PENDAHULUAN
Sinus maksillaris, secara anatomi terletak di antara nasal dan kavitas oral yang
memungkinkan invasi organisme patogen dari ostium nasal dan mulut. Sinusistis
dentogen atau sinusitis odontogenik berkisar sekitar 10% sampai 12% dari kasus
sinusitis maksillaris. Penyakit sinus dari asal odontogenik diperhatikan secara khusus
karena beberapa perbedaan pada patofisiologi, mikrobiologi, dan penanganan
dibandingkan dengan penyakit sinus dari asal yang lain.3
Secara anatomis apeks gigi-gigi rahang atas (kecuali insisivus) sangat dekat
dengan dasar sinus, terutama sinus maksillaris. Gigi yang berlubang (karies) atau
1
adanya abses/infeksi di sekitar gigi harus diobati, sebab masalah gigi di rahang atas
itu dapat menjalar sampai ke sinus.1
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun
waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis. Data dari RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2011, tercatat sebanyak 301 pasien dan tahun 2012 sebanyak
374 pasien yang menderita rhinosinusitis.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sinus maksilla disebut juga antrum Highmore, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya
lebih tinggi dari dasar sehingga drainase hanya bergantung silia, letaknya dekat akar
gigi rahang atas maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus disebut sinusitis
dentogen atau odontogenik, dan ostium sinus maksilla terletak di meatus medius yang
sempit dan mudah tersumbat. 1
3
2.2 ANATOMI SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksilla, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
4
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1
Sinus maksillaris merupakan rongga udara. Sinus ini merupakan sinus yang
terbesar dan bilateral terletak pada corpus tulang maksilla dan terhubung melalui
meatus nasi medius ke cavum nasi dengan satu atau lebih saluran. Sinus maksilla
memiliki ukuran, bentuk, dan posisi yang bervariasi tidak hanya pada individu
berbeda namun pada sisi yang berbeda pada individu yang sama.7
Sinus maksilla berbentuk seperti piramida dengan basis, apeks, dan empat
dinding. Pada basis sinus yaitu dinding lateral kavum nasi. Apeks mengarah ke lateral
terhadap prosessus zygomaticus dari maksilla. Keempat dinding yang dimaksud
adalah permukaan fasial tulang maksilla pada anterior, permukaan infratemporal
maksilla pada dinding posterior, dasar orbita pada dinding atas, dan prossessus
alveolar maksilla pada dasar sinus.7
Sinus maksilla merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksilla bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksilla berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksilla yang disebut fossa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksilla, dinding
5
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilla
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.1
6
Gambar 2. Hubungan anatomi sinus maksilla
Sinus ini menyusupi tulang frontal, di atas tepi-tepi superior rongga mata.
Sinus frontalis bermuara melalui infundibulum berbentuk corong, ke dalam perluasan
sebelah posterior hiatus semilunaris.6
Sinus ethmoidalis dapat diandaikan sebagai massa 8-10 balon yang ditiup
yang berbentuk segi empat. Sinus ini terbagi menjadi sinus ethmoidlis anterior, sinus
ethmoidalis media, dan sinus ethmoidalis posterior. Selulae sinus ethmoidalis anterior
dan media bermuara ke meatus nasi medius melalui lubang pada bula ethmoidalis.
Selulae sinus ethmoidalis posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior.6
Kedua sinus sfenoid berada di dalam badan tulang sfenoid dan terpisah satu
sama lain oleh pemisah tulang di garis tengah. Sinus sfenoid bermuara melalui suatu
lubang pada dinding anteriornya, ke dalam resessus sfenoethmoidalis rongga hidung.
7
Fosa hipofise tulang sfenoid berapa di atap sinus sfenoidalis dan kelenjar hipofise
terpisah dari sinus ini oleh dasar fossa yang bertulang. Pembedahan kelenjar hipofise
dapat dicapai melalui rongga hidung dan sinus sfenoidalis.6
2.3 ETIOLOGI
8
berkaitan dengan komplikasi merupakan penyebab tersering kedua, ditemukan pada
29,6% kasus. Kista dentigenous dengan 11.1%, kista radikular, karies gigi dengan
7.4% dari kasus. Berkaitan dengan gigi yang mengalami kelainan, gigi molar
menyebabkan 47,68% sinusitis maksillaris. Gigi molar pertama paling sering dengan
22.51%, diikuti oleh gigi molar ketiga (17.21%) dan gigi molar kedua (3.97%).
Sedangkan pada bagian premolar, hanya mencakup 5.96% dari seluruh kasus, dengan
gigi premolar kedua yang paling sering menyebabkan kasus (1.98%). Gigi kaninus
hanya berpartisipasi 0.66% dari kasus sinusitis maksillaris.5
Studi Jerome R. Lechien dkk pada tahun 2014 mengenai kausa dari
odontogenic chronic maxillary rhinosinusitis (CMRS), berdasarkan rata-rata usia
pasien, distribusi jenis kelamin, dan jenis gigi yang terganggu menggunakan data dari
berbagai studi sejak Januari 1980 sampai Januari 2013. Dari 190 kasus yang
terpublikasi, 23 sampel dipilih dari 674 pasien yang masuk kriteria inklusi, dengan
hasil penyebab utama odontogenic CMRS adalah iatrogenik, berjumlah 65.7% dari
seluruh kasus. Kelainan pada periodontal apical (apical granulomas, odontogenic
cysts, dan apical periodontitis) selanjutnya menjadi penyebab lainnya dengan jumlah
9
25.1% dari kasus. Sedangkan gigi tersering yang mengalami kelainan yaitu first
molar dan second molar.8
10
Gambar 6. kejadian sinusitis dentogen berdasarkan kelainan gigi
2.4 EPIDEMIOLOGI
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun
waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Data dari RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2011, tercatat sebanyak 301 pasien dan tahun 2012 sebanyak
374 pasien yang menderita rhinosinusitis. Menurut Medical Center New York
sinusitis maksillaris yang disebabkan oleh infeksi odontogen diketahui sekitar 47%.
Sebuah studi di RSUD dr.M.Soewandhie Surabaya, menunjukkan bahwa dari 20
11
sampel penderita didapatkan 15 orang (75%) yang menderita sinusitis dengan infeksi
odontogen.4
2.5 PATOFISIOLOGI
Jarak yang dekat antara sinus dan geligi menjelaskan mudahnya terjadi
ekstensi dari proses infeksi pada gigi menuju sinus maksillaris. Ketebalan dari
dinding lateral maksilla yang membentuk dinding anterior sinus maksilla berkisar 2
sampai 5 mm. Otot levator labial dan otot orbicularis oculi terletak pada dinding
dibawah foramen infraorbital dan secara langsung menyebarkan infeksi dari gigi
maksilla ke sinus maksillaris.9
Lantai dari sinus dan hidung dibentuk oleh tulang kortikal padat yang secara
efektif menghalangi kemungkinan penetrasi langsung dari infeksi odontogenik ke
sinus maksillaris atau ke dasar hidung. Kelemahan dinding lateral tulang maksilla
lebih mudah untuk terjadi penetrasi dibandingkan lantai dari sinus maksillaris. Hal ini
menjelaskan mengapa infeksi odontogenik lebih sering bermanifestasi sebagai infeksi
jaringan lunak vestibular atau fasial dan tidak sebagai sinusitis. Namun infeksi
odontogenik dapat mengalir menuju sinus, terutama pada individu dengan akar gigi
lebih proksimal ke arah lantai sinus. Dekatnya jarak antara gigi maksilla dengan
antrum, terutama pada kejadian pneumatisasi sinus, yang kadang hanya menyisahkan
mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang memisahkan kavitas sinus dari akar
gigi.9
12
maksilla atau dari akar gigi incisor juga dapat menyebar secara subperiosteal hingga
ke palatum durum bahkan dapat mencapai orbita melalui sinus atau rute lainnya.
Penyebab iatrogenik juga dapat menyebabkan sinusitis maksillaris. Termasuk di
antaranya terapi akar gigi, yang memicu inflamasi periapikal pada dasar sinus. Alat
yang membawa bakteri ke kavitas sinus, masuknya bahan yang digunakan pada
perawatan gigi ke dalam sinus, perforasi membran sinus pada operasi periodontal,
dan dislokasi akar gigi ke dalam sinus pada ekstraksi gigi.9
Flora oral mugkin saja menyebabkan infeksi odontogenik yang dapat meluas
ke sinus maksillaris. Diantaranya flora aerobik dan anerobik seperti Streptococci spp,
Bacteriodes, Viellonella, Corynebacterium, Fusobacterium, dan Eikenella. Sekresi
oral sangat terkontaminasi dengan estimasi jumlah kuantitatif mikroorganisme pada
saliva dan plak gigi terutama pada penyakit periodontal yakni 1.8x1011/g, atau level
yang sama pada feses manusia. Sehingga tidaklah sulit untuk membayangkan
tingginya risiko infeksi sinus melalui penyebaran dari sumber dentogen.3
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal,
sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur
periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket dan (3) jalur
13
perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi
hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak atau belum dapat tumbuh sempuna. Sering
terjadi melalui jalur periapikal. Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan
gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan
berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis
pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya
gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai
apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang
terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau
jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.10
14
Gambar 7: Penyebaran infeksi pada sinusitis maksillaris dentogen
15
2.6 DIAGNOSIS
Pada sebuah studi menemukan bahwa gejala yang paling sering yaitu
rhinorrhea purulen unilateral, nyeri pada regio maksilla, penciuman yang berbau,
kongesti nasal unilateral, post nasal drips, bengkak pada ginggiva. Tidak ada pasien
yan mengeluhkan demam, dan bahkan ditemukan pasien asimptomatik yang
terdeteksi secara CT scan. Tidak ada perbedaan signifikan antara sinusitis maksillaris
odontogenik dengan sinusitis tipe lainnya. Namun, hampir keseluruhan pasien dengan
sinusitis maksillaris odontogenik mengeluhkan gejala yang unilateral.11
16
Tabel 1: kriteria mayor dan minor sinusitis
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan diagnosis rhinosinositis
Mayor Minor
Nyeri wajah/ nyeri tekan/ rasa penuh Sakit kepala
Obstruksi nasal Demam (selain stadium akut)
Post nasal drip atau purulen Halitosis
Hiposmia/ anosmia Fatigue
Demam (hanya pada stadium akut) Nyeri gigi
Batuk
Nyeri telinga/ tertekan/rasa penuh
17
mikrobiologi mengarahkan pada diagnosis yang tepat. Pemeriksaan radiologi
merupakan alat penting dalam penetapan diagnosis.9
Gambar 9: pencitraan pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista periapikal. Kista ini timbul
dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang disebabkan oleh inflamasi.
18
Gambar 10: CT Scan aksial dan koronal yang menunjukkan akar gigi yang terlantar di bagian
alveolar dari sinus maksillaris (panah) yang menyebabkan penebalan mukosa sinus.
2.7 PENATALAKSANAAN
Jika lokasi dari akar gigi ke memasuki sinus, pengangkatan akar gigi
merupakan indikasi. Namun jika tidak ada perforasi dari membran sinus dan bagian
dari akar gigi yang terinfeksi sekitar 3 mm atau kurang, maka akar gigi dapat tidak
dibiarkan tertinggal. Operasi pengangkatan dilakukan dengan melakukan flap
superior pada seluruh ketebalan mukoperiosteal pada daerah yang akan dilakukan
ekstraksi atau pada lekukan antara caninus dan premolar. Tulang dikeluarkan agar
terlihat proses alveolar pada buccal, dan ujung akar dapat diambil. Teknik ini berguna
untuk memperluas rongga untuk ekstraksi terutama pada area maksilla posterior
19
(molar kedua atau ketiga). Pengangkatan ini dapat menyebabkan terjadi hubungan
yang besar atara oroantral. Jika penutup flap buccal gagal, banyak flap signifikan
terbaru yang dapat digunakan.9
Pertambahan jumlah bakteri gram negatif dan anaerob seperti Prevotella dan
Fusobacterium spp akibat resistensi penicillin dan membentuk enzim beta-lactamase.
Penicillin merupakan pilihan terapi untuk infeksi yang dicurigai dari bakteri patogen
oral, namun karena semakin bertambahnya angka resistensi menyebabkan terbatasnya
penggunaan obat ini. Alternatif terapi untuk pasien yang alergi penicillin mencakup
sefalosporin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan clindamycin. Pemberian antibiotik
pada pasien yang resisten terhadap penicillin mencakup clindamycin, cefoxitin,
carbapenem, atau kombinasi penicillin dan beta-lactamase inhibitor. Metronidazole
efektif untuk kuman aerob dan streptococcus. 9
Pada fase akut, terapi mencakup ekstraksi gigi, drainase abses dental, dan
pembersihan antral. Pada kasus kronik setelah penanganan kelainan di periodontik.
Jika sinusitis persisten, diperlukan endoskopi fungsional untuk melebarkan ostium
20
sinus secara alami dan membersihkan mukosa sinus. Pengambilan jaringan saat
operasi dilakukan untuk pemeriksaan histopathologi untuk menyingkirkan infeksi
invasif dari fungi.13
2.8 KOMPLIKASI
21
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih
mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. 10% kasus
sinusitis dengan sumber odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas. Meskipun
sinusitis dentogen adalah kondisi yang relatif umum, patogenesisnya masih belum
jelas serta masih kurangnya konsensus mengenai gejala klinis, pengobatan, dan
pencegahan.
Terapi mencakup antibiotik adekuat terhadap folara patogen oral dan nasal,
dekongestan nasal, pelembap nasal dan spray saline. Tindakan mencakup bedah
endoskopi fungsional, serta prosedurlain dengan prinsip mengeluarkan penyebab
sinusitis dentogen.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Keenam.
Jakarta: EGC; 1997.
4. Septiwati Madyaning, dkk. Hubungan Infeksi Gigi Rahang Atas dengan Kejadian
Rhinosinusitis Maksillaris di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi.2013 [online] [cited
on 2017 Januari 26th]. Available at: http://online-
journal.unja.ac.id/index.php/kedokteran/article/view/989/797.
23
Hindawi Publishing Corporation International Journal of
Otolaryngology Volume 2014, Article ID 465173, 9 pages. [online]
[cited on 2017 Januari 26th]. Available at:
https://www.hindawi.com/journals/ijoto/2014/465173/
10. Bogi arya kusumo. Hubungan Karies Gigi Rahang Atas dengan Sinusitis
Maksillaris Odontogen di Rsud Dati II Semarang: analitik observasional.
Semarang: Fakultas kedokteran universitas muhammadiyah semarang: 2011
24
Januari 29th]. Available at: http://www.iosrjournals.org/iosr-
jdms/papers/Vol13-issue6/Version-3/F013632530.pdf
25