer, yang mengontrol sintesis dan pelepasan histamine, mediator alergi lain dan
peradangan. Efek tersebut diblok oleh antagonis H3.
Selain data yang diperoleh dari studi mengikat ligan, bukti untuk lokalisasi
histamin H3 - reseptor juga datang dari studi fungsional, terutama yang melibatkan
penghambatan pelepasan neurotransmitter. H3 - reseptor pertama kali dicirikan sebagai
sintesis histamin autoreceptor - mengatur dan melepaskan dari tikus korteks serebri,
striatum , dan hipokampus . H3 - reseptor - dimediasi penghambatan pelepasan histamin
juga telah diamati dalam korteks serebral manusia. Perbedaan dalam distribusi H3-
reseptor situs mengikat dan tingkat histidin dekarboksilase ( indeks terminal saraf
histaminergic ) disarankan pada tahap awal H3 - reseptor tidak terbatas pada neuron
histamin yang mengandung dalam mamalia SSP. Hal ini telah dikonfirmasi oleh
pengamatan yang H3 - reseptor dapat mengatur serotonergik, noradrenergik,
dopaminergik dan pelepasan neurotransmitter di otak mamalia.
Aktivasi H3 - reseptor Histamin menghambat penembakan histamin - neuron di
hipotalamus posterior melalui mekanisme yang berbeda dari fungsi autoreceptor
ditemukan pada inti aminergic lain, mungkin blok Ca2 + - saat ini (Anonim, 1997).
Efek penghambatan aktivasi H3 - reseptor pada neurotransmisi juga telah
didokumentasikan dalam pinggiran. Dengan demikian, H3 - reseptor telah diidentifikasi
mengatur pelepasan neurotransmitter simpatik di guinea pig arteri mesenterika, vena
saphena manusia, guinea pig atrium, dan hati manusia (Anonim, 1997).

4. Reseptor H4

Anti Histamin

Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan


diseluruh dunia. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1.
Namun, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih
digolongkan sebagai inverse agonist daripada antagonis reseptor histamin H1. Suatu obat
disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan
agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas
intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. (Siswandono,1995).
Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat
reseptor pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu
antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik. Penemuan

4 | Page
antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk
pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi
serta pengelompokkan antihistamin.
Sebelumnya, antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan
struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan
fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif,
akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih
dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal
yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek
antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan
mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua.
Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma,
sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa
metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine).
Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang
lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya,
fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah
dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine
ataudesloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
(Santoso, 2008)
Berdasarkan mekanisme terhadap makromolekul reseptor agonis, antagonisme
dibagi dua yaitu antagonisme tanpa melibatkan makromolekul reseptor agonis
danantagonisme yang melibatkan makromolekul reseptor agonis. Yang termasuk
antagonisme tanpa melibatkan makromolekul reseptor agonis adalah antagonis
kimiawi, antagonis farmakokinetik, antagonis fungsional, dan antagonis fisiologi
sedangkan jenis antagonisme yang melibatkan makromolekul reseptor agonis adalah
antagonis kompetitif reversibel, antagonis kompetitif irreversibel, dan antagonis non-
kompetitif.

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Organ bath

5 | Page
b. Amplifier dan rekorder
c. Termostat dan heater
d. Transduser isotonik
e. Pipet ukur 0,07-0,2 ml dan 20 ml

2. Bahan
a. Larutan buffer Krebs
b. Larutan agonis histamin dengan kadar 2x10-6; 2x10-5; 2x10-4; 2x10-3; 2x10-2; 2x10-1 M
c. Organ trakea marmut
d. Gas karbogen
e. Kertas grafik

D. CARA KERJA
1. Preparasi Organ Trakea (tidak dilakukan praktikan)

6 | Page
Marmut dikorbankan dengan cara dislokasi tulang belakang kepala (cervix)

Diletakkan marmut yang telah dikorbankan pada papan fiksasi

Dibedah bagian dada atas sampai bagian leher

Diambil trakea

Dibersihkan dari lemak dan jaringan yang menempel

Dipotong tulang rawan pada trakea sedemikian sehingga didapatkan


suatu pita trakea,

diikat kedua ujung pita dengan benang steril

Diikat organ yang telah dipreparasi pada organ bath yang telah diisi
larutan
buffer Krebs hingga terendam sempurna

Dialiri gas karbogen

Diatur kedudukan tuas pencatat sedemikian sehingga bisa memberikan


rekaman terbaik pada rekorder

2. Uji Farmakologi

7 | Page
Dilakukan equilibrasi trakea selama 60 menit dengan penggantian larutan dapar Krebs
tiap 15 menit

Dilakukan pengenalan agonis dengan konsentrasi yang menyebabkan


80 %
respon kontraksi maksimum, untuk histamin sebesar 2x10-3 M

Organ dicuci selama 60 menit dengan penggantian


dapar Krebs tiap 15 menit

Diukur kontraksi otot polos trakea terhadap berbagai


peringkat dosis agonis histamin

3. Analisis Data

Data respon rekaman kimogram pada masing-masing dosis terukur dalam


satuan mm diubah ke nilai persen dari respon maksimal

Nilai persentase ini diplotkan secara linier (100 % = 100nm)


pada ordinat (sumbu X, log 10 = 30 nm)

Dihitung dosis yang menimbulkan 50% respon dari respon maksimum dengan plot grafik dosis
vs respon
pD2 = -log ED50

Tabel 1. Cara pemberian dosis agonis histamin secara kumulatif pada organbath
volume 20 ml

8 | Page
Volume larutan obat yang Konsentrasi larutan Konsentrasi histamin
ditabahkan ke dalam histamin yang dalam organbath (faktor
organbath (ml) ditambahkan (M) kumulatif log 10 (M)
0,100 2.10-5 10-7
0,200 2.10-5 3x10-7
0,070 2.10-4 10-6
0,200 2.10-4 3x10-6
0,070 2.10-3 10-5
0,200 2.10-3 3x10-5
0,070 2.10-2 10-4
0,200 2.10-2 3x10-4
0,070 2.10-1 10-3

E. HASIL PERCOBAAN

Tabel 2. Data Percobaan


No. Vol. Konsentrasi Konsentrasi Log H (mm) %
Pemeja larutan Respon
histamine dalam Konsentra
nan histamin (%)
(mL) yang organbath (faktor si Sa Sa Sa Sa
ditambahka (LogM) mp mp mp mp
kumulatif 1/2 log
n (M) el I el II el I el II
10) (M)

1. 0,100 2 x 10-5 -7 4 10 4,7 4,7


10-7 1 8
2. 0,200 2 x 10-5 -6,523 15 26 17, 12,
3.10-7 60 44
3. 0,070 2 x 10-4 -6 23 31 27, 14,
10-6 06 83
4. 0,200 2 x 10-4 -5,523 33 38 38, 18,
3.10-6 82 18

9 | Page
5. 0,070 2 x 10-3 -5 38 16 44, 78,
10-5 4 71 46
6. 0,200 2 x 10-3 -4,523 55 18 64, 88,
3.10-5 4 71 03
7. 0,070 2 x 10-2 -4 59 19 69, 94,
10-4 7 41 26
8. 0,200 2 x 10-2 -3,523 68 20 80, 10
3.10-4 9 00 0,0
0
9. 0,070 2 x 10-1 -3 85 20 10 10
10-3 9 0,0 0,0
0 0
10. 0,200 2 x 10-1 -2,523 85 20 10 10
3.10-3 9 0,0 0,0
0 0

Perhitungan konsentrasi kumulatif Histamin (M)

V1.M1 =V2.M2

Keterangan V1 : Volume kumulatif dengan kadar larutan agonis yang ditambahkan


M1 : Konsentrasi larutan agonis yang ditambahkan
V2 : Volume larutan yang ditambahkan dengan kadar kumulatif = 20 ml
M2 : Konsentrasi kumulatif histamine yang didapat setelah penambahan
1 0,1 mL. 2.10-5M = 20 mL. M2
M2 = 10-7
2 0,3 mL. 2.10-5M = 20 mL. M2
M2 = 3.10-7
3 0,1 mL. 2.10-4M = 20 mL. M2
M2 = 10-6
4 0,3 mL. 2.10-4M = 20 mL. M2
M2 = 3.10-6
5 0,1 ml. 2.10-3M = 20 mL. M2
M2 = 10-5
6 0,3 mL. 2.10-3M = 20 mL. M2
M2 = 3.10-5
7 0,1 mL. 2.10-2M = 20 mL. M2
M2 = 10-4
8 0,3 mL. 2.10-2M = 20 mL. M2

10 | P a g e
M2 = 3.10-4
9 0,1 mL. 2.10-1M = 20 mL. M2
M2 = 10-3
10 0,3 mL. 2.10-1M = 20 mL. M2
M2 = 3.10-3

h
x 100
% Respon = hmax

SAMPEL I

Kurva LogM vs %respon


120
100 100
f(x) = 21.98x + 159.36 100
R = 0.99 80
69.41 80
64.71
60
44.71
38.82
40
27.06
17.6
20
4.71
0
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2

Perhitungan nilai ED50 dan pD2 :

11 | P a g e
Untuk mengihtung nilai ED50 dan pD2 dilakukan dengan menghitung regresi
antara log kadar histamin (X) dan % respon (Y). Data yang digunakan yaitu data yang
memberikan %respon 30-80%

Sehingga digunakan data %respon 38,82%; 44,71% ; 64,71% ; 69,41% dan


80%

Kurva LogM vs %respon


90
80
f(x) = 21.36x + 155.95
R = 0.96 70
60
50
40
30
20
10
0
-6 -5.5 -5 -4.5 -4 -3.5 -3

Hasil perhitungan regresi :


A = 155,95
B = 21,361
r = 0,9572
Persamaan regresi y = 21,361x + 155,95
Nilai pD2 (respon 50%), y = 50
y = 21,361x + 155,95
50 = 21,361x + 155,95
X = -4,9599 pD2 = 4,9599 M
ED50 = anti log (-pD2)
= 1,0967 x10-5 M

SAMPEL II

12 | P a g e
Kurva LogM vs %respon
120
f(x) = 25.92x + 184.5
R = 0.85 100

80

60

40

20

0
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2

Perhitungan nilai ED50 dan pD2 :

Untuk mengihtung nilai ED50 dan pD2 dilakukan dengan menghitung regresi
antara log kadar histamin (X) dan % respon (Y). Digunakan data %respon 18,18%;
78,46% dan 88,03%

Kurva LogM vs %respon


100
f(x) = 70.58x + 415.53 90
R = 0.87 80
70
60
50
40
30
20
10
0
-5.6 -5.4 -5.2 -5 -4.8 -4.6 -4.4

Hasil perhitungan regresi :


A = 415,53
B = 70,578
r = 0,869
Persamaan regresi y = 70,578x + 415,53

13 | P a g e
Nilai pD2 (respon 50%), y = 50
y = 70,578x + 415,53
50 = 70,578x + 415,53
X = -5,1791 pD2 = 5,1791 M
ED50 = anti log (-pD2)
= 6,6206 x10-6 M

F. PEMBAHASAN

Percobaan ini mempunyai tujuan, yaitu untuk mengenal dan menjelaskan mengenai
reseptor histamine; mengenal, mempraktikkan, dan melaksanakan percobaan yang
melibatkan reseptor histamine; serta menentukan nilai pD2 dari antihistamin.
Histamin merupakan senyawa amin aktif secara biologis yang dijumpai di berbagai
jaringan, mempunyai efek fisiologik dan patologik yang kompleks dan biasanya dilepas
setempat. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks heparin-protein
dalam sel mast, sebagai reaksi antigen-antibodi, bila terjadi rangsangan allergen.
Pada percobaan ini digunakan reagen reagen, yaitu:
1. Larutan buffer krebs
Larutan buffer krebs digunakan untuk menjaga pH pada organ trakea agar sama
dengan keadaan tubuh. Ini dilakukan agar keadaan semirip mungkin dengan keadaan
fisiologis tubuh marmut.
2. Larutan agonis histamin
Pemberian agonis histamin tersebut akan memberikan efek konsentrasi pada
trakea sesuai dengan konsentrasi histamin yang diberikan. Semakin besar konsentrasi
histamin yang diberikan, akan semakin besar respon kontraksinya. Tetapi suatu saat
respon kontraksi akan mencapai maksimum, artinya pada pemberian agonis yang
lebih tinggi lagi tidak akan meningkatkan respon kontraksi.
3. Gas karbogen
Merupakan percampuran antara gas karbondioksida dan oksigen dengan
perbandingan tertentu.pemberia gas karbogen bertujuan agar agar sel-sel pada organ
terisolasi tetap hidup walaupun telah dikeluarkan dari tubuh hewan uji.

Pada percobaan ini dilakukan pengamatan aktivitas agonis histamin terhadap reseptor
histamin, yaitu reseptor H1 yang terdapat pada otot polos trakea marmut. Respon dari reseptor

14 | P a g e
H1 yang muncul berupa respon kontraksi otot polos trakea dan akan dicatat menggunakan
kimograf.
Pada percobaan ini yang dilakukan pertama kali adalah preparasi organ trakea marmut.
Pertama marmut dikorbankan dengan cara dislokasi tulang belakang kepala, kemudian
diletakkan di papan fiksasi. Marmut tersebut dibedah bagian dada atas sampai bagian leher,
karena yang akan diambil adalah trakea. Kemudian diambil trakea, dibersihkan dari
lemakndan jaringan yang menempel. Kemudian dipotong melintang tulang rawan pada trakea
sedemikian sehingga didapatkan suatu pita trakea. Kemudian kedua ujung pita treakea
tersebut diikat dengan benang steril yang telah dipreparasi pada organ bath yang telah diisi
larutan buffer Krebs hingga terendam sempurna dan dialiri gas karbogen. Organ dialiri gas
karbogen (karbondioksida dan oksigen) dengan tujuan agar sel-sel pada organ terisolasi tetap
hidup walaupun telah dikeluarkan dari tubuh hewan uji. Tuas pencatat diatur kedudukannya
sedemikian rupa sehingga bisa memberikan rekaman terbaik pada rekorder. Tuas pencatat
tersebut memberikan hasil kuantifikasi dari respon kontraksi maupun relaksasi dari otot polos
trakea yang diubah ke sinyal listrik oleh transduser kemudian ditranfer ke amplifier untuk
diteruskan signalnya ke rekorder dan hasilnya dicatat oleh rekorder untuk diterjemahkan pada
kertas kimogram yang tersedia.
Setelah preparasi dilakukan equilibrasi trakea selama 60 menit dengan penggantian
larutan dapar Krebs tiap 15 menit. Tujuan ekuilibrasi adalah untuk mengadaptasikan organ
dengan kondisi percobaan dan sebagai evaluasi untuk memastikan organ masih hidup dan
berfungsi fisiologi serta mengetahui apakah di dalam organ trakea terdapat senyawa endogen
lain yang dapat mempengaruhi fungsi trakea dengan cara melihat kestabilan respon yang
terekam pada kimogram. Kondisi stabil menunjukan bahwa tidak ada obat atau senyawa
endogen lain sehingga respon yang ditimbulkan benar-benar disebabkan oleh histamin yang
ditambahkan.
Kemudian dilakukan pengenalan agonis dengan konsentrasi yang menyebabkan 80%
respon kontraksi maksimum, untuk histamun sebesar 2x10-3 M. Kemudian organ dicuci
selama 60 menit dengan penggantian larutan dapar Krebs tiap 15 menit. Kemudian diukur
kontraksi otot polos trakea terhadap berbagai peringkat agonis histamin dengan konsentrasi
larutan histamin mulai dari 2.10-6 M dan faktor kenaikan kadar sebesar log 10.
Penambahan agonis berikutnya dilakukan apabila intensitas respon kontraksi yang
disebabkan oleh pemberian dosis sebelumnya berhenti. Hal ini dilakukan sampai diperoleh
respon kontraksi maksimal yang ditandai dengan tidak bertambahnya intensitas respon pada

15 | P a g e
penambahan dosis berikutnya. Pada percobaan ini, penambahan agonis histamin dilakukan
sampai konsentrasi larutan histamin sebesar 2.10-1 M.
Perekaman kontraksi trakea dilakukan dengan pemberian agonis pada berbagai
konsentrasi yaitu dengan konsentrasi 2 x 10-5; 2 x 10-4; 2 x 10-3; 2 x 10-2; 2 x 10-1 M. Semakin
besar konsentrasi histamin yang diberikan, akan semakin besar respon kontraksinya. Tetapi
suatu saat respon kontraksi akan mencapai maksimum, artinya pada pemberian agonis yang
lebih tinggi lagi tidak akan meningkatkan respon kontraksi. Respon kontraksi yang timbul
ditampilkan dalam bentuk kimogram dan tergambar dengan tingginya rekaman gambar
kontraksi pada masing-masing dosis terukur dalam satuan mm. Nilai ini kemudian diubah ke
dalam nilai persen dari nilai respon maksimal.
% Respon kontraksi = hs / hm 100 %
Kemudian diambil beberapa titik yang linear untuk dibuat persamaan garis antara - log
konsentrasi histamin vs persen respon yang kemudian dibuat persamaan respon. Pada
percobaan ini diperoleh persamaan y = 21,361x + 155,95 pada sampel 1 dan y = 70,578x +
415,53 pada sampel 2. Dari persamaan tersebut kemudian dapat ditentukan nilai x yang
memberikan respon sebesar 50%. Nilai x ini berupa - log dosis dan menyatakan nilai pD 2
yang menggambarkan afinitas agonis terhadap reseptor spesifiknya, dalam hal ini adalah
agonis histamin dan reseptor H1.
Selanjutnya akan didapatkan data respon yang berupa gambar rekaman kontraksi otot polos
trakea marmot pada kimogram yang ditandai dengan tinggi-rendahnya garis kurva yang
dihasilkan. Pemberian agonis histamin tersebut akan memberikan efek kontraksi pada trakea
marmot sesuai dengan konsentrasi agonis histamin yang diberikan. Semakin besar
konsentrasi histamin yang diberikan, maka akan semakin besar respon kontraksinya. Namun
pada suatu saat respon kontraksi yang terjadi akan mencapai maksimum, dimana saat
pemberian agonis histamin dengan konsentrasi yang lebih tinggi tidak lagi dapat
meningkatkan respon kontraksi. Respon maksimum pada percobaan ini adalah untuk sampel
1 pada konsentrasi 2 x 10-1 dan untuk sampel 2 pada konsentrasi 2 x 10-2.

Dari konsentrasi histamin yang diinginkan dihitung volume pemberian histamin


dengan memperhitungkan kadar histamin yang ada di dalam organ bath. Setiap pemberian
pertama dengan kedua dan seterusnya dapa dilihat dari gambar rekaman yang ada pada
kimogram. Setiap dilakukan penambahan histamin rekaman akan naik dan akan stabil atau
konstan kembali. Saat garis yang dihasilkan oleh transduser itu konstan atau stabil artinya
kerja dari histamin dengan konsentrasi tertentu itu sudah mencapai respon maksimum. Maka

16 | P a g e
pada rekaman perlu diberi tanda dan selanjutnya akan ditambahkan histamin dengan
konsentrasi yang lebih tinggi.

Data yang sudah didapatkan tadi, dihitung berapa responnya dengan cara menghitung
tinggi (mm) puncak yang terjadi tiap kontraksinya dengan menggunakan penggaris.
Kemudian nilai tersebut diubah kedalam nilai persen dari respon maksimal (rekaman gambar
tertinggi). Nilai persen kemudian diplotkan secara linear pada ordinat. Log Kadar kumulatif
(Log M) vs Respon (%) diregresikan sehingga akan diperoleh sebuah persamaan garis linier.
Dari persamaan tersebut akan didapatkan nilai pD 2, dengan cara memasukkan nilai respon (y)
= 50%. Nllai kadar kumulatif diubah dalam bentuk logaritma (log) yang bertujuan agar
terbentuk kurva sigmoid sehingga dalam penentuan respon maksimalnya lebih mudah.

Untuk mengihtung nilai ED50 dan pD2 dilakukan dengan menghitung regresi antara
log kadar histamin (X) dan % respon (Y). Data yang digunakan yaitu data yang memberikan
% respon 30-80%. Untuk sampel 1, % respon yang digunakan adalah 38,82%; 44,71%;
6471%; 69,41% dan 80%. Sehingga akan didapatkan persamaan regresi yaitu, y = 21,361x +
155,95. Dari persamaan tersebut, ED50 dapat dihitung dengan memasukkan nilai y = 50, dan
didapatkan pD2 sebesar 4,9599 M. Kemudian dilakukan perhitungan ED50 dengan cara meng-
anti log-kan (pD2) sehingga didapatkan nilai ED50 sebesar 1,0967 x10-5 M.

Sedangkan untuk sampel 2 dihitung dengan cara yang sama. Data yang digunakan
adalah 18,18%; 78,46% dan 88,03%. Seharusnya data yang digunakan adalah data yang
mendekati 50%, namun karena pada data percobaan tidak didapatkan data yang benar-benar
mendekati 50% maka diambil 3 data terdekat yang mendekati 50% walau ada data yang tidak
masuk range 30%-50%. Dari ketiga data tersebut didapatkan persamaan regresi yaitu, y =
70,578x + 415,53. Setelah didapatkan persamaan maka didapatkan nilai pD 2 dan nilai ED50
berturut-turut yaitu 5,1791 M dan 6,6206 x 10-6 M.

Target reseptor yang digunakan adalah reseptor H1, karena pada percobaan digunakan
trakea marmut yang memiliki otot polos yang dapat berkontraksi dan reseptor yang berperan
pada mekanisme itu adalah reseptor H1. Nilai pD 2 ini menggambarkan afinitas agonis
histamin terhadap reseptornya atau kemampuan suatu agonis histamin untuk berikatan
dengan reseptornya yaitu, reseptor H1. Sehingga semakin tinggi nilai pD 2 ,maka akan
semakin tinggi pula afinitas agonis histamin pada reseptor H1. Artinya selektivitas reseptor
H1 terhadap agonis histamin juga semakin tinggi. Sedangkan ED 50 ialah dosis yang
dibutuhkan untuk menimbulkan 50% respon dari respon maksimal. Dari hasil perhitungan

17 | P a g e
yang dilakukan juga dapat diketahui bahwa nilai pD 2 berbanding terbalik dengan nilai ED50.
Hal ini sesuai teori, karena semakin tinggi nilai pD2 maka kemampuan agonis histamin untuk
berikatan dengan reseptornya semakin tinggi, sehingga respon yang terjadi akan semakin
mudah untuk timbul. Maka konsentrasi agonis histamine yang dibutuhkan untuk
menghasilkan respon sebesar 50% dari respon maksimal akan semakin rendah.

Data yang didapat dari sampel 1 dan sampel 2 tidak dapat dibandingkan, karena organ
trakea yang digunakan untuk percobaan berasal dari individu marmut yang sama. Selain itu,
perlakuan yang dilakukan juga sama, yaitu dengan pemberian agonis histamin dengan
konsentrasi yang sama dengan volume pemejanan yang sama. Seharusnya hasil yang
didapatkan adalah tidak berbeda signifikan. Namun hasil yang didapatkan adalah nilai pD 2
dan nilai ED50 sebagai berikut berturut-turut yaitu sampel 1 sebesar 4,9599 M; 1,0967 x10-5 M
dan sampel 2 sebesar 5,1791 M; 6,6206 x 10-6 M. Dimana terdapat selisih yang cukup besar.

Hasil yang didapatkan berbeda dapat disebabkan oleh :

1. Kurang telitinya praktikan dalam membaca dan mengukur grafik pada kimogram.

2. Perbedaan perlakuan pada trakea marmot, terdapat perbedaan cincin pada kedua
sampelnya, sehingga menyebabkan perbedaan sensitivitas saat pembacaan
menggunakan alat.

3. Alat yang digunakan memiliki sensitivitas yang berbeda, karena digunakan dua
alat untuk mengukur kedua sampel.

4. Pencucian trakea yang kurang bersih oleh praktikan.

5. Kemungkinan perbedaan pemberian volume pemenjanan pada tiap sampelnya,


karena pemberian obat agonis dilakukan oleh dua praktikan dengan dua
mikropipet yang berbeda.

G.KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil yang didapatkan, nilai pD2 pada sampel 2 lebih besar dari pada
sampel 1.
2. Berdasarkan hasil yang didapatkan, nilai ED50 pada sampel 1 lebih kecil dari pada
sampel 1.

18 | P a g e
3. Nilai pD2 pada kedua sampel berbanding terbalik dengan nilai ED 50 pada kedua
sampel. Hal ini sesuai dengan teori.
4. Kedua hasil tidak bisa dibandingkan karena mendapatkan perlakuan yang sama
dan berasal dari individu marmot yang sama.
5. Efek bronkokontriksi/kontraksi pada otot polos trakea marmot akibat terjadinya
akitivasi reseptor H1 karena pemberian larutan agonis histamin.

H.DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1986, Mid Career Training in Pharmacology, Fakultas Farmasi UGM,


Yogyakarta.

Anonim, 1997, Classification of Histamine Receptors, http://pharmrev.aspetjournals.org,


diakses pada 23 November 2016 pukul 17.00.

Harmita. A.A.Kd, dkk, 2011, Kimia Medisinal, EGC, Jakarta.

Moch. Anief, 2009, Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi Gadjah Madah, University
Press, Yogyakarta.

Siswandono dan Soekardjo, B., 1995, Kimia Medisinal, Ed. 1, Airlangga University
Press, Surabaya.

Santoso. dkk, 2008, Farmakologi Dasar,. Pustaka pelajar, Jakarta.

Yogyakarta, 24 November 2016


Praktikan,

Nama NIM TTD


Alifa Noor Rizky 14/362890/FA/10046
Viantika Merrylia S 14/362897/FA/10052
Swasti Dita Hapsari 14/362901/FA/10055
Natasya Cendikia M. D 14/362904/FA/10058
Devi Okta Kurniasari 14/368079/FA/10163

19 | P a g e
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II

RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT

(RESEPTOR HISTAMIN)

Disusun oleh :
Kelas : C 2014
Golongan/Kelompok : II/3

Nama NIM
1. Alifa Noor Rizky 14/362890/FA/10046

20 | P a g e
2. Viantika Merrylia S 14/362897/FA/10052
3. Swasti Dita Hapsari 14/362901/FA/10055
4. Natasya Cendikia M. D 14/362904/FA/10058
5. Devi Okta Kurniasari 14/368079/FA/10163

Hari/Tanggal Praktikum : Jumat/18 November 2016


Nama Dosen Jaga : Purwantiningsih, M.Si., Apt
Nama Asisten Jaga : Losita, Tia

Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi UGM
2016

21 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai