Referat DVI
Referat DVI
Disusun oleh :
Pembimbing :
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan
batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi.
Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia,
etnik, agama, latar belakang sosial dan budaya, dimana keadaan tersebut memberikan
petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi sebagai negara yang rawan dari bencana alam
terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor, banjir maupun kecelakaan baik darat, laut
maupun udara. Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan
oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-
lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan
menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim
medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah
mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. Dalam
seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya. Sedangkan yang
kedua, dikenal sebagai Man Made Disaster yang dapat berupa kelalaian manusia itu
sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat
ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme. DVI (Disaster
Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI
meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya,
yang terdiri dari The Scene, The Mortuary, Ante Mortem Information Retrieval,
macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol
menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA
serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography. Prinsip
dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post
Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
korban meninggal akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh
hukum dan ilmiah serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan
untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika
1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk melakukan
korban meninggal.
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang ada.
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan.
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait.
2.3 Tahap DVI
Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama
memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam
(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini
bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
identifikasi korban.
diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian
dievakuasi.
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
jika diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan
ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang
yang berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga
salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari
identifikasi sekunder.
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa
hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
korban.
d. Fase IV Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila
data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau
telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka
identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem
jenazah.
e. Fase V Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dan tidak terorganisir. Karena sejumlah besar unit organisasi sering sangat
berbeda terlibat dalam proses ini, komunikasi dan koordinasi fungsi dan tanggung jawab
sangat sulit.
Untuk mengatasi kekacauan awal, pencarian terstruktur dan fase penemuan harus
meliputi pencarian untuk tubuh, properti dan bukti (yang juga dapat digunakan
bencana;
b. pengumpulan dan pelestarian properti yang ditemukan di lokasi bencana yang
tidak secara langsung sesuai dengan pemulihan kembali dari suatu bagian
mengenaisituasi keseluruhan. Lokasi bencana dicari dan diproses secara metodis sector
per sektor. Setiaptim individu harus diberi sektor tertentu dari daerah bencana
yang tepat dan pakaian (helm, overall, sepatu bot, sarung tangan karet, dll)dan disediakan
berikutharus diperhatikan:
a. p e n c o c o k a n b a g i a n t u b u h y a n g t e r p i s a h h a r u s d i l a k u k a n
bagian tubuh harus diberi label. Ahli medis dan gigi harus di
b e r i k u t y a n g b e r k a i t a n d e n g a n pemulihan tubuh:
peralatanyang sesuai)
c. Marking tubuh / bagian tubuh dengan pelat nomor bukti yang jelas dibaca dan
dari posisi tubuh dengan bantuan GPS dan/atau instrumen survei TKP)
f. Dokumentasi foto tubuh untuk file pemulihan dan pemeriksaan medis
forensik
g. M e l a m p i r k a n n o m o r p e m u l i h a n u n t u k b a g i a n t u b u h /
identifikasi keseluruhan.
h. Perampungan Formulir DVI Interpol Post Mortem (merah muda), Bagian B,
diperlukan
l. Transfer bagian tubuh / badan dan dokumen pemulihan untuk Pusat Komando
stasiun kamar mayat, sebagai pusat koleksi tubuh (situs) untuk tubuh dan
bagian tubuh yang disampaikan oleh Tim Pemulihan dan Bukti Koleksi.Pusat
Bukti yaitu:
Bagian B)
b. daftar bukti
c. p e l a t n o m o r
d. kantong mayat
e. s e g e l
K o m a n d o P e m u l i h a n u n t u k m e m a s t i k a n kelengkapan baik di
Informasi yang berkaitan dengan identitas pribadi yang berasal dari benda-
benda ini diteruskan ke Tim Identifikasi Korban. PusatKoleksi Bukti / Properti juga
tepat
b. persiapan catatan di atas tangan untuk barang-barang bukti yang harus
identifikasi / pencocokan
e. menyusun pengembalian properti kepada pemilik / penerima
yang berhak
Daftar Pustaka
1. Singh, Surjit. 2008. Disaster Victim Identification (DVI). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-41%20(11).pdf
Semarang.
4.