Anda di halaman 1dari 12

Penerapan Kode Etik di Kalangan Jurnalis

Olivia Lewi Pramesti


Universitas Gadjah Mada
Jl. Socio Yustisia No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
Email: pramesti86@gmail.com

Abstrack: Bribery is a sad phenomenon in Indonesian press. The practice refers to activities of
accepting money, goods, vouchers, and other gifts, from a person or an organisation who act
as source for journalist. Bribery is often considered as a common practice and institutionalised
as a culture among media practitioners. The main reasons behind bribery are to maintain
relationships or to add journalists income, as they are mostly not well paid. However, bribery
is against the journalism ethics. It makes journalists professionalism somewhat questionable and
threats public life since journalists responsibility in reporting the truth would be affected by such
practices.

Keywords: bribery, journalists, journalism ethics, professionalism

Abstrak: Praktik suap menjadi salah satu fenomena menyedihkan dalam pers Indonesia. Praktik
tersebut merujuk pada aktivitas menerima pemberian berupa uang, barang, voucher dan bentuk
lainnya dari pihak narasumber. Praktik suap acapkali dilegalkan dan bahkan menjadi budaya
di kalangan pelaku media. Alasan pembenarannya antara lain menjaga hubungan dengan
narasumber atau untuk mengatasi masalah kesejahteraan jurnalis yang tidak mendapatkan gaji
yang layak. Namun, praktik suap tentu saja bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Praktek ini
menyebabkan profesionalitas wartawan menjadi dipertanyakan. Praktik suap dapat mengancam
kehidupan publik sebab kewajiban jurnalis dalam memberitakan kebenaran akan terpengaruh oleh
praktik tersebut.

Kata Kunci: jurnalis, kode etik jurnalistik, praktik suap, profesionalisme

Praktik suap jurnalis sudah menjadi aktif berburu amplop biasanya berada di
fenomena dan budaya tersendiri dalam pers sebuah institusi tertentu dan menunggu
Indonesia. Praktik ini merujuk pada segala narasumber mereka memberi uang.
sesuatu dari narasumber (makanan, tiket Sedangkan wartawan pasif yang menerima
gratis, uang dan lain-lain) yang diberikan amplop biasanya menerima amplop di
pada jurnalis. Jurnalis yang melakukan suatu acara namun mereka tidak mencari-
praktik ini sering disebut sebagai wartawan cari seperti wartawan aktif. Persamaannya,
amplop. Menurut Masduki (2004, h. 84), kedua jenis wartawan amplop itu belum
ada dua jenis wartawan amplop berdasarkan tentu memuat berita yang mereka liput
modus operandinya, yaitu wartawan yang tersebut di dalam media mereka.
aktif berburu amplop dan wartawan pasif Kategori wartawan aktif dan pasif
yang menerima amplop. Wartawan yang itu melekat pada wartawan yang memiliki

81
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92

perusahaan media yang jelas dan wartawan upah jurnalis di Indonesia masih sangat
yang tidak memiliki perusahaan media tidak layak adalah benar adanya. Hal ini
yang jelas. Wartawan yang tidak memiliki dibuktikkan dalam lima survei dalam
perusahaan media yang jelas kerap disebut sepuluh tahun terakhir ini yakni survei
dengan istilah wartawan bodrek atau WTS AJI Surabaya tahun 2000, survei dari
(Wartawan Tanpa Surat kabar). Mereka Thomas Hanitzsch dari Ilmenau University
disebut wartawan bodrek karena wartawan of Technology German tahun 2001, AJI
ini hanya sekadar melakukan proses Indonesia tahun 2005, Dewan Pers tahun
wawancara ke sana-ke mari, tetapi tidak 2008 dan riset terakhir AJI Indonesia
pernah ada beritanya. Dengan kata lain, tahun 2010/2011. Survei-survei tersebut
wartawan tersebut tidak memiliki surat menunjukkan kemiripan hasil di mana
kabar dan hanya bermodalkan kartu pers upah jurnalis hingga tahun 2011 ini masih
palsu. ada yang berada di bawah Rp 300.000,-
Riset Aliansi Jurnalis Independen per bulannya. Lebih mengejutkan lagi,
(AJI) Indonesia mengenai praktik suap hanya tiga media yang saat ini menggaji
tahun 2005 menunjukkan bahwa budaya ini jurnalisnya dengan layak yakni Jakarta
terjadi karena sering ada pemahaman kabur Globe, Bisnis Indonesia, serta Kompas.
mengenai amplop itu sendiri. Jurnalis yang Survei AJI, Thomas Hanitzsch dan
menjadi responden riset pun mengaku Dewan Pers juga menunjukkan bahwa upah
bahwa mereka merasa tidak enak bila rendah tersebut memaksa banyak jurnalis
amplop tidak diterima karena akan menjadi mencari pekerjaan sampingan, seperti
bahan pergunjingan. Akhirnya mereka mau makelar Surat Ijin Mengemudi (SIM),
menerima bila pemberian amplop tersebut pengusaha wartel, pegawai negeri dan
tidak memeras dan tidak memengaruhi menjadi wartawan spesial (konsultan tidak
independensi. resmi). Survei tersebut juga menyatakan
Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa upah rendah menjadi alasan
bahwa kentalnya budaya amplop disebab- pembenar budaya amplop.
kan oleh kebiasaan pejabat memberi Riset awalan yang dilakukan peneliti
amplop. Menurut penelitian, kalau amplop berdasarkan pernyataan ketua Dewan
tidak diterima, dana itu akan menjadi ajang Pers, Baqir Manan, menunjukkan bahwa
korupsi para pejabat. Temuan lain yang praktik suap di kalangan jurnalis memang
menarik adalah aturan media soal amplop masih terjadi di Indonesia. Baqir Manan
yang kurang jelas. Artinya tidak ada aturan menyebut budaya ini sebagai praktik
detail tentang definisi amplop, jumlah yang korupsi yang dilakukan oleh jurnalis. Ia
bisa diterima atau tidak, serta sanksi bagi mengatakan bahwa praktik suap adalah
jurnalis yang menerima amplop. salah satu pelanggaran kode etik profesi
Kaitannya dengan upah layak jurnalis, jurnalis. Bagir Manan menegaskan bahwa
pendapat yang menyebutkan bahwa kode etik sendiri berbeda dengan hukum

82
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...

karena kode etik berhubungan dengan hati tidak menerima imbalan apapun berkaitan
nurani dan berisi kewajiban-kewajiban dengan profesinya.
yang harus dilakukan oleh seorang jurnalis Masalah kode etik ini sangat
profesionalis. penting bagi sebuah profesi khususnya
Di Indonesia, pelanggaran kode etik jurnalis karena mereka tidak hanya
dipengaruhi berbagai faktor. Pertama, sifat dituntut untuk mengembangkan idealisme
kode etik yang berkaitan dengan moral tiap profesinya tetapi juga efek media yang
individu jurnalis. Kedua, latar belakang besar bagi publik. Kode etik sendiri penting
jurnalis yang berbeda-beda. Banyak jurnalis dilakukan karena merupakan bagian dari
yang tidak disiapkan secara profesional profesionalitas jurnalis. Di sisi lain, sikap
(jurnalis bisa berasal dari setiap kalangan). profesional wartawan terdiri dari dua unsur,
Ketiga, tingkah laku sosial masyarakat yang yakni hati nurani dan keterampilan. Hati
tidak layak. Keempat, makna kebebasan nurani merujuk pada penjagaan terhadap
pers yang tidak bisa dipahami pelaku kode etik jurnalistik dan pemeliharaan
media sehingga tidak ada mekanisme kewajiban moral. Sedangkan keterampilan
kontrol. Kelima, belum adanya tradisi berkaitan dengan kemampuan teknis
profesional untuk menghormati kode etik. jurnalis sesuai dengan bidang profesinya.
Keenam, profesi jurnalis masih dianggap Profesional berarti bersikap inde-
sebagai mata pencaharian pada umumnya. penden. Independen artinya menjalan-
Dan ketujuh, perusahaan pers yang tidak kan tugas jurnalistik tanpa terpengaruh
memihak profesi jurnalis, terutama terlihat oleh intervensi kekuatan represif negara
pada pemberian upah yang kurang layak. dan pemodal yang bisa munculnya baik
Sementara itu, praktik suap merupakan disengaja maupun tidak. Secara tidak
salah satu masalah penerapan kode etik langsung, praktik suap sangat berpengaruh
jurnalistik. Hal ini secara tegas diungkapkan pada profesionalitas wartawan. Secara
dalam, (1) Kode Etik Jurnalistik Pasal moral, pemberian dalam bentuk apapun
6 yang menyebutkan bahwa wartawan dari narasumber tetap akan memengaruhi
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi kinerja jurnalis. Mengenai hal ini, dalam
dan tidak menerima suap, (2) Kode Etik The Elements of Journalism, Bill Kovach
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pasal 13 dan Tom Rosenstiel menyatakan bahwa
yang menyebutkan bahwa jurnalis dilarang salah satu standar yang harus dipenuhi
menerima sogokan, (3) Kode Etik Aliansi agar wartawan bisa tetap profesional
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah dalam pelaksanaan kewajiban
Pasal 4 yakni wartawan Indonesia menolak mencari kebenaran, jurnalis harus menjaga
imbalan yang dapat mempengaruhi indepedensi dari objek liputannya (Kovach
objektivitas pemberitaan dan (4) Kode Etik & Rosenstiel, 2003, h. 6).
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Profesionalisme dan etika merupakan
yang berbunyi Jurnalis televisi Indonesia dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

83
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92

Peneliti menilai etika sebagai hal yang stasiun televisi. Selain itu, Yogyakarta
perlu mendapat perhatian khusus karena menjadi salah satu provinsi yang belum
etika merupakan salah satu bentuk kontrol pernah disurvei oleh organisasi profesi
internal dalam media massa. Kontrol internal seperti AJI atau PWI terkait penerapan
ini sangat memengaruhi wartawan dalam budaya amplop secara langsung. Survei
memerlakukan fakta secara profesional. terakhir yang dilakukan oleh AJI Indonesia
Leonard dan Taylor dalam Abrar (2005, h. tahun 2010/2011 hanya terkait soal upah
9) menyatakan bahwa etika jurnalistik yang layak jurnalis.
perlu diperhatikan oleh wartawan adalah (1) Kendati penelitian terkait soal suap
objektif, (2) jujur, (3) tidak menerima suap, sudah pernah dilakukan, namun peneliti
(4) tidak menyiarkan berita sensasional, ingin melakukan pengembangan lebih
(5) tidak melanggar privasi dan (6) tidak lanjut dari hasil penelitian yang sudah ada.
melakukan propaganda. Hal-hal ini akan Fokus penelitian ini akan mencari sebab
berpengaruh pada kebenaran informasi dan akibat yang ditimbulkan karena praktik
yang akan diterima publik. Asumsinya, ini. Untuk mencari sebab dan akibatnya,
bila jurnalis memberikan fakta yang tidak peneliti melakukan uji proposisi yang
benar, maka publik akan terbohongi. difokuskan pada individu jurnalis. Uji
Meski etika telah dirumuskan proposisi ini berdasarkan kecenderungan
dalam kode etik (code of ethics) dan di- suap yang terjadi dengan menurunkannya
operasionalisasikan dalam kode perilaku dari kerangka teori yang ada. Melalui cara
(code of conduct), namun hal ini tetap ini akan diketahui bahwa faktor penyebab
bersumber pada masing-masing individu. praktik ini tidak semata-mata masalah
Artinya kesadaran masing-masing individu kesejahteraan yang kurang memadai,
sangat menentukan pelaksanaan etika itu melainkan ada beberapa sebab lain, seperti
sendiri. penegakan etika oleh perusahaan dan
Untuk melihat sejauh mana pe- organisasi profesi, sistem pers dan budaya
laksanaan kode etik jurnalistik ini, tulisan masyarakat.
ini fokus pada praktik suap di kalangan
jurnalis Yogyakarta. Provinsi Daerah METODE

Istimewa Yogyakarta dipilih menjadi Penelitian ini menggunakan metode


lokasi penelitian karena provinsi ini studi kasus yakni sebuah metode pe-
memiliki dinamika media yang pesat. Hal nelitian untuk menyelidiki fenomena
ini ditunjukkan dengan merebaknya media dalam konteks kehidupan nyata dengan
cetak, elektronik, maupun online. Menurut pencarian kedalaman masalah untuk
data Serikat Penerbitan Pers (SPS) dan menjawab how dan why. Untuk
Dewan Pers 2010, terdapat lima surat kabar, subyeknya, penelitian ini menjadikam
tiga surat kabar mingguan, delapan surat jurnalis di Yogyakarta (baik cetak, online
kabar bulanan, 20 stasiun radio dan empat dan elektronik) yang masuk atau terdaftar

84
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...

dalam organisasi profesi khususnya AJI dan adalah jurnalis yang sudah tercacat dalam
PWI sebagai subyek penelitian. Anggota daftar peliput berita institusi atau event
AJI sendiri hingga Januari 2013 ini tercatat mereka.
80 orang, sedangkan anggota PWI tercatat Terkait praktik suap, institusi memiliki
518 hingga Januari 2013. cara tersendiri. Ada yang langsung
Sample yang digunakan dalam memberi uang dengan amplop, ada pula
penelitian ini adalah 16 orang dengan yang diberikan melalui bingkisan seperti
menggunakan teknik pengambilan tunjangan hari raya atau souvenir, kegiatan
sampel snowbowling. Teknik ini dipakai press tour, undangan makan bersama, tiket
mengingat perlunya pendekatan personal gratis dan pemberian pulsa. Di sisi lain,
dalam penelitian ini untuk memperoleh wartawan yang menerima pun memiliki
data yang dalam dan kaya. Dengan jumlah cara-cara unik. Ada yang menunggu
sampel tersebut, peneliti memang tidak atau nongkrong berjam-jam di kantor
bisa melakukan klaim secara keseluruhan. narasumber, mengikuti press tour dan
Namun, sampel tersebut bisa mengungkap meliput meski beritanya bukan merupakan
atau memberikan gambaran soal praktik tanggung jawabnya.
suap di kalangan jurnalis serta faktor-faktor Hasil penelitian menunjukkan praktik
penyebabnya. suap masih terjadi di kalangan jurnalis di
Untuk kelengkapan data, peneliti juga provinsi DIY. Praktik suap di DIY kurang
melakukan wawancara humas, pengurus lebih terjadi sejak 1980-an. Praktik suap
AJI dan PWI, serta pengamat media. Teknik ini dikenal dengan berbagai istilah seperti
pengumpulan data dilakukan dengan jaran, saku kiri, buka laci, proyek tengkyu
wawancara mendalam, observasi partisipan, dan hanep. Praktik suap ini bisa bersifat
dan dokumentasi. Observasi partisipan aktif dan pasif. Aktif ketika wartawan
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sendiri yang mencari dan pasif ketika
ikut berpartisipasi mengambil peran dalam mereka hanya menerima. Praktik ini
situasi tertentu dan berpartisipasi dalam dilakukan oleh seluruh wartawan, baik
peristiwa yang akan diteliti. yang memiliki media jelas maupun yang
tak jelas.
HASIL Berdasarkan hasil penelitian terhadap
Berdasarkan observasi mula yang 16 jurnalis di DIY, praktik suap dapat dibagi
dilakukan peneliti, praktik suap masih menjadi lima jenis. Pertama, pemberian dari
terjadi di Yogyakarta. Praktik dilakukan narasumber tanpa bayaran tertentu, seperti
oleh institusi tertentu dengan terlebih tiket gratis (menonton, pertandingan, dan
dahulu menganggarkannya dalam anggaran lain-lain), undangan makan dan minum
khusus. Tak hanya institusi, berbagai event gratis, buku, kalender, pensil, kartu ucapan
seringkali memberikan uang saku pada selamat, parcel dan amplop saat jumpa pers.
jurnalisnya. Sedangkan jurnalis yang diberi Suap ini diterima secara insidental oleh

85
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92

jurnalis ketika meliput suatu acara. Suap ini dan pendidikan, narasumber justru me-
bisa diterima oleh jurnalis dalam berbagai nyediakan dana reguler bagi jurnalis.
bentuk, misalnya amplop ketika jumpa Di wilayah pemerintahan, misalnya,
pers (berkisar antara Rp 25.000,- hingga terdapat uang triwulanan, yaitu uang yang
Rp100.000,-), peralatan tulis (notebook, dibagikan pada jurnalis setiap tiga bulan
bolpoin), ashdisk yang harganya berkisar sekali. Jumlahnya sekitar Rp 300.000,-.
Rp 80.000,- bahkan lebih, kalender, tiket Uang triwulanan ini biasanya juga sudah
gratis (tiket nonton seharga Rp 35.000,-, dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan
tiket menonton pertunjukan Rp 50.000,- dan Belanja Daerah (APBD).
hingga Rp 100.000,-), payung, topi, kaos, Dua wilayah liputan tersebut dikenal
dan hadiah-hadiah kecil atau souvenir dari sebagai lahan basah. Selain wilayah
perusahaan. pemerintahan dan pendidikan, ada
Suap jenis ini sering dilakukan oleh satu wilayah lagi yang dikenal sebagai
institusi pemerintahan, swasta, pendidikan lahan basah, yakni wilayah ekonomi.
dan umum. Suap ini diterima langsung Berdasarkan hasil wawancara dengan dua
oleh jurnalis saat acara berlangsung. jurnalis ekonomi di Yogyakarta (berasal
Sebelum diberikan, biasanya, jurnalis dari media lokal), wilayah ini banyak
harus menuliskan nama, asal media dan diincar oleh jurnalis. Dari sisi berita
membubuhkan tanda tangan. Pemberian yang dihasilkan, cenderung lebih mudah
dalam bentuk uang, khususnya di institusi dibanding berita lain. Berita ekonomi lebih
pemerintahan disertai nominal jelas yang banyak mengungkap soal produk-produk
tercantum dalam daftar hadir jurnalis. Bila dari seorang pengiklan. Berita ekonomi
ingin mendapatkan uang, jurnalis harus juga cenderung hanya mengolah press
menandatangani daftar hadir itu. Jurnalis release dari pengiklan.
yang memang patuh pada kode etik tidak Umumnya, pemberian jenis pertama ini
bersedia menerima pemberian semacam dimaknai oleh jurnalis sebagai pemberian
itu. Namun jumlah jurnalis yang bersedia ringan yang tidak bisa memengaruhi
menerima lebih banyak dibanding jurnalis pemberitaan. Mereka menganggap
yang tidak bersedia. pemberian ini sebagai sebuah kewajaran.
Nilai nominal uang yang diberikan Kedua, pemberian yang berhubungan
variatif. Rata-rata, berdasarkan hasil pe- dengan pekerjaan jurnalis yang diselingi
nelitian, nilai nominal tersebut adalah Rp dengan berpesiar, seperti pemberian
50.000,-. Namun ada juga nilai nominal yang tiket jalan-jalan gratis, akomodasi penuh
lebih dari itu, tergantung penyelenggara (penginapan, transportasi, makan dan
acaranya. Penyelenggara swasta biasanya lainnya) dan uang saku pada jurnalis baik di
memberi nilai nominal lebih, bahkan bisa luar kota maupun luar negeri. Hotel bintang
mencapai Rp 1.000.000,-. tiga biasanya dipilih untuk penginapannya.
Khusus untuk wilayah pemerintahan Uang saku berkisar Rp 500.000,- hingga

86
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...

jutaan. Biasanya sembari jalan-jalan gratis Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas


atau berwisata, jurnalis sengaja diberi jurnalis menerima tunjangan yang masuk
objek wisata yang bisa diliput. Suap daam dalam kategori ini. Ruangan kerja/press
bentuk ini lebih banyak difasilitasi oleh room disediakan oleh institusi khususnya
institusi pemerintahan (kota dan kabupaten) pendidikan dan pemerintahan. Keberadaan
dan pendidikan. press room ini dilengkapi dengan komputer,
Tujuan plesiran ini, kata seorang jaringan internet gratis, telepon, minuman
penyelenggara/humas sebuah insitusi dan makanan ringan, serta Air Conditioner
pemerintahan, dalam wawancara Januari (AC). Press room ini bebas digunakan oleh
2013 lalu, adalah untuk menjalin keakraban wartawan saat melakukan pekerjaannya.
pihak institusi dengan jurnalis. Pihak Tunjangan untuk jurnalis ini juga masuk
penyelenggara juga ingin mengucapkan dalam APBD. Bahkan, jurnalis adalah
terima kasih pada rekan jurnalis yang salah satu pihak utama yang diberi alokasi
telah menjunjung citra mereka. Biasanya dana tersebut.
dalam waktu satu tahun, acara ini diadakan Keempat, pekerjaan kedua atau
sekali. Humas tersebut mengklaim bahwa sampingan juga merupakan suap yang
institusinya tidak memiliki maksud tertentu marak di kalangan jurnalis. Pekerjaan
ketika mengajak jurnalis ber-plesiran. kedua ini bisa menganggu independensi
Ia juga mengatakan bahwa mereka tidak jurnalis. Dari hasil penelitian, pekerjaan
memaksa jurnalis untuk menulis atau kedua yang mayoritas dikerjakan wartawan
memberitakan acara plesiran yang mereka adalah mencari iklan. Pekerjaan ini ada
adakan itu. yang diminta oleh perusahaan, namun
Hasil penelitian juga mengindikasikan ada pula yang menjadi kemauan jurnalis
bahwa mayoritas media memperbolehkan sendiri.
para jurnalisnya menerima semua fasilitas Kelima, suap/sogokan. Suap atau
yang diberikan, termasuk uang saku. sogokan ini lebih berkaitan dengan ikatan
Namun ada beberapa media yang sangat janji yang dilakukan oleh narasumber
menghormati etika. Media tersebut memberi dengan pihak perusahaan/jurnalis untuk
uang saku sendiri pada jurnalisnya yang memberitakan atau tidak memberitakan
berangkat plesiran dan mengembalikan kasus tertentu. Kasus ini biasanya
uang saku dari institusi penyelenggara menyangkut nama baik mereka. Sogokan
plesiran. biasanya berupa uang, fasilitas mewah, atau
Ketiga, suap yang berkaitan dengan dalam bentuk iklan yang biasanya didahului
tunjangan untuk jurnalis, seperti ruangan oleh kerjasama yang dilakukan perusahaan
kerja/press room di gedung pemerintahan media. Iklan ini bisa berwujud gambar
dan anggaran APBD untuk jurnalis saja atau bentuk lain dalam balutan berita.
(uang dalam jumpa pers, press tour, Iklan semacam ini biasanya mendapatkan
Tunjangan Hari Raya/THR dan lainnya). lebih banyak prioritas dan dapat menggeser

87
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92

berita-berita lain. Namun ada pula yang tidak melakukan


Praktik suap ini dilakukan oleh seluruh karena ketatnya aturan soal suap di media
wartawan, baik yang berafiliasi dengan tempatnya bekerja.
organisasi profesi (PWI dan AJI) maupun Ketiga, status kerja tetap dan freelance.
tidak. Idealnya, para jurnalis yang aktif Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada
dalam organisasi profesi akan memiliki jaminan bahwa pekerja tetap tidak akan
pemahaman yang kokoh mengenai kode menerima amplop. Masih ada yang me-
etik jurnalistik. Masih ada beberapa jurnalis nerima sekalipun ia juga mengikuti afiliasi
yang tidak mau melakukan praktik suap organisasi profesi. Sementara status freelance
ini karena peraturan media yang ketat dan sangat potensial dalam menerima amplop,
kepatuhannya pada organisasi profesi. sebab gaji mereka tidak pasti. Di Yogyakarta
Praktik suap ini juga bisa dijelaskan sendiri, banyak jurnalis berstatus freelance
berdasarkan proporsi masing-masing. akhirnya mencari tambahan pendapatan
Pertama, wartawan muda dan wartawan dengan iklan atau pekerjaan lain.
tua. Idealnya, semakin lama seseorang Keempat, wilayah kerja pemerintahan
berkecimpung menjadi jurnalis, maka dan non-pemerintahan. Wilayah memang
seharusnya ia akan semakin paham menentukan besarnya praktik suap.
kode etik dan akan menaatinya. Namun Wilayah pemerintah dan bisnis biasanya
kenyataan di lapangan berkata lain. Praktik menjadi lahan yang menguntungkan.
suap tetap dilakukan oleh wartawan Di pemerintahan, anggaran APBD untuk
muda maupun tua. Mereka pun ada yang jurnalis cukup tinggi, bahkan ada uang
berafiliasi maupun tidak berafiliasi dengan triwulanan. Apalagi di wilayah bisnis,
organisasi profesi. Wartawan muda masih insititusi swasta tak segan memberikan
memiliki rasa takut untuk menerima dan uang dan fasilitas mewah pada jurnalis.
cenderung sungkan. Sementara wartawan Berdasarkan penelitian, praktik suap
tua justru lebih berani dan bahkan dengan memang terjadi berdasarkan pembagian
aktif meminta kepada narasumber. wilayah ini. Praktiknya biasa dikoordinir
Kedua, wartawan dengan gaji rendah oleh salah satu jurnalis senior. Seluruh
dan tinggi. Idealnya, semakin tinggi gaji jurnalis bisa turut menerima, namun ada
seorang jurnalis, ia tidak akan melakukan juga yang tak menerima karena peraturan
praktik suap. Apalagi bila ia juga terikat media ketat dan hormat pada organisasi
dengan organisasi profesi. Makin rendah profesi.
gaji, makin sering ia melakukan praktik
suap. Berdasarkan hasil penelitian, tinggi PEMBAHASAN

rendahnya gaji tak berpengaruh. Ada yang Berdasarkan uraian di atas, alasan
sudah mendapatkan gaji tinggi, namun praktik suap yang ditemukan dalam
karena perusahaan medianya mengizinkan, penelitian ini meliputi beberapa hal.
ia tetap melakukan praktik suap tersebut. Pertama, rendahnya komitmen individual

88
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...

jurnalis. Variatifnya latar belakang individu Ketiga, kontrol organisasi profesi


jurnalis berpengaruh pada pemahaman yang kurang optimal dalam pendisiplinan
mereka terhadap kode etik jurnalistik, anggotanya. Berdasarkan hasil penelitian,
profesi jurnalis sendiri, dan persepsi yang PWI cenderung membiarkan praktik ini
salah dari individu jurnalis soal praktik terjadi, dengan catatan tidak disertai dengan
suap. tindak pemerasan terhadap narasumber.
Kedua, keberadaan kode perilaku Sedangkan organisasi profesi AJI yang
perusahaan media. Masih banyak media melarang keras praktik ini, belum banyak
yang belum menerjemahkan kode etik memberikan solusi untuk membantu
jurnalistik dalam kode etik perilaku. individu jurnalisnya. Artinya sosialisasi
Padahal, kode etik perilaku ini akan sudah banyak dilakukan, hanya saja usaha
memudahkan jurnalis untuk bekerja sesuai konkret untuk menambah penghasilan
koridor kode etik jurnalistik. Banyak individu jurnalis belum dijalankan secara
perusahaan media justru terkesan acuh optimal.
soal pelaksanaan praktik suap ini. Tak Keempat, tekanan komersial industri
hanya acuh, sebenarnya mereka sudah pers. Hal ini menyebabkan jurnalis memiliki
mengetahui, tapi membiarkan begitu saja. beban kerja berlebih. Ironisnya, kerja
Bahkan tak hanya di tingkatan jurnalis yang berlebih ini tidak diimbangi dengan gaji yang
bertugas di lapangan, pada tingkat redaktur memadai. Akibatnya, praktik suap menjadi
ke atas, praktik ini cenderung dibiarkan. salah satu cara untuk mendapatkan tambahan
Banyak perusahaan media tidak penghasilan. Selain itu, industri pers saat
memberikan aturan tertulis soal praktik ini mendorong jurnalis untuk melakukan
ini. Oleh karena itu, sanksinya pun tak dualisme fungsi dan peran wartawan, yakni
tegas. Biasanya hanya berupa teguran wartawan menjalankan profesi sebagai
lisan. Pengawasan oleh perusahaan juga jurnalis sekaligus pencari iklan. Kondisi
masih minim. Demikian pula penghargaan internal perusahaan media yang kurang
berupa gaji dan tunjangan jurnalis. Banyak baik dapat mendorong dualisme ini juga.
perusahaan yang tidak seimbang dalam Sayangnya, banyak jurnalis memanfaatkan
memberikan penghargaan pada jurnalis kesempatan ini untuk memperoleh komisi
berdasarkan beban kerja yang mereka yang tinggi dari perusahaannya. Tentu saja
lakukan. Selain itu, banyak perusahaan jurnalis cenderung mudah untuk mencari
media yang tidak memberikan sanksi iklan karena ia memiliki kedekatan dengan
tegas. Meskipun ada beberapa yang narasumber.
melakukan pemecatan terhadap jurnalisnya Kelima, tidak adanya sanksi sosial dalam
yang melanggar kode etik, kelonggaran- masyarakat. Kultur masyarakat Jawa yang
kelonggaran seperti inilah yang menjadi ewuh pakewuh (sungkan) dan pandangan
celah bagi para jurnalis untuk terus salah kaprah dari narasumber membuat
melanggengkan praktik ini. praktik suap ini semakin merajalela.

89
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92

Banyak narasumber yang berpandangan melakukan wawancara, menulis, dan


bahwa ada perasaan tidak enak ketika tidak sebagainya, namun sayangnya, kemampuan
memberi sesuatu pada jurnalis. Pandangan teknis ini belum diimbangi dengan etika
ini dikuatkan oleh persepsi narasumber yang benar.
soal profesi jurnalis yang memiliki derajat Suap bisa menjadi bukti bahwa etika
tinggi. Jurnalis adalah pihak yang harus jurnalis masih sangat minim. Artinya,
diperlakukan baik karena pemberitaann jurnalis belum bekerja secara profesional.
yang dihasilkannya dapat berpengaruh pada Sangat jelas bahwa suap itu dilarang dalam
citra institusi mereka. Semakin baik dan kerja jurnalistik karena bisa mengganggu
memadai perlakuan yang diberikan oleh independensi jurnalis. Sebenarnya alasan
narasumber, maka akan semakin tinggi pula seperti sungkan pada narasumber dan
keuntungan yang diperoleh institusinya. potensi putusnya hubungan dengan
Pandangan win-win solution inilah yang narasumber adalah alasan yang kurang jelas
akhirnya menjerumuskan narasumber untuk dalam kerja jurnalistik. Apabila jurnalis
terus menganggarkan dana khusus bagi teguh memegang etika, maka ia hanya
jurnalis dan menyediakan fasilitas yang takut pada kebohongan publik.
cenderung berlebihan. Suap bisa dihindari ketika masing-
Dilihat dari sisi efek praktik suap masing individu taat pada profesi. Namun
itu sendiri, terdapat beberapa efek yang ternyata tak sebatas itu saja, faktor lain
ditimbulkan praktik suap pada kerja seperti sanksi tegas pada media, gaji yang
wartawan. Efek-efek tersebut antara lain, layak, keikutsertaan pada organisasi profesi,
menciptakan rasa sungkan pada narasumber, serta lingkungan juga ikut mendukung.
memunculkan ketakutan untuk menulis hasil Aspek-aspek inilah yang masih sulit untuk
peliputan sehingga biasanya mencari cara berjalan seimbang. Perusahaan media
agar bisa dimuat, dikejar oleh narasumber misalnya, kerap terbentur pada persoalan
untuk diminta pertanggungjawaban, modal hingga masalah kepentingan bisnis
berusaha menyisipkan berita dalam kolom yang berorientasi pasar, sehingga cenderung
meski nilai berita tidak memenuhi, serta terjadi komodifikasi pekerja/buruh. Tak
memaksakan nilai berita dan gambar agar hanya itu, perusahaan media juga cenderung
tampak bagus di media televisi. membiarkan jurnalisnya untuk melakukan
Berdasarkan penelitian terbukti jelas praktik suap asal tidak membayakan.
bahwa profesionalitas jurnalis di DIY Keberadaan organisasi profesi belum
masih belum tercapai terutama dalam hal sepenuhnya mendukung pelaksanaan kode
penerapan etika. Profesionalitas itu sendiri etik jurnalistik, khususnya masalah suap ini.
menyangkut urusan teknik dan etika PWI misalnya, meski anggotanya dibekali
jurnalis. Dalam penelitian ini, mungkin kode etik jurnalistik, namun sanksi masih
saja sang jurnalis sangat mahir dalam sangat lentur. Berdasarkan hasil penelitian,
kemampuannya melakukan peliputan, anggota PWI boleh menerima amplop

90
Olivia Lewi Pramesti. Penerapan Kode Etik...

asal tidak memaksa narasumber dan tetap praktik suap di media. Jurnalis melakukan
menulis berita sesuai standar jurnalistik. AJI suap karena berbagai faktor, yakni
pun serupa, meski ia sangat kuat menerapkan perusahaan media tidak bisa memberikan
aturan pelarangan praktik suap, namun penghasilan layak dan memadai,
organisasi ini belum bisa memberikan perusahaan tidak bisa memberikan sanksi
alternatif solusi bagi anggotanya untuk tegas, organisasi profesi yang kurang
mencari penghasilan tambahan. memberikan pengawasan terhadap
Lingkungan pun juga cenderung praktiknya, serta keadaan individu jurnalis
masih takut pada jurnalis. Banyak dari yang memiliki beban masing-masing.
mereka tidak memahami kode etik Bukan hal mudah untuk menghilangkan
jurnalistik. Berdasarkan penelitian pada praktik suap di kalangan jurnalis. Hal
wilayah kehumasan, para praktisi humas tersebut membutuhkan waktu yang lama
masih menyimpan ketakutan ketika tidak dan keterlibatan berbagai macam pihak dan
memberi sesuatu pada jurnalis. Bagi aspek, seperti individu, perusahaan media,
mereka, jurnalis adalah partner yang harus organisasi profesi, serta lingkungan sekitar.
dihormati. Sebab tanpa keberadaan media Walau begitu, sebenarnya, pencegahan
dan jurnalis, citra mereka tidak dapat terhadap praktik suap ini sudah mulai
terangkat. Sayangnya, menghormati di sini gencar, misalnya dengan diberlakukannya
diartikan sebagai memberikan servis dan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) bagi
hadiah secara berlebihan. anggota organisasi profesi dan pekerja
media. Sayangnya, belum semua pekerja
SIMPULAN media mengikuti uji kompetensi ini.
Bila ditelaah dari pendekatan etika, Menerima atau tidak menerima
praktik suap ini masuk dalam ranah etika sesuatu dari narasumber memang menjadi
deontologis. Menurut etika deontologis, pilihan masing-masing individu. Namun,
orang harus mengikuti aturan yang rangsangan lain, seperti pengawasan dan
diciptakan dalam masyarakat. Hal ini tentu sanksi yang tegas dari media dan organisasi
saja sangat berkaitan erat dengan kerja profesi atas tindakan ini, sangat dibutuhkan.
media yang memutuskan bahwa kinerjanya Beberapa sanksi yang bisa dilakukan,
diukur melalui UU Pers dan kode etik. misalnya teguran lisan, tertulis, pencabutan
Hanya saja implementasi etika deontologis sementara izin profesi, serta sanksi tegas
ini masih bertentangan dan menimbulkan tidak diperkenankan berprofesi sebagai
dilema tersendiri. Akibatnya, terjadi jurnalis lagi. Hal tersebut memang harus
ketidakpuasaan masing-masing individu. didukung sepenuhnya oleh jurnalis yang
Ketikdakpuasan ini mendorong mereka menyadari bahwa berlaku sebagai jurnalis
untuk menciptakan aturan sendiri yang berarti menjalankan amanat profesi. Oleh
pada akhirnya nanti disahkan sebagai aturan karena itu, sang jurnalis harus taat pada
universal. Hal ini jelas tercermin dalam kode etik profesinya.

91
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 1, Juni 2014: 81-92

DAFTAR RUJUKAN
Abrar, A. N. (1995). Etika dalam jurnalisme
Indonesia. Yogyakarta, Indonesia. Diktat
Kuliah. Tidak dipublikasikan.
Aliansi Jurnalis Independen. (2005). Potret jurnalis
Indonesia: Survei AJI tahun 2005 tentang
media dan jurnalis Indonesia di 17 kota.
Jakarta.
Aliansi Jurnalis Independen. (2011). Upah layak
jurnalis: Survei upah layak AJI di 16 kota di
Indonesia. Jakarta.
Hanitzsch, Thomas. (2001). Rethinking journalism
education in Indonesia: Nine theses. Mediator
Journal, 2(1), 93-100.
Hanitzsch, Thomas. (2005). Journalist in Indonesia:
Educated but limited watchdogs. Journalism
Studies, 6(4), 493-508.
Kovach, B., & Resenstiel, T. (2004). Sembilan
elemen jurnalisme: Apa yang seharusnya
diketahui Wartawan dan yang diharapkan
publik (2nd Ed). Jakarta, Indonesia: Institut
Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar
Amerika Serikat.
Masduki. (2004). Kebebasan pers dan kode etik
jurnalistik. Yogyakarta, Indonesia: UII Press.

92

Anda mungkin juga menyukai