Anda di halaman 1dari 23

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Waduk adalah danau buatan manuasia sebagai tempat menampung dan tanggapan air
yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu, waduk dibangun
dengan tujuan multifungsi yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sumber air
minum, kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan dan
untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau serta 162 waduk buatan besar dan
kecil untuk kepentingan irigrasi pertanian, bahan baku air bersih, dan PLTA. Sekitar 500
danau dan waduk di indonesia terancam punah akibat pengelolaan yang tidak optimal,
dimulai dari hulu hingga hilir.
Apabila anda melakukan perjalanan ke Tulungagung, luangkan waktu berkunjung ke
bendungan yang berada di 12 km sebelah barat kota mamer ini. Bendungan terbesar di Asia
Tenggara dengan debit 15.000 m3 perdetik, berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik,
pengairan, perikanan, olah raga air dan tempat rekreasi, yang dilengkapi dengan Gazebo,
Home stay, Taman, area pemancingan, speed boad penginapan dan tempat pementasan seni
tradisional.

Riak air bendungan yang tenang, berkilau dibawah sinar matahari dan berwama biru
seolah-olah menyapa pengunjung yang datang ke Bendungan Wonorejo. Suasana sejuk, jalan
berkelok, dipagari pohon-pohon rindang nan hijau, menaungi siapa pun yang lewat, agar
panas tak terasa.
Sarana pemasok air PDAM diresmikan oleh Wakil Presiden (waktu itu) Megawati
Soekamoputri, 21 Juni 2001, terletak di desa Wonorejo Kecamatan Pagerwojo Kabupaten
Tulungagung. Lokasi bendungan berada pada Kali Gondang, 400 meter di hilir pertemuan
antara Kali Bodeng dengan Kali Wangi. Hulu Kali Gondang berada di selatan Gunung Wilis.
dibangun sebagai pengendalian banjir di kota seluas 1.055,65 kilometer persegi itu.
Salah satu permasalahan yang di hadapi waduk di Indonesia saat ini adalah tinggi nya
sedimentasi yang telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem
waduk. Tidak terkecuali pada waduk Wonorejo yang terletak di Jawa Timur.

1
B. Rumusan Masalah
Masalah umum dalam laporan ini dirumuskan yaitu bagaimana observasi bendungan
Wonorejo?
Masalah khusus dalam laporan ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah singkat Bendungan Wonorejo?
2. Dimana lokasi dan distribusi air waduk Wonorejo?
3. Kapan dan bagaimana pelaksanaan pembangunan Wonorejo?
4. Apa tujuan awal dibangunnya waduk Wonorejo?
5. Bagaimana data teknis bendungan Wonorejo ?
6. Bagaimana sistem kerja waduk Wonorejo?
7. Apa fungsi dan permasalahan waduk Wonorejo ?

C. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan laporan yang berjudul Observasi Bendungan
Kedung Ombo adalah
1. Agar mahasiswa mengetahui sejarah singkat Bendungan Wonorejo
2. Agar mahasiswa mengetahui lokasi dan distribusi air waduk Wonorejo
3. Agar mahasiswa mengetahui pelaksanaan pembangunan waduk Wonorejo
4. Agar mahasiswa mengetahui tujuan awal dibangunnya waduk Wonorejo
5. Agar mahasiswa mengetahui data teknis Bendungan Wonorejo
6. Agar mahasiswa mengetahui sistem kerja Waduk Wonorejo
7. Agar mahasiswa mengetahui fungsi dan permasalahan waduk Wonorejo

BAB II
Hasil Observasi Lapangan
2
A. Gambaran Umum Lokasi Observasi

1. Sejarah Singkat Bendungan Wonorejo

Proyek Bendungan Serbaguna Wonorejo adalah salah satu Proyek dalam rangka
Pengembangan Wilayah Sungai Kali Ngrowo yang merupakan anak Sungai Kali Brantas.
Pengembangan Kali Ngrowo ini berdasarkan Studi Rencana Induk Pengembangan Wilayah
Sungai Kali Brantas. Proyek Pengembangan Waduk Wonorejo dimulai pada tahun 1983
dengan Dana Loan ADB untuk membiayai Feasibility Studynya yang bertujuan untuk
pengembangan irigasi di daerah Tulungagung dengan membangun Bendungan Serbaguna
Wonorejo. Selanjutnya review studi kelayakan dan detail desain proyek dibiayai oleh OECF
pada tahun 1992 dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan air baku untuk air minum
dan industri di daerah Surabaya dan sekitarnya dan pada tahun 1994 dilanjutkan pembiayaan
pelaksanaan konstruksinya oleh Loan OECF.

2. Lokasi dan Manfaat Waduk Wonorejo


Bendungan Serbaguna Wonorejo terletak di hilir pertemuan Kali Gondang dengan
Kali Wangi + 16 Km sebelah barat Kota Tulungagung Desa Wonorejo Kec. Pagerwojo Kab.
Tulungagung Propinsi Jawa Timur. Bendungan yang diresmikan pada tahun 2001 oleh Wakil
Presiden Indonesia Megawati Sukarnoputri ini, berfungsi sebagai pengendalian banjir di kota
seluas 1.055,65 kilometer persegi itu. Sekaligus sebagai pembangkit tenaga listrik, terutama
juga untuk menyediakan pasokan air baku untuk Surabaya dan sekitarnya.

Karena itu pula salah satu bendungan terbesar di kawasan Asia Tenggara ini memiliki
banyak kelebihan. Yaitu pada elevasi titik puncak setinggi 188 meter, tinggi bendungan 100
meter, panjang bendungan 545 meter, volume timbunan 6,05 juta meter kubik, serta luas
permukaan air maksimal 3,85 juta meter persegi. Sedangkan bersebelahan dengan keberadaan
bendungan terdapat bangunan pelimpahan (Spillway), yang berguna untuk penampungan
luapan air banjir. Dengan sebanyak kapasitas limpahan 540 meter kubik per detik. Tidak
hanya itu, Bendungan Wonorejo juga memiliki sejumlah fungsi penting lainnya. Khususnya
bagi kelangsungan hidup masyarakat luas. Fungsi itu antara lain, menyediakan air baku untuk
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Surabaya sebanyak delapan meter kubik per
detik, mengusahakan pembangkit tenaga listrik 6,02 megawatt, mengendalikan banjir bagi
daerah Tulungagung seluas 1.479 hektar, dan mendukung irigasi pertanian untuk sawah
penduduk setempat seluas 1.200 hektar.

3
3. Pelaksanaan Pembangunan Bendungan Wonorejo

- Pekerjaan Persiapan

Kegiatan pekerjaan persiapan untuk mempercepat pelaksanaan proyek


dimulai tahun 1983 dan pada tahun 1985 telah selesai dibangun Diversion
Tunnel dan sebagai Cofferdam yang dilaksanakan secara swakelola dengan
dana APBN rupiah murni.

- Pelaksanaan Pembangunan

Pembangunan proyek Bendungan Wonorejo dilaksanakan oleh


pemborong melalui ICB dan LCB. Pelaksanaan dibagi menjadi 2 tahap sesuai
dengan tahap pembiayaan, selesai tahun 2000 dan penggenangan pada bulan
September 2001.

4. Data Teknis Bendungan

- Waduk
Luas daerah tangkapan air : 1.350 km2

Luas genangan masksimum : 88 km2

Isi total : 735.000.000 m3

Isi efektif : 440.000.000 m3

Isi kantong lumpur : 120.000.000 m3

Elevasi muka air banjir tertinggi : + 139,10 m

Elevasi muka air banjir rencana : + 138,20 m

Elevasi muka air terendah : + 127,00 m

Elevasi muka air normal : + 136,00 m

4
- Bendungan
Tipe : Timbunan bantu dengan inti kedap ditengah

Lebar puncak : 7 m

Panjang puncak : 830 m

Tinggi tubuh bendungan : 40 m

Elevasi puncak : + 142,00 m

Isi timbunan : 1.223.000 m3

Kemiringan hulu : 1 : 3,1

Kemiringan hilir : 1 : 2,2

- Bangunan Pelimpah
Lokasi : Tebing kiri

Tipe : Pelimpah dengan pintu

Pintu : Radial 7,5 (L) x 7,8 (T) : 4 buah

Kapasitas : 400 m3/dt

Elevasi puncak : + 131,00 m

- Bangunan Pengambilan
Pintu terowong : 5,5 (L) x 5,5 (T) : 1 buah

- Saluran Pembawa
Tipe : Terowong bentuk lingkaran

Ukuran : Diameter 5,5 m

Panjang terowong : 264,62 m

5
Kapasitas : 75 m3/dt

Elevasi ambang : + 116,00 m

- Penstock
Ukuran : Diameter 5,2 m - 3,6 m

Panjang terowong : 36,465 m

- Katup Pelepas
Tipe : Hollow Jet Valve

Ukuran : Diameter 1,95 m

Kapasitas : 35 m3/dt

- Pembangkit Tenaga Listrik


Daya terpasang : 12,4 MW

Turbin : 2 unit

Produksi pertahun : 32.600 MWh

6
B. Masalah yang dikaji

1. Retak hidrolis

Retak hidrolis adalah suatu fenomena retaknya permukaan inti kedap air bendungan
urugan batu oleh karena tekanan hidrolis air waduk. Fenomena ini bisa terjadi karena
fenomena busur (arching) yang terjadi pada inti kedap air bendungan urugan batu oleh
karena beberapa hal. Fenomena busur yang terjadi pada inti kedap air bendunganurugan
baru menyebabkan tegangan vertikal total akan berkurang dari nilai tekanan overburden.
Pada saat penggenangan, waduk, dan inti menjadi basah, tegangan efektif pada inti kedap
air akan berkurang oleh karena adanya tegangan air pori. Pada suatu kondisi, dimana
tegangan efektif kurang dari tegangan tarik tanah, maka tekanan air waduk dapat meretakkan
permukaan inti kedap air suatu bendungan urugan batu. Apabila retak pada inti kedap air
berlanjut dengan rembesan dan erosi buluh (piping), maka terdapat potensi runtuhnya
bendungan, seperti yang dialami oleh bendungan Teton di Amerika Serikat ada tahun
1976.

Retak hidrolis (hydraulic fracturing) pada bendungan urugan batu didefinisikan


sebagai peristiwa retaknya permukaan hulu inti oleh tekanan air waduk, karena
terjadinya fenomena busur (arching) yang menyebabkan tegangan total vertikal kurang
dari beban diatasnya (overburden pressure), dan pada penggenangan pertama tegangan
air pori mengurangi tegangan efektif sedemikian rupa sehingga tekanan hidrolis air waduk
dapat membuat retak tarik (tension fracture) (Nobari et al., 1973, Seed et al., 1976., dan Ng
dan Small 1999). Beberapa bendungan tercatat telah mengalami retak hidrolis antara lain;
bendungan Balderhead, Yards Creek, Teton, Viddalsvatn, Httejuvet dan lain-lainnya.Retak
hidrolis yang terjadi pada bendungan urugan batu tidak dipengaruhi oleh kecepatan
penimbunan dan kecepatan pengisian waduk. seperti disampaikan pada Tabel 1. Pada
pelaksanaan penimbunan yang lebih lama, tubuh bendungan akan mengalami
konsolidasi yang lebih besar dibandingkan dengan bendungan dengan pelaksanaan
penimbunan yang cepat, demikian pula pada pengisian waduk yang lebih lama, inti akan
mengalami pembasahan yang lebih lama, sehingga jejaring aliran (flownet) sudah
terbentuk dibandingkan dengan pengisian waduk yang lebih cepat. Retak hidrolis selalu
terjadi pada saat penggenangan pertama,dimana inti kedap air akan menjadi basah oleh
karena air waduk. Dengan terjadinya pembasahan inti kedap air, maka tegangan efektif akan

7
semakin kecil, dan pada saat tegangan efektif yang terjadi kurang dari tegangan tarik tanah,
maka akan terjadi retakan pada permukaan hulu inti kedap air.

8
C. Alternatif Pemecahan Masalah

1. FAKTOR PENYEBAB FENOMENA BUSUR

Fenomena busur (arching) yang terjadi pada bendungan urugan batu adalah berkurangnya
tegangan total vertikal ()dari nilai yang seharusnya yaitu sebesar beban diatasnya. Sebagai
bukti, tegangan vertikal yang terukur pada intikedap air bendungan Holle dan Harspranget
di Norwegia, hanya sebesar 50% dari beban timbunan diatasnya (Lofquist, 1951).
Fenomena busur dapat disebabkan oleh perbedaan modulus yang besar antara bahan
timbunan inti kedap air dengan zona timbunan batuan, dan kemiringan pangkal
bendungan (abutment). Cavounidis dan Vaziri (1982) melakukan analisis pengaruh
plastisitas bahan timbunan terhadap perpindahan beban. Pada kemiringan pangkal
bendungan 1V : 0,5H, tegangan total yang terukur hanya sebesar 0,52 beban timbunan
di atasnya, sedangkan pada kemiringan 1V : 0,85H, tegangan total hanya sebesar 0,74 beban
timbunan di atasnya (Zhang danDu, 1997).

Fenomena busur dapat memicu terjadinya retak hidrolis pada bendungan urugan
batu. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian pada pengaruh fenomena busur
terhadap retak hidrolis. Kulhawy dan Gurtowski (1976) melakukan analisis terhadap
kemungkinan terjadinya hydraulic fracturing pada bendungan rockfill oleh pengaruh load
transfer. Zhu dan Wang (2004) melakukan analisis pengaruh busur terhadap terjadinya
retak hidrolis pada bendungan urugan batu. Fenomena busur pada bendungan urugan batu
tidak bisa dihindarkan, jadi yang dapat dilakukan adalah mengurangi besaran fenomena
busur yang terjadi, dengan mengendalikan selisih modulus yang besar antara inti
kedap air dengan zona timbunan batu, dengan cara menambahkan zona timbunan filter hulu
dan zona transisi diantaranya. Hal ini terbukti bahwa dengan variasi susunan bahan
timbunan tersebut, perbedaan modulus dapat secara bertahap berkurang, sehingga
fenomena busur menjadi lebih kecil. Pembuatan pangkal bendungan yang lebih landai
juga dapat mengurangi besaran fenomena busur pada inti kedap air bendungan urugan batu.
Kenaikan modulus elastisitas atau poisson ratio bahan timbunaninti kedap air dapat
mengurangi pengaruh fenomena busur. Pelebaran bidang kontak inti kedap air dengan
fondasi bendungan, yang menyebabkan inti kedap air lebih tebal juga dapat
mengurangi pengaruh fenomena busur.

9
2. FAKTOR PENYEBAB RETAK HIDROLIS

Faktor penyebab terjadinya retak hidrolis pada bendungan urugan batu secara pasti
sudah disepakati oleh para peneliti adalah karena fenomena busur. Fenomena busur
yang terjadi pada inti bendungan urugan batu dapat disebabkan oleh karena:
konfigurasi atau bentuk inti kedap air, tinggi bendungan, dan susunan bahan timbunan
bendungan urugan batu. Selain masalah fenomena busur, tanah sebagai bahan
timbunan inti kedap air juga mempunyai kontribusi terhadap inisiasi terjadinya retak
hidrolisyaitu; nilai kohesi tanah (c), dan kandungan mineral lempung. Fenomena busur pada
bendungan urugan batu tidak dapat dihindari, tetapi perlu dilakukan rekayasa baik pada
bentuk dan konfigurasi inti kedap air, dan susunan bahan timbunan bendungan urugan
batu agar fenomena busur yang terjadi tidak besar. Pemilihan bahan timbunan inti
kedap air yang kompeten dimaksudkan untuk memperoleh nilai kuat tarik tanah (t) yang
cukup besar, sehingga tekanan hidrolis air waduk terhadap inti kedap air (wedging) yang
menimbulkan tegangan tarik pada permukaan hulu inti kedap air tidak melebihi nilai
kuat tarik tanah yang digunakan sebagai bahan inti kedap air. Untuk mengetahui faktor
penyebab terjadinya retak hidrolis dan cara menghindarinya, maka dilakukan uji retak
hidrolis di laboratorium dengan alat uji khusus yang dibuat untuk mengetahui nilai kuat tarik
tanah (t), dan analisa numeris dengan menggunakan metoda elemen hingga pada contoh
tanah sebagai bahan timbunan inti kedap air dari 6 (enam) bendungan urugan batu di
Indonesia yaitu; bendungan Batubulan dan Pelaparado di Sumbawa, bendungan Batutegi di
Lampung, Bendungan Sermo di Yogyakarta, bendungan Kedungombo di Jawa Tengah, serta
bendungan Wonorejo di Jawa Timur. Untuk memperoleh hasil yang komprehensif, selain
pada kondisi aslinya, bahan inti kedap air tersebut diatas dimodelkan kembali dengan kadar
butiran halus ( < 0,074 mm) dari 30, 40, 50, 60, 70 dan 80 persen, sedangkan pemadatan
dimodelkan pada kondisi kering, optimum dan basah. Dari pemodelan tersebut
diperoleh 324 contoh tanah yang berbeda. Komposisi mineral lempung dari masing
masing bahan timbunan inti kedap air juga dianalisa guna analisa pengaruh mineral
lempung terhadap retak hidrolis.

10
3. UJI RETAK HIDROLIS DI LABORATORIUM

Pada penelitian ini, konsep retak hidrolis pada permukaan hulu inti kedap air bendungan
urugan batu didasarkan pada pengembangan konsep penelitian terdahulu yaitu
tekananvertikal efektif pada suatu titk kurang dari tekanan hidrolis, sedangkan tegangan
efektif vertikal pada titik tersebut kurang dari tekanan oleh berat sendiri karena
pengaruh busur (arching), dan pola kerusakan adalah retak tarik (tension). Benda uji bukan
merupakan model inti di lapangan, tetapi benda uji hanya suatu sarana untuk
memperoleh nilai tegangan tarik tanah pada saat retak (t) dengan pola retak tarik di
laboratorium, yang tegangan awal uji sebagai representasi tegangan pada permukaan inti.

Pada penelitian ini, uji retak hidrolis di laboratorium dilakukandengan asumsi sebagai
berikut:

a. tegangan pada seluruh titik di dalam benda uji dianggap sama,

b. tekanan hidrolis dianggap sebagai tinggi muka air di dalam waduk,

c. tegangan awal adalah tegangan vertikal (y) dan tegangan horizontal (x) pada permukaan
hulu inti,

d. tegangan pada permukaan lubang di dalam benda uji dianggap sama,

e. kuat tarik benda uji saat retak dirumuskan sebagai tegangan utama major efektif dikurangi
dengan tekanan retak hidrolis, dan dapat dinyatakan dalam persamaan:

dengan t = kuat tarik tanah pada saat retak (kPa), 1 = tegangan efektif utama major
(kPa), dan uf = tekanan retak hidrolis (kPa)

f. fenomena busur oleh pengaruh kemiringan bukit sandaran bendungan urugan batu tidak
termodelkan dalam uji retak hidrolis di laboratorium.

11
Pada penelitian ini bentuk benda uji yang digunakan adalah silider dengan lubang
ditengah. Dimensi benda uji adalah tinggi 120 mm, diameter 104 mm, sedangkan
diameter lubang ditengah adalah 18 mm. Gambar 1 menunjukkan benda uji untuk uji
retak hidrolis di laboratorium.

Alat uji hydraulic fracturing di laboratorium dibuat khusus dan merupakan pengembangan
dan penyempurnaan dari alat uji serupa yang dibuat oleh; Nobari et al (1973), Hassani et al
(1985) dan Mori and Tamura (1987). Alat uji akan terdiri dari beberapa bagian/komponen
yang mempunyai fungsi yang berbeda. Bagian atau komponen alat uji hydraulic fracturing
inti kedap air bendungan rockfill di laboratorium adalah:

a. hydraulic fracturing chamber,

b. pressure chamber,

c. alat untuk pemberi tekanan hidraulik,

d. alat untuk pemberi takanan isotropik,

e. alat pengukur tegangan pada benda uji,

f. alat pengukur deformasi aksial benda uji,

g. alat pengukur aliran air ke dalam benda uji.

12
4. ANALISIS NUMERIK RETAK HIDROLIS BENDUNGAN URUGAN BATU

Analisis numerik retak hidrolis dilakukan dengan metoda elemen hingga, dengan
analisis couple untuk analisis deformasi/tegangan dengan analisis aliran air dalam media
porous. Pemilihan analisis couple dilakukan untuk memodelkan perilaku bendungan pada
saat penggenangan untuk pertama kali, dimana retak hidrolis pada inti kedap air dapat terjadi.
Untuk memeperoleh hasil yang lebih akurat dalam analisis couple disarankan menggunakan
elemen high order pada elemen berbentuk triangular dan quadrilateral. Pemilihan model
tanah (soil model) harus disesuaikan dengan kondisi pembebanan di lapangan, agaruji
laboratorium yang diperlukan sebagai data masukan oleh program komputer yang
digunakan dapat dilakukan dengan seksama. Pada pelaksanaan penimbunan bendungan,
pemadatan dilakukan lapis demi lapis dengan tebal lapisan sekitar 30 cm pada inti kedap air
sampai dengan 100 cm pada timbunan rockfill, memberikan gambaran bahwa tegangan yang
terjadi pada tubuh bendungan akan naik secara bertahap mengikuti perkembangan tinggi
bendungan. Apabila tinggi bendungan dikonversikan terhadap tekanan kekang (confining
pressure), maka kenaikan tegangan di dalam tubuh bendungan dapat dimodelkan
sebagai fungsi dari tekanan kekang, dan mengingat bahwa sifat sifat tanah tidak dapat
dimodelkan sebagai bahan yang linier elastis, maka model tanah pada penimbunan
bendungan lebih sesuai apabila dimodelkan sebagai non-linear elastic hyperbolic soil
model. Perlu diperhatikan pula pemodelan fase air (water phase) yaitu fungsi
perubahan kadar air volumetrik akibat penggenangan yang dirumuskan dalam program
elemen hingga.

Apabila pemodelan fase air digunakan model elastis, maka pemilihan soil
model juga harus selaras dengan pemodelan fase air tersebut, dan apabila kedua model
berbeda maka analisis couple tidak dapat dilakukan. Kriteria terjadinya retak hidrolis dalam
analisis retak hidrolis dengan metoda elemen hingga diperoleh dari evaluasi tegangan sebagai
berikut:

a. nilai tegangan vertikal efektif (y) pada permukaan hulu inti hasil analisis tegangan dan
deformasi denganmenggunakan analisis ganda dibandingkan dengan tekanan hidrolis air
waduk (w) dalam suatu table dan grafik,

b. apabila tegangan vertikal efektif pada suatu titik lebih kecil dari tekanan hidrolik (y <
w), maka pada titik tersebut terjadi tegangan tarik (t) dan berpotensi terjadi retak hidrolis

c. tegangan tarik yang terjadi pada titik tersebut kemudian dibandingkan dengan
tegangan tarik pada saat terjadi retakan hasil uji retak hidrolis di laboratorium,

13
d. apabila tegangan tarik pada titik yang ditinjau lebih besar dari tegangan tarik pada saat
terjadi retakan hasil uji retak hidrolis di laboratorium, maka akan terjadi retak hidrolis,

e. apabila tegangan tarik pada titik yang ditinjau lebih kecil dari tegangan tarik pada saat
terjadi retakan hasil uji retak hidrolis di laboratorium, meskipun terjadi tegangan tarik, tetap
tidak terjadi retak hidrolis.

D. Alternatif Pemecahan Masalah

1. Pengaruh bentuk inti kedap air bendungan urugan batu

Bentuk inti kedap air sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya retak hidrolis
pada bendungan urugan batu. Untuk membuktikan hal ini, dilakukan analisa retak
hidrolis dengan analisa numerik pada bendungan Hyttejuvet yang mengalami retak
hidrolis seperti dilaporkan oleh Kjaernsli dan Torblaa (1968). Gambar 3 menunjukkan
potongan melintang bendungan Hyttejuvet, dengan bentuk inti kedap air yang menipis secara
drastis pada bagian atas, dan vertikal pada bagian hilirnya.

Hasil analisa numerik dengan metoda elemen hingga menunjukkan bahwa dengan
mengganti parameter bahan timbunan inti kedap air dengan bahan timbunan inti kedap air
dari bendungan Batubulan, Batutegi, Kedungombo, Pelaparado, Sermo dan Wonorejo pada 6
variasi kadar butiran halus dan 3 variasi pemadatan, semua menunjukkan terjadinya retak
hidrolis. Gambar 4 menunjukkan contoh hasil analisa numerik model bendungan Hyttejuvet
dengan bahan timbunan inti kedap air dari bendungan Batubulan yang dipadatkan pada
kondisi optimum. Lebih spesifik, hasil analisa menunjukkan lokasi terjadinya retak hidrolis
relative sama, dan sesuai dengan lokasi yang dilaporkan oleh (Kjaernsli dan Torblaa,
1968). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk dan konfigurasi inti kedap air suatu
bendungan urugan batu akan sangat menentukan kemungkinan terjadinya retak hidrolis.

14
Pada kasus bendungan Hyttejuvet, konfigurasi dan bentuk inti kedap air tidak lazim
digunakan pada perencanaan bentuk inti kedap air bendungan urugan batu. Penipisan bagian
atas inti kedap air bendungan Hyttejuvet dilakukan karena tegangan air pori pada inti
kedap air bagian bawah cukup besar, sehingga diputuskan pada bagian atasdilakukan
revisi dengan penipisan bendtuk inti kedap air. Hal ini tanpa disadari menambah nilai
fenomena busur. Cara menghindarkan terjadinya retak hidrolis dalam hal ini adalah
merencanakan inti kedap air dengan kemiringan sisi hulu dan hilir secara simetris, dengan
sudut tertentu yang tergantung dari parameter bahan timbunan inti kedap air, agar fenomena
busur dapat dikurangi.

2. Pengaruh tinggi bendungan

Pengaruh tinggi bendungan dalam hal ini adalah perubahan rasio tinggi berbanding lebar
dasar inti kedap air suatu bendungan urugan batu apabila bendungan tersebut semakin tinggi
dengan mempertahankan kemiringan sisi hulu dan hilir, serta lebar atas inti kedap air dari
bendungan tersebut. Pada penelitian ini, data inti kedap air dari ke-enam bendungan yang
diteliti disampaikan pada Tabel 3, sedangkan apabila ke-enam bendungan tersebut
dimodelkan mempunyai tinggi 125 meter dengan kemiringan sisi hulu dan hilir, serta
lebar atas inti kedap air sama, maka konfigurasi inti kedap air disampaikan dalam
Tabel 4. Kalau dicermati, dalam hal ini yang berubah adalah rasio tinggi berbanding
lebar dasar inti kedap air. Analisis statistikoleh Fell et al (2004), menyatakan bahwa rasio
tinggi berbanding lebar dasar inti bendungan (H/W > 2) adalah bendungan yang sangat
rawan terhadap retak hidrolis, sedangkan apabila rasio 1<(H/W)<2, maka bendungan
tersebut rawan terjadi retak hidrolis. Hal ini menempatkan bendungan Batubulan, Batutegi,
Kebungombo, Pelaparado dan Sermo adalah bendungan yang rawan terhadap retak hidrolis,
sedangkan bendungan Wonorejo adalah bendungan yang sangat rawan terhadap retak
hidrolis.

15
Hasil analisa numerik dengan metoda elemen hingga pada keenam bendungan yang diteliti
menunjukkan bahwa:

a. Bendungan Batubulan dengan tinggi aslinya 37 meter, padamodel dengan tinggi 125 meter
dengan bahan timbunan mengandung 30 60% butiran halus ( < 0,074 mm) mengalami
retak hidrolis,

b. Bendungan Kedungombo dengan tinggi aslinya 60 meter, pada model dengan tinggi
125 meter dengan bahan timbunan mengandung 30 70% butiran halus ( < 0,074 mm)
mengalami retak hidrolis,

c. Bendungan Pelaparado dengan tinggi aslinya 61 meter, pada model dengan tinggi 125
meter dengan bahan timbunan mengandung 30 70% butiran halus ( < 0,074 mm)
mengalami retak hidrolis,

d. Bendungan Sermo dengan tinggi aslinya 49 meter, pada model dengan tinggi 125
meter dengan bahan timbunan mengandung 30 50% butiran halus ( < 0,074 mm)
mengalami retak hidrolis,

e. Bendungan Wonorejo dengan tinggi aslinya 100 meter, pada model dengan tinggi
125 meter tidak mengalami retak hidrolis,

f. Bendungan Batutegi dengan tinggi aslinya 125 meter, tidak dilakukan analisis karena
tinggi aslinya sudah sama dengan model yang diteliti.

Gambar 5 menunjukkan pola tegangan efektif pada bendungan Batubulan pada tinggi asli dan
model 125 meter.

16
3. Pengaruh susunan bahan timbunan bendungan

Pengaruh susunan bahan timbunan dalam hal ini adalah susunan bahan timbunan
pada bagian hulu bendungan urugan batu. Dalam hal ini perbedaan nilai modulus antara
timbunan batuan dengan inti kedap air yang terbuat dari tanah adalah sangat besar. Perbedaan
nilai modulus yang besar mempunyai potensi yang besar dalam menimbulkan fenomena
busur, sehingga harus ada zona timbunan diantara timbunan batuan dan inti kedap air yang
mempunyai modulus diantara keduanya sebagai jembatan (bridging) untuk mengurangi
fenomena busur. Pada bendungan modern zona timbunan transisi yang terdiri dari batuan
dengan gradasi yang lebih kecil dibandingan zona timbunan batuan dan filter hulu
dilaksanakan untuk maksud mengrangi fenomena busur. Sebagai bukti bahwa zona timbunan
filter hulu atau zona transisi dapat mengurangi fenomena busur dan disampaikan
dengan cara memodelkan bendungan Hyttejuvet yang mengalami retak hidrolis dengan
memvariasikan tebal filter hulu. Gambar 6 menunjukkan variasi tebal filter hulu,
sedangkan Gambar 7 menunjukkan diskretisasi elemen pada model bendungan
Hyttejuvet. Analisa retak hidrolis dilaksanakan dengan analisa numeris menggunakan
metoda elemen hingga.

17
18
Gambar 8a memperlihatkan bahwa hampir seluruh tegangan efektif vertikal pada
permukaan hulu inti kurang dari tekanan hidrolis air waduk, sehingga dapat disimpulkan
bahwaapabila bendungan urugan batu dilaksanakan tanpa zona timbunan transisi maupun
filter hulu, maka dipastikan akan terjadi retak hidrolis. Pada variasi tebal dasar filter hulu
antara 2 sampai 6 meter seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8b, terlihat semakin tebal
dimensi filter hulu, pengaruh fenomena busur pada permukaan hulu inti berkurang, sehingga
resiko terhadap terjadinya retak hidrolis juga akan berkurang. Gambar 8b juga
memperlihatkan bahwa pada dimensi filter hulu dengan lebar bawah 6,00 meter dan
tebal atas 2,00 meter, lokasi terjadinya retak hidrolis sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Kjaernsli dan Toeblaa (1968), sedangkan apabila dimensi filter hulu dipertebal menjadi lebar
dasar 8,00 dan 10,00 meter dan tebal atas 2,00 meter seperti terlihat pada Gambar 8c,
pengaruh fenomena busur sedemikian kecil, sehingga tidak terjadi retak hidrolis. Hal ini
membuktikan bahwa susunan dan dimensi zona timbunan bagian hulu suatu bendungan
urugan batu akan menentukan kemungkinan terjadinya retak hidrolis.

4. Pengaruh kohesi tahan bahan timbunan inti kedap air

Kohesi tanah merupakan salah satu parameter kuat geser tanah. Di dalam penelitian
tentang retak hidrolis pada bendungan urugan batu (Djarwadi, 2009), dilakukan usaha
untuk mengetahui hubungan retak hidrolis dengan parameter tanah yang digunakan
sebagai inti kedap air padabeberapa bendungan yang diteliti. Salah satu dari hasil penelitian
adalah hubungan antara nilai kohesi bahan timbunan inti kedap air dari ke enam bendungan
yang diteliti dengan kuat tarik tanah pada saat mengalami retakan (t). Gambar 9
menunjukkan hubungan antara nilai kohesi bahan inti kedap air bendungan dengan
kuat tarik tanah pada saat mengalami retakan. Gambar 9 tesebut menginformasikan
bahwa terdapat kecenderungan hubungan antara kohesi tanah (c) dengan kuat tarik saat
retak pada uji retak hidrolis sebagai berikut:

a. kuat tarik saat retak (t) cenderung naik pada kohesi tanah yang lebih besar,

b. kuat tarik saat retak (t) cenderung lebih kecil pada uji dengan tegangan awal yanglebih
besar.

19
5. Pengaruh mineral lempung

Hasil uji kuantitatif mineral lempung pada ke enam bendungan yang diteliti
mengandung mineral lempung halloysite, alpha quartz dan hematite dengan persentase
yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 5, sedangkan Bendungan Batubulan, Wonorejo,
dan Kedungombo mempunyai mineral montmorillonite masing-masing sebesar 25.78%
dan 17.47% dan feldspar masing-masing 20.22%, 14.40% dan 9,91%. Telah diketahui
bahwa mineral montmorrilonite1/2Ca,Na (Al,Mg,Fe)4(Si,Al)8O20(OH)4.nH2O mempunyai
sejumlah molekul air (nH2O) didalamnya yang memberikan pengaruh terhadap kemampuan
menyerapair tinggi, tetapi tidak mempunyai daya adhesi (lekatan) antar molekulnya, sehingga
nilai dispersivitas tanah yang mengandung mineral montmorrilonite tinggi. Hal ini yang
menyebabkan kuat tarik pada saat retak (t) pada bahan inti bendungan Batubulan lebih kecil
dibanding dengan inti bendungan Wonorejo dan Kedungombo. Tampak bahwa mineral
lempung montmorillonite mempengaruhi nilai tekanan retak hidrolis (uf) pada inti
bendungan urugan batu.

20
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Masalah retak hidrolis pada bendungan urugan batu, penyebabnya dan cara
menghindarinya telah dibahas berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan analisa
numeris dengan menggunakan metoda elemen hingga, beberapa kesimpulan yang dapat
dijadikan acuan di dalam perencanaan dan pelaksanaan bendungan urugan batu
disampaikan sebagai berikut:

a. Retak hidrolis pada bendungan urugan batu disebabkan oleh fenomena busur yang
terjadi oleh karena konfigurasi dan bentuk inti kedap air, tinggi bendungan, kemiringan
pangkal bendungan (abutment), dan modulus bahan timbunan bendungan.

b. Inti kedap air bendungan urugan batu disarankan mempunyai bentuk trapesium
dengan kemiringan sisi hulu diperhitungkan agar tidak menyebabkan terjadinya fenomena
busur secara berlebihan,

c. Rasio tinggi berbanding lebar dasar inti kedap air agar diperhatikan guna mengurangi
besaran fenomena busur,

d. Bahan timbunan inti kedap air diusahakan mempunyai nilai kohesi yang besar agar kuat
tarik saat retak (t) tanah cukup besar,

e. Bahan timbunan inti kedap air diusahakan tidak mengandung mineral lempung
montmorillonite.

21
Daftar Pustaka

http://sipil.ft.uns.ac.id/konteks7/prosiding/209G.pdf
http://wikipedia.com

22
Dokumentasi Observasi Bendungan Wonorejo

23

Anda mungkin juga menyukai