Anda di halaman 1dari 40

TUGAS ILMIAH

ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN

DISUSUN OLEH :

Raesita Soleman

12100116278

PERSEPTOR :

dr. Fahmi Arief Hakim Sp. F

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Forensik adalah bagian dari ilmu kedokteran dasar yang diterapkan sebagai salah satu
landasan administrasi hukum dan kepentingan peradilan. Tugas utama dari para ahli forensik
adalah melakukan identifikasi terhadap jasad individu yang sudah rusak, mengalami
dekomposisi, atau sudah tidak dalam keadaan utuh. Identifikasi jenazah yang utama adalah
untuk membandingkan data post mortem dengan data ante mortem individu, melalui
pemeriksaan luar, dalam dan dimasukkan kedalam Visum Et Repertum sebagai sarana
peradilan berkekuatan hukum.

1.2 Rumusan Masalah


Karya tulis ini berisi pembahasan mengenai dasar ilmu forensik dan pemeriksaan
forensik.

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini ntuk mengetahui dasar ilmu forensik dan
pemeriksaan forensik.

1.4 Manfaat dan Kegunaan


Manfaat dan kegunaan karya ilmiah iniadalah untuk menambah pengetahuan dan
wawasan baik penulis dan pembaca mengenai dasar ilmu forensik dan pemeriksaan forensik.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Tatalaksana Pembuatan Surat Keterangan Medis

Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk
tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas permintaan pasien atau atas
permintaan pihak ketiga dengan persetujuan pasien atau atas perintah undang-undang.
Pembuatan surat keterangan medis harus berdasarkan hasil pemeriksaan, dan dokter
pembuatnya harus mampu membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta. Dalam
kode etik kedokteran Indonesia Kode etik kedokteran Indonesia (pasal 7) mengatur sebagai
berikut :
seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya
Deskripsi Alur Pembuatan SKM (Surat Keterangan Medis) :
1. Pasien datang ke Unit Rekam dengan membawa Surat Permohonan Pembuatan SKM
beserta persyaratannya, seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, surat rujukan,
fotokopi kartu peserta asuransi (untuk keperluan klaim asuransi), dll.
2. Petugas rekam medis, menerima surat permohonan SKM yang diajukan oleh pasien.
Kemudian mencatat surat permohonan tersebut ke dalam buku ekspedisi.
3. Petugas rekam medis mencarikan berkas rekam medis milik pasien yang telah
mengajukan permohonan pembuatan SKM. Kemudian, memeriksa berkas rekam medis
pasien tersebut. Apabila data sosial dan data medis pasien yang bersangkutan sudah lengkap,
maka petugas rekam medis membuat dan mengisi draft SKM. Namun, apabila data sosial
pasien dalam berkas rekam medis belum lengkap, maka petugas rekam medis melengkapi
data sosial terlebih dahulu. Sedangkan apabila data medis pasien yang belum lengkap, maka
petugas rekam medis mencari dokter yang merawat untuk melengkapi data medis pasien
tersebut, kemudian petugas rekam medis membuat dan mengisi draft SKM.
4. Selanjutnya, petugas rekam medis mencari dokter yang merawat untuk memverifikasi
draft SKM.
5. Apabila draft SKM disetujui oleh dokter (format dan pengisiannya sudah benar dan
lengkap), maka petugas rekam medis membuat Surat Keterangan Medis (SKM). Namun,
apabila draft tidak disetujui oleh dokter, maka petugas merivisi terlebih dahulu. Kemudian,
petugas rekam medis mencari dokter yang merawat untuk memverifikasi kembali.
6. Petugas rekam medis memintakan tanda tangan Surat Keterangan Medis kepada dokter
yang merawat. Kemudian, dokter menandatangani SKM pasien.
7. Setelah itu, petugas rekam medis mencatat SKM dalam buku ekspedisi dan
menyerahkan SKM kepada pasien.
8. Pasien menerima SKM yang telah diajukan.

2.Tatacara Pembuatan Visum Et Repertum


Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter
berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat
berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti berupa tubuh
manusia/benda yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan dengan
sebaik-baiknya atas permintaan penyidik untuk kepentingan peradilan. (Amir, 1995) Visum et
repertum merupakan pengganti barang bukti, Oleh karena barang bukti tersebut berhubungan
dengan tubuh manusia (luka, mayat atau bag ian tubuh). KUHAP tidak mencantum kata
visum et repertum. Namun visum et repertum adalah alat bukti yang sah.
Bantuan dokter pada penyidik : Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP),
pemeriksaan korban hidup, pemeriksaan korban mati. Penggalian mayat, menentukan umur
seorang korban / terdakwa, pemeriksaan jiwa seorang terdakwa, pemeriksaan barang bukti
lain (trace evidence). (Idries, 1997). Yang berhak meminta visum et repertum adalah,
penyidik, hakim pidana, hakim perdata, hakim agama. Yang berhak membuat visum et
repertum .(KUHAP Pasal 133 ayat 1), ahli kedokteran kehakiman, dokter atau ahli lainnya.

a. Prosedur Permintaan
Visum Et Repertum tata cara permintaan visum et repertum sesuai peraturan
perundang undang adalah diminta oleh penyidik, permintaan tertulis, dijelaskan pemeriksaan
untuk apa, diantar langsung oleh penyidik, mayat dibuat label, tidak dibenarkan visum et
repertum diminta tanggal yang lalu. (Idries, 1997).
Seperti yang telah di cantumkan dalam pasal 133 KUHP ayat 1 Dalam hal penyidik
untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati
yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Ayat 2
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Ayat 3 Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,
dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan
mayat.

b. Bentuk dan Isi


Visum Et Repertum Bentuk dan isi visum et repertum ( Idries, 1997)
1. Pro justisia, pada bagian atas, untuk memenuhi persyaratan yuridis, pengganti materai.
2. Visum et repertum, menyatakan jenis dari barang bukti atau pengganti barang bukti
3. Pendahuluan, memuat identitas dokter pemeriksa pembuat visum et repertum, identitas
peminta visum et repertum, saat dan tempat dilakukanya pemeriksaan dan identitas barang
bukti (manusia), sesuai dengan identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et
repertum dari pihak penyidik dan lebel atau segel.
4. Pemberitaan atau hasil pemeriksaan, memuat segala sesuatu yang di lihat dan ditemukan
pada barang bukti yang di periksa oleh dokter, dengan atau tanpa pemeriksaan lanjutan
(pemeriksaan laboratorium), yakni bila dianggap perlu, sesuai dengan kasus dan ada
tidaknya indikasi untuk itu.
5. Kesimpulan, memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil pemeriksaan, yang
disertai dengan pendapat dokter yang bersangkutan sesuai dengan pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya.
6. Penutup, yang memuat pernyataan bahwasanya visum et repertum tersebut dibuat atas
sumpah dokter dan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.

3. Tatalaksana Pembuatan Surat Kematian Kasus DOA


2.1 Syarat Surat Kematian
Ditandatangani dokter yang merawat atau dokter yang melihat kematiannya
Kematian yang wajar
Kematian yang diduga tidak wajar tapi sudah dilakukan pemeriksaan kematian
WNA wajib otopsi jika:
Sebab kematian tidak jelas
Mati di meja operasi/kondisi anestesi
Mati di tahanan
2.2 Alur Jenazah dan Surat Kematian
Setiap jenazah mati wajar dari RS diterima di kamar jenazah
harus dilengkapi Surat Kematian dari Bangsal
diberitahu sebelumnya, berikut pelayanan yang diinginkan
Setiap jenazah mati tidak wajar dan yang datang/dikirim dari luar RS tanpa SKK
harus diketahui polisi.
Jenazah dari luar RS yang ingin mendapatkan pelayanan di kamar jenazah harus
dilengkapi Surat Kematian
Dokter yang membuat Surat Kematian, tidak boleh memberikan jasa pelayanan
jenazah ybs. (skema alur jenazah terlampir)
2.3 Death on Arrival (DOA)
1. Memastikan Kematian
2. Lakukan pemeriksaan : Adakah sebab-sebab mati tidak wajar atau sebab-sebab kematian
tidak diketahui ?
3. jika iya : konsul kepada dokter spesialis forensic atau polisi.
Jika Tidak : pembuatan surat kematian
2.4 Isi Surat Kematian
Nomor
Tanggal
Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat
Waktu kematian
Sebab kematian
Nama dokter, No. SIP, alamat, tanda tangan
Dalam Surat Kematian sebaiknya disebutkan:
Manner of Death (Cara Kematian), e.g. Alami, Kecelakaan, Bunuh Diri,
Pembunuhan
Immediate Cause of Death
Underlying Cause of Death
Contoh:
Cara: Alami. Sebab: Fibrilasi Ventrikel, karena Myokardia Infark Akut, karena Trombosis
Arteri koronaria, sebagai konsekuensi dari penyakit atherosklerotik arteri koronaria
4. Tatalaksana Pembuatan Visum Kejahatan Seksual dan Penganiayaan
Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 bahwa barang bukti yang dimintakan
Visum et Repertum dapat merupakan korban mati dan korban hidup.
Untuk korban hidup Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan
kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan
Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban ini dapat
digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban
memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et
Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi.
Dalam perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau
meninggal dunia. Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena
Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban.
Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi
santunan kecelakaan.
Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum
et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi
pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian
lainnya.
Format visum et repertum :
- Pro Justitia
- Pendahuluan
- Pemberitaan
Pada korban hidup bagian pemberitaan terdiri dari :
a. pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa
yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban
ssebagai hasil dari kekerasan/tinak pidana/ diduga kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan baik itu
pemeriksaan fisik
Kesimpulamaupun peeriksaan laboratorieum dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Uraian hasil pemeriksaan korban hidup hanya uraian tentang keadaan umum dan
perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status
lokalis).
c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan
hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
Pada bagian
- Penutup
Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual, baik telah terjadi
persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dengan
korban. Dalam KUHP dikenal beberapa pasal yang mengatur kejahatan seksual. Pada
dasarnya kejahatan seksual (susila) dalam KUHP adalah setiap aktifitas seksual yang
dilakukan oleh orang lain terhadap seseorang perempuan tanpa consentnya.
Kejahatan/kekerasan seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa
pemaksaan, baik berupa kekerasan fisik maupun ancaman kekerasan. Kejahatan seksual
dengan unsur pemaksaan fisik akan menimbulkan perlukaan dan berakibat trauma psikologis
yang dalam bagi perempuan, sedangkan pelanggaran seksual tanpa pemaksaan fisik,
meskipun tidak mengakibatkan trauma fisik namun tetap dapat mengakibatkan dampak
psikologios di kemudian hari, terutama bila dilakukan terhadap anak perempuan. Kejahatan
seksual tanpa unsur pemaksaan. Kejahatan seksual tanpa unsur pemaksaan dilakukan dengan
bujukan atau tindakan lain dengan cara mengakali korban yang umumnya terjadi pada anak-
anak yang terjadi karena segala keterbatasan pengalaman dan penalarannya belum dapat
memberikan keputusan atau persetujuannya secara sempurna, sehingga dianggap persetujuan
yang diberikan oleh anak dengan usia tertentu tidak dianggap persetujuan yang sah.
Kemungkinan terjadinya tindakan ini telah lama disadari oleh para ahli hukum sehingga
delik-deliknya telah diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana. Seorang anak yang
berusia belum cukup 15 tahun dianggap belum dapat memberikan persetujuannya (consent)
yang sempurna sehingga dijadikan delik aduan, sedangkan seorang anak yang berusia belum
12 tahun dianggap belum bisa memberikan consent sehingga dijadikan delik biasa. KUHP
juga mengancam perbuatan seksual yang dilakukan oleh sesama jenis yang dilakukan dengan
paksa atau melibatkan anak di bawah umur. Namun pada perempuan dewasa yang belum
terikat perkawinan melakukan perbuatan seksual tanpa paksaan dengan seorang laki-laki
tidak mengakibatkan ancaman pidana bagi si laki-laki. Kejahatan seksual dengan unsur
pemaksaan. Kejahatan seksual dengan unsur pemaksaan ini diberi terminologi khusus yaitu
perkosaan. Delik ini telah diatur dalam pasal 285 KUHP yang antara lain harus memenuhi
unsur adanya kekerasan / ancaman kekerasan, adanya persetubuhan, dan korban adalah
perempuan yang bukan isterinya.
Ketiga unsur tersebut harus terbukti secara kumulatif. Perbuatan pemaksaan persetubuhan
oral atau anal, atau perbuatan paksa memasukkan sesuatu yang bukan penis ke dalam vagina
atau anal, ataupun pemaksaan persetubuhan terhadap isterinya sendiri tidak termasuk ke
dalam terminologi perkosaan. Meskipun demikian KUHP mengenal adanya perbuatan cabul
dengan paksa yang diancam dengan pasal 289 yang dapat diterapkan pada kasus-kasus di
atas, kecuali pada marital rape. Pemaksaan atau kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah
tangga telah diatur pada UU Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) nomor
23 tahun 2004.
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu
Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut
memang telah terjadi.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-
undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang Kejahatan
Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun
di luar perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287
KUHP) serta persetubuhan tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Homoseksual juga
termasuk bentuk kejahatan seksual bila dilakukan pada orang dengan jenis kelamin sama
namun belum dewasa seperti yang tertera dalam pasal 292 KUHP.
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual
sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada
tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu
memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung adanya persetubuhan.
- Pembuktian Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina,
penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi.
Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain:
Besarnya penis dan derajat penetrasinya
Bentuk dan elastisitas selaput dara (hymen)
Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri
Posisi persetubuhan
Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan.
Pemeriksaan harus dilakukan sesegera mungkin, sebab dengan
berlangsungnya waktu tanda-tanda persetubuhan akan menghilang dengan
sendirinya. Sebelum dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin
tertulis dari pihak-pihak yang diperiksa. Jika korban adalah seorang anak izin
dapat diminta dari orang tua atau walinya.
- Pemeriksaan Korban
a. Pemeriksaan tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila
ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah
sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari
kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan
ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk
dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara
menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu
diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang
memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat
dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan
pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau
benda lain yang masuk ke dalamvagina.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina
merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung
sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim
asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun
spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh
karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim
fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat
dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti
pula menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan;
maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu
tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan:
pertama, memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi
tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan.
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat
bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-
36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang
menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat
ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya
penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.

- Pemeriksaan Pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan pada
pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut dapat
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah
ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.

- Pemeriksaan Pelaku
a. Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.
b. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya.
Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu
ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi.
Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada
pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu
Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan
penyegelan.

- Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering
ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan,
pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka-luka akibat kekerasan
seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka
memar.
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak
berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada
wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus
menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang
dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua
pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi
namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas tersebut sudah hilang.
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak
berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat
membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada
setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin
dikerjakan.

-Perkiraan Umur
Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti yang
dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang tidak mungkin dapat
dilakukan (kecuali didapatkan informasi dari akte keahiran). Dengan teknologi
kedokteran yang canggih pun maksimal hanya sampai pada perkiraan umur saja.
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan yang
meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau
penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan radiologi
lainnya.
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan
bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan perkembangan
payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah
gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira
12 tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih). Juga
harus ditanyakan apakah korban sudah pernah menstruasi bila umur korban tidak
diketahui.
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal 287
KUHP untuk menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.Penentuan Pantas
Dikawin.
Apabila suatu perkawinan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang suci dan
baik, dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan, maka
penentuan apakah seorag wanita itu sudah waktunya untuk dikawin atau belum,
semata-mata hanya berdasarkan atas kesiapan biologis (yang dapat dibuktikan oleh
ilmu kedokteran), dalam hal ini: menstruasi. Bila wanita itu sudah mengalami
menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin. Untuk itu, yaitu untuk
mengetahui apakah wanita tersebut sudah pernah menstruasi dokter pemeriksa tidak
jarang harus merawat dan mengisolir wanita tersebut, yang maksudnya agar ia dapat
mengetahui dan mendapatkan bukti secara pasti bahwa telah terjadi menstruasi.
Menurut Muller, untuk mengetahui ada atau tidaknya ovulasi perlu dilakukan
observasi selama 8 minggu di rumah sakit, sehingga dapat ditentukan adakah selama
itu ia mendapat menstruasi. Sekarang ini untuk menentukan apakah seorang wanita
sudah pernah mengalami ovulasi atau belum dapat dilakukan pemeriksaan vaginal
smear.
Akan tetapi bila kita mengacu pada Undang-undang perkawinan, yang
mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia telah berumur 16 tahun, maka
masalahnya kembali kepada masalah perkiraan umur.

- Homoseksual sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Seksual


Di dalam pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang yang cukup
umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang berjenis kelamin sama
yang belum cukup umur atau belum dewasa.
Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
Dengan demikian kasus homoseks dan lesbian jelas merupakan kejahatan seksual,
bila partnernya belum dewasa, yang secara yuridis belum berumur 21 tahun atau bila berumur
kurang dari 21 tahun tetapi sudah pernah kawin, maka partnernya tersebut dianggap sudah
dewasa.
Jika kasus yang dihadapi adalah kasus homoseks antara dua pria, maka pembuktian
secara kedokteran forensik tidak sulit, oleh karena yang perlu dibuktikan dalam hal ini
adalah: perkiraan umur (belum dewasa), dan adanya sperma serta air mani baik dalam dubur
maupun mulut korban; juga perlu diperiksa bentuk dubur, bagi yang telah sering melakukan
persetubuhan melalui dubur, maka bentuk dari dubur akan mengalami perubahan, duburnya
terbuka, berbentuk corong (funnel shape), dan otot sfingternya sudah tidak dapat berfungsi
dengan baik.
Pada kasus lesbian, selain perkiraan umur maka perlu dicari apakah terdapat kelainan
yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan tangan atau alat-alat bantu.

- Pemeriksaan Laboratorium
Adanya cairan mani atau bercak yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk adanya
pemerkosaan atau upaya pemerkosaan, pembunuhan seksual pada wanita dan biasa juga
terjadi pada bestiality. Potensi dari materi cairan ini telah diketahui, dapat mengungkapkan
masalah paternitas atau nullitas, hal ini bisa membela dengan pertahanan bahwa adanya
tindakan pemerkosaan. Ini penting, sesuai dengan sirkumstansial , untuk membuktikan
bercak tersebut dihasilkan dari cairan mani, atau cairan yang dihasilkan dari vagina (labium
minora atau anus). Pada kejadian lain hal ini dapat menunjukan potensi cairan.
Bahan untuk pemeriksaan biasanya banyak ditemukan dari bercak mani pada pakaian
dan cairan dari vagian maupun anus, sejak adanya prosedur yang berbeda dalam memperoleh
spesimen dan menyiapkan pemeriksaan.
Pada kasus dugaan pemerkosaan perlu untuk melihat cairan mani berupa bercak
pada pakaian, di kulit perineum, paha, labium minor, rambut pubis, vagina dan lubang anus.
Ini tidak pasti membuktikan bahwa cairan semen masuk ke vagina, ini cukup sering
ditemukan pada labium minor atau rambut pubis sejak adanya penetrasi penis meskipun
bukan penetrasi komplit.
Cairan semen yang telah kering pada perineum atau labia minor paling baik
dikumpulkan menggunakan swab tenggorok. Sampel rambut pubis, yang mungkin juga
dibutuhkan untuk perbandingan dengan rambut yang ada pada pakaian terdakwa, harus
diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke kemasan kecil dari gelas. Rambut yang dipotong
tidak akan disertai akarnya sehingga menjadi tidak memuaskan.
Cairan dari vagina dikumpulkan menggunakan pipet atau swab tenggorok yang
dimasukkan dengan atau tanpa bantuan spekulum. Karena sperma dapat rusak secara cepat,
maka penting untuk membuat satu atau lebih smear pada gelas slide sesegera mungkin dan
untuk mengirimnya bersama dengan spesimen yang sesuai untuk penyelidikan. Demikian
pula, smear dari anal swab juga harus dibuat dengan segera

5. Penentuan Kualifikasi dan Derajat Luka


Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah
derajat luka atau kualifikasi luka.
Seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan
bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan. Rumusan hukum
tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan
bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada
seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau
komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur
dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita
memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat kekerasan tersebut, maka korban
dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam
pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Luka berat itu sendiri
telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang
korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka
korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut. Luka berat menurut pasal 90 KUHP
adalah :
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
kehilangan salah satu panca indera;
mendapat cacat berat;
menderita sakit lumpuh;
terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

6. Pemeriksaan Laboraturium Forensik Sederhana di Pusat Pelayanan Kesehatan


Tingkat Pertama
Pemeriksaan Laboraturium Forensik Terdiri dari :
Darah
Cairan mani dan Spermatozoa
Golongan darah (darah, cairan mani, rambut, kuku, dan kerokan kuku)
Gonokok
Toksikologi
DNA
Dan Lain-lain
Yang dapat dilakukan pada pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah darah
dan cairan mania atau spermatozoal
a. Pemeriksaan Darah
Tujuan pemeriksaan:
Identifikasi darah pelaku/korban
Darah kering/bercak darah:
Darah/bukan
Darah manusia/binatang
Golongan Darah
Darah menstruasi
Alur Pemeriksaan Darah :

Pemeriksaan Mikroskopis
Tujuan :
Morfologi SDM
menentukan darah berasal dari kelas
mamalia
-drum stick pada sel lekosit berinti banyak
- Sel pseudodecidua
Bahan :
Darah masih basah atau baru mengering
Cara Kerja :
Letakkan pada kaca obyek, tambahkan 1 tetes garam faal, tutup dengan kaca penutup
Buat sediaan apus, dengan pewarnaan Giemsa atau Wright
Hasil :
Mamalia SDM, cakram & tidak berinti
kelas lain oval / elips & berinti
Onta : oval / elips & tidak berinti

Pemeriksaan Kimiawi
PEMERIKSAAN PENYARING :
Benzidine : reagen : lar. Jenuh kristal benzidine dalam as.acetat glacial
(+) biru gelap
Phenolphthalin : reagen : phenophthalin 2 gr + 100 ml NaOH 20%,
dipanaskan dg butiran Zn
(+) merah muda

PEMERIKSAAN PENENTUAN :
Reaksi Takayama : Pembentukan kristal Pyridine Hemochromogen. Hasil
positif tampak Kristal Pyridine Hemochromogen yang berbentuk batang-
batang berwarna merah dadu/jingga yang kadang-kadang bersatu berbentuk
seperti bulu-bulu.
Hasil + : pasti darah
Reaksi Teichmann : Pembentukan pigmen/kristal Hematin HCl. Hasil positif
tampak adanya kristal hemin hidroklorida yang berbentuk batang-batang
warna coklat.
Hasil + : pasti darah
Reaksi Wagenaar : Pembentukan kristal Aceton-hemin. Hasil positif tampak
kristal aceton-hemin, berbentuk batang warna coklat
b. Pemeriksaan Cairan mani dan sperma
Tujuan :
Menentukan sperma dalam vagina untuk membuktikan adanya persetubuhan
Bahan :
Forniks posterior vagina
Bercak pada pakaian
Alur Pemeriksaan :

c. Pemeriksaan Gonokok
Tujuan :
Menentukan adanya bakteri Gonokok
Alat dan Bahan :
1. Larutan Methylen Blue 1%
2. Larutan Eosin/Acid Fuchin 1%
3. Alkohol 70%
Cara kerja :
Buat preparat apus pada kaca obyek
Fiksasi preparat apus dengan melewatkan di atas lidah api.
Rendam preparat dalam larutan Methylen blue 1% selama 5 10 menit.
Cuci preparat dengan air mengalir.
Bilas dengan alkohol 70% hingga preparat apus menjadi kering.
Rendam preparat dalam larutan Eosin/Acid Fuchin1% selama 1 2 menit.
Cuci kembali dengan air mengalir.
Lihat dengan mikroskop.
Hasil pemeriksaan :
Tampak bakteri gonokok, bentuk kokus berpasangan seperti biji kopi

7. Aplikasi Pengetahuan Tentang Traumatologi di Dalam Ilmu Kedokteran Forensik


Traumatologi forensik adalah suatu bagian ilmu kedokteran khususnya tentang trauma
fisik yang mempelajari derajat keparahan luka, hubungan luka dengan kekerasan
penyebabnya serta kaitannya dengan hukum. Peran ilmu kedokteran forensik didalam
membantu penyelesaian proses penyidikan perkara pidana khususnya dalam kasus perlukaan
dituangkan dalam bentuk Visum et repertum adalah ditujukan kepada, menentukan identitas,
menentukan jenis luka, menentukan jenis kekerasan, menentukan kualifikasi luka, dan
menentukan jenis luka dan jenis kekerasan penyebabnya.
Berdasarkan pada sifat atau ciri dari luka yang terdapat pada tubuh korban, dapat
ditentukan jenis kekerasan yang menyebabkan luka atau alat yang dipakai oleh pelaku
kejahatan dimana hal tersebut dapat berguna untuk proses penyidikan.
a. Jenis Kekerasan
a. Kekerasan Mekanik
1. Trauma akibat kekerasan tumpul : luka lecet, memar, luka terbuka tepi tidak rata,
patah tulang dan perdarahan serta robekan.
2. Trauma akibat kekerasan tajam : luka tusuk, luka iris, luka luka bacok
3. Trauma akibat senjata api
b. Kekerasan fisik
1. Suhu tinggi
2. Suhu rendah
3. Arus listrik
4. Petir
5. Tekanan udara tinggi
6. Radiasi
c. Kekerasan kimiawi
Trauma akibat korosifitas zat kimia yang bersifat asam atau basa.
b. Cedera akibat kekerasan tumpul
1. Memar , suatu kekerasan tumpul yang relatif lunak dapat tidak menyebabkan
cedera pada kulit / epidermis. Namun kekerasan tersebut telah dapat mencederai
pembuluh darah kapiler dibawahnya sehingga terjadi perdarahan di bawah
epidermis, kulit ari, di bawah dermis (kulit) ataupun dalam jaringan dan otot.
Warna memar menunjukkan usia luka. Perubahan warna memar dari merah, biru,
hijau, coklat , dan kuning. Adanya warna kuning di sekitar warna memar
menunjukkan bahwa memar telah berusia lebih dari 18 jam. Marginal hemorrhage
adalah memar yang terjadi di tepi daerah yang terkena trauma, terjadi karena
tekanan yang besar. Memar jenis ini justru pada daerah yang pucat
menggambarkan bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban, jejas pukulan,
cambuk/ tongkat dan sebagainya. Perbedaan luka memar dan lebam adalah
terjadinya hemostasis dan gravitasi dan kontusio jaringan, kerusakan kapiler
bawah kulit.
2. Luka lecet, kerusakan jaringan terbatas pada epidermis. Bila kulit terkena trauma
tumpul yang relatif ringan maka epidermis akan terluka. Reaksi leukosit sudah
dapat diharapkan sejak 2 jam pasca trauma, sedangkan regenerasi epitel mulai 24
jam. Bergantung pada keparahannya, pada umumnya 7-14 hari luka telah
menyembuh tetapi masih dapat dikenali karena warnanya masih lebih cerah dari
kulit sekitarnya. Biasanya menghilang setelah 2-6 minggu. Jenis luka lecet :
a. Luka lecet geser : epitel berkumpul pada pihak yang berlawanan dengan
arah trauma.
b. Luka lecet tekan : epidermis tertekan ke dalam, pada perabaan keras.
Dapat menunjukan bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ritsluiting,
jejas jerat, jejas cekikan dsb.
c. Luka akibat gigitan manusia dapat berupa luka lecet, memar dan dapat
juga lebih dalam lagi menjadi luka robek. Luka gigitan ini sering sangat
khas bentuknya sehingga disebut sebagai jejas gigitan (bite-mark). Dengan
menganalisa susunan luka lecet yang terbentuk (ukuran, posisi dan sudut
kemiringannya satu dengan yang lain) , dan dengan interpretasi yang
sangat berhati-hati, dapatlah diidentifikasikan siapa pelakunya. Harus
diingat bahwa jejas ini pada kulit yang elastis dapat berubah bentuk,
apalagi pada orang hidup serta jejas pada kulit dengan jaringan ikat jarang
dibawahnya dan kulit yang berlipat. Fotografi yang akurat (tanpa sudut
kemiringan), pemetaan dan pencetakan jejas harus dibuat segera oleh
orang yang ahli untuk kepentingan identifikasi.
d. Luka terbuka tepi tidak rata, Kerusakan jaringan lebih dalam dari
epidermis. Terjadi akibat kekerasan tumpul yang lebih berat. Bentuknya
biasanya tidak beraturan, kecuali bila benda penyebabnya merupakan
sudut berbentuk garis ( tepi meja, besi siku, dll). Tepi luka tidak rata,
sering tampak jembatan jaringan, folikel rambut tidak terpotong, bentuk
dasar luka juga tidak beraturan sedangkan disekitar luka sering tampak
luka lecet.
e. Patah tulang, Patah tulang dapat terjadi pada kekerasan tumpul dengan
tenaga yang relatif besar. Patah tulang impresi pada tulang pipih (kepala)
dapat memperlihatkan bentuk benda penyebabnya. Patah tulang berbentuk
radier terjadi pada kekerasan yang bergerak ke kepala yang relatif diam,
sedangkan patah tulang berbentuk linier sering terjadi pada kepala yang
bergerak mengenai benda keras yang relatif diam. Bila terjadi dua patah
tulang yang berturutan pada tempat yang berdekatan, maka garis patah
yang terjadi belakangan akan berhenti pada garis patah yang telah
terbentuk lebih dahulu.
c. Cedera akibat kekerasan tajam
1. Luka tusuk, ciri ciri luka tusuk : tepi luka rata , bentuk garis (lengkung / lurus),
dasar berupa titik, tidak ada jembatan jaringan , folikel rambut terpotong, sudut yang
tergantung jenis luka , panjang luka > lebar maksimal pisau yang masuk. Sudut luka
lancip = mata / ujung pisau , sudut luka tumpul = punggung pisau.
2. Luka iris, kedua sudut lancip, dangkal
3. Luka bacok, kedua sudut lancip, dalam
4. Cedera akibat senjata, pada perkenaan anak peluru ke kulit akan terjadi cekungan
kulit akibat dorongan anak peluru. Cekungan ini akan berakhir bila telah melampaui
elastisitas kulit sehingga terbentuk lubang yang tepinya dikelilingi luka lecet. Garis
tengah antara batas luar kelim lecet ini adalah setara dengan diameter anak peluru.
(Diameter sesuai dengan epidermis oleh karena dermis lebih elastis, sehingga terjadi
retraksi.) Apabila perkenaan membentuk sudut kurang dari 90 derajat, maka luka lecet
pada daerah arah datangnya anak peluru akan lebih lebar dari pada sisi yang
berlawanan, sehingga terbentuk kelim lecet yang bulat lonjong. Dalam hal ini diameter
anak peluru adalah setara dengan sumbu pendeknya. Sedangkan perbandingan antara
sumbu pendek dengan sumbu panjang adalah sama dengan sinus sudut datang anak
peluru terhadap kulit. Menurut gambaran lukanya ini, luka tembak masuk dapat dibagi :
a. Luka tembak masuk jarak jauh : lubang dan kelim lecet. Sellier (1975) mengatakan
bahwa kelim kesat yang juga sering tampak adalah semacam hapusan zat-zat yang
terbawa anak peluru, seperti minyak pelumas, jelaga dan elemen mesiu :Pb, Sb, Ba.
Kelim lemak ini khas untuk luka tembak masuk, sedangkan kelim lecet hanya
tampak jelas bila ada pengeringan epidermis, sehingga hanya tampak pada mayat
dan sangatjarang tampak pada orang hidup.
b. Luka tembak masuk jarak dekat (relatif dekat) : terdiri dari lubang, kelim lecet,
kelim tatu (dan kelim kesat). Kelim tatu diakibatkan oleh butir-butir mesiu yang
tidak terbakar tertanam ke dalam epidermis atau dermis.
c. Luka tembak masuk jarak sangat dekat : lubang, kelim lecet, (kelim kesat), kelim
tatu, jelaga dan api/panas. Api atau panas akan mengakibatkan hiperemi atau
terbakar (hangus)nya pakaian korban.
d. Luka tembak tempel : mesiu, jelaga dan gas panas masuk langsung ke dalam saluran
luka, sehingga tampak kehitaman. Lubang dan kelim lecet (dan kelim kesat) akan
tetap terbentuk. Disebelah luar kelim lecet tampak cedera epidermis yang disebut
jejas laras. Jejas laras terjadi karena hentakan kembali kulit oleh dorongan balik gas
panas ke arah laras yang menempel. Selain menimbulkan jejas laras, hentakan balik
ini juga dapat mengakibatkan luka yang berbentuk seperti bintang dan warna hitam
diantara kulit dan jaringan dibawahnya. Jejas laras tampak lebih jelas bila terjadi di
kepala. Sedangkan pada bentuk luka tembak keluar tidak khas dan sering tidak
beraturan. Pada setiap luka tembak harus ditentukan :
1. Luka tembak masuk/keluar ? Pada luka tembak keluar (LTK) biasanya kelim
tidak ada karena arah peluru dari dalam keluar dan arah peluru sudah
berubah. LTK biasanya lebih besar dari LTM dan sering berbentuk tidak
beraturan.
2. Jenis senjata : bermantel/tidak, beralur/tidak, jumlah dan arah alur, serta
diameter anak peluru (kaliber).
3. Jarak tembak , bila mungkin.
4. Posisi senjata dengan korban, bila mungkin.
5. Arah tembakan, paling tidak terhadap tubuh korban.
6. Bila LTM lebih dari satu, cari mana yang menyebabkan mati dan berapa
banyak tembakan (LTM) serta berasal dari satu atau lebih dari satu jenis
senjata.
7. Deskripsi anak peluru (bila ditemukan)
8. Anak peluru tidak boleh diambil dengan pinset,tapi harus dengan tangan dan
dibungkus kapas. Hal ini untuk menghindari kerusakan
9. Garis / alur yang berguna bagi upaya identifikasi.

8. Pembuatan dan Prosedur Pemeriksaan Luar Pada Jenazah


Pemeriksaan luar adalah pemeriksaan jenazah dengan mengamati sangat hati hati
atas kelainan yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan pada tubuh korban dan kemudian
dicatat dan dibuat deskripsi secara sistematis dengan memggunakan titik titik anatomis
yang tetap pada tubuh korban.Khusus pada korban wanita tidak boleh digunakan puting susu
sebagai titik anatomis, karena puting susu merupakan titik anatomis yang mobile (tidak
tetap). Selain itu dianjurkan agar dapat menggunakan titik anatomis yang lebih dekat dengan
luka atau jejas.
Pemeriksaan forensik meliputi pemeriksaan dalam dan luar atas jenazah yang
dimintakan oleh polisi penyidik yang menangani kasus sesuai dengan KUHAP Pasal 133 ayat
1 yang berbunyi Dalam hal penyidik untuk kepentingan pengadilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana,ia berwenang mengajukan permintaan keterangan kepada ahli Kedokteran
Kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Sistematika Pemeriksaan Luar


1. Identitas korban
Identitas korban yang dimintakan visum termasuk dalam bagian pendahuluan dari
Visum et Repertum.Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis didalam Visum et Repertum,
melainkan langsung dituliskan berupa kalimat kalimat dibawah judul.
Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas korban sesuai
dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat permintaan Visum et Repertum ( SPV ). Bila
terdapat ketidak sesuaian identitas korban antara SPV dengan catatan medis atau pasien yang
diperiksa, dokter dapat meminta penjelasan kepada penyidik.
Pasal 133 KUHAP menyatakan bahwa pejabat peminta visum et repertum adalah
penyidik. Selanjutnya, oleh karena visum et repertum dibuat dalam rangka pidana terhadap
kesehatan dan jiwa manusia yang termasuk ke dalam pidana umum, maka penyidik yang
dimaksud adalah penyidik POLRI (dan Polisi Militer).
Penyidik Pegawai Negeri Sipil hanya mempunyai wewenang yang sesuai dengan
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing sebagaimana pasal 7 (2)
KUHAP.
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang
sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut
dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.
Selanjutnya pasal 7 jo pasal 11 KUHAP menunjukkan bahwa penyidik pembantu juga
mempunyai kewenangan meminta visum et repertum. Penyidik pembantu mempunyai
kewenangan yang sama dengan kewenangan penyidik, kecuali dalam hal penahanan.
PASAL 7 KUHAP
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
(1)a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
(1)b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
(1)c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
(1)d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
(1)e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
(1)f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
(1)g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
(1)h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
(1)i. Mengadakan penghentian penyidikan;
(1)j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung- jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
PASAL 11 KUHAP
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Selanjutnya, pengaturan tentang syarat kepangkatan menjadi penyidik dan penyidik
pembantu diundangkan di dalam Peraturan Pemerintah N0 27 tahun 1983.
PASAL 2 PP No 27 TAHUN 1983
(2) Penyidik adalah :
(2)a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua polisi [1];
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.
PASAL 3 PP No 27 TAHUN 1983
(2) Penyidik pembantu adalah :
(2)a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Sersan Dua [2] polisi;
(2)b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda (golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu.
Dalam praktek sehari-hari tidaklah mungkin dokter dapat mengetahui apakah pejabat
yang menandatangani surat tersebut termasuk penyidik / penyidik pembantu ataukah bukan
penyidik / bukan penyidik pembantu hanya dengan melihat kepangkatannya saja. Hal ini
akibat adanya ketentuan bahwa hanya pejabat polisi RI tertentu yang diangkat sebagai
penyidik atau penyidik pembantu, dengan syarat kepangkatan yang diatur dalam PP no 27
tahun 1983. Umumnya mereka yang dapat diangkat sebagai penyidik / penyidik pembantu
adalah pejabat kepolisian yang bekerja di bidang reserse dan penyidikan kecelakaan lalu-
lintas. Selain itu pejabat kepolisian dengan jabatan struktural tertentu dapat
mengakibatkannya menjadi penyidik.

PASAL 2PP No 27 TAHUN 1983


(2) Dalam hal di suatu Sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah
Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.
Untuk memudahkan pengenalan keabsahan surat permintaan visum et repertum dari
polisi, pembuatan surat permintaan visum et repertum oleh POLRI selalu dengan
mengatasnamakan Kepala Kepolisian setempat, yang menurut PP no 27 tahun 1983 di atas
adalah selalu penyidik. Dengan mengatasnamakan komandan pada surat permintaan visum et
repertum maka yang bertanggung-jawab atas surat tersebut adalah pejabat atributifnya yaitu
komandan (selaku penyidik), sedangkan pejabat yang menandatangani surat tersebut atau
pejabat mandat hanya bertanggungjawab kepada atasan (pejabat atributif)nya saja.
Dengan demikian dokter tidak perlu lagi melihat kepangkatan penandatangan surat tersebut.
Dokter cukup meneliti keabsahan surat tersebut dari sudut kelengkapan administratif
surat, yaitu adanya kepala-surat instansi penyidik tersebut; nomor surat; tanggal surat;
identitas yang akan diperiksa; tempat dan waktu kejadian perkara atau ditemukannya; tanda-
tangan, nama lengkap dan NRP petugas yang menandatangani, dan stempel jabatan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas
seseorang korban tindak pidana kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah
penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun POM. Pengecualian diberikan
kepada penyidik PNS, yaitu kejaksaan agung, pada kasus pelanggaran HAM berat,
sebagaimana diatur dalam UU Peradilan HAM. Pasal 27 UU No 5 tahun 1991 tentang
kejaksaan masih memberikan kemungkinan bagi penuntut umum untuk meminta keterangan
ahli bila ia menganggap terdapat kekurangan dalam berkas yang diajukan penyidik.
Keterangan ahli yang dimaksud disini adalah keterangan ahli sebagaimana diuraikan
dalam pasal 186 KUHAP.
Sementara itu, oleh karena pembatasan jenis perkara dan sempitnya waktu yang dimiliki
penuntut umum, apabila ia menganggap berkas tersebut kurang lengkap oleh karena tidak
adanya visum et repertum, maka ia akan mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik
disertai permintaan agar penyidik melengkapi berkas dengan visum et repertum yang
dimaksud.
Hakim dapat meminta keterangan ahli kepada dokter sebagaimana tercantum di
dalam pasal 180 KUHAP jo pasal 186 KUHAP. Hakim juga dapat meminta visum et
repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP. Permenkes No 1993
tahun 1970 pasal 15 ayat (3) dan (4) menyebutkan bahwa visum et repertum psikiatrik dibuat
atas permintaan hakim ketua pengadilan, sedangkan bila diminta oleh polisi dan jaksa selama
masa pemeriksaan sebelum pengadilan disebut Keterangan Dokter.
Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et
repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum
langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum
dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.

Hasil Pemeriksaan
1. Label
Pada pemeriksaan luar harus dijelaskan label pada mayat terletak atau terikat pada
bagian tubuh yang mana, terbuat dari apa, berwarna apa, ada atau tidak materai / cap,
bertuliskan apa.
Contoh pembuatan label :
Label terikat pada : jempol kaki kanan korban, terbuat dari : kertas manila,
berwarna : merah muda, dengan / tanpa materai, bertuliskan : No.456/I/SekDg.

2. Tutup / bungkus mayat


Dijelaskan dengan rinci apa yang digunakan untuk menutup/ membungkus mayat
lapis demi lapis, bahannya apa, bertuliskan apa, ukurannya berapa, bila ditutup koran
sebutkan koran apa, terbitan tanggal berapa, bila mayat diikat sebutkan diikat dengan apa,
bila ditutup dengan kain sebutkan jenis kainnya, warnanya, corak/motifnya, merknya bila
ada.
Contoh deskripsi tutup mayat :
Jenazah dibungkus kardus warna coklat, bertuliskan mesrania 2T super pertamina
dengan ukuran 53x43x16 cm tertutup tanpa diplester. Bungkus dibuka tanpa alas kardus
berupa koran Padang Ekspress, terbitan 14 november 2007, 4 lembar. Jenazah dibungkus
plastik transparan, kedua ujungnya diikat tali rafia warna biru, plastik dibuka, jenazah
dibungkus kain batik warna coklat tua dan coklat muda, motif bunga bunga.
3. Perhiasan mayat :
Dijelaskan jenis perhiasan, jumlahnya, dari bahan apa, bentuknya, warnanya, bila
bermata jelaskan.
Contoh deskripsi perhiasan :
Jenazah memakai sepasang anting berbahan logam berwarna kuning keemasan
berbentuk bunga bermata batu berwarna putih.
4. Pakaian Mayat.
Dijelaskan secara lengkap, jenis pakaian, merk, warna dasar, corak dan warnanya,
tulisan, saku saku dijelaskan jumlahnya, letaknya, isi saku dirinci satu persatu.Selain itu
juga dicatat apabila terdapat robekan, robekan ini diukur dari tepi jahitan atas dan samping,
tepi sobek bagaimana. Kancing hilang atau adanya tanda tanda kerusakan pada pakaian
karena usaha perlawanan. Bercak pada pakaian berupa darah, cairan sperma, minyak, racun,
bekas muntah, faeces, dll harus disimpan untuk dianalisa. Pakaian yang basah diletakkan
ditempat terbuka agar mengering. Pada kasus kasus yang diduga pembunuhan pakaian tidak
boleh disobek, tapi dilepas satu persatu, tetapi pada kasus kecelakaan lalu lintas baju boleh
disobek.
Contoh deskripsi pakaian :
Jenazah memakai kaos ketat lengan pendek merk Adidas, warna merah jambu, motif
bunga bunga mawar warna merah pada bagian depan, dan celana jeans selutut warna
biru pudar, tanpa merk bertuliskan girls warna merah tua pada bagian depan, bersaku
dua pada bagian belakang, saku berisi hand phone merk NOKIA tipa 3200 warna merah,
pada baju jenazah terdapat bercak darah pada bagian bahu dan dada.
.5. Benda samping mayat :
Dijelaskan secar rinci benda apapun yang terdapat didekat mayat pada waktu mayat
ditemukan atau diantar oleh pihak yang berwajib.
Contoh deskripsi benda samping mayat :
Disamping mayat terdapat kantong plastik berwarna hitam berisi pasir.
6. Kaku mayat dan Lebam mayat :
Kaku mayat ( rigor mortis )
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat
seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi.
Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka
serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan dalam otot habis, maka energi tidak
terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.
Tingkat kaku mayat ( rigor mortis ) dinilai dengan memfleksikan lengan dan kaki
untuk mengetes tahanan. Kaku mayat mulai tampak kira kira 2 jam setelah mati klinis,
dimulai dari bagian luar tubuh ( otot otot kecil )kearah dalam ( sentripetal ). Teori lama
menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kranio kaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku
mayat menjadi lengkap, dipertahankan selam 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan
yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum
terjadi kaku mayat, otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan
terjadi pemendekan otot.
Faktor faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik
sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot- otot kecil dan suhu
lingkungan yang tinggi.
Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan
memperkirakan saat kematian. Terdapat beberapa kekakuan pada mayat yang menyerupai
kaku mayat;
Cadaveric Spasme ( Instantaneous rigor )
Adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric Spasm
sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan itensitas yang sangat kuat tanpa
didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan
ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat
sesaat sebelum meninggal. Cadaveric Spasme ini jarang dijumpai, tetapi sering terjadi pada
masa perang.
Kepentingan mediko legalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya misalnya,
tangan yang menggenggam erat banda yang diraihnya pada kasus mati akibat tenggelam,
tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri.
Heat Stiffening
Yaitu kekauan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot otot berwarna merah
muda, kaku tetapi rapuh ( mudah robek ). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban meti
terbakar. Pada heat stiffening serabut serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan
fleksi leher, siku, paha, lutut, membentuk sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap
semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
Cold Stiffening
Yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh,
termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi
ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.
Lebam mayat ( livor mortis )
Setelah kematian klinis, maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya
tarik bumi ( gravitasi ), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu
( livide ) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras.
Dara tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel
pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit paska mati, makin lama
intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8 12 jam. Sebelum
waktu ini, lebam mayat masih hilang ( memucat pada penekanan dan dapat berpindah jika
posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila
penekanan atau perubahan posisi tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis.
Tetapi walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup air sehingga sejumlah darah masih
dapat mengalir dan membentuk lebam mayat ditempat terendah yang baru. Kadang kadang
dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah.
Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel sel darah dalam jumlah yang
cukup banyak, sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot ototdinding
pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian, memperkirakan sebab
kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO atau CN, warna
kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, mengetahui perubahan posisi pada mayat yang
dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan memeperkirakan sebab
kematian.
Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap
dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan terbentuk
lebam mayat baru didaerah dada dan perut.
Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan, menunjukkan
saat kematian kurang dari 8 12 jam sebelum saat pemeriksaan. Mengingat pada lebam
mayat darah terdapat didalam pembuluh darah, maka keadaan ini digunakan untuk
membedakan dengan resapan darah akibat trauma ( ekstravasasi ). Bila pada daerah tersebut
dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau
pudar pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang.
7. Identifikasi umum jenazah :
Setelah identifikasi dan pengeluaran beberapa pakaian, ras dan seks dilaporkan. Umur
secar nyata dinilai pada anak anak dengan ukuran dan pada dewasa dengan perubahan pada
kulit dan mata, seperti kehilangan elastisitas kulit, hiperkeratosis senilis, bintik Campbell de
Morgan, purpura senilis dan arkus senilis. Warna rambut, kehilangan gigi dan perubahan
arthritik juga merupakan tanda yang jelas dari penuaan. Umur yang jelas harus dibandingkan
dengan umur yang diperkirakan dan penyelidikan dibuat tentang ketidak sesuaian yang nyata,
hal ini dapat ditemui pada kematian masal dimana terdapat mayat yang tertukar.
Panjang tubuh diukur dari tumit sampai puncak kepala. Pada bayi juga diukur lingkar
kepala, fronto occipitale, Mento Occipitale, dan lingkkar dada. Panjang tubuh harus
diukur karena panjang post mortem mungkin berbeda beberapa cm dari tinggi yang diketahui
semasa hidup. Ada beberapa variasi penyebab yang berlawanan, yang tidak perlu dibtalkan
satu swama lain. Contohnya, kelemahan otot memerlukan sendi yang relaks, kecuali bila
kaku sudah ada, tetapi diskus intervertebralis tampak menyusut, sehingga mengalami
pemendekan.
Berat badan dalam kilogram diukur bila tersedia fasilitas, jika tidak ada sebaiknya
ditaksir. Berat badan bayi harus selalu diukur. Bentuk badan dan status gizi harus dinilai pada
obesitas, kurus, dehidrasi, udema, pengurusan, dsb
Keadaan kebersihan, hygiene, panjang rambut dan jenggot, keadaan jari kaki dan
tangan, urin dan feses dicatat. Beberapa infestasi parasit seperti kuku atau tuma, pada laki
laki dilihat apakah zakar disunat atau tidak.
Warna kulit secara umum dicatat, terutama hipostasis. Cari kongesti atau sianosis dari
wajah, tangan dan kaki. Perubahan warna yang terlokalisasi khususnya anggota badan
unilateral, merngarah pada emboli arteri atau gangren yang baru mulai. Cetakan merah atau
merah kecoklatan diatas sendi sendi besar mengindikasikan hipotermia. Warna abnormal
yang lain termasuk warna coklat dari methemoglobinemia pada beberapa keracunan, bintik
perunggu dari clostridial septicaemia dan merah gelap dari sianida mirip dengan warna cherry
pink dari carboxyhemoglobin. Pigmentasi ras secara alami akan bermodifikasi dengan warna
kulit abnormal yang dapat dilihat.
8. Identifikasi khusus :
Kelainan kongenital dari beberapa tipe dilaporkan dari talipes equinovarus sampai
spina bifida, dari nevus sampai kaki tambahan. Tanda luar bawaan mungkin penting untuk
maksud identifikasi atau dalam hubungannya dengan luka lama dan penyakit. Tattoo,
sirkumsisi, amputasi, luka bekas operasi, deformitas fraktur lama dan bekas luka, luka bakar
atau percobaan bunuh diri pada pergelangan tangan dan kerongkongan dicatat. Sebagai
tambahan, artefak baik yang diluar maupun didalam tubuh, muncul dari percobaan resusitasi
dan harus dibedakan dengan hati hati dari trauma yang sebenarnya.
9. Rambut :
Dijelaskan secara rinci seluruh keadaan rambut. Yang dimaksud rambut disini
mencakup seluruh rambut yang terdapat pada bagian kepala, yakni meliputi rambut kepala,
alis mata, bulu mata, kumis, dan jenggot.
Rambut dijelaskan warnanya, jenisnya, tumbuhnya, panjangnya, sukar dicabut atau
tidak. Termasuk disini keadaan bagian yang tertutup rambut, apakah tampak pengelupasan
atau tidak, pada bayi dijelaskan keadaan ubun ubun, apakah masih terbuka, terdapat luka
atau hematom, warnanya, dan konsistensinya lunak atau tidak.
10. Mata :
Mata harus diperiksa dengan cermat, terutama untuk mendeteksi petekie pada sisi luar
dari kelopak mata, konjungtiva dan sklera. Petekie juga dicari dibelakang telinga dan pada
kulit dari wajah, terutama sekeliling mulut, dagu dan dahi. Disamping itu sangat penting
untuk dilihat apakah mata mayat dalam keadaan tertutup atau terbuka, dilihat keadaan
kekeruhanselaput bening mata ( kornea ) dan lensa, teleng mata ( pupil ), warna tirai mata (
iris ) termasuk kemungkinan pemakaian lensa kontak, selaput bola mata ( konjungtiva bulbi ),
selaput kelopak mata ( konjungtiva palpebra ) dan kemungkinan mata palsu.

11. Hidung, Telinga, dan Mulut :


Hidung
Dianalisa dengan teliti bentuk hidung, ada kelainan anatomis atau kelainan akibat
trauma, warna, cairan yang keluar, dan adanya krepitasi

Telinga
Dilihat bentuk telinga, apakah ada kelainan atau tidak dan apakah telinga masih utuh
atau tidak.
Mulut
Mulut mungkin terdapat benda asing, obat obatan, gigi yang rusak, gusi dan bibir
yang luka ( terutama frenulum yang ruptur pada kekerasan terhadap anak anak), dan lidah
yang tergigit pada epilepsi atau pukulan pada rahang ataupun karena menahan sakit sesaat
sebelum kematian. Gigi palsu sebaiknya diidentifikasi dan dipindahkan sebelum otopsi. Isi
lambung dan mulut mungkin tidak mengidentifikasikan regurgitasi ante mortem, tetapi
sebaiknya dicatat. Bubuk kering pada bibir mungkin bisa didapat obat obatan atau racun;
korosi dari mulut, bibir dan dagu mungkin dapat dilihat pada racun yang mengiritasi.
Perdarahan dari mulut, lubang hidung atau telinga harus dicatat, dan kemudian diteliti sebagai
sumber dari pemeriksaan dalam.

12. Gigi geligi :


Pemeriksaan gigi geligi ini apabila dilakukan secara terperinci dapat melibatkan
pemeriksaan yang rumit, mulai dari pemeriksaan yang sederhana sampai pemeriksaan yang
modern. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi ( odontogram ) dan rahang yang dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manua, sinar X, dan pencetakan gigi serta
rahang. Odontogram memaut data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi
dan sebagainya.
Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang
khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data
temuan dengan data pembanding ante mortem.
Pada tempat tempat dimana tidak tersedia pemeriksaan gigi geligi yang canggih,
pemeriksaan manual harus dipertajam, periksa gigi geligi dengan meraba dan menhitung gigi
satu persatu dengan tangan, dilihat apakah gigi masih utuh atau sudah ada yang hilang,
apabila sudah ada yang hilang sebutkan bagian gigi mana yang hilang dan digambarkan pada
skema gigi geligi, juga dilihat apakah gigi yang hilang tersebut secara alamiah atau akibat
trauma, dan apabila memungkinkan dilihat juga apakah gigi korban ada tambalan atau bentuk
bentuk perawatan lainnya.

13. Rongga rongga tubuh :


Muntahan, busa, atau darah mungkin terdapat pada mulut atau lubang hidung, dan
feses serta urin tidak terdapat lagi. Ini harus dihubungkan dengan tingkat dekomposisi post
mortem, yang sering mengarah pada pembersihan cairan dari orifisium; kebanyakan ahli
patologi forensik mempinyai pengalaman sehingga dipanggil oleh polisi untuk melihat
perdarahan yang fatal, hanya untuk menemukan cairan seperti darah untuk dibersihkan oleh
gas dari mayat yang membusuk. Sekret vagina atau perdarahan dicatat dan pemeriksaan
telinga untuk kebocoran darah atau cairan otak. Ejakulasi semen post mortem dari meatus
eksterna tidak ada artinya dan dapat dilihat pada tiap tipe kematian serta tidak berhubungan
dengan aktifitas seksual segera sebelum mati dan terutama tidak dihubungkan dengan
kematian akibat asfiksia.
Genitalia eksterna memerlukan pemeriksaan yang cermat, seperti pada anus. Patulous
anus sering terlihat pada post mortem, mengarah pada kelemahan sfingter. Mukosa dalam
sering tampak melalui orifisium. Ini juga pada kasus bayi dan anak anak, diagnosis dari
kejahatan seksual tidak harus diambil tanpa bukti jelas yang lain seperti sediaan apus mukosa
atau swab yang positif untuk semen. Pemeriksaan rutin pada genitalia pria biasanya hanya
menyampaikan inspeksi umum dari penis, glans dan skrotum, dengan palpsi dari testis.

14. Luka luka :


Pengukuran jarak luka dengan titik titik anatomis dibuat secara proyeksi, untuk
kekerasan tumpul pada badan dan kepala dua ordinat. Satu dari garis pertengahan depan
( GPD ) / garis pertengahan belakang ( GPB ) dan lainnya dari titik anatomis terdekat.
Pada kasus pembunuhan biasanya akibat kekerasan tajam, dibuat tiga koordinat dimana satu
lagi diukur dari tumit, sedangkan pada luka anggota gerak atas / bawah hanya dibuat satu
koordinat.
Contoh Pelaporan Koordinat tubuh manusia / deskripsi luka
1. Akibat kekerasan tumpul :
Pada dada kiri 6 cm dari GPD, 3 cm diatas puting susu terdapat luka lecet tekan seluas 3 x4
cm dikelilingi luka memar seluas 8 x 7 cm.
Pada lengan atas kiri bagian depan 4 cm diatas lipat siku ditemukan luka terbuka pinggir
tidak rata, sudut tumpul, terdapat jembatan jaringan dengan luas 5x 2 cm.
Pada dahi kiri 6 cm dari GPD, 2 cm diatas sudut mata luar ditemukan luka memar seluas
4 x 6 cm.
2. Akibat kekerasan tajam :
Pada lengan bawah kiri bagian depan, 7 cm diatas pergelangan tangan ditemukan luka
terbuka sudut lancip, pinggir rata, jika dirapatkan membentuk garis lurus sepanjang 4 cm,
yang membentuk sudut 30 derajat dengan garis mendatar.
Pada dada kiri 5 cm dari GPD, 2 cm dibawah puting susu, 145 cm diatas tumit, ditemukan
luka terbuka, pinggir rata, sudut lancip, jika dirapatkan membentuk garis lurus sepanjang 3
cm, sejajar dengan garis mendatar.

TITIK ANATOMIS
Titik antomis yang dapat dipakai untuk menentukan koordinat pada tubuh manusia :
Garis pertengahan depan ( GPD )
1. Batas rambut

2. Sudut mata

3. Sudut bibir

4. Puncak bahu

5. Puting susu

6. Pusar

7. Taju tulang usus depan

8. Lipat ketiak depan

9. Lipat siku / siku

10. Pergelangan tangan

11. Lutut / lipat lutut

12. Pergelangan kaki

13. Garis pertengahan belakang ( GPB )

14. Batas rambut


15. Lipat bokong

16. Lipat lutut

17. Mata kaki

15. Fraktur
Diperiksa secara teliti apakah terdapat fraktur pada mayat akibat trauma. Fraktur
disini bisa terbuka atau tertutup, pada fraktur tertutup bagian tulang yang dicurigai fraktur
harus diraba untuk menentukan adanya krepitasi, termasuk disini juga diperiksa apakah juga
terdapat dislokasi.

Visum et Repertum
Setelah dilakukan pemeriksaan luar, maka hasil pemeriksaan dituangkan dalam
visum et repertum, dimana bagian bagiannya tetap memenuhi kaidah yang ditetapkan oleh
undang undang.
Maksud pencantuman kata "Pro justitia" adalah sesuai dengan artinya, yaitu dibuat
secara khusus hanya untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai surat resmi dan tidak memerlukan meterai untuk menjadikannya
berkekuatan hukum.
Di bagian atas tengah dapat dituliskan judul surat tersebut, yaitu : Visum et
Repertum. Pada umumnya, visum et repertum dibuat mengikuti struktur atau anatomi yang
seragam, yaitu :
1.Bagian Pendahuluan.
Bagian ini sebenarnya tidak diberi judul "Pendahuluan", melainkan langsung merupakan
uraian tentang identitas dokter pemeriksa beserta instansi dokter pemeriksa tersebut, instansi
pemintah visum et repertum berikut nomor dan tanggal suratnya, tempat dan waktu
pemeriksaan, serta identitas yang diperiksa sesuai dengan yang tercantum di dalam surat
permintaan visum et repertum tersebut. Waktu pemeriksaan dapat dilakukan dalam satu
titik waktu dan dapat juga dalam suatu rentang waktu tertentu yang dapat pendek dan
dapat pula panjang (lama).
2. Bagian Hasil Pemeriksaan ( Bagian Pemberitaan).
Bagian ini diberi judul "Hasil Pemeriksaan", memuat semua hasil pemeriksaan terhadap
"barang bukti" yang dituliskan secara sistematik, jelas dan dapat dimengerti oleh orang yang
tidak berlatar belakang pendidikan kedokteran. Untuk itu teknik penggambaran atau
pendeskripsian temuan harus dibuat panjang lebar, dengan memberikan uraian letak
anatomis yang lengkap, tidak melupakan kiri atau kanan bagian anatomis tersebut, serta bila
perlu menggunakan ukuran.
Pencatatan tentang perlukaan atau cedera dilakukan dengan sistematis mulai dari atas ke
bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
3.Bagian Kesimpulan.
Bagian ini diberi judul "Kesimpulan" dan memuat kesimpulan dokter pemeriksa atas
seluruh hasil pemeriksaan dengan berdasarkan keilmuan atau keahliannya. Pada
kesimpulan visum et repertum kejahatan seksual (perkosaan) harus dijelaskan adanya tanda
tanda persetubuhan yang didapat dari hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium serta
tanda tanda kekerasan pada bagian tubuh lain.

4.Bagian Penutup.
Bagian ini tidak diberi judul "Penutup", melainkan merupakan kalimat penutup yang
menyatakan bahwa visum et repertum tersebut dibuat dengan sebenar-benarnya,
berdasarkan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah dan sesuai dengan
ketentuan dalam KUHAP.
Visum et repertum diakhiri dengan tandatangan dokter pemeriksa atau pembuat visum et
repertum dan nama jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai