Abstrack: Bribery is a sad phenomenon in Indonesian press. The practice refers to activities of
accepting money, goods, vouchers, and other gifts, from a person or an organisation who act
as source for journalist. Bribery is often considered as a common practice and institutionalised
as a culture among media practitioners. The main reasons behind bribery are to maintain
relationships or to add journalists income, as they are mostly not well paid. However, bribery
is against the journalism ethics. It makes journalists professionalism somewhat questionable and
threats public life since journalists responsibility in reporting the truth would be affected by such
practices.
Abstrak: Praktik suap menjadi salah satu fenomena menyedihkan dalam pers Indonesia. Praktik
tersebut merujuk pada aktivitas menerima pemberian berupa uang, barang, voucher dan bentuk
lainnya dari pihak narasumber. Praktik suap acapkali dilegalkan dan bahkan menjadi budaya
di kalangan pelaku media. Alasan pembenarannya antara lain menjaga hubungan dengan
narasumber atau untuk mengatasi masalah kesejahteraan jurnalis yang tidak mendapatkan gaji
yang layak. Namun, praktik suap tentu saja bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Praktek ini
menyebabkan profesionalitas wartawan menjadi dipertanyakan. Praktik suap dapat mengancam
kehidupan publik sebab kewajiban jurnalis dalam memberitakan kebenaran akan terpengaruh oleh
praktik tersebut.
Praktik suap jurnalis sudah menjadi aktif berburu amplop biasanya berada di
fenomena dan budaya tersendiri dalam pers sebuah institusi tertentu dan menunggu
Indonesia. Praktik ini merujuk pada segala narasumber mereka memberi uang.
sesuatu dari narasumber (makanan, tiket Sedangkan wartawan pasif yang menerima
gratis, uang dan lain-lain) yang diberikan amplop biasanya menerima amplop di
pada jurnalis. Jurnalis yang melakukan suatu acara namun mereka tidak mencari-
praktik ini sering disebut sebagai wartawan cari seperti wartawan aktif. Persamaannya,
amplop. Menurut Masduki (2004, h. 84), kedua jenis wartawan amplop itu belum
ada dua jenis wartawan amplop berdasarkan tentu memuat berita yang mereka liput
modus operandinya, yaitu wartawan yang tersebut di dalam media mereka.
aktif berburu amplop dan wartawan pasif Kategori wartawan aktif dan pasif
yang menerima amplop. Wartawan yang itu melekat pada wartawan yang memiliki
81
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92
perusahaan media yang jelas dan wartawan upah jurnalis di Indonesia masih sangat
yang tidak memiliki perusahaan media tidak layak adalah benar adanya. Hal ini
yang jelas. Wartawan yang tidak memiliki dibuktikkan dalam lima survei dalam
perusahaan media yang jelas kerap disebut sepuluh tahun terakhir ini yakni survei
dengan istilah wartawan bodrek atau WTS AJI Surabaya tahun 2000, survei dari
(Wartawan Tanpa Surat kabar). Mereka Thomas Hanitzsch dari Ilmenau University
disebut wartawan bodrek karena wartawan of Technology German tahun 2001, AJI
ini hanya sekadar melakukan proses Indonesia tahun 2005, Dewan Pers tahun
wawancara ke sana-ke mari, tetapi tidak 2008 dan riset terakhir AJI Indonesia
pernah ada beritanya. Dengan kata lain, tahun 2010/2011. Survei-survei tersebut
wartawan tersebut tidak memiliki surat menunjukkan kemiripan hasil di mana
kabar dan hanya bermodalkan kartu pers upah jurnalis hingga tahun 2011 ini masih
palsu. ada yang berada di bawah Rp 300.000,-
Riset Aliansi Jurnalis Independen per bulannya. Lebih mengejutkan lagi,
(AJI) Indonesia mengenai praktik suap hanya tiga media yang saat ini menggaji
tahun 2005 menunjukkan bahwa budaya ini jurnalisnya dengan layak yakni Jakarta
terjadi karena sering ada pemahaman kabur Globe, Bisnis Indonesia, serta Kompas.
mengenai amplop itu sendiri. Jurnalis yang Survei AJI, Thomas Hanitzsch dan
menjadi responden riset pun mengaku Dewan Pers juga menunjukkan bahwa upah
bahwa mereka merasa tidak enak bila rendah tersebut memaksa banyak jurnalis
amplop tidak diterima karena akan menjadi mencari pekerjaan sampingan, seperti
bahan pergunjingan. Akhirnya mereka mau makelar Surat Ijin Mengemudi (SIM),
menerima bila pemberian amplop tersebut pengusaha wartel, pegawai negeri dan
tidak memeras dan tidak memengaruhi menjadi wartawan spesial (konsultan tidak
independensi. resmi). Survei tersebut juga menyatakan
Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa upah rendah menjadi alasan
bahwa kentalnya budaya amplop disebab- pembenar budaya amplop.
kan oleh kebiasaan pejabat memberi Riset awalan yang dilakukan peneliti
amplop. Menurut penelitian, kalau amplop berdasarkan pernyataan ketua Dewan
tidak diterima, dana itu akan menjadi ajang Pers, Baqir Manan, menunjukkan bahwa
korupsi para pejabat. Temuan lain yang praktik suap di kalangan jurnalis memang
menarik adalah aturan media soal amplop masih terjadi di Indonesia. Baqir Manan
yang kurang jelas. Artinya tidak ada aturan menyebut budaya ini sebagai praktik
detail tentang definisi amplop, jumlah yang korupsi yang dilakukan oleh jurnalis. Ia
bisa diterima atau tidak, serta sanksi bagi mengatakan bahwa praktik suap adalah
jurnalis yang menerima amplop. salah satu pelanggaran kode etik profesi
Kaitannya dengan upah layak jurnalis, jurnalis. Bagir Manan menegaskan bahwa
pendapat yang menyebutkan bahwa kode etik sendiri berbeda dengan hukum
82
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...
karena kode etik berhubungan dengan hati tidak menerima imbalan apapun berkaitan
nurani dan berisi kewajiban-kewajiban dengan profesinya.
yang harus dilakukan oleh seorang jurnalis Masalah kode etik ini sangat
profesionalis. penting bagi sebuah profesi khususnya
Di Indonesia, pelanggaran kode etik jurnalis karena mereka tidak hanya
dipengaruhi berbagai faktor. Pertama, sifat dituntut untuk mengembangkan idealisme
kode etik yang berkaitan dengan moral tiap profesinya tetapi juga efek media yang
individu jurnalis. Kedua, latar belakang besar bagi publik. Kode etik sendiri penting
jurnalis yang berbeda-beda. Banyak jurnalis dilakukan karena merupakan bagian dari
yang tidak disiapkan secara profesional profesionalitas jurnalis. Di sisi lain, sikap
(jurnalis bisa berasal dari setiap kalangan). profesional wartawan terdiri dari dua unsur,
Ketiga, tingkah laku sosial masyarakat yang yakni hati nurani dan keterampilan. Hati
tidak layak. Keempat, makna kebebasan nurani merujuk pada penjagaan terhadap
pers yang tidak bisa dipahami pelaku kode etik jurnalistik dan pemeliharaan
media sehingga tidak ada mekanisme kewajiban moral. Sedangkan keterampilan
kontrol. Kelima, belum adanya tradisi berkaitan dengan kemampuan teknis
profesional untuk menghormati kode etik. jurnalis sesuai dengan bidang profesinya.
Keenam, profesi jurnalis masih dianggap Profesional berarti bersikap inde-
sebagai mata pencaharian pada umumnya. penden. Independen artinya menjalan-
Dan ketujuh, perusahaan pers yang tidak kan tugas jurnalistik tanpa terpengaruh
memihak profesi jurnalis, terutama terlihat oleh intervensi kekuatan represif negara
pada pemberian upah yang kurang layak. dan pemodal yang bisa munculnya baik
Sementara itu, praktik suap merupakan disengaja maupun tidak. Secara tidak
salah satu masalah penerapan kode etik langsung, praktik suap sangat berpengaruh
jurnalistik. Hal ini secara tegas diungkapkan pada profesionalitas wartawan. Secara
dalam, (1) Kode Etik Jurnalistik Pasal moral, pemberian dalam bentuk apapun
6 yang menyebutkan bahwa wartawan dari narasumber tetap akan memengaruhi
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi kinerja jurnalis. Mengenai hal ini, dalam
dan tidak menerima suap, (2) Kode Etik The Elements of Journalism, Bill Kovach
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pasal 13 dan Tom Rosenstiel menyatakan bahwa
yang menyebutkan bahwa jurnalis dilarang salah satu standar yang harus dipenuhi
menerima sogokan, (3) Kode Etik Aliansi agar wartawan bisa tetap profesional
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah dalam pelaksanaan kewajiban
Pasal 4 yakni wartawan Indonesia menolak mencari kebenaran, jurnalis harus menjaga
imbalan yang dapat mempengaruhi indepedensi dari objek liputannya (Kovach
objektivitas pemberitaan dan (4) Kode Etik & Rosenstiel, 2003, h. 6).
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Profesionalisme dan etika merupakan
yang berbunyi Jurnalis televisi Indonesia dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
83
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92
Peneliti menilai etika sebagai hal yang stasiun televisi. Selain itu, Yogyakarta
perlu mendapat perhatian khusus karena menjadi salah satu provinsi yang belum
etika merupakan salah satu bentuk kontrol pernah disurvei oleh organisasi profesi
internal dalam media massa. Kontrol internal seperti AJI atau PWI terkait penerapan
ini sangat memengaruhi wartawan dalam budaya amplop secara langsung. Survei
memerlakukan fakta secara profesional. terakhir yang dilakukan oleh AJI Indonesia
Leonard dan Taylor dalam Abrar (2005, h. tahun 2010/2011 hanya terkait soal upah
9) menyatakan bahwa etika jurnalistik yang layak jurnalis.
perlu diperhatikan oleh wartawan adalah (1) Kendati penelitian terkait soal suap
objektif, (2) jujur, (3) tidak menerima suap, sudah pernah dilakukan, namun peneliti
(4) tidak menyiarkan berita sensasional, ingin melakukan pengembangan lebih
(5) tidak melanggar privasi dan (6) tidak lanjut dari hasil penelitian yang sudah ada.
melakukan propaganda. Hal-hal ini akan Fokus penelitian ini akan mencari sebab
berpengaruh pada kebenaran informasi dan akibat yang ditimbulkan karena praktik
yang akan diterima publik. Asumsinya, ini. Untuk mencari sebab dan akibatnya,
bila jurnalis memberikan fakta yang tidak peneliti melakukan uji proposisi yang
benar, maka publik akan terbohongi. difokuskan pada individu jurnalis. Uji
Meski etika telah dirumuskan proposisi ini berdasarkan kecenderungan
dalam kode etik (code of ethics) dan di- suap yang terjadi dengan menurunkannya
operasionalisasikan dalam kode perilaku dari kerangka teori yang ada. Melalui cara
(code of conduct), namun hal ini tetap ini akan diketahui bahwa faktor penyebab
bersumber pada masing-masing individu. praktik ini tidak semata-mata masalah
Artinya kesadaran masing-masing individu kesejahteraan yang kurang memadai,
sangat menentukan pelaksanaan etika itu melainkan ada beberapa sebab lain, seperti
sendiri. penegakan etika oleh perusahaan dan
Untuk melihat sejauh mana pe- organisasi profesi, sistem pers dan budaya
laksanaan kode etik jurnalistik ini, tulisan masyarakat.
ini fokus pada praktik suap di kalangan
jurnalis Yogyakarta. Provinsi Daerah METODE
84
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...
dalam organisasi profesi khususnya AJI dan adalah jurnalis yang sudah tercacat dalam
PWI sebagai subyek penelitian. Anggota daftar peliput berita institusi atau event
AJI sendiri hingga Januari 2013 ini tercatat mereka.
80 orang, sedangkan anggota PWI tercatat Terkait praktik suap, institusi memiliki
518 hingga Januari 2013. cara tersendiri. Ada yang langsung
Sample yang digunakan dalam memberi uang dengan amplop, ada pula
penelitian ini adalah 16 orang dengan yang diberikan melalui bingkisan seperti
menggunakan teknik pengambilan tunjangan hari raya atau souvenir, kegiatan
sampel snowbowling. Teknik ini dipakai press tour, undangan makan bersama, tiket
mengingat perlunya pendekatan personal gratis dan pemberian pulsa. Di sisi lain,
dalam penelitian ini untuk memperoleh wartawan yang menerima pun memiliki
data yang dalam dan kaya. Dengan jumlah cara-cara unik. Ada yang menunggu
sampel tersebut, peneliti memang tidak atau nongkrong berjam-jam di kantor
bisa melakukan klaim secara keseluruhan. narasumber, mengikuti press tour dan
Namun, sampel tersebut bisa mengungkap meliput meski beritanya bukan merupakan
atau memberikan gambaran soal praktik tanggung jawabnya.
suap di kalangan jurnalis serta faktor-faktor Hasil penelitian menunjukkan praktik
penyebabnya. suap masih terjadi di kalangan jurnalis di
Untuk kelengkapan data, peneliti juga provinsi DIY. Praktik suap di DIY kurang
melakukan wawancara humas, pengurus lebih terjadi sejak 1980-an. Praktik suap
AJI dan PWI, serta pengamat media. Teknik ini dikenal dengan berbagai istilah seperti
pengumpulan data dilakukan dengan jaran, saku kiri, buka laci, proyek tengkyu
wawancara mendalam, observasi partisipan, dan hanep. Praktik suap ini bisa bersifat
dan dokumentasi. Observasi partisipan aktif dan pasif. Aktif ketika wartawan
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sendiri yang mencari dan pasif ketika
ikut berpartisipasi mengambil peran dalam mereka hanya menerima. Praktik ini
situasi tertentu dan berpartisipasi dalam dilakukan oleh seluruh wartawan, baik
peristiwa yang akan diteliti. yang memiliki media jelas maupun yang
tak jelas.
HASIL Berdasarkan hasil penelitian terhadap
Berdasarkan observasi mula yang 16 jurnalis di DIY, praktik suap dapat dibagi
dilakukan peneliti, praktik suap masih menjadi lima jenis. Pertama, pemberian dari
terjadi di Yogyakarta. Praktik dilakukan narasumber tanpa bayaran tertentu, seperti
oleh institusi tertentu dengan terlebih tiket gratis (menonton, pertandingan, dan
dahulu menganggarkannya dalam anggaran lain-lain), undangan makan dan minum
khusus. Tak hanya institusi, berbagai event gratis, buku, kalender, pensil, kartu ucapan
seringkali memberikan uang saku pada selamat, parcel dan amplop saat jumpa pers.
jurnalisnya. Sedangkan jurnalis yang diberi Suap ini diterima secara insidental oleh
85
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92
jurnalis ketika meliput suatu acara. Suap ini dan pendidikan, narasumber justru me-
bisa diterima oleh jurnalis dalam berbagai nyediakan dana reguler bagi jurnalis.
bentuk, misalnya amplop ketika jumpa Di wilayah pemerintahan, misalnya,
pers (berkisar antara Rp 25.000,- hingga terdapat uang triwulanan, yaitu uang yang
Rp100.000,-), peralatan tulis (notebook, dibagikan pada jurnalis setiap tiga bulan
bolpoin), ashdisk yang harganya berkisar sekali. Jumlahnya sekitar Rp 300.000,-.
Rp 80.000,- bahkan lebih, kalender, tiket Uang triwulanan ini biasanya juga sudah
gratis (tiket nonton seharga Rp 35.000,-, dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan
tiket menonton pertunjukan Rp 50.000,- dan Belanja Daerah (APBD).
hingga Rp 100.000,-), payung, topi, kaos, Dua wilayah liputan tersebut dikenal
dan hadiah-hadiah kecil atau souvenir dari sebagai lahan basah. Selain wilayah
perusahaan. pemerintahan dan pendidikan, ada
Suap jenis ini sering dilakukan oleh satu wilayah lagi yang dikenal sebagai
institusi pemerintahan, swasta, pendidikan lahan basah, yakni wilayah ekonomi.
dan umum. Suap ini diterima langsung Berdasarkan hasil wawancara dengan dua
oleh jurnalis saat acara berlangsung. jurnalis ekonomi di Yogyakarta (berasal
Sebelum diberikan, biasanya, jurnalis dari media lokal), wilayah ini banyak
harus menuliskan nama, asal media dan diincar oleh jurnalis. Dari sisi berita
membubuhkan tanda tangan. Pemberian yang dihasilkan, cenderung lebih mudah
dalam bentuk uang, khususnya di institusi dibanding berita lain. Berita ekonomi lebih
pemerintahan disertai nominal jelas yang banyak mengungkap soal produk-produk
tercantum dalam daftar hadir jurnalis. Bila dari seorang pengiklan. Berita ekonomi
ingin mendapatkan uang, jurnalis harus juga cenderung hanya mengolah press
menandatangani daftar hadir itu. Jurnalis release dari pengiklan.
yang memang patuh pada kode etik tidak Umumnya, pemberian jenis pertama ini
bersedia menerima pemberian semacam dimaknai oleh jurnalis sebagai pemberian
itu. Namun jumlah jurnalis yang bersedia ringan yang tidak bisa memengaruhi
menerima lebih banyak dibanding jurnalis pemberitaan. Mereka menganggap
yang tidak bersedia. pemberian ini sebagai sebuah kewajaran.
Nilai nominal uang yang diberikan Kedua, pemberian yang berhubungan
variatif. Rata-rata, berdasarkan hasil pe- dengan pekerjaan jurnalis yang diselingi
nelitian, nilai nominal tersebut adalah Rp dengan berpesiar, seperti pemberian
50.000,-. Namun ada juga nilai nominal yang tiket jalan-jalan gratis, akomodasi penuh
lebih dari itu, tergantung penyelenggara (penginapan, transportasi, makan dan
acaranya. Penyelenggara swasta biasanya lainnya) dan uang saku pada jurnalis baik di
memberi nilai nominal lebih, bahkan bisa luar kota maupun luar negeri. Hotel bintang
mencapai Rp 1.000.000,-. tiga biasanya dipilih untuk penginapannya.
Khusus untuk wilayah pemerintahan Uang saku berkisar Rp 500.000,- hingga
86
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...
87
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92
rendahnya gaji tak berpengaruh. Ada yang Berdasarkan uraian di atas, alasan
sudah mendapatkan gaji tinggi, namun praktik suap yang ditemukan dalam
karena perusahaan medianya mengizinkan, penelitian ini meliputi beberapa hal.
ia tetap melakukan praktik suap tersebut. Pertama, rendahnya komitmen individual
88
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...
89
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92
90
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...
asal tidak memaksa narasumber dan tetap praktik suap di media. Jurnalis melakukan
menulis berita sesuai standar jurnalistik. AJI suap karena berbagai faktor, yakni
pun serupa, meski ia sangat kuat menerapkan perusahaan media tidak bisa memberikan
aturan pelarangan praktik suap, namun penghasilan layak dan memadai,
organisasi ini belum bisa memberikan perusahaan tidak bisa memberikan sanksi
alternatif solusi bagi anggotanya untuk tegas, organisasi profesi yang kurang
mencari penghasilan tambahan. memberikan pengawasan terhadap
Lingkungan pun juga cenderung praktiknya, serta keadaan individu jurnalis
masih takut pada jurnalis. Banyak dari yang memiliki beban masing-masing.
mereka tidak memahami kode etik Bukan hal mudah untuk menghilangkan
jurnalistik. Berdasarkan penelitian pada praktik suap di kalangan jurnalis. Hal
wilayah kehumasan, para praktisi humas tersebut membutuhkan waktu yang lama
masih menyimpan ketakutan ketika tidak dan keterlibatan berbagai macam pihak dan
memberi sesuatu pada jurnalis. Bagi aspek, seperti individu, perusahaan media,
mereka, jurnalis adalah partner yang harus organisasi profesi, serta lingkungan sekitar.
dihormati. Sebab tanpa keberadaan media Walau begitu, sebenarnya, pencegahan
dan jurnalis, citra mereka tidak dapat terhadap praktik suap ini sudah mulai
terangkat. Sayangnya, menghormati di sini gencar, misalnya dengan diberlakukannya
diartikan sebagai memberikan servis dan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) bagi
hadiah secara berlebihan. anggota organisasi profesi dan pekerja
media. Sayangnya, belum semua pekerja
SIMPULAN media mengikuti uji kompetensi ini.
Bila ditelaah dari pendekatan etika, Menerima atau tidak menerima
praktik suap ini masuk dalam ranah etika sesuatu dari narasumber memang menjadi
deontologis. Menurut etika deontologis, pilihan masing-masing individu. Namun,
orang harus mengikuti aturan yang rangsangan lain, seperti pengawasan dan
diciptakan dalam masyarakat. Hal ini tentu sanksi yang tegas dari media dan organisasi
saja sangat berkaitan erat dengan kerja profesi atas tindakan ini, sangat dibutuhkan.
media yang memutuskan bahwa kinerjanya Beberapa sanksi yang bisa dilakukan,
diukur melalui UU Pers dan kode etik. misalnya teguran lisan, tertulis, pencabutan
Hanya saja implementasi etika deontologis sementara izin profesi, serta sanksi tegas
ini masih bertentangan dan menimbulkan tidak diperkenankan berprofesi sebagai
dilema tersendiri. Akibatnya, terjadi jurnalis lagi. Hal tersebut memang harus
ketidakpuasaan masing-masing individu. didukung sepenuhnya oleh jurnalis yang
Ketikdakpuasan ini mendorong mereka menyadari bahwa berlaku sebagai jurnalis
untuk menciptakan aturan sendiri yang berarti menjalankan amanat profesi. Oleh
pada akhirnya nanti disahkan sebagai aturan karena itu, sang jurnalis harus taat pada
universal. Hal ini jelas tercermin dalam kode etik profesinya.
91
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92
DAFTAR RUJUKAN
Abrar, A. N. (1995). Etika dalam jurnalisme
Indonesia. Yogyakarta, Indonesia. Diktat
Kuliah. Tidak dipublikasikan.
Aliansi Jurnalis Independen. (2005). Potret jurnalis
Indonesia: Survei AJI tahun 2005 tentang
media dan jurnalis Indonesia di 17 kota.
Jakarta.
Aliansi Jurnalis Independen. (2011). Upah layak
jurnalis: Survei upah layak AJI di 16 kota di
Indonesia. Jakarta.
Hanitzsch, Thomas. (2001). Rethinking journalism
education in Indonesia: Nine theses. Mediator
Journal, 2(1), 93-100.
Hanitzsch, Thomas. (2005). Journalist in Indonesia:
Educated but limited watchdogs. Journalism
Studies, 6(4), 493-508.
Kovach, B., & Resenstiel, T. (2004). Sembilan
elemen jurnalisme: Apa yang seharusnya
diketahui Wartawan dan yang diharapkan
publik (2nd Ed). Jakarta, Indonesia: Institut
Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar
Amerika Serikat.
Masduki. (2004). Kebebasan pers dan kode etik
jurnalistik. Yogyakarta, Indonesia: UII Press.
92