Anda di halaman 1dari 7

HUKUM PERJANJIAN

PADMA D. LIMAN
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

SYARAT-SYARAT SAHNYA PERJANJIAN


Berdasarkan Pasal 1320 BW, syarat sahnya suatu perikatan adalah :
1. Kesepakatan antara para pihak yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Syarat-syarat 1 dan 2 disebut : Syarat Subjektif, karena menyangkut orang2/pihak2


yang melakukan perjanjian atau tentang subjek yang mengadakan perjanjian.
Kalau syarat 1 dan 2 ini dilanggar atau tidak ditepati, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.

Syarat-syarat 3 dan 4 disebut : Syarat Objektif, karena menyangkut perjanjiannya sen-


diri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Kalau syarat 3 dan 4 ini dilanggar atau tidak ditepati, maka perjanjian tersebut adalah
batal demi hukum.

Ad. 1. Kesepakatan Antara Para Pihak


Dalam Ps. 1321 BW, bahwa sepakat tersebut tidak sah jika terjadi karena :
a. Khilaf / Kekhilafan
b. Paksaan / Ancaman
c. Penipuan
Ketiga ini disebut Cacad Kehendak, karena masing-masing mempunyai persama-
an ---baik khilaf, paksaan/ancaman maupun penipuan--- yaitu kehendak dan per-
nyataan adalah cocok tetapi ada cacad pada kehendak tersebut, karena kehendak itu
terjadi bukan karena kehendak yang sebenarnya dari pihak yang memberikan pernya-
taan. Jadi agar suatu perjanjian sah maka sepakat yang terjadi harus berdasarkan
kehendak yang bebas dan tidak karena kekhilafan, tertipu atau diancam.
Penyebab tidak sahnya suatu kesepakatan, yaitu :
a. Khilaf / Kekhilafan, adalah gambaran yang salah yang diperoleh salah
satu pihak terhadap atau mengenai objek perjanjian atau diri pihak lainnya.
Jadi ada kehendak yang sama, tetapi kehendak itu (kehendak salah satu pihak)
terbentuk dibawah pengaruh gambaran yang salah.
Mis. - Pembeli ingin membeli jeans yang biru tua sedangkan penjual memberi-
kan jeans yang luntur
- Pembeli mau membeli kursi rotan tetapi penjual memberikan kursi plastik.
Umumnya kekhilafan tidak mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian,
mis : -kekhilafan tentang harga harganya terlalu mahal maka diganti harga
yang sesuai;

1
- kwalitas barang yang tadinya menghendaki mutu terbaik diganti dengan
mutu standard
- tujuan pemakaian barang semula untuk kamar anak diganti kamar makan.

Ps. 1322 : 1 BW kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian


kecuali kalau kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menja-
di pokok perjanjian, maksudknya sifat barang yang sangat menentukan bagi
pihak khilaf untuk menutup suatu perjanjian.
Kriteria untuk mengetahui sifat barang yang sangat menentukan dapat dilihat
dalam Ps. 1328 BW & Ps. 251 KUHD, yaitu bahwa pihak yang khilaf tidak akan
menutup perjanjian atau setidak-tidaknya tidak dengan ketentuan/persyaratan yang
sama jika ia mengetahui dari semula bahwa tidak terdapat sifat tersebut dan sifat
ini harus diketahui oleh pihak lainnya bahwa merupakan hal yang essensial bagi
pihak yang khilaf.
Syarat-syarat untuk gugatan pembatalan perjanjian karena khilaf, adalah :
1. Ada kekhilafan mengenai hakekat barang, yaitu sifat barang yang bagi pihak
yang khilaf sangat menentukan untuk menutup perjanjian;
Kriterianya : Harus terang & nyata bahwa tanpa kekhilafan maka perjanjian tsb
tidak akan diadakan atau diadakan tetapi dengan syarat2 yang lain.
2. Harus ternyata bahwa pihak lain mengetahui atau harus dapat mengetahui
bahwa sifat itu adalah essensial bagi pihak yang khilaf.
3. Kekhilafan tidak disebabkan oleh kelalaian sendiri dari pihak yang khilaf.

b. Paksaan / Ancaman
Yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan psychis/rohani/jiwa bukan karena
paksaan pfisik. Oleh karena itu istilah yang lebih tepat adalah ancaman.
Ps. 1324 BW Paksaan yang berakibat dapat dibatalkannya suatu perjanjian ada
lah paksaan yang dapat menimbulkan ketakutan pada seseorang
yg berpikiran sehat bahwa dirinya/kekayaannya terancam dengan
suatu kerugian yang terang dan nyata.
Jadi paksaan ini menyebabkan orang berada dalam ketakutan dan akibatnya per-
janjianpun terjadi. Ini berarti terjadinya perjanjian tersebut karena dalam keadaan
ketakutan yang berarti tidak ada pernyataan kehendak yang bebas dalam membuat
perjanjian. Seandainya tidak ada perassaan takut tersebut maka ia tidak akan me-
nutup perjanjian tersebut atau perjanjian tetap ditutup tetapi dengan syarat-syarat
yang berbeda.
Hal yang diancam harus merupakan hal yang tidak diperkenankan oleh hukum,
mis. mengancam akan melakukan kejahatan terhadap diri atau kekayaan pihak
lain. Kalalu hanya diancam tidak diajak nonton, tidak ditraktir makan, tidak diajak
keliling dunia dan lain-lain atau diancam dipailitkan maka ini tidak termasuk dalam
pengertian ancaman yang dapat membatalkan suatu perjanjian. Karena ancaman
yang demikian tidak dilarang oleh hukum.
Jika seseorang tangannya dipegang dan dipaksa untuk tanda tangan dalam suatu
perjanjian maka ia tidak bisa minta pembatalan perjanjian tersebut dengan alasan
ada unsur paksaan berdasarkan Ps. 1324 BW. Karena dalam hal ini meskipun ia
memang tidak setuju dengan perjanjian tersebut tetapi hanya karena tangannya
dipegang dan dipaksa untuk menanda tangani perjanjian. Jadi dalam keadaan

2
yang demikian yang bersangkutan tidak pernah ada rasa setuju untuk membuat
perjanjian. Sedangkan berdasarkan :
- Ps. 1324 BW harus ada persetujuan tetapi persetujuan ini diberikan dalam
keadaan takut/dalam keadaan tidak bebas karena kalau tidak
disetujui maka akan dibuka rahasianya dimuka umum.
- Ps. 1323 BW Yang melakukan paksaan itu bukan hanya pihak dalam per-
janjian tetapi juga kalau dilakukan oleh pihak ketiga maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
- Ps. 1325 BW Perjanjian dapat dibatalkan meskipun yang dipaksa bukan pi-
hak dalam perjanjian tetapi suami/istri/sanak keluarga dalam
garis keturunan keatas atau kebawah dari pihak dalam
perjanjian.

c. Penipuan
Penipuan merupakan suatu bentuk khusus dari kekhilafan. Dikatakan demikian
karena penipuan baru ada jika gambaran yang salah (kekhilafan) ditimbulkan
dengan sengaja oleh tipu muslihat pihak lain. Harus ada hubungan kaussal antara
penipuan dengan terjadinya perjanjian atau dengan kata lain pihak yang ditipu
ttidak akan mengadakan perjanjian bila tidak dilakuan dengan tipu muslihat (ps.
1328 BW)
Pengertian tipu muslihat adalah harus ada suatu rangkaian pembohongan yang
dalam hubungannya satu dengan yang lain merupakan suatu tipu muslihat.
Menurut Hoge Raad Jika hanya terjadi satu pembohongan saja tidak merupakan
penipuan.
Mis. Jual beli kendaraan bermotor.
Tetapi ada juga sarjana hukum lainnya yang berpendapat bahwa hanya dengan
satu pembohongan saja maka tipu muslihat sudah terjadi.
Mis. Pembelian jeans yang impor dicampur dengan yang buatan dalam negeri atau
memuji-muji terus barang dagangannya secara berlebihan.
Didalam mengajukan gugatan pembatalan perjanjian yang berdassarkan penipuan
sebaiknya juga diikutkan karena berdasarkan kekhilafan sehingga kalau tidak
terbukti adanya unsur kesesngajaan (tipu muslihat) maka dapat didasarkan pada
kekhilafan.

Ad. 2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan


Berdasarkan Ps. 1329 BW setiap orang cakap membuat perjanjian sepanjang ia
oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap.
Dalam Ps. 1330 BW, dissebutkan 3 kelompok orang yang tak cakap membuat
perjanjian, yaitu :
Orang yang belum dewasa;
Orang yang ditaruh dibawah pengampuan;
Seorang istri Sudah tidak berlaku lagi sejak terbitnya Surat Edaran MA No. 3
tahun 1963, yang berlaku sebagai yurisprudensi.

3
Orang yang belum dewasa;
Ps. 330 BW Orang yang belum dewasa adalah umurnya belum genap 21
tahun dan belum kawin. Kalau sudah kawin sebelum usia 21 tahun dan
kemudian perkawinan tersebut bubar maka ia dianggap sebagai orang yang
sudah dewasa
Menurut hukum adat, kedewasaan seseorang tidak berdasarkan pada umur-
nya tetapi berdasarkan pada keadaan atau kemampuan mandiri dari orang
tersebut. Kalau ia sudah meninggalkan rumah orang tuanya dan telah mampu
berdiri sendiri maka ia telah dewasa.
Sejak berlakunya UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, maka kedua ketentuan
tersebut diatas tidak berlaku lagi. Berdasarkan Ps. 47 UU No. 1 tahun 1974,
yang termasuk anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18
tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan.
Untuk anak yang belum dewasa dalam membuat perjanjian, diwakili oleh :
a. Orang tuanya kalau ia berada dibawah kekuasaan orang tuanya.
b. Walinya kalau ia berada dibawah perwalian.

Orang yang ditaruh dibawah pengampuan;


Alasan2 orang ditaruh dibawah pengampuan, ialah : - Sakit jiwa;
- Boros;
- lemah kekuatan akal.
Caranya orang ditaruh dibawah pengampuan harus dengan keputusan Penga-
dilan Negeri.
Perbedaan antara :

Orang Yang Orang Yang Ditaruh


Belum Dewasa dibawah Pengampuan

1. Masih dibawah umur 1. Sudah dewasa

2. Dalam membuat perjanjian diwakili 2. Dalam membuat perjanjian di-


oleh orang tuanya atau walinya. wakili oleh curatornya atau
pengampunya.

Untuk perjanjian yang dibuat oleh seorang sakit jiwa yang tidak ditaruh dibawah peng-
ampuan adalah dapat dibatalkan, sepanjang bisa dibuktikan bahwa pada saat menga-
dakan perjanjian ia dalam keadaan sakit jiwa dan hal ini diketahui atau dapat diketahui
oleh pihak lain.

4
Ad. 3. Mengenai Suatu Hal Tertentu (Objek perjanjian
harus ada/jelas)
Ps. 1333 BW Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah perikatan yg
ditimbulkan oleh perjanjian harus mempunyai objek atau pres-
tasi yang tertentu atau dapat ditentukan.
Jadi apa yang diperjanjikan itu harus jelas, sehingga hak-hak dan kewajiban
kedua belah pihak jika timbul perselisihan dapat diketahui dengan jelas.
Mis. Perjanjian untuk menanggung sebagian kerugian yang timbul ini
merupakan perjanjian yang tidak jelas karena :
a. Tidak jelas sebagian itu berapa besarnya;
b. Tidak jelas kerugian yang timbul itu yang bagaimana.
Kalau suatu perjanjian jual beli yang belum menyebutkan jumlah barang atau
harga barang yang tertentu dan nanti kemudian baru disebutkan maka ini
bukan berarti tidak menyebutkan suatu hal tertentu dan ini sudah merupakan
suatu perjanjian yang sah.
Mis. a. Tidak menyebutkan jumlah barang :
A akan membeli beras yang seharga Rp. 2.500,--/Kg pada B; tetapi
jumlahnya berapa kilo belum disebutkan. perjanjian jual beli ini su-
dah sah.
b. Tidak menyebutkan harga barang :
Dalam perjanjian hanya disebutkan harganya ditentukan pada waktu
harga pasar saat penyerahan barang 3 bulan kemudian. perjanjian
jual beli ini sudah sah.

Ps. 1334 : 1 BW Barang yang belum ada dapat dijadikan objek perjanjian.
Barang yang belum ada ini ada 2 jenis, yaitu :

Ad. 4. Suatu Sebab Yang Halal


Pengertian sebab ini adalah dalam hubungan sebab dan akibat yang menyangkut isi
perjanjian. Ada 3 pengertian sebab yang halal atau suatu causa yang diperbolehkan,
yaitu :
a. Sebab yang menunjukkan suatu hubungan sebab akibat
Misalnya : - A melanggar hukum (sebab) maka mengakibatkan kerugian (akibat)
- A merusak barang milik orang lain yang mengakibatkan pemiliknya
rugi maka A harus memberikan ganti rugi.
b. Yang menjadi sebab adalah kontra prestasi
Misalnya : - dalam jual beli Penjual menyerahkan barang karena pembeli
menyerahkan uang.
- dalam pinjam uang dengan bunga Kreditur memberi uang ke
debitur karena debitur kelak akan mengembalikan uang pokok
pinjaman dan harus ditambah dengan bunganya.

5
- dalam sewa menyewa rumah diberikan untuk ditempati karena
telah menerima pembayaran
c. Sebab dari perjanjian adalah causa finalis yaitu sebab yang menunjukkan suatu
hubungan tujuan maksudnya tujuan kedua pihak dengan mengadakan perjanjian.
Misalnya : A dan B mengadakan kerja sama mendirikan PT karena sama-sama
mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari keuntungan.

Sedangkan untuk perjanjian Cuma-Cuma, karena tidak ada kontra prestasi maka sebab
disini adalah menunjukkan kehendak untuk membantu.
Misalnya : - Perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam uang tanpa bunga,
- Perjanjian hibah kehendak untuk memberi.

Perjanjian jual beli pisau adalah sah kalau dalam perjanjian jual beli tersebut tidak
diperjanjikan bahwa penjual menjual pisauynya hanya kalau digunakan pembeli untuk
membunuh orang.

Dalam Pasal 1335 KUHPerdata mengatakan bahwa suatu perjanjian batal demi hukum
jika :
a. Perjanjian tanpa sebab
b. Perjanjian dengan sebab yang palsu
c. Perjanjian dengan sebab yang terlarang.

Ad. a. Perjanjian tanpa sebab


Yang dimaksud dengan perjanjian tanpa causa oleh doktrin dan yurisprudensi
adalah : perjanjian yang tehnis terjadi secara tepat, namun UU tidak memberi
akibat hukum oleh karena perjanjian itu akan menimbulkan suatu
perikatan tanpa alasan yang patut.
Perjanjian ini umumnya terjadi pada perjanjian karena kehilafan salah satu
pihak atau kedua belah pihak.
Misalnya :
- Perjanjian Penetapan Ganti Rugi yang disebabkan oleh seseorang tetapi
kemudian ternyata bahwa kerugian itu bukan disebabkan oleh orang yang
harus membayar ganti rugi tersebut.
- Perjanjian Perdamaian tentang pembagian warisan yang didasarkan atas
kenyataan tidak ada testament tetapi kemudian ternyata ada testament yang
dibuat oleh pewaris.
Menurut salah salah seorang pakar hukum, Wiryono, bahwa karena causa/
sebab dalam suatu perjanjian tidak lain adalah isi dari perjanjian tersebut maka
tidak mungkin ada perjanjian yang tidak mempunyai causa. Bahwa setiap
perjanjian tentu mempunyai isi/causa bagaimanapun sedikit atau kecilnya.

Ad. b. Perjanjian dengan sebab yang palsu


Yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan sengaja menyebutkan causa
yang bertentangan dengan kebenaran, maksudnya agar pihak ketiga percaya
pada sebab/causa yang dibuat.
Ada tiga kemungkinan dalam perjanjian mepunyai sebab yang palsu, yaitu :
1. Kedua belah pihak berpura-pura mengadakan perjanjian tetapi tujuan mrk
perjanjian tersebut tidak berakibat hukum bagi mereka berdua.

6
Mis. Karena A banyak utangnya pada orang lain maka ia berpura-pura
menjual sebagian hartanya kepada B unrtuk menghindari pelunasan
utangnya kepada orang lain tetapi maksud mereka (A dan B) harta
tersebut masih tetap milik A.
2. Untuk menutupi suatu sebab yang terlarang
Mis. A memeras B untuk memperoleh sejumlah uang tetapi karena B tidak
mempunyai uang tunai maka dibuatlah perjanjian pinjam uang yang
isinya B mengaku telah meminjam uang A.
3. Untuk menutupi suatu sebab yang diperbolehkan
Mis. A ingin menghibahkan barangnya kepada B, tetapi A tidak mau
diketahu bahwa ia menghibah barangnya tersebut maka dibuatlah
perjanjaina jula beli antara A dengan B.
Tanggapan terhadap ketiga kemungkinan ini adalah :
Menurut Ps. 1335 BW, maka ketiga kemungkinan ini adalah perjanjian
uyang batal demi hukum karena mempunyai sebab yang palsu.
Menurut doktrin dan Yurisprudensi adalah bahwa hanya point 1 dan 2
adalah batal sedangkan kemungkinan point 3 adalah sah, karena hal yang
sebenarnyalah yang menentukan hubungan hukum antara kedua belah
pihak. Jadi B sah menjadi pemilik barang tidak berdasarkan jual beli tetapi
berdasarkan hibah.
Apabila dalam kemungkinan 1 dan 2 tersebut, barang atau objek perjanjian
telah berpindah tangan ke pihak ketiga yang beritikad baik maka pihak
ketiga ini harus dilindungi sehingga jual beli dengan pihak ketiga yang
beritikad baik adalh sah.

Ad. c. Perjanjian dengan sebab yang terlarang.


Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab
yang terlarang adalah :
Apabila dilarang oleh Undang-Undang
Misalnya : - A berjanji memberi B uang jika B membunuh atau merusak
rumah C. Perbuatan membunuh atau merusak rumah dila-
rang oleh UU.
- A membeli barang yang diketahuinya dari hasil pencurian
Perbuatan ini merupakan penadahan barang yang dilarang
oleh UU.

Apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik untuk kepentingan umum


Misalnya : menghibah sebagian hartanya ke istri adalah tidak sah.

Anda mungkin juga menyukai