Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
2. Kelemahan (weaknesses)
Selain memiliki kekuatan, gaya kepemimpinan dan model komunikasi yang digunakan
Soeharto juga mempunyai kekurangan. Gaya kepemimpinan Soeharto yang terkesan otoriter,
dominan dan sentralistik memang awalnya tepat karena pada masa awal kepemimpinannya
tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di
Indonesia masih sangat rendah. Namun seiring dengan berkembangnya pemikiran masyarakat
dan masyarakat semakin tahu apa itu demokrasi, maka gaya kepemimpinan yang otoriter
tidak lagi menjadi kekuatan malah justru kelemahan yang berujung pada lengsernya
Soeharto.
Dilihat dari model komunikasinya, Soeharto menggunakan bahasa konteks tinggi.
bahasa seperti ini penuh dengan isyarat yang terkadang sulit untuk dipahami tanpa
memahami konteks yang ada disekitarnya khususnya konteks budaya. Presiden Soeharto
dalam berkomunikasi dengan bawahannya sering kali tidak secara gamblang menyampaikan
apa yang dimaksudkan. Indikasi dari penggunaan bahasa konteks tinggi Soeharto adalah
keengganannya untuk menemui orang yang tidak disenanginya. Ketika menerima menteri di
ruang kerjanya, Soeharto mempunyai cara tersendiri untuk mengusir sang tamu jika ia
sudah bosan dengan tamunya yaitu dengan melihat jam tangan atau mempersilahkan tamunya
untuk minum. Penggunaan bahasa konteks tinffi ini tentunya akan menimbulkan penafsiran
yang berbeda karena setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda beda tentang suatu
hal. Selain itu, Soeharto sering kali dalam menyampaikan pesannya, presiden menggunakan
orang ketiga. Penggunaan orang ketiga dalam menyampaikan pesan jelas merupakan
kekeliruan yang diterapkan Soeharto dalam berkomunikasi. Karena sering kali pesan yang
disampaikan oleh orang ketiga tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh Soeharto.
Selain bahasa yang digunakan Soeharto adalah bahasa konteks tinggi, Soehrto juga
sering kali tidak transparan. Hal ini jelas akan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak
terutama masyarakat yang membutuhkan transparansi dari pemerintah. Selaian itu presiden
juga terkesan tidak mau menerima kritik dari masyarakat. ketika ada pihak pihak tertentu
yang mencoba mengkritik pemerintah, dengan cepat pemerintah mengamankan orang yang
bersangkutan. Kemudian beberapa kebijakan Soeharto pun dinilai masih belum maksimal.
Dalam memuluskan kebijakan kebijakannya, pemerintah pada masa kepemimpinan
Soeharto masih memiliki ketergantungan hutang dengan negara lain.
Jiwa semangat Soeharto selain memiliki keunggulan, juga dapat membawa dampak
yang kurang baik. Soeharto terkesan ambisius dalam mewujudkan program programnya.
Hal ini sangat terlihat dari cara beliau menggunakan cara cara yang sebenarnya tidak tepat.
Misalnya saja ketika Soeharto ingin mewujudkan swasembada pangan. Untuk mewujudkan
impiannya, presiden memerintahkan kepada para petani untuk menanam padi dengan jenis
yang sama. Kemudian presiden juga memerintahkan untuk menggunakan pupuk kimia dan
melarang penggunaan pupuk kandang. Meskipun dengan cara demikina swasembada pangan
dapat terwujud, namun di sisi lain banyak dampak yang harus ditanggung oleh petani
diantaranya tanah di sawah mereka tidak lagi subur karena efek dari penggunaan pupuk
kimia.
3. Peluang (opportunities)
Keberhasilan yang dilakukan Soeharto melalui berbagai pembangunan tentunya
berdampak positif bagi kehidupan masyarakat. Salah satu kebijakan yang dapat dirasakan
manfaatkannya adalah program swasembada pangan. Selain mendapatkan perhatian dari
dalam negeri, ternyata keberhasilan Indonesia dalam keberhasilan swasembada pangan juga
mendapatkan perhatian dari FAO dengan memberikan penghargaan medali emas.
Keberhasilan yang dicapai ini tidak lain salah satunya karena dedikasi Soeharto.
Terwujudnya berbagai program, jelas akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk
menjadi negara yang diperhitungkan kemampuannya di negara lain. Melalui program
swasembada pangan, Indonesia bahkan mampu menyumbangkan 1.000.000 ton beras ke
peduduk negara negara di Afrika.
Kemudian jika kita melihat gaya kepemimpina Soeharto yang otoriter, jelas akan
memberikan peluang untuk terwujudnya negara yang aman. Karena masyarakat yang berani
bertindak kriminal akan ditindak dengan tegas oleh pemerintah. Salah satu contohnya adanya
Petrus (penembak misterius) yang memburu para preman yang berbuat kerusuhan di berbagai
daerah di Indonesia.
4. Ancaman (threats)
Penerapan gaya kepemimpinan yang otoriter pada saat tertentu memang dapat
membawa perubahan yang positif bagi masyarakat. Namun pada saat yang berbeda dapat
menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Gaya kepemimpinan otoriter yang dilakukan
oleh Soeharto dapat menimbulkan ancaman. Ancaman tersebut dapat muncul dari masyarakat
yang akan berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Apabila
sudah demikian, maka akan menimbulkan berbagai bentuk penolakan, misalnya peristiwa 5
Mei 1998. Demo besar besaran yang memakan korban ini tidak lain adalah bentuk
penolakan masyarakat kepada presiden. Masyarakat tidak mau lagi di bawah kekuasaan
Soeharto, sehingga masyarakat menginginkan agar Soeharto turun dari tahtanya. Selain
mendapat ancaman dari dalam negeri, penerapan gaya kepemimpinan yang otoriter juga akan
mendapat ancama dari dunia internasional. Masyarakat internasional akan menganggap
bahwa pemimpin Indonesia tidak manusiawi dengan merampas hak hak individu.
Berkaitan dengan bahasa konteks tinggi yang digunakan Soeharto, jelas akan
menimbulkan ancaman. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda, dikhawatirkan
apa yang dipersepsikan oleh orang lain berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh
Soeharto. Karena terjadinya kesalahan penafsiran ini berpotensi pada kesalahan pengambilan
tindakan oleh bawahan. Salah satu contohnya adalah kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi
yang didukung oleh aparat keamanan terhadap kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai
Demokrasi (PDI) pada 27 Juli 1996 di Jalan Diponegoro yang menimbulkan banyak korban
terutama di kubu Megawati. Menurut hasil investigasi Komnas HAM, 5 orang tewas, 149
menderita luka luka dan 23 hilang dalam insiden berdarah itu.
Setelah beberapa tahun berlalu, peristiwa 27 Juli 1996 masih diselimuti banyak misteri.
Tuntutan keluarga korban, LSM dan Komnas HAM kepada pemerintah untuk mengadili para
dalangnya. Pertanyaan paling krusial adalah siapa sesungguhnya yang merintahkan
penyerangan? Banyak pihak, termasuk petinggi keamanan, menuding bahwa Panglima
Kodan Jaya (ketika itu) Mayor Jenderal TNI Sutiyoso yang harus bertanggung jawab.
Menurut sutiyoso peristiwa 27 Juli 1996 dimulai ketika Presiden Soeharto memanggil
sejumlah pejabat teras ABRI, termasuk dirinya untuk mengatasi situasi. Presiden pada saat itu
memerintahkan agar ABRI menghentikan semua kegiatan, termasuk orasi, di depan kantor
PDI di Jalan Diponegoro. Presiden tidak pernah memerintahkan penyerbuan. Namun istilah
menghentikan semua kegiatan, termasuk orasi, dipersepsikan dengan melakukan
penyerangan ke kantor PDI.
Jika di amati dari beberapa kebijakan Soeharto juga memiliki ancaman dari pihak luar.
Misalnya saja kebijakan pembukaan investasi modal asing untuk membangun pabrik atau
perusahaan di Indonesia. Di satu sisi memang dapat menciptakan lapangan pekerjaan
sehingga dapat mengurangi pengangguran, namun di sisi lain akan terjadi eksploitasi sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang berlebihan.
3. Prof.Dr.Ing. B. J. Habibie
Presiden RI ke-3 adalah Prof.Dr.Ing. B. J. Habibie. Memerintah sejak 21 Mei 1998-20
Oktober 1999. Lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan tanggal 25 Juni 1936. Menyelesaikan
SMA dan Perguruan Tinggi di Bandung. Sekolahnya di ITB tidak dilanjutkan setelah
memperoleh beasiswa di Technische Hochehule, Achen, Jerman dan lulus cum laude untuk
jurusan kontruksi pesawat terbang sebagai Dipl.Ing. pada tahun 1960. Pada tahun 1965, ia
meraih gelar Doctor Ing. dengan predikat summa cumlaude. Ia pernah pernah menjadi wakil
presiden dan Direktur Teknologi di Hamburg, Jerman. Keberhasilan pendidikan tersebut
menjadikan ia dipanggil Presiden Soeharto pulang ke Indonesia pada tahun 1974. Selanjutnya
ia menduduki berbagai macam jabatan penting, diantaranya penasihat Presiden RI,
memimpin Divisi Advanced Technologi Pertamina (BPPT), merintis Industri Pesawat
Terbang di Bandung, dll.
Prof.Dr.Ing. B. J. Habibie meletakkan jabatan presiden pada tanggal 20 Oktober 1999
setelah pidato pertanggung jawabannya tidak diterima oleh Sidang Umum MPR 1999
(Sugeng:2003).
5. Megawati Soekarnoputri
Presiden ke-5 RI adalah Dyah Permata Setyawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta 23
Januari 1946. Megawati dilantik menjadi presiden pada tanggal 23 Juli 2001, menggantikan
Abdurrahman Wahid yang menolak memberikan pertanggungjawaban di depan Sidang
Istimewa MPR.
Megawati pernah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Pejajaran
(1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972) beberapa tahun dan
tidak dilanjutkan. Kenaikan Megawati menjadi presiden didukung oleh sebagian besar fraksi
DPR/MPR, meskipun sebelumnya sempat terjadi perbedaan pandangan mengenai boleh
tidaknya wanita menjadi presiden di Indonesia. Megawati dikenal sebagai seorang nasionalis
sejati yang konsisten dengan sikap dan tindakan yang tetap mempertahankan keutuhan NKRI
yang hamper tercerai berai. Megawati diangkat menjadi Presiden RI melalui Tap MPR No.
III/MPR/2001, menggantikan Abdurrahman Wahid terhitung sejak diambil sumpahnya
sampai selesainya jabatan Presiden RI 1999/2004 (Sugeng:2003).
Ketika dilantik sebagai presiden, ekspor hingga Oktober 2004 mencapai US $ 58.5 miliar
atau naik 15.08 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2003. Impor
hingga Oktober 2004 mencapai US $ 37.8 miliar atau naik tajam 40.7 persen bila
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2003, yaitu US $ 26.87 miliar.
Kebijakan soal Aceh ditunjukan presiden dengan memperpanjang status darurat sipil. Pada
hari ke-26 memerintah, presiden mengunjungi Aceh. Kunjungan selama empat jam tersebut
dijaga ketat. Presiden mengajak GAM untuk mengakhiri separatisme yang
diimplementasikan pada 28 Januari 2005. Hal ini diwujudkan dengan mengadakan
perundingan dengan GAM di Helsinki, Filandia melalui Crisis Management Initiative
pimpinan Martti Ahtisaari. Perundingan ini berhasil membuahkan kesepakatan perdamaian
antara RI dan GAM.
Pelunasan utang terhadap IMF pada bulan Oktober 2006. Pelunasan utang tersebut
dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pertama pada Juni 2006 dengan nominal US $ 3,7 miliar.
Tahap kedua pada bulan Oktober 2006 sebanyak US $ 3,2. Pelunasan utang yang lebih cepat
merupakan komitmen untuk melepaskan negara dan ketergantungan terhadap IMF.
Pada masa pemerintahannya, SBY menaikan harga BBM sebanyak 3 kali. Kebijakan ini
ditempuh sebagai akibat melambungnya harga minyak di pasaran dunia sehingga menekan
APBN. Namun kemudian seiring dengan penurunan harga minyak di pasaran dunia,
pemerintah pun mengambil kebijakan untuk menurunkan harga BBM. Dalam satu bulan
pemerintah menurunkan harga minyak sebanyak 2 kali, yaitu pada tanggal 1 dan 15
Desember 2008. Pada 15 Januari 2009, BBM pun kembali diturunkan untuk yang ketiga
kalinya.
Kebijakan menaikan harga BBM dilakukan guna mengurangi subsidi BBM. Pemerintah
menilai subsidi BBM dinilai belum dapat dinikmati oleh rakyat kecil dan hanya
menguntungkan kelas menengah ke atas. Pemerintah pun mengalihkan subsidi dalam bentuk
Program Dana Kompensasi Sosial. Bentuk dan program ini antara lain pemberian Bantuan
Langsung Tunai ( BLT ), penyediaan beras murah, dan pelayanan kesehatan bagi rakyat
miskin.
Penjelasan SBY itu merupakan jawaban atas pertanyaan banyak pihak yang menilai Presiden
sering ragu-ragu. Banyak pihak-yang diakui Presiden sendiri-sering akhirnya merasa gemas,
karena banyak keputusan yang lamban untuk diambil.
Dengan penjelasan itu, maka kita tidak usah lagi terlalu berharap bahwa akan ada yang
berubah dari Presiden. Dalam tiga tahun pemerintahannya ke depan kita harus menerima
kenyataan bahwa segala kebijakan akan diambil dengan pertimbangan yang sangat hati-hati
dan kelirulah kita jika berharap akan ada keputusan yang diambil secara cepat.
Presiden juga menguraikan bahwa dalam keyakinannya, tidak ada kewenangan yang boleh
didelegasikan. Oleh karena itu dirinya ikut turut campur tangan langsung atas setiap
kebijakan yang akan dikeluarkan kementerian. Ia ingin tahu secara detil landasan dari
kebijakan yang hendak diambil.
Dengan gaya kepemimpinan seperti itu tidak usah heran apabila kebijakan yang bersifat
teknis pun sekarang ini begitu lamban dilakukan kementerian. Kalau Presiden ingin tahu
secara detil dan bahkan terlibat secara langsung, wajar apabila proses pengambilan keputusan
menjadi lebih panjang.
Dalam manajemen modern yang mengutamakan kecepatan, memang gaya kepemimpinan ini
bisa jadi sangat tidak cocok. Apalagi jika pendelegasian kewenangan tidak dipahami sebagai
sesuatu yang penting dilakukan. Namun itulah gaya kepemimpinan SBY, yang mau tidak mau
kita terima karena kita sudah memberikan kepercayaan kepada dirinya.
Memang kita menjadi agak rancu ketika Presiden menyampaikan pentingnya pemimpin
untuk membangun tim. Kerja tim hanya bisa berjalan dengan baik apabila ada kepercayaan
satu dengan yang lain. Pendelegasian wewenang kepada menteri untuk menangani persoalan
teknis merupakan cerminan dari kepercayaan dan kemauan untuk membangun kerja tim.
Sehebat apa pun orang itu, tidaklah mungkin ia bisa mengerjakan semuanya. Selain
keterbatasan secara fisik, kita tidak mungkin menghindar dari perjalanan waktu. Kita harus
menerima kenyataan bahwa satu hari itu hanya 24 jam dan mustahil dalam keterbatasan
waktu kita lalu ingin menangani semua persoalan.
Oleh karena itulah tantangan seorang pemimpin adalah bagaimana memberdayakan seluruh
kekuatan di dalam tim. Kita harus membangun sebuah sistem dan nilai yang memungkinkan
orang yang bekerja bersama kita bekerja berdasarkan aturan yang kita tetapkan itu.
Pemimpin pada akhirnya adalah sosok orang yang mampu meyakinkan orang lain untuk
melakukan hal yang belum tentu ia sukai. Namun dengan kemampuan untuk menjelaskan
tujuan yang akan dicapai apabila kita melakukan itu, orang akan bisa dipengaruhi untuk mau
melaksanakan apa yang diinginkan seorang pemimpin.
Pada akhirnya kepemimpinan tidak cukup hanya memuaskan sang pemimpin saja.
Kepemimpinan harus bisa menghasilkan. Kepemimpinan harus mencapai tujuan besar yang
hasilnya bisa dirasakan oleh semu pihak. Kepemimpinan pada sebuah negara harus bisa
memuaskan seluruh rakyat.
Presiden SBY menyadari bahwa masyarakat sangat mendambakan hasil yang bisa segera
dirasakan. Namun sebuah kebijakan tidak bisa segera dirasakan hasilnya. Yang bisa segera
dirasakan hasilnya adalah adalah kemajuan dari langkah kebijakan yang dikeluarkan.
Untuk itulah kepemimpinan pada sebuah pemerintahan dan juga perusahaan tidak bisa hanya
bertumpu pada orientasi jangka panjang. Kepentingan jangka pendek harus juga menjadi
perhatian. Bahkan harus ada yang cepet dirasakan agar masyarakat tidak kemudian menjadi
frustasi.
Pertama saya mengaitkan bahwa SBY bergaya pemimpin yang bertipe militeristik.
Hal ini disebabkan karena yang mempengaruhi corak kepemimpinan seseorang bisa berupa
pendidikan dan pengalaman. Dari segi pendidikan dan pengalaman inilah yang
mengindikasikan bahwa SBY memiliki gaya militeristik karena SBY merupakan lulusan
AKABRI terbaik dan mengabdi sebagai perwira TNI selama 27 tahun, serta meraih pangkat
Jendral TNI tahun 2000. Meskipun cukup lama di dunia militer, SBY juga berkembang dalam
pendidikan sipil seperti memperoleh Master in Management dari Webster University,
Amerika Serikat tahun 1991. Lanjutan studinya berlangsung di Institut Pertanian Bogor, dan
di2004 meraih Doktor Ekonomi Pertanian. Pada 2005, beliau memperoleh anugerah dua
Doctor Honoris Causa, masing-masing dari almamaternya Webster University untuk ilmu
hukum, dan dari Thammasat University di Thailand ilmu politik. Serta SBY dikenal aktif
dalam berbagai organisasi masyarakat sipil. Beliau pernah menjabat sebagai Co-Chairman of
the Governing Board of the Partnership for the Governance Reform, suatu upaya bersama
Indonesia dan organisasi-organisasi internasional untuk meningkatkan tata kepemerintahan di
Indonesia.
Meskipun SBY telah lama menyesuaikan diri dengan kepemimpinan sipil yang egaliter dan
demokratis tetapi budaya militer sebagai dasar pembentukan karakter kepemimpinan SBY
tidak bisa hilang begitu saja. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa contoh kasus gaya
kepemimpinan militeristik SBY yang masih melekat, seperti beberapa kali memarahi
menterinya didepan umum, memarahi para bupati dan walikota seluruh Indonesia yang tidur
takalok ketika SBY sedang berpidato. Selain itu gaya militeristik SBY tergambar dari
tindakan-tindakannya SBY dalam pelaksanaan administrai negara yang formalitas dan kaku.
Ini merupakan salah satu karakteristik dari gaya kepemimpinan militeriktik yaitu segala
sesuatu bersifat formal. Terlihat dari pelaksanaan pemerintahan SBY yang berjalan dengan
prinsip bahwa segala sesuatunya sesuai dengan peraturan artinya setiap pikiran baru harus
bersabar untuk menunggu sampai peraturannya berubah dulu, terobosan menjadi barang
langka.
Menurut saya, kepemimpinan SBY juga masuk dalam tipe demokratik mungkin
disebabkan karena tuntutan reformasi, situasi dan kondisi saat ini yang semakin liberal.
Dimana tipe pemimpin dengan gaya ini dalam mengambil keputusan selalu mengajak
beberapa perwakilan bawahan, namun keputusan tetap berada di tangannya. Selain itu
pemimpin yang demokratis berusaha mendengar berbagai pendapat, menghimpun dan
menganalisa pendapat-pendapat tersebut untuk kemudian mengambil keputusan yang tepat.
Tidak jarang hal ini menimbulkan persepsi bahwa SBY seorang yang lambat dalam
mengambil keputusan dan tidak jarang mengurangi tingkat determinasi dalam mengambil
keputusan. Pemimpin ini kadang tidak kokoh ketika melaksanakan keputusan karena ia
kadang goyah memperoleh begitu banyak masukan dalam proses implementasi kebijakan.
Secara teoritis pemimpin tipe ini bisa menerima kritik, kritik dibalas pula dengan kontra
kritik. Bukan menjadi rahasia lagi bila seringkali kita melihat dan mendengar bagaimana
SBY melakukan kontra kritik terhadap orang-orang yang mengkritiknya. SBY percaya bahwa
kebenaran hanya bisa diperoleh dari wacana publik yang melibatkan sebanyak mungkin
elemen masyarakat. Selain itu tipe pemimpin ini dalam mengambil keputusan berorientasi
pada orang, apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan pemikiran dari manapun.