Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah inflamasi pada mukosa sinus paranasal. Telah sangat


diketahui bahwa berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal, dan emosional dapat
mempengaruhi mukosa hidung, demikian juga mukosa sinus dalam derajat yang lebih
rendah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak bugar, dan penyakit sistemik
umum perlu dipertimbangkan dalam etiologi sinusitis. Perubahan dalam faktor-faktor
lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan, dan kekeringan demikian pula
faktor polutan atmosfer termasuk asap tembakau dapat merupakan predisposisi
infeksi. Dalam daftar faktor predisposisi umum harus ditambahkan paparan terhadap
infeksi sebelumnya, misalnya common cold. Faktor lokal tertentu juga dapat menjadi
predisposisi penyakit sinus, seperti deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda
asing dan neoplasma.1,2

Nathiel Highmore mengemukakan tentang membran tulang tipis yang


memisahkan geligi dengan sinus pada tahun 1961, bahwa tulang yang membungkus
antrum maksillaris dan memisahkannya dengan soket geligi, tebalnya tidak melebihi
kertas pembungkus. Infeksi gigi lainnya seperti abses apikal atau penyakit periodontal
dapat menimbulkan kondisi serupa.2

Sinus maksillaris, secara anatomi terletak di antara nasal dan kavitas oral yang
memungkinkan invasi organisme patogen dari ostium nasal dan mulut. Sinusistis
dentogen atau sinusitis odontogenik berkisar sekitar 10% sampai 12% dari kasus
sinusitis maksillaris. Penyakit sinus dari asal odontogenik diperhatikan secara khusus
karena beberapa perbedaan pada patofisiologi, mikrobiologi, dan penanganan
dibandingkan dengan penyakit sinus dari asal yang lain.3

Secara anatomis apeks gigi-gigi rahang atas (kecuali insisivus) sangat dekat
dengan dasar sinus, terutama sinus maksillaris. Gigi yang berlubang (karies) atau

1
adanya abses/infeksi di sekitar gigi harus diobati, sebab masalah gigi di rahang atas
itu dapat menjalar sampai ke sinus.1

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun
waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis. Data dari RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2011, tercatat sebanyak 301 pasien dan tahun 2012 sebanyak
374 pasien yang menderita rhinosinusitis.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya


disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1

Sinus maksilla disebut juga antrum Highmore, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya
lebih tinggi dari dasar sehingga drainase hanya bergantung silia, letaknya dekat akar
gigi rahang atas maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus disebut sinusitis
dentogen atau odontogenik, dan ostium sinus maksilla terletak di meatus medius yang
sempit dan mudah tersumbat. 1

Sekitar 10-12% dari kasus sinusitis maksillaris disebabkan oleh infeksi


odontogenik. Namun publikasi terbaru menyebutkan bahwa 30-40% dari kasus
sinusitis maksillaris kronik berasal dari masalah di dental. Hal ini disebabkan ketika
membran sinus mengalami kelainan akibat infeksi gigi maksillaris posterior, lesi
patologis pada rahang dan gigi, dental trauma, atau karena penyebab iatrogenik
seperti komplikasi operasi implan dental atau operasi prosedur maksilofasial.5

3
2.2 ANATOMI SINUS PARANASAL

Gambar 1. Sinus paranasalis

Sinus paranasalis (sfenoidalis, ethmoidalis, frontalis, dan maksillaris) ada


sepasang namun tidak simetris. Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel pernapasan dan
semua bermuara ke dalam rongga hidung. Iritasi saluran pernapasan menahun, seperti
misalnya merokok, menyebabkan selaput lendir berubah menjadi epitel gepeng
berlapis. Kehilangan silia dapat mempengaruhi aliran sinus ini dan menyebabkan
sinusitis menahun.6

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksilla, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil

4
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksilla dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. 1

2.2.1 SINUS MAKSILLA

Sinus maksillaris merupakan rongga udara. Sinus ini merupakan sinus yang
terbesar dan bilateral terletak pada corpus tulang maksilla dan terhubung melalui
meatus nasi medius ke cavum nasi dengan satu atau lebih saluran. Sinus maksilla
memiliki ukuran, bentuk, dan posisi yang bervariasi tidak hanya pada individu
berbeda namun pada sisi yang berbeda pada individu yang sama.7

Sinus maksilla berbentuk seperti piramida dengan basis, apeks, dan empat
dinding. Pada basis sinus yaitu dinding lateral kavum nasi. Apeks mengarah ke lateral
terhadap prosessus zygomaticus dari maksilla. Keempat dinding yang dimaksud
adalah permukaan fasial tulang maksilla pada anterior, permukaan infratemporal
maksilla pada dinding posterior, dasar orbita pada dinding atas, dan prossessus
alveolar maksilla pada dasar sinus.7

Sinus maksilla merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksilla bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksilla berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksilla yang disebut fossa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksilla, dinding

5
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilla
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.1

Fungsi sinus yaitu meringankan tulang tengkorak, resonansi suara, modulasi


respirasi dan olfaktori melalui regulasi tekanan udara sinus saat respirasi,
melembapkan udara inspirasi, proteksi kraniofasial terhadap trauma mekanik,
memproduksi enzim bakterisidal (lisozim) yang mencegah infeksi bakteri pada
mukosa nasal.7

Pertimbangan klinik sinusitis dentogen yaitu:


1. Saraf yang menginervasi gigi maksilla sama dengan saraf yang menginervasi
sinus maksilla, sehingga sensasi nyeri gigi pada gigi yang sehat dapat berasal
dari sinus maksillaris.
2. Tulang yang membentuk dasar dari sinus dapat merupakan tulang yang
mengelilingi apeks dari gigi, sehingga sebagai konsekuensi dari infeksi
periapikal gigi dapat menyebar ke sinus maksillaris.
3. Nyeri dari lesi karies di gigi atau kelainan lain pada pulpa dental dapat
dimanifestasikan sebagai nyeri alih di sinus.
4. Hubungan antara sinus dan kavitas oral dapat terjadi secara tidak sengaja pada
ekstraksi gigi, atau prosedur operasi yang membentuk fistula oroantral.
5. Akar dari gigi maksilla posterior mempunyai hubungan dekat dengan lantai
sinus maksilla. Gigi molar lebih terkait dibanding premolar, secara berurutan
yaitu first molar, second premolar, second dan third molars, first premolar dan
lebih jarang pada caninus.7

6
Gambar 2. Hubungan anatomi sinus maksilla

2.2.2 SINUS FRONTAL

Sinus ini menyusupi tulang frontal, di atas tepi-tepi superior rongga mata.
Sinus frontalis bermuara melalui infundibulum berbentuk corong, ke dalam perluasan
sebelah posterior hiatus semilunaris.6

2.2.3 SINUS ETMOID

Sinus ethmoidalis dapat diandaikan sebagai massa 8-10 balon yang ditiup
yang berbentuk segi empat. Sinus ini terbagi menjadi sinus ethmoidlis anterior, sinus
ethmoidalis media, dan sinus ethmoidalis posterior. Selulae sinus ethmoidalis anterior
dan media bermuara ke meatus nasi medius melalui lubang pada bula ethmoidalis.
Selulae sinus ethmoidalis posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior.6

2.2.4 SINUS SFENOID

Kedua sinus sfenoid berada di dalam badan tulang sfenoid dan terpisah satu
sama lain oleh pemisah tulang di garis tengah. Sinus sfenoid bermuara melalui suatu
lubang pada dinding anteriornya, ke dalam resessus sfenoethmoidalis rongga hidung.

7
Fosa hipofise tulang sfenoid berapa di atap sinus sfenoidalis dan kelenjar hipofise
terpisah dari sinus ini oleh dasar fossa yang bertulang. Pembedahan kelenjar hipofise
dapat dicapai melalui rongga hidung dan sinus sfenoidalis.6

Gambar 3. Sinus paranasalis

2.3 ETIOLOGI

Pada analisis sebuah penelitian menemukan bahwa penyebab paling sering


dari sinusitis maksillaris dentogen ialah iatrogenik (55.97%). Etiologi lain yang
mungkin adalah periodontitis (40.38%) dan kista odontogenik (6.66%). Fistula
oroantral dan sisa akar gigi, keduanya merupakan kejadian iatrogenik setelah
ekstraksi gigi, sekitar 47,56% akibat kausa iatrogenik. Pembalutan yang digunakan
untuk menutup fistula oroantral dan benda asing nonspesifik berperan 19.72%,
ekstruksi dari bahan penutup endodontik yang kemudian masuk ke sinus sekitar
22.27%, amalgam (bahan) yang tertinggal setelah apicoectomies sekitar 5.33%,
operasi preimpantologi pengangkatan sinus maksilla sekitar 4.17%, dan buruknya
posisi gigi implan yang bermigrasi ke sinus maksilla sekitar 0.92% dari seluruh kasus
akibat sebab iatrogenik.5

Pada studi retrospektif lainnya dari 27 pasien sinusitis dentogen diperoleh


hubungan antara kasus dengan penyebab implan sekitar 37%. Ekstraksi gigi yang

8
berkaitan dengan komplikasi merupakan penyebab tersering kedua, ditemukan pada
29,6% kasus. Kista dentigenous dengan 11.1%, kista radikular, karies gigi dengan
7.4% dari kasus. Berkaitan dengan gigi yang mengalami kelainan, gigi molar
menyebabkan 47,68% sinusitis maksillaris. Gigi molar pertama paling sering dengan
22.51%, diikuti oleh gigi molar ketiga (17.21%) dan gigi molar kedua (3.97%).
Sedangkan pada bagian premolar, hanya mencakup 5.96% dari seluruh kasus, dengan
gigi premolar kedua yang paling sering menyebabkan kasus (1.98%). Gigi kaninus
hanya berpartisipasi 0.66% dari kasus sinusitis maksillaris.5

Gambar 4. Tampilan abses periodontal dan abses periapikal

Studi Jerome R. Lechien dkk pada tahun 2014 mengenai kausa dari
odontogenic chronic maxillary rhinosinusitis (CMRS), berdasarkan rata-rata usia
pasien, distribusi jenis kelamin, dan jenis gigi yang terganggu menggunakan data dari
berbagai studi sejak Januari 1980 sampai Januari 2013. Dari 190 kasus yang
terpublikasi, 23 sampel dipilih dari 674 pasien yang masuk kriteria inklusi, dengan
hasil penyebab utama odontogenic CMRS adalah iatrogenik, berjumlah 65.7% dari
seluruh kasus. Kelainan pada periodontal apical (apical granulomas, odontogenic
cysts, dan apical periodontitis) selanjutnya menjadi penyebab lainnya dengan jumlah

9
25.1% dari kasus. Sedangkan gigi tersering yang mengalami kelainan yaitu first
molar dan second molar.8

Gambar 5. Etiologi sinusitis dentogen

10
Gambar 6. kejadian sinusitis dentogen berdasarkan kelainan gigi

2.4 EPIDEMIOLOGI

Sinusistis maksillaris dentogen atau sinusitis maksillaris odontogenik berkisar


sekitar 10% sampai 12% dari kasus sinusitis maksillaris. Namun publikasi terbaru
menyebutkan bahwa 30-40% dari kasus sinusitis maksillaris kronik berasal dari
masalah di dental.3,5

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun
waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Data dari RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2011, tercatat sebanyak 301 pasien dan tahun 2012 sebanyak
374 pasien yang menderita rhinosinusitis. Menurut Medical Center New York
sinusitis maksillaris yang disebabkan oleh infeksi odontogen diketahui sekitar 47%.
Sebuah studi di RSUD dr.M.Soewandhie Surabaya, menunjukkan bahwa dari 20

11
sampel penderita didapatkan 15 orang (75%) yang menderita sinusitis dengan infeksi
odontogen.4

2.5 PATOFISIOLOGI

Jarak yang dekat antara sinus dan geligi menjelaskan mudahnya terjadi
ekstensi dari proses infeksi pada gigi menuju sinus maksillaris. Ketebalan dari
dinding lateral maksilla yang membentuk dinding anterior sinus maksilla berkisar 2
sampai 5 mm. Otot levator labial dan otot orbicularis oculi terletak pada dinding
dibawah foramen infraorbital dan secara langsung menyebarkan infeksi dari gigi
maksilla ke sinus maksillaris.9

Lantai dari sinus dan hidung dibentuk oleh tulang kortikal padat yang secara
efektif menghalangi kemungkinan penetrasi langsung dari infeksi odontogenik ke
sinus maksillaris atau ke dasar hidung. Kelemahan dinding lateral tulang maksilla
lebih mudah untuk terjadi penetrasi dibandingkan lantai dari sinus maksillaris. Hal ini
menjelaskan mengapa infeksi odontogenik lebih sering bermanifestasi sebagai infeksi
jaringan lunak vestibular atau fasial dan tidak sebagai sinusitis. Namun infeksi
odontogenik dapat mengalir menuju sinus, terutama pada individu dengan akar gigi
lebih proksimal ke arah lantai sinus. Dekatnya jarak antara gigi maksilla dengan
antrum, terutama pada kejadian pneumatisasi sinus, yang kadang hanya menyisahkan
mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang memisahkan kavitas sinus dari akar
gigi.9

Kebanyakan infeksi sinus maksilla berkaitan dengan sumber infeksi


odontogenik yang berasal dari karies gigi yang kemudian menjadi pulpitis dan dental
abses. Faktor virulensi bakteri seperti enzim kolagenase dan lisozome, dan toksin
dapat menyebabkan invasi kerusakan jaringan. Infeksi odontogenik dapat
menyebabkan perforasi ke tulang alveolar melalui akar foramina pada apeks gigi
menuju jaringan lunak buccal. Infeksi yang berasal dari akar palatum dari gigi molar

12
maksilla atau dari akar gigi incisor juga dapat menyebar secara subperiosteal hingga
ke palatum durum bahkan dapat mencapai orbita melalui sinus atau rute lainnya.
Penyebab iatrogenik juga dapat menyebabkan sinusitis maksillaris. Termasuk di
antaranya terapi akar gigi, yang memicu inflamasi periapikal pada dasar sinus. Alat
yang membawa bakteri ke kavitas sinus, masuknya bahan yang digunakan pada
perawatan gigi ke dalam sinus, perforasi membran sinus pada operasi periodontal,
dan dislokasi akar gigi ke dalam sinus pada ekstraksi gigi.9

Mikroorganisme yang paling umum ditemukan pada sinusitis akut yaitu S.


pneumonia, H. influenza dan Branhamella catarrhalis pada naka-anak. Terapi medis
dimaksudkan untuk mengatasi penyebab sinusitis dengan penggunaan antibiotik yang
efektif melawan mikroorganisme tersebut. meskipun demikan, kadang pula sinusitis
akut berubah menjadi sinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi
ostium dan inflamasi pada membran Schneidarian dan mengurangi jumlah oksigen
pada rongga sinus dan menjadi kondisi yang optimal untuk perkembangan spesies
anaerob. Pembentukan mukus purulen semakin mengurangi jumlah oksigen pada
rongga sinus, yang makin meyulitkan terapi karena banyaknya kuman anaerob yang
resisten terhadap antibiotik.3

Flora oral mugkin saja menyebabkan infeksi odontogenik yang dapat meluas
ke sinus maksillaris. Diantaranya flora aerobik dan anerobik seperti Streptococci spp,
Bacteriodes, Viellonella, Corynebacterium, Fusobacterium, dan Eikenella. Sekresi
oral sangat terkontaminasi dengan estimasi jumlah kuantitatif mikroorganisme pada
saliva dan plak gigi terutama pada penyakit periodontal yakni 1.8x1011/g, atau level
yang sama pada feses manusia. Sehingga tidaklah sulit untuk membayangkan
tingginya risiko infeksi sinus melalui penyebaran dari sumber dentogen.3

Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal,
sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur
periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket dan (3) jalur

13
perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi
hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak atau belum dapat tumbuh sempuna. Sering
terjadi melalui jalur periapikal. Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan
gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan
berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis
pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya
gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai
apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang
terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau
jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut.10

Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan


limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari
gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai
jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang berasal dari luar mulut; (2) melalui
suatu keseimbangan flora yang endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam
pulpa gigi yang vital dan steril secara normal. Infeksi odontogen menyebar ke
jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi
oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi
dari daerah yang terlibat.10

14
Gambar 7: Penyebaran infeksi pada sinusitis maksillaris dentogen

Gambar 8: Faktor penyebab terjadinya sinusitis maksillaris dentogen

15
2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang mencakup evaluasi terhadap gejala pasien, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat dan pemeriksaan kelainan pada gigi. Pada anamnesis perlu
dicari gejala yang dialami pasien dan mengkorelasikan dengan pemeriksaan fisik
untuk mengarahkan ke diagnosis sinusitis.11

Pada sebuah studi menemukan bahwa gejala yang paling sering yaitu
rhinorrhea purulen unilateral, nyeri pada regio maksilla, penciuman yang berbau,
kongesti nasal unilateral, post nasal drips, bengkak pada ginggiva. Tidak ada pasien
yan mengeluhkan demam, dan bahkan ditemukan pasien asimptomatik yang
terdeteksi secara CT scan. Tidak ada perbedaan signifikan antara sinusitis maksillaris
odontogenik dengan sinusitis tipe lainnya. Namun, hampir keseluruhan pasien dengan
sinusitis maksillaris odontogenik mengeluhkan gejala yang unilateral.11

Gejala klasik sugestif dari sumber odontogenik dapat mencakup gejala


sinonasal seperti obstruksi nasal unilateral, rhinorrhea, dan atau pengecapan atau
penciuman berbau. Tambahan lainnya seperti sakit kepala, nyeri maksilla anterior,
dan post nasal drip. Gejala dental seperti nyeri dan hipersensitivitas dental tidak
mengarahkan ke kausa odontogenik. Pada sebuah studi menemukan nyeri gigi hanya
ditemukan pada 29% pasien, yang berarti bawa sinusitits odontogenik harus dicurigai
meskipun tanpa adanya manifestasi nyeri gigi. Selain itu manifestasi nyeri gigi atas
dapat terjadi akibat nyeri alih dari sinusitis. Sehingga kelainan sinus unilateral disertai
pengecapan dan penciuman yang berbau menjadi manifestasi klinik yang mungkin
dapat membedakan sinusitis odontogenik dengan sinusitis nonodontogen.5

16
Tabel 1: kriteria mayor dan minor sinusitis
Gejala dan tanda yang berkaitan dengan diagnosis rhinosinositis
Mayor Minor
Nyeri wajah/ nyeri tekan/ rasa penuh Sakit kepala
Obstruksi nasal Demam (selain stadium akut)
Post nasal drip atau purulen Halitosis
Hiposmia/ anosmia Fatigue
Demam (hanya pada stadium akut) Nyeri gigi
Batuk
Nyeri telinga/ tertekan/rasa penuh

Pemeriksaan mencakup inspeksi dari jaringan lunak di regio buccal dan


vestibulum, adanya eritema dan edema, meskipun penemuan ini jarang berkaitan
dengan sinusitis maksillaris. Edema jaringan lunak jarang terlihat pada sinusitis
maksillaris karena tidak adanya vena yang beranastomose yang berjalan di jaringan
subkutaneus, meskipun pada sinusitis kronik dapat terjadi pengikisan dinding sinus
sehingga dapat terlihat edema jaringan lunak intraoral. Akar gigi apikal yang
mengalami kelainan dapat menjadi nidus untuk sinusitis bakteri. Pada palpasi anterior
maksilla dapat ditemukan nyeri tumpul. Perkusi yang perlahan pada gigi maksilla
dapat menimbulkan nyeri terlokalisir pada 1 atau lebih gigi.9

Klasifikasi sinusitis berdasarkan perlangsungannya, anatomi sinus yang


terkena ataupun keduanya. Berdasarkan perlangsungan terdiri atas sinusitis akut
dengan gejala kurang dari 4 minggu diantaranya gejala persisten dari infeksi saluran
napas atas, rhinorrhea purulen, postnasal drainage, anosmia, kongesti nasal, nyeri
wajah, sakit kepala, demam, batuk, dan sputum yang purulen. Sinusitis subakut
dengan gejala antara 4 sampai 8 minggu. Sinusitis kronik dengan gejala diatas 8
minggu. Sinusitis rekuren yaitu 3 atau lebih episode sinusitis dalam setahun.12

Penilaian terhadap vitalitas gigi menggunakan tes pulpa elektrik ataupun


termal dapat membantu diangnosis. Evaluasi THT menggunakan rhinoskopi,
endoskopi nasal dan sinus, aspirasi isi sinus untuk pemeriksaan sitologi dan

17
mikrobiologi mengarahkan pada diagnosis yang tepat. Pemeriksaan radiologi
merupakan alat penting dalam penetapan diagnosis.9

Foto panoramik membantu untuk mengevaluasi hubungan antara gigi maksilla


dengan sinus maksilla, dan adanya pneumatisasi, pseudokista dengan akar gigi atau
gigi yang terlepas, ataupun benda asing di dalam sinus. Foto polos dengan posisi
water merupakan alternatif posisi terhadap foto panoramik. Namun, CT scan adalah
gold standard untuk pencitraan karena kemampuannya untuk visualisasi tulang dan
jaringan lunak pada potongan yang tipis dan tampilan yang multipel. CT scan
potongan aksial dan koronal dapat menunjukkan hubungan antara abses periapikal
dengan defek pada lantai sinus,dan kelainan pada jaringan lunak, dan menentukan
lokasi yang tepat dari benda asing pada sinus maksillaris.3,9

Gambar 9: pencitraan pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista periapikal. Kista ini timbul
dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang disebabkan oleh inflamasi.

18
Gambar 10: CT Scan aksial dan koronal yang menunjukkan akar gigi yang terlantar di bagian
alveolar dari sinus maksillaris (panah) yang menyebabkan penebalan mukosa sinus.

2.7 PENATALAKSANAAN

Penanganan dari sinusitits maksillaris odontogenik biasanya memerlukan


kombinasi pengobatan medikamentosa dan operatif. Eliminasi dari sumber penyebab
(misalnya menghilangkan benda asing seperti akar gigi dari sinus atau penanganan
gigi yang terinfeksi dengan ekstraksi atau terapi kanal akar) dibutuhkan untuk
mencegah kondisi yang berulang. Penatalaksanaan medis mencakup antibiotik oral
selama 7-14 hari yang adekuat terhadap flora sinus dan oral. Antibiotik dapat
dikombinasikan dengan dekongestan nasal sistemik selama 2 sampai 3 hari. Selain itu
pelembab nasal dan semprot saline dapat ditambahkan. 3,9

Jika lokasi dari akar gigi ke memasuki sinus, pengangkatan akar gigi
merupakan indikasi. Namun jika tidak ada perforasi dari membran sinus dan bagian
dari akar gigi yang terinfeksi sekitar 3 mm atau kurang, maka akar gigi dapat tidak
dibiarkan tertinggal. Operasi pengangkatan dilakukan dengan melakukan flap
superior pada seluruh ketebalan mukoperiosteal pada daerah yang akan dilakukan
ekstraksi atau pada lekukan antara caninus dan premolar. Tulang dikeluarkan agar
terlihat proses alveolar pada buccal, dan ujung akar dapat diambil. Teknik ini berguna
untuk memperluas rongga untuk ekstraksi terutama pada area maksilla posterior

19
(molar kedua atau ketiga). Pengangkatan ini dapat menyebabkan terjadi hubungan
yang besar atara oroantral. Jika penutup flap buccal gagal, banyak flap signifikan
terbaru yang dapat digunakan.9

Operasi pengangkatan dapat ditunda dan selanjutnya dilakukan dengan


pendekatan modifikasi Caldwell-Luc. Operasi pengangkatan dinding lateral sinus
untuk mendekati sinus maksillaris juga dapat digunakan untuk pengangkatan fragmen
akar dan benda asing. Teknik endoskopi telah berkembang pada beberapa tahun
terakhir dalam pengobatan sinusitis kronik dari sumber dental. Prosedur berkembang
untuk menciptakan jendela antrostomi dengan menghilangkan jaringan yang
mengalami kerusakan, polip, atau benda asing. Penanganan dari fistula oroantral yaitu
penutupan defek dan terapi medikamentosa yang adekuat. Defek dengan ukuran
kurang dari 5 mm akan sembuh secara spontan melalui mekanisme pembekuaan
darah dan penyembuhan mukosa. Namun, penggunaan bahan penghalang yang
absorbable untuk menutup dan melindungi defek saat fase penyembuhan awal dapat
digunakan.9

Pertambahan jumlah bakteri gram negatif dan anaerob seperti Prevotella dan
Fusobacterium spp akibat resistensi penicillin dan membentuk enzim beta-lactamase.
Penicillin merupakan pilihan terapi untuk infeksi yang dicurigai dari bakteri patogen
oral, namun karena semakin bertambahnya angka resistensi menyebabkan terbatasnya
penggunaan obat ini. Alternatif terapi untuk pasien yang alergi penicillin mencakup
sefalosporin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan clindamycin. Pemberian antibiotik
pada pasien yang resisten terhadap penicillin mencakup clindamycin, cefoxitin,
carbapenem, atau kombinasi penicillin dan beta-lactamase inhibitor. Metronidazole
efektif untuk kuman aerob dan streptococcus. 9

Pada fase akut, terapi mencakup ekstraksi gigi, drainase abses dental, dan
pembersihan antral. Pada kasus kronik setelah penanganan kelainan di periodontik.
Jika sinusitis persisten, diperlukan endoskopi fungsional untuk melebarkan ostium

20
sinus secara alami dan membersihkan mukosa sinus. Pengambilan jaringan saat
operasi dilakukan untuk pemeriksaan histopathologi untuk menyingkirkan infeksi
invasif dari fungi.13

2.8 KOMPLIKASI

Organisme penyebab dari sinusitis odontogenik berbeda dengan sinusitis


nonodontogenik. Sekali infeksi odontogenik ke sinus maksillaris tidak diterapi secara
adekuat, dapat menyebar dan menjadi pansinusitis. Komplikasi rhinosinusitis dan
dental diantaranya osteomielitis, selulitis orbita, trombosis sinus cavernosus,
meningitis, subdural empyema, atau abses intrakranial. Terdapat kasus yang
dilaporkan dengan komplikasi kebutaan, paralisis, dan kematian sebagai hasil
komplikasi dari sinusitis odontogenik.14

21
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih
mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. 10% kasus
sinusitis dengan sumber odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas. Meskipun
sinusitis dentogen adalah kondisi yang relatif umum, patogenesisnya masih belum
jelas serta masih kurangnya konsensus mengenai gejala klinis, pengobatan, dan
pencegahan.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang mencakup evaluasi terhadap gejala pasien, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat dan pemeriksaan kelainan pada gigi. Penunjang dengan tes
pulpa elektrik ataupun termal, rhinoskopi, endoskopi nasal dan sinus, sitologi dan
mikrobiologi, serta radiografi dengan posisi panoramik, water, ataupun CT scan
mengarahkan pada diagnosis yang tepat.

Terapi mencakup antibiotik adekuat terhadap folara patogen oral dan nasal,
dekongestan nasal, pelembap nasal dan spray saline. Tindakan mencakup bedah
endoskopi fungsional, serta prosedurlain dengan prinsip mengeluarkan penyebab
sinusitis dentogen.

Organisme penyebab dari sinusitis odontogenik berbeda dengan sinusitis


nonodontogenik sehingga terapi yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.

2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Keenam.
Jakarta: EGC; 1997.

3. Mehra Pushkar, and Murad Haitham. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic


Origin. In Elsevier Saunders Otolaryngologic Clinical of North America 37
(2004) 347364. [online] [cited on 2017 Januari 26th]. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15064067

4. Septiwati Madyaning, dkk. Hubungan Infeksi Gigi Rahang Atas dengan Kejadian
Rhinosinusitis Maksillaris di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi.2013 [online] [cited
on 2017 Januari 26th]. Available at: http://online-
journal.unja.ac.id/index.php/kedokteran/article/view/989/797.

5. Simuntis Regimantas et all. Odontogenic Maxillary Sinusitis: A Review. In


Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal, 16:39-43, 2014. [online]
[cited on 2017 Januari 26th]. Available at: http://sbdmj.lsmuni.lt/142/142-01.pdf

6. Snell Richard S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010

7. Faculty of Dentistry Mansoura University. Maxillary Sinus (Antrum


of Highmore). 2012.[online] [cited on 2017 Januari 29th]. Available at:
http://dentfac.mans.edu.eg/files/english/pdf/handouts/Maxillary_Sinus.pdf

8. Lechien Jerome R. Et all. Chronic Maxillary Rhinosinusitis of


Dental Origin: A Systematic Review of 674 Patient Cases. In

23
Hindawi Publishing Corporation International Journal of
Otolaryngology Volume 2014, Article ID 465173, 9 pages. [online]
[cited on 2017 Januari 26th]. Available at:
https://www.hindawi.com/journals/ijoto/2014/465173/

9. Brook Itzhak. Sinusitis of Odontogenic Origin. In


OtolaryngologyHead and Neck Surgery, Vol 135, No 3,
September 2006. [online] [cited on 2017 Januari 28th]. Available at:
http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1016/j.otohns.2005.10.059

10. Bogi arya kusumo. Hubungan Karies Gigi Rahang Atas dengan Sinusitis
Maksillaris Odontogen di Rsud Dati II Semarang: analitik observasional.
Semarang: Fakultas kedokteran universitas muhammadiyah semarang: 2011

11. Lee Kyung Chul et all. Clinical Features and Treatment of


Odontogenic Sinusitis. In Yonsei Medical Journal 51(6):932-937,
2010. [online] [cited on 2017 Januari 29th]. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2995970/

12. Slavin Raymond G. Et all. The Diagnosis and Management of


Sinusitis: a Practice Parameter Update. In Journal of Allergy,
Asthma and Immunology 2005;116:S13-47. [online] [cited on 2017
Januari 29th]. Available at: http://www.jacionline.org/article/S0091-
6749(05)02254-2/pdf

13. Colbert Kumaran Alias Ramesh. Odontogenic Maxillary


Sinusitis Need for Multidisciplinary Approach- A Review. In IOSR
Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS) Volume 13,
Issue 6 Ver. III (Jun. 2014), PP 25-30. [online] [cited on 2017

24
Januari 29th]. Available at: http://www.iosrjournals.org/iosr-
jdms/papers/Vol13-issue6/Version-3/F013632530.pdf

14. Ferguson M. Rhinosinusitis in Oral Medicine and Dentistry. In


Australian Dental Journal 2014; 59: 289295. [online] [cited on 2017
Januari 26th]. Available at:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/adj.12193/pdf

25

Anda mungkin juga menyukai