Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Dian Mustaqim
Fery Ferdiansyah
Mufli Rumekso
Muhammad Suryanto
Sriyanto Surakarta
2016
Penerapan Pemilu Elektronik
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ................................................................................................ 2
ANALISIS
SIMPULAN .......................................................................................................... 36
BAB I
PENDAHULUAN
Kondisi geografis Indonesia yang sangat luas menjadi masalah tersendiri dalam
hal distribusi surat suara dan semua yang terkait pelaksanaan pesta demokrasi.
Bahkan ada daerah yang belum melakukan proses pemungutan suara sementara
daerah yang lain sudah selesai proses penghitungan suara. Kondisi ini tentu
harus cepat dipikirkan bagaimana solusi untuk pelaksanaan pesta demokrasi
agar dapat dilaksanakan secara real time, online dan tidak ada lagi alasan
kendala ruang dan waktu.
Oleh karena sistem pemilu di Indonesia yang masih dilakukan secara manual,
dalam pelaksanaan pemilu akhir-akhir ini masih sering terjadi kesalahan-
kesalahan yang disebabkan oleh human error, atau disebabkan karena sistem
pendukung pelaksanaan pemilihan yang tidak berjalan dengan baik. Kisruh
tentang daftar pemilih tetap (DPT) yang terjadi pada pemilu belakangan ini
harus menjadi pelajaran berharga bagi pelaksanaan pesta demokrasi di masa
mendatang agar pesta demokrasi itu sendiri dapat berjalan lancar mulai dari
awal sampai akhir tanpa ada sengketa yang meliputinya. Oleh karena itu, pesta
demokrasi harus dilaksanakan secara transparan. Adapun beberapa
permasalahan yang ditemui dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia beberapa
periode belakangan ini adalah sebagai berikut :
1. Kacaunya database pemilih atau yang biasa disebut Daftar Pemilih Tetap
(DPT). Kekacauan ini terjadi karena sistem kependudukan yang masih
belum berjalan dengan baik. Banyaknya kartu identitas menyebabkan
pemilih bisa memiliki kartu suara lebih dari satu. Hal ini dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan untuk
menggelembungkan suara. Belum lagi banyak masyarakat yang secara
hukum memiliki hak untuk memilih tetapi tidak terakomodir oleh daftar
pemilih tetap akibat kacaunya sistem kependudukan yang ada.
2. Besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk proses pemungutan suara.
Berdasarkan data yang dilansir oleh KPU (Komisi Pemilu Umum),
pemerintah menyiapkan anggaran pemilu mencapai Rp 10,4 triliun untuk
3. Pemilih salah dalam memberi tanda pada kertas suara, karena ketentuan
keabsahan yang kurang jelas, sehingga banyak kartu suara yang
dinyatakan tidak sah. Pada tahapan verifikasi keabsahan dari kartu suara,
sering terjadi kontroversi peraturan dan menyebabkan konflik di
masyarakat.
4. Lambatnya proses tabulasi data hasil perhitungan suara dari daerah.
Lemahnya infrastruktur teknologi komunikasi di daerah menyebabkan
kurangnya variasi metode pengumpulan hasil perhitungan suara. Oleh
karena itu, seringkali pusat tabulasi data harus menunggu data perhitungan
yang dikirimkan dari daerah dalam jangka waktu yang lama. Akibatnya,
pengumuman hasil pemilu akan memerlukan waktu yang lama.
Gambaran mengenai cara kerja sistem e-voting ini yaitu para pemilih yang
ingin mencoblos dapat masuk ke TPS tetapi bukan menemui surat suara dan
alat coblos di dalam bilik suara melainkan komputer. Pemilih dapat memilih
dengan klik atau menyentuh pilihan pada layar touchscreen komputer. Data
pemilihan akan tersimpan dalam database server yang tidak semua orang bisa
mengakses.
Teknologi e-voting pada saat ini menjadi pilihan yang sangat penting dalam
melaksanakan salah satu pilar demokrasi yang utama yaitu pemilihan umum.
Terutama setelah dalam beberapa tahun sebelumnya cara-cara konvesional
untuk melaksanakan pemilu telah terbukti kurang berhasil untuk menjawab
tuntutan masyarakat terhadap mekanisme pemilu yang berasas langsung,
umum, bebas, rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Di beberapa negara
maju maupun berkembang di berbagai belahan dunia, teknologi e-voting telah
banyak digunakan karena e-voting dapat membantu mempercepat waktu proses
pengambilan dan penghitungan suara, serta mengurangi risiko kesalahan dalam
prosesnya. Dengan kata lain, penggunaan e-voting diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan kesalahan dalam proses pengambilan dan
penghitungan suara yang berarti mengurangi waktu dan biaya.
BAB II
ANALISIS
A. ANALISIS KEBUTUHAN
Pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu legislatif dilaksanakan setiap
lima tahun. Namun pemilihan kepala eksekutif tingkat daerah (pemilihan
kepala daerah/pemilukada) dilaksanakan secara terputus di berbagai daerah di
Indonesia dan akan selalu ada pemilukada yang berlangsung. Indonesia sendiri
telah melaksanakan pemilu sebanyak empat kali yakni tahun 1999, 2004, 2009
serta tahun 2014.
terdaftar namun hanya 122 juta pemilih yang menggunakan hak pilihnya
menunjukkan tingkat partisipasi pemilih sebesar 71 persen sebuah penurunan
drastis dari tingkat partisipasi 93 persen pada Pemilu 1999 dan 84 persen pada
Pemilu 2004. Kendati demikian, penurunan tingkat partisipasi bukanlah hal
yang aneh bagi sebuah demokrasi yang baru berdiri.Indonesia menggunakan
sistem multi-partai Menurut catatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
terdapat 73 partai politik yang terdaftar secara sah. Undang-Undang No. 8
Tahun 2012 mewajibkan masing-masing partai politik untuk mengikuti proses
pendaftaran dan verifikasi yang dilaksanakan oleh KPU untuk mengikuti
sebuah pemilu pada pemilu 2009 terdapat 38 partai politik nasional.
b. Keborosan anggaran
Aspek mendasar yang juga perlu dipikirkan adalah kerahasiaan yang tidak
bisa diciptakan dari berulang kali pelaksanaan pesta demokrasi. Tidak
perlu disangkal, bahwa pelaksanaan pesta demokrasi di jaman orba
hanyalah pemanis bagi demokrasi karena pemenangnya sudah bisa seratus
persen ditebak sehingga pesta demokrasi hanyalah buang-buang uang
dengan dalih penegakan HAM karena pesta demokrasi itu sendiri adalah
penerapan hak asasi sebagai warga negara. Beda dengan era orba, di era
reformasi aspek kerahasian juga semakin sulit dicapai. Paling tidak, di era
reformasi ternyata fakta temuan kasus money politic dan berbagai praktek
kecurangan pemilu masih terus terjadi dan cenderung berulang-ulang
tanpa ada kekuasaan dari lembaga berwajib untuk menindaknya secara
konkret.
Analisis kebutuhan system e-voting terdiri dari dua tipe kebutuhan yaitu
kebutuhan fungsional dan kebutuhan non fungsional. Berikut ini adalah
kebutuhan system e-voting baik kebutuhan fungsional maupun kebutuhan non
fungsional.
a. Kebutuhan Fungsional
1. Usability
2. Reliability
Sistem harus dapat berjalan terus tanpa kegagalan akses selam proses
pemungutan suara sampai dengan perhitungan hasil. Jadi system e-
voting tersebut harus mempunyai perangkat lunak server, perangkat
keras server, perangkat lunak client, perangkat keras client, dan
perangkat jaringan yang handal.
Aspek keamana harus terjamin. Keamanan system ini harus mampu
menjamin integritas dan kerahasian data. Selain keamanan data,
keamanan server, client, dan jaringn secaar fisik juga harus benar-benar
terjaga.
3. Portability
4. Supportability
B. ANALISIS TEKNIS
1. Pemilih yang akan menyalurkan hak pilihnya dapat mendatangi TPS mana
saja di Indonesia yang berada disekitarnya. Berbeda dengan sistem
konvensional yang menggunakan undangan memilih yang di dalamnya
tercantum lokasi TPS pemilih yang telah ditentukan oleh KPU. Sistem
evoting ini memungkinkan setiap pemilih untuk menentukan sendiri lokasi
TPS yang ia kehendaki. Karena sistem e-voting yang terintegrasi dengan
data kependudukan dalam e-KTP yang terpusat pada database
kependudukan nasional sehingga potensi pemilih ganda atau pemilih yang
memilih di dua TPS yang berbeda dapat diatasi karena pemilih yang telah
menyalurkan hak memilihnya telah ditandai otomatis oleh sistem.
dapat diketahui beberapa saat setelah TPS ditutup, berbeda dengan sistem
konvensional yang harus dilakukan perhitungan suara satu persatu membuka
kertas suara yang menghabiskan waktu yang begitu lama hingga berjam-jam.
Secara nasional, hasil pemungutan suara sudah dapat diketahui paling lambat
satu jam setelah TPS ditutup. Dan data yang didapat tersebut sudah merupakan
data asli yang ditampung oleh database server dari seluruh TPS yang ada di
seluruh wilayah Indonesia.
Sumber pendanaan pemilu berasal dari dana APBN baik tahun sebelumnya
maupun untuk tahun yang bersangkutan (APBN TA-1 dan APBN TA).
Austria
Sebesar EUR 870.000 untuk 230.000 pemilih atau EUR 3,8/pemilih.
Brazilia
Membutuhkan dana $ 3 - $ 5/ pemilih. Biaya awal sebesar 1 Miliyar USD
dan 500 juta USD per pemilihan untuk 100 juta orang pemilih.
Estonia
Membutuhkan dana sebesar UER 1-5 /pemilih. Sebesar UER 500.000
untuk pembangunan sistem pemilihan melalui internet.
India
Membutuhkan dana sebesar USD 0,6/pemilih atau sekitar USD 300/mesin
untuk pemilih mencapai 3.800 orang.
Irlandia
Membutuhkan dana sebesar EUR 21/pemilih. Pembuatan sistem UER 53
juta untuk 2,5 juta penduduk ditambah biaya penuyimpanan tahunan
sebesar UER 800.000.
Filipina
Membutuhkan dana sebesar USD 3/pemilih dengan total biaya UER 120
juta utnuk 50 juta pemilih.
Swis
Membutuhkan dana sebesar UER 0,3/ pemilih dengan total biaya EUR 10
juta untuk sejuta pemilih dalam tiga tahapan.
Amerika Serikat
Membutuhkan dana sebesar USD3/pemilih untuk negara bagian
Maryland.
Venezuela
Membutuhkan dana sebesar USD 4/ pemilih atau dengan total biaya USD
120 juta untuk 10 juta pemilih dan tiga tahapan.
1. Analisis Ekonomi
a. Biaya Infrastruktur
2. Analisis Keuangan
Berikut adalah dana yang dikelola oleh masing-masing TPS pada saat
pelaksanaan pemilu secara konvensional di Indonesia periode 2004, 2009 dan
2014 adalah sebagai berikut:
Jumlah Dana/
Jumlah Anggaran Pemilu Pemilih
Pemilu TPS pemilih/
DPT (Rp) (Rp)
TPS
1 2 3 4=2*3 5 6=5/4
2004 581.393 500 290.696.500 4.400.000.000.000 15.136
2009 527.344 500 263.672.000 19.600.000.000.000 74.335
2014 478.829 500 239.414.500 24.100.000.000.000 100.662
Secara e-voting
Sistem pendistribusian surat suara sudah terprogram secara seragam dan
universal pada masing-masing TPS.
Secara Manual atau konvensional
Secara e-voting
Secara e-voting
Proses pemungutan dan perhitungan dapat berlangsung dengan cepat, lebih
baiknya dilakukan secara realtime untuk menghindari adanya proses
manipulasi data suara. Prosesnya tersimpan pada database sehingga daat di
backup terlebih dahulu untuk menghindari kejadian-kejadian force
mayauer.
Secara Manual atau konvensional
Penghitungan dilaksanakan secara manual, dengan cara menghitung kertas
suara pada masing-masing TPS. Penghitungannya dilaksanakan setelah
proses pemungutan telah selesai semua pada jam yang telah ditetapkan
oleh panitaia TPS. Pelaksanaan yang masih manual mengakibatkan
denkomuntasian dilakukan dengan cara lebih sering, untuk menghindari
permasalahan-permasalahan yang tidak diinginkan dikemudian hari.
Secara e-voting
Dapat meminimalisasi SDM yang diperlukan lebih efisien karena sudah
dibantu oleh kemajuan teknologi dan sistem informasi yang memadai.
Secara Manual atau konvensional
Secara e-voting
Dapat berjalan dengan cepat dan efisien karena pelaksanaan berlangsung
secara realtime dan dapat memotong tahapan yang dianggap tidak
diperlukan.
Secara Manual atau konvensional
Membutuhkan waktu hitung, dan verifikasi keabsahan yang lama. Masih
bisa terjadi konflik karena proses perhitungan manual yang terkadang bisa
terjadi salah hitung dalam pengumpulan surat suara.
Secara e-voting
Tinjauan regulasi e-voting tidak hanya sebatas pada undang-undang pemilu dan
kewajiban pokok bagi berlangsungnya pemilihan demokratis tetapi mencakup
juga pengaturan dan/atau peraturan lainnya. Karena dalam e-voting
memunculkan permasalahan baru terkait identitas digital, identifikasi digital,
tanda tangan digital, perlindungan data, penyimpanan data dan sertifikasi.
Analisis regulasi lebih lanjut dari dasar hukum yang berkaitan dengan
penerapan pemilihan secara elektronik dijelaskan dalam bagian berikut.
Terkait dengan e-voting, UU ITE di samping sebagai hukum dunia maya juga
memegang peranan penting karena ada beberapa pasal penting terkait dengan
sistem elektronik, alat bukti elektronik, tanda tangan elektronik dan
penyelenggara sistem elektronik karena e-voting ini menggunakan teknologi
elektronik dalam pelaksanaannya.
Informasi elektronik di sini adalah segala jenis data yang bersifat elektronik
yang telah diolah, bisa dimengerti, dan memiliki wujud dan arti. Informasi
Elektronik yang tersimpan di dalam media penyimpanan bersifat tersembunyi.
Oleh karena itu, informasi elektronik harus dapat dikenali dan dibuktikan
keberadaannya dari wujud dan arti dari Informasi Elektronik.
Di Bab III tentang Asas dan Tujuan pasal 4 huruf c undang-undang ini
menyatakan bahwa salah satu tujuan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
publik. Sehingga pemanfaatan teknologi e-voting untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas Pemilu sesuai dengan asas dan tujuan Informatika dan
Transaksi Elektronik di Indonesia. Dengan pemanfaatan teknologi e-voting ini,
menurut Mutmainnah, Pawe, and Tajuddin (2015), masyarakat akan merasakan
kemudahan dan kenyamanan dalam menyalurkan hak pilih mereka karena
semua sistem disediakan sesederhana mungkin dengan alur yang lebih
sederhana dibandingkan pemilu konvensional yang selama ini dilakukan di
Indonesia.
boleh disebarluaskan secara tidak sah atau jatuh ke tangan pihak yang
tidak berhak.
Semua data hasil pemilu dan e-voting nantinya merupakan arsip atau dokumen
milik Negara karena sesuai dengan pasal 33 dalam undang-undang ini
menyatakan bahwa arsip yang tercipta dari kegiatan lembaga negara dan
kegiatan yang menggunakan sumber dana negara dinyatakan sebagai arsip
milik negara. Arsip adalah naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga
Negara dan Badan Pemerintahan dalam bentuk corak apa pun baik dalam
keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan
pemerintahan; naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-badan swasta
dan/atau perorangan, dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal
maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan'.
Dalam UU ITE, walaupun tidak disebut kata arsip, tapi kata tersebut
dipersamakan dengan dokumen elektronik.
Untuk menunjang pelaksanaan amanat UU ITE terkait dengan arsip data dan
pengelolaan informasi, Pemerintah harus menyiapkan sistem elektronik yang
matang. Karena akses ke dokumen elektronik dapat saja dilakukan melampaui
batas wilayah hukum Indonesia. UU ITE sendiri menyebutkan suatu informasi
harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya
dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
melalui koneksitas NIK. Di samping itu, NIK juga mewujudkan efektivitas dan
efisiensi dalam pelaksanaan pelayanan publik.
Penerapan awal KTP berbasis NIK yang dilengkapi dengan sidik jari dan chip
atau e-KTP merupakan langkah strategis menuju tertib administrasi
kependudukan yang mengamanatkan adanya identitas tunggal bagi setiap
penduduk dan terbangunnya basis data kependudukan yang lengkap dan
akurat.
Model e-voting untuk setiap negara memang beragam dan untuk kasus di
Indonesia bisa mengacu argumen yaitu dimulai dengan peran strategis dari
KTP digital yang bersifat multifungsi. Mengacu peran penting KTP, maka
pembuatan KTP ke depan seperti sudah dikembangkan disertai proses
digitalisasi yang lebih lengkap, misalnya harus mencantumkan tanda tangan,
sidik jari, foto dan juga dimungkinkan untuk diberi personal identification
number. Prinsip multifungsi dari KTP akan memberikan kemudahan bagi
pemerintah untuk meminimalisasi terjadinya kekacauan DPT seperti yang
terjadi lalu. Hal ini adalah proses awal dari pemanfaatan jaringan digital bagi
pelaksanaan pemilu di masa depan yang lebih taat asas Luber Jurdil.
Menurut Syukri (2011) teknologi e-voting sangat tepat untuk digunakan dalam
pemilu di Indonesia. Dengan satu catatan apabila program e-KTP berjalan
dengan lancar dan sukses, karena e-KTP merupakan syarat utama dalam
pemilihan umum dengan cara elektronik untuk membuat pemilu lebih hemat,
efisien serta menjunjung tinggi asas Luber dan Jurdil dan konstitusional serta
aman, andal dan bertanggung jawab.
Dari aspek kelembagaan, proyek e-voting ini dapat berjalan dengan sukses
apabila mendapat dukungan dari instansi-instansi sebagai berikut:
b. Biro Perencanaan dan Data sebagai Pengelola TI, yang merupakan unit
kunci untuk mengembangkan dan mengelola secara teknis sistem e-voting.
Diperlukannya bagian khusus untuk mengelola e-voting agar berjalan
secara efektif dan independen. Menjalankan amanat Putusan MK 147;
F. ANALISIS RISIKO
1. Kurangnya transparansi;
2. Terbatasnya keterbukaan dan pemahaman sistem bagi yang bukan
ahlinya;
3. Kurangnya standar yang disepakati untuk sistem e-voting;
BAB III
SIMPULAN
Dari aspek kebutuhan, system e-voting terdiri dari dua tipe kebutuhan yaitu
kebutuhan fungsional dan kebutuhan non fungsional. Berikut ini adalah
kebutuhan system e-voting baik kebutuhan fungsional maupun kebutuhan non
fungsional.
Dari aspek teknis, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara
lain:
Dari aspek manfaat sosial, pelaksanaan pemilu secara e-voting akan lebih
bermanfaat dibanding pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan secara
konvenisonal. Berikut manfaat yang dapat diberikan oleh sistem e-voting:
Dari aspek regulasi, metode pemilu dengan e-voting pada dasarnya dapat
diimplementasikan baik untuk Pemilu maupun Pilkada sepanjang tidak
melanggar asas langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Di
samping itu, penyelenggaraan melalui e-voting juga harus memastikan tingkat
keamanan dan kerahasiaan data hasil pemilihan. Hal ini berlandaskan pada
Putusan Mahkamah Konstitusi dan sejalan dengan UU ITE dan UU KIP serta
tidak menyalahi aturan induknya yaitu UU Pemilu & UU Pilkada.
Dari sisi keabsahan suara dan integritas data hasil e-voting, dapat
dipersamakan dengan metode pemilihan secara tradisional dan untuk menjamin
setiap penduduk menggunakan hak pilihnya sebanyak satu kali digunakan NIK
sebagai single identification number melalui e-KTP. Hal ini berlandaskan pada
UU Administrasi Kependudukan & UU Kearsipan serta melaksanakan Perpres
e-KTP.
Dari aspek risiko, secara umum terdapat empat risiko yaitu risiko politik,
risiko teknis, risiko keuangan, dan risiko hukum. Risiko tersebut dapat
dimitigasi oleh instansi terkait yang utamanya memastikan integritas data
pemilih melalui program e-KTP sebagai single identification number,
memisahkan tugas dan tanggung jawab dalam validasi data dan verifikasi hasil
pemilihan suara, serta memperhatikan dan menyelaraskan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, R.M. 2004. Point, click and vote: The future of Internet voting.
Brookings Institution Press : Washington DC
Apriza,H. 2009. Simulasi e-voting system menggunakana metode, tugas akhir
fakultas Teknologi Informasi: Surabaya
Blanc, Jarrett. Challenging the Norms and Standards of Election Administration:
Electronic Voting, Challenging the Norms and Standards of Election
Administration (IFES, 2007): 13.Reynolds, Andrew. The Curious Case of
Afghanistan. Journal of Democracy 17, No. 2, (2006): 113-114.
California Internet Voting Task Force.2000. A report on the Feasibility of Internet
Voting.
Espiner, M. (2006, 2006 Nov 06). Can you trust the results? New Statesman, 135,
16.
Falah, Muhammad Syaiful. Perancangan Sistem Electronic Voting (E-Voting)
Berbasis Web Dengan Menerapkan Quick Response Code (Qr Code)
Sebagai Sistem Keamanan Untuk Pemilihan Kepala Daerah. Makalah
tidak diterbitkan. Semarang : Universitas Dian Nuswantoro.
Fuadi, A. B. (2015). Tinjauan Yuridis Sistem e-Voting Dalam Penyelenggaraan
Pemilu di Indonesia. (Bachelor), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Hidayat, M. R. (2014). Perancangan Sistem Pemungutan Suara Online Pada
KPUD Kabupaten Banyuwangi. (Bachelor), Sekolah Tinggi Manajemen
Informatika dan Komputer AMIKOM Yogyakarta, Yogyakarta.
IDEA. (2011). Memperkenalkan Pemilihan Elektronik: Pertimbangan Esensial
(Y. Absari, Trans.). Canberra: Program Asia dan Pasifik International
IDEA.
Peraturan Perundang-undangan