Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian tentang sistem pengukuran kinerja masih menarik untuk diteliti

karena penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan validitas eksternal

perusahaan. Penelitian Lau dan Sardesai (2012) yang meneliti tentang peran dari

kepedulian organisasi terhadap pilihan sistem pengukuran kinerja, yang dimana

penelitian ini mempunyai keterbatasan pada sampel perusahaan yang hanya

mengukur pada sampel di perusahaan manufaktur besar dan penelitian ini akan

menambahkan dengan sampel perusahaan manufaktur sedang. Penelitian

sebelumnya Lau dan Sholihin (2005) meneliti tentang pengukuran kinerja

keuangan dan nonkeuangan yang berpengaruh kepada kepuasan kerja. Penelitian

Lau dan Sholihin (2005) ini telah diteliti di Indonesia dan hasilnya adalah

pengukuran kinerja nonkeuangan berdampak kepada kepuasan kerja yang

efeknya secara tidak langsung melalui keadilan organisasi dan kepercayaan

kepada supervisor. Dengan adanya penelitian Lau dan Sholihin (2005) yang

sudah dilakukan di Indonesia, maka pengukuran kinerja komprehensif yang pada

awalnya menjadi variabel dependen akan berubah menjadi variabel independen.

Kinerja manajerial merupakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan

perusahaan dan karena setiap bagian tersebut membutuhkan sumber daya untuk

mencapai tujuan. Fungsi kinerja manajerial adalah untuk mengatur dan menilai

apakah kinerja yang dicapai selama ini telah sesuai dengan tujuan perusahaan

yang dapat dilihat dari kegiatan perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi,


2

supervisi, staffing, negoisasi, peran yang dijalankan. Kinerja manajerial dalam

suatu perusahaan sangatlah penting karena apabila kinerja manajerialnya kurang

baik maka dapat dipastikan perusahaan tidak dapat mencapai tujuannya. Apabila

kinerja manajerial dalam sebuah perusahaan baik, maka perusahaan akan mampu

mencapai tujuannya. Hal ini disebabkan karena dengan adanya kinerja yang baik

berarti manajer memiliki kemampuan bekerja secara maksimal dalam melakukan

kegiatan perencanaan, investigasi, koordinasi, melakukan evaluasi secara berkala,

dan melakukan supervisi dengan baik kepada bawahannya, dan menjalankan

peran dengan optimal sehingga perusahaan akan dapat mencapai tujuannya. Maka

dari itu ada beberapa faktor yang menyebabkan kinerja manajerial tersebut tinggi

atau rendah (Yudha, 2007)

Pengukuran kinerja komprehensif merupakan sarana untuk mengevaluasi

kinerja karyawan. Pengukuran kinerja komprehensif dibagi menjadi dua, yaitu:

pengukuran kinerja keuangan dan pengukuran kinerja nonkeuangan (Kaplan dan

Norton 1999). Pengukuran kinerja keuangan meliputi kemampuan perusahaan

dalam memenuhi atau mengurangi biaya yang telah dianggarkan, meningkatkan

penjualan yang dianggarkan, dan menghindari kesenjangan anggaran (Scott dan

Tieaaen 1999). Sedangkan pengukuran kinerja nonkeuangan pengukurannya

tidak beda jauh dengan balanced scorecard. Pengukurannya melalui pelanggan,

bisnis internal, pembelajaran dan bisnis internal ( Kaplan dan Norton 1996).

Pengukuran kinerja komprehensif ini yang nantinya juga dipengaruhi oleh

keadilan organisasi.
3

Keadilan organisasi merupakan penilaian personal mengenai standar etika

dan moral dari perilaku manajerial (Cropanzo et al,. 2007). Dalam menilai

keadilan organisasional setidaknya terdapat tiga bidang yang harus dievalusi,

yaitu: imbalan, proses, dan hubungan interpersonal (Cropanzo et al,. 2007).

Banyak riset yang kemudian menguji keadilan organisasional dengan tiga

komponen, yaitu: distributif, prosedural, dan interaksional (Cohen-Carash dan

Spector, 2001). Penilaian individu terkait alokasi imbalan mengacu pada keadilan

distributif (Leventhal, 1976), sedangkan penilaian mengenai prosedur yang

digunakan untuk menentukan alokasi tersebut mengacu pada keadilan prosedural

(Cropanzo dan Greenberg, 1997). Keadilan yang terakhir adalah keadilan

interaksional yang mengacu pada cara manajemen berperilaku terhadap karyawan

(Cohen-Carash dan Spector, 2001).

Kepuasan kerja juga menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan

kinerja karyawan. Kepuasan kerja pada dasarnya mengenai rasa bahagia yang

diirasakan setiap karyawan dalam bekerja. Kepuasan kerja adalah sebagai sikap

umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat

kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap positif terhadap kinerja,

sedangkan seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap

yang negatif terhadap pekerjaan itu sendiri (Robbins 2003:91).

Penelitian ini mereplikasi pada penelitian terdahulu Lau dan

Sardesai (2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat

pada sampel penelitian. Sampel penelitian yang dilakukan oleh Lau dan Sardesai

(2012) adalah perusahaan manufaktur besar. Sedangkan pada penelitian ini


4

menggunakan sampel perusahaan manufaktur besar dan sedang, sehingga hasil

penelitian bisa di generalisasikan antara manufaktur besar dan kecil yang dapat

meningkatkan validitas eksternal perusahaan.

Berdasarkan latar belakang yang diungkapkan maka peneliti tertarik untuk

melakukan penenilitian dengan judul PERAN DARI KEPEDULIAN

ORGANISASI DALAM PILIHAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA.

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan pada uraian tersebut maka perumusan masalah adalah

sebagai berikut:
a. Apakah terdapat pengaruh positif pengukuran kinerja komprehensif

terhadap keadilan organisasi?


b. Apakah terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap

kepuasan kerja?
c. Apakah terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap kinerja

karyawan?
d. Apakah terdapat pengaruh positif pengukuran kinerja komprehensif

terhadap kepuasan kerja?


e. Apakah terdapat pengaruh positif kepuasan kerja terhadap kinerja

karyawan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh positif pengukuran

kinerja komprehensif terhadap keadilan organisasi?


b. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh positif keadilan

organisasi terhadap kepuasan kerja?


5

c. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh positif keadilan

organisasi terhadap kinerja karyawan?


d. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh positif pengukuran

kinerja komprehensif terhadap kepuasan kerja?


e. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh positif kepuasan kerja

terhadap kinerja karyawan?

1.3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan validitas eksternal

perusahaan dengan cara menambah sampel dari perusahaan manufaktur

skala besar menjadi perusahaan manufaktur skala besar dan perusahaan

manufaktur skala sedang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja

karyawan melalui pengukuran kinerja komprehensif, keadilan organisai,

dan kepuasan kerja karyawan.

1.4. Kerangka Pikir

Penelitian Lau dan Sardesai (2012): Peran dari keadilan organisasi dalam pilihan sistem
pengukuran kinerja pada perusahaan manufaktur besar (jumlah karyawan lebih dari 100 orang)
6

Penelitian Lau dan Solihin (2005):


Pengukuran kinerja komprehensif
mempengaruhi keadilan organisasi
Perlu ditingkatkan validitas eksternalnya (di Indonesia)

Penelitian ini akan mereplikasi dari penelitian terdahulu Lau


dan Sardesai (2012) dengan perbedaan menggunakan
sampel perusahaan manufaktur besar (jumlah karyawan >
\
100 orang) dan manufaktur skala sedang (jumlah karyawan
20-99orang) di Semarang

Gambar 1.1. Kerangka Pikir Penelitian


1.5. Sistematika Penulisan
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kerangka pikir penelitian, serta sistematika

penulisan dalam penlitian ini.


7

BAB II LANDSAN TEORI

Bab ini berisikan tentang teori-teori yang mendukung penlitian,

pengembangan dan perumusan hipotesis.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan objek dan lokasi penelitia, poulasi dan sampel,

definisi dan pengukuran variabel, metode pengumpilan data, dan

teknik analisis data/uji hipotesis.

BAB IV HASIL ANALISIS

Bab ini berisikan hasil dan analisis data yang akan menguraikan

pemnbahasan mengenai hasil penelitian dan analisis hipotesis yang

telah dikembangkan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian, saran, dan

keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengukuran Kinerja Komprehensif

Pengukuran kinerja komprehensi dari segi keuangan adalah kebutuhan

untuk menghasilkan laporan keuangan berkala, sistem akuntansi di banyak


8

organisasi banyak memberikan upaya yang cukup dan sumber daya untuk

menghitung angka pendapatan bulanan atau kuartalan. Akibatnya, pengukuran

kinerja dan evaluasi di banyak organisasi yang berat dipengaruhi oleh output dari

sistem pelaporan keuangan. Laporan keuangan secara tradisional berfokus pada

(1) apa dapat diukur secara obyektif, (2) apa yang bisa diukur dari segi keuangan

dan (3) hasil keuangan. Ukuran kinerja keuangan yang berasal dari sistem

pelaporan keuangan tersebut mungkin memiliki beberapa keterbatasan jika

digunakan untuk evaluasi kinerja karyawan. Pertama, tindakan tersebut cenderung

indikator lag, menggambarkan konsekuensi keuangan dari keputusan masa lalu.

Oleh karena itu, mereka memberikan sedikit bimbingan kepada karyawan untuk

tindakan masa depan. Kedua, karena mereka dinyatakan dalam istilah moneter,

mereka dapat dengan mudah dikumpulkan dan akuntan sering melakukan agregat

mereka. Langkah-langkah yang terlalu dikumpulkan tidak cocok untuk kinerja

evaluasi karena sulit untuk melacak mereka untuk tindakan tertentu atau karyawan

individu tertentu. Ketiga, menggunakan langkah-langkah keuangan yang terkait

dengan kinerja keuangan bulanan, triwulanan atau tahunan untuk mengevaluasi

kinerja karyawan dapat merugikan karena mereka mungkin tidak dapat

menangkap upaya karyawan dan kinerja secara komprehensif. Dengan gaji

eksekutif dan paket kompensasi terikat erat kinerja keuangan, manajer mungkin

kontrak dengan siklus jangka pendek bulanan periode pelaporan keuangan,

mendorong karyawan untuk fokus berlebihan pada pencapaian laba jangka

pendek. Upaya karyawan diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi jangka


9

panjang yang diinginkan seperti peningkatan kualitas, hubungan pelanggan,

inovasi dan pertumbuhan, sering tidak memadai ditangkap oleh ukuran keuangan.

Sedangkan pengukuran kinerja nonkeuangan pengukurannya tidak beda

jauh dengan balanced scorecard. Pengukurannya melalui pelanggan, bisnis

internal, pembelajaran dan pertumbuhan ( Kaplan dan Norton 1996). Perspektif

pelanggan adalah sumber komponen pendapatan dari tujuan keuangan. Hal ini

dikarenakan pendapatan perusahaan bersal dari penjualan produk kepada

pelanggannya. Perspektif bisnis internal mencakup identifikasi proses yang

diperlukan agar tujuan-tujuan pada perspektif ini dibangun dengan menganalisis

rantai nilai perusahaan. Perspektif yang terakhir yaitu pembelajaran dan

pertumbuhan, perspektif ini mengembangkan pengukuran dan tujuan untuk

mendorong organisasi agar berjalan dan tumbuh. Tujuan dari perspektif

pembelajaran dan pertumbuhan adalah menyediakan infrastruktur untuk

mendukung pencapaian perspektif sebelumnya.

2.2. Keadilan Organisasi

Teori keadilan Organisasi juga menunjukkan bahwa penilaian keadilan

dapat dipengaruhi oleh cara di mana orang diperlakukan. Menurut Greenberg

(1990) konsep keadilan organisasional berguna untuk memahami bagaimana

seseorang menilai kewajaran/keadilan dari penghargaan (achievement) yang

diterima. Keadilan organisasi merupakan salah satu konsep dalam perilaku

organisasi yang masih terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Hasil

berbagai kajian dan tinjauan terhadap konsep dan hasil empiris keadilan

organisasi menunjukkan bahwa konsep ini memainkan peran yang penting dalam
10

menentukan berbagai sikap dan perilaku individu. Menurut Li dan Cropanzano

(2009) menyebutkan bahwa keadilan organisasi dapat meningkatkan kinerja

individu, melahirkan perilaku kewarganegaraan, kesehatan mental yang baik,

tingkat stres yang rendah dan berbagai sikap individu yang lebih baik.

Menurut Colquitt et al. (2001) mengemukakan bahwa keadilan

organisasional mempunyai tiga tipe, yaitu keadilan distributif, keadilan

prosedural, keadilan interaksional, yaitu :

1. Keadilan Distributif
Keadilan distributif mengacu pada persepsi karyawan terhadap keadilan

dengan imbalan dan hasil yang bernilai lainnya yang didistribusikan dalam

organisasi. Persepsi keadilan distributif mempengaruhi kepuasan individu

dengan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan hasil seperti gaji,

tugas kerja, pengakuan, dan kesempatan untuk kemajuan.


2. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural adalah persepsi individu dari keadilan yang

digunakan untuk menentukan berbagai hasil. Misalnya, kinerja karyawan

dievaluasi oleh seseorang sangat akrab dengan pekerjaan yang sedang

dilakukan. Ketika pekerja menganggap keadilan prosedural tinggi, mereka

akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan, mengikuti

aturan, dan menganggap hasil yang relevan adalah adil. Tetapi jika para

pekerja merasa ketidakadilan prosedural, mereka cenderung menarik diri

dari kesempatan untuk berpartisipasi, untuk kurang memperhatikan aturan

dan kebijakan, dan menganggap hasil yang relevan adalah tidak adil.
3. Keadilan Interaksional
Keadilan interaksional adalah interaksi antara sumber alokasi dan orang-

orang yang akan dipengaruhi oleh alokasi keputusan, atau metode yang
11

menceritakan bagaimana untuk melakukan sesuatu dan apa yang harus

dilakukan kepada orang-orang dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Robbins and Jugde (2007), Keadilan Organisasional adalah

seluruh persepsi tentang apa yang adil di tempat kerja, yang terdiri atas keadilan

distributif, prosedural dan interaksional.

1. Keadilan Distributif adalah keadilan mengenai jumlah dan pemberian

penghargaan yang dirasakan di antara individu-individu.

2. Keadilan Prosedural adalah keadilan yang dirasakan mengenai proses

yang digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan.

3. Keadilan Interaksional adalah tingkat sampai mana seorang individu

diperlakukan dengan martabat, perhatian, dan rasa hormat.

2.3. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja secara umum adalah reaksi atau penilaian seseorang

terhadap aspek-aspek atas pekerjaan yang dilakukannya (Dewar dan Werbel,

1979). Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap

positif terhadap kinerja, sedangkan seseorang yang tidak puas dengan

pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu sendiri

(Robbins 2003:91). Kepuasan kerja merupakan suatu sikap positif menyangkut

penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja

termasuk didalamnya masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi

psikologis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa orang mau bekerja bukan hanya

mencari dan mendapatkan upah saja (unsur ekonomis) akan tetapi dengan bekerja

karyawan mengharapkan mendapat kepuasan kerja. (Anoraga 2003:82)


12

Luthans (2002:126) merumuskan bahwa kepuasan kerja adalah suatu

keadaan emosi seseorang yang positif maupun menyenangkan yang dihasilkan

atas penilaian suatu pekerjaan atau pengalaman kerja. Kepuasan kerja

mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini tampak dalam

sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di

lingkungan kerjanya.

2.4. Kinerja Karyawan

Kinerja diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan

perusahaan dan karena setiap bagian tersebut membutuhkan sumber daya untuk

mencapai tujuan. Tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi

karyawan / manajer dalam mencapai sasaran organisasi dan untuk mematuhi

standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan

dan hasil yang diinginkan melalui umpan balik kinerja. Hal ini dapat dilakukan

dengan memberikan penghargaan atau reward kepada karyawan untuk

meningkatkan kinerjanya.

Rahman, dkk (2007) menyatakan bahwa keberhasilan suatu organisasi

dalam mencapai tujuan dan memenuhi tanggung jawab sosialnya, sebagian besar

tergantung pada manajer. Apabila manajer mampu melakukan tugas tugasnya

dengan baik, maka organisasi akan mampu mencapai sasaran dan tujuan yang

dikehendaki. Seberapa baik seorang manajer melakukan perannya dalam

mengerjakan tugas tugas yang merupakan isu utama.

Masrukhin dan Waridin (2006) menyatakan bahwa tugas pimpinan adalah

mendorong bawahan supaya memiliki kompetensi dan kesempatan berkembang


13

dalam mengantisipasi setiap tantangan dan peluang dalam bekerja. Kinerja juga

disimpulkan oleh Masrukhin dan Waridin (2006) menjadi perbandingan hasil

kerja yang dicapai oleh pegawai dengan standar yang telah ditentukan. Kinerja

juga merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang baik kuantitas maupun kualitas

sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Dessler (1997) dalam Masrukhin dan Waridin (2006) menyatakan bahwa

kinerja merupakan prestasi kerja yakni perbandingan antara hasil kerja dengan

standar yang ditetapkan. Dengan demikian kinerja momfokuskan pada hasil

kerjanya. Kinerja karyawan dalam hal manajerial adalah kinerja individu anggota

organisasi dalam kegiatan manajemen antara lain : (Mahoney et al, 1963 dalam

Hall, 2004)

a) Perencanaan meliputi aktivitas penentuan tujuan, kebijakan dan

tindakan, penjadwalan kerja, penganggaran, merancang prosedur,

pemrograman.

b) Investigasi meliputi aktivitas penentuan, pengumpulan,

penyampaian informasi untuk catatan, laporan dan rekening,

pengukuran hasil, penentuan persediaan, analisis pekerjaan.

c) Koordinasi meliputi aktivitas tukar menukar informasi dengan

manajer di bagian organisasi yang lain untuk mengaitkan dan

menyesuaikan program, memberitahu bagian lain, hubungan

dengan manajer lain.

d) Pengawasan meliputi aktivitas pengarahan, memimpin dan

mengembangkan bawahan, membimbing, melatih, menjelaskan


14

peraturan kerja kepada bawahan, memberikan tugas pekerjaan dan

menangani keluhan.

e) Evaluasi meliputi aktivitas penilaian dan pengukuran proposal,

kinerja karyawan, penilaian catatan hasil, penilaian laporan

keuangan, pemeriksaan produk.

f) Pengaturan staf meliputi aktivitas mempertahankan angkatan kerja

di bagian yang dibawahi, merekrut, memilih pegawai baru

menempatkan, mempromosikan, memutasi pegawai.

g) Negosiasi meliputi aktivitas pembelian, penjualan, menghubungi

pemasok, tawar menawar dengan wakil penjualan, tawar menawar

secara kelompok.

h) Perwakilan antara lain dalam menghadiri pertemuan dengan

perusahaan lain atau pihak luar, pertemuan intern, pendekatan

kepada masyarakat, mempromosikan tujuan umum perusahaan.

Gibson et al (1995) dalam Masrukhin dan Waridin (2006) menyatakan

bahwa kinerja adalah catatan terhadap hasil produksi dan pekerjaan atau aktivitas

tertentu dalam periode waktu tertentu. Beberapa faktor yang berperan dalam

kinerja antara lain adanya efektivitas keseimbangan antara pekerja dan linkungan

yang berada di dekatnya yang meliputi individu, sumberdaya, kejelasan kerja dan

umpan balik.

2.5. Pengembangan Hipotesis

2.5.1. Terdapat pengaruh positif pengukuran kinerja komprehensif terhadap

keadilan organisasi.
15

Pengukuran kinerja komprehensif sangat penting untuk diterapkan di

sebuah perusahaan. Perubahan yang kompetitif dan teknologi yang semakin

canggih menuntut karyawan untuk meningkatkan aset yang tidak berwujud,

misalnya investasi yang dapat meningkatkan hubungan perusahaan dengan

pelanggan, pengukuran kinerja seperti ini dinilai obyektif karena hanya diukur

dari segi keuangan. Pengukuran kinerja komprehensif yang diukur dari segi

nonkeuangan dapat meningkatkan kinerja karyawan seperti peningkatan

pelanggan dan kepuasan karyawan. Pengukuran kinerja komprehensif pada

umumnya lebih fleksibel daripada pengukuran kinerja keuangan sendiri ataupun

kinerja nonkeuangan. Kombinasi antara keuangan dan nonkeuangan mampu

meningkatkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang perusahaan (Kaplan dan

Norton, 1996). Karena akurasi dan kelengkapan informasi dari pengukuran

kinerja komprehensif ini merupakan dasar bagi perusahaan untuk meperlakukan

karyawannya dengan adil (Leventhal et al., 1980). Penggunaan pengukuran

kinerja komprehensif sebagai tolak ukur untuk mengevaluasi kinerja dan

memberikan karyawan rasa adil dalam tiga komponen, yaitu: keadilan distributif,

keadilan prosedural, keadilan interaksional.

Berdasarkan teori keadilan orgnisasi menunjukkan bahwa penilaian

keadilan organisasi dapat dipengaruhi oleh cara dimana seseorang diperlakukan.

Menurut James (dalam Aryee et al., 2002), keadilan organisasional

mendeskripsikan persepsi individu ataupun kelompok atas adil tidaknya perlakuan

yang mereka terima dari organisasi dan perilaku mereka sebagai reaksi dari

persepsi tersebut. Dalam menilai keadilan organisasional setidaknya terdapat tiga


16

dimensi, yaitu: distributif, prosedural, dan interaksional (Cohen-Carash dan

Spector, 2001). Keadilan distributif mencerminkan persepsi keadilan yang

berkaitan dengan distribusi hasil yang diterima karyawan (Burney et al., 2009).

Hasil yang diperoleh karyawan didefinisikan sebagai gaji, promosi dan

pengakuan. Persepsi atas keadilan distributif tinggi ketika karyawan meyakini

bahwa rasio antara input yang mereka berikan (waktu, tenaga, dan keahlian) dan

hasil yang mereka dapatkan sama atau melebihi rasio acuan (Adams, 1965 dalam

Burney et al., 2009). Untuk meningkatkan pengukuran kinerja komprehensif,

perusahaan juga berusaha mewujudkan kesetaraan antara usaha yang diberikan

dalam pekerjaan dengan imbalan yang diterima, dengan tujuan agar karyawan

semakin merasa adil.

Sedangkan penilaian individu terhadap keadilan mengenai prosedur yang

digunakan untuk menentukan berbagai hasil tersebut mengacu pada keadilan

prosedural (Cropanzo dan Greenberg, 1997). Keadilan prosedural merupakan

keadilan dari prosedur yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan di

perusahaan. Prosedur dianggap adil ketika prosedur tersebut disusun dalam proses

yang konsisten, akurat, bebas dari bias, etis, tidak kaku, dan merepresentasikan

kepentingan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan prosedur tersebut (Leventhal,

1980 dalam Burney et al., 2009). Adanya penilaian yang konsisten dalam

menerapkan peraturan, serta tidak adanya diskriminasi perlakuan terhadap

karyawan, maka pengukuran kinerja komprehensif dapat meningkat sehingga

karyawan bekerja secara maksimal dan merasa adil.


17

Keadilan yang terakhir adalah keadilan interaksional yang mengacu pada

cara manajemen berperilaku terhadap karyawan (Cohen-Carash dan Spector,

2001). Keadilan interaksional merupakan keadilan yang terjadi ketika perlakuan

dalam implementasi atau pengalokasian tingkat upah yang dipandang adil.

Keadilan perlakuan atasan langsung dalam mendistribusikan level upah akan

mempengaruhi sikap karyawan. Dengan adanya keadilan interaksional yang

menjelaskan tentang karyawan yang mempersepsikan keadilan pada perlakuan

atasan mereka dalam mengalokasikan level upah, hal ini akan meningkatkan

pengukuran kinerja.

Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa persepsi pengukuran

kinerja komprehensif dapat meningkatkan keadilan organisasi. Dengan demikian,

maka pengembangan hipotesis dapat disimpulkan:

H1 : Semakin penting pengukuran kinerja komprehensif diterapkan di

dalam sebuah organisasi, maka organisasi memperlakukan karyawan

semakin adil.

2.5.2. Terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap kepuasan

kerja.

Setiap individu pada umumnya tertarik pada prosedur yang adil dan hasil

yang diperoleh dengan adil. Jika mereka menganggap imbalan, prosedur dan

interaksi antara atasan dan bawahan sebagai hasil yang diperoleh adil, maka

karyawan cenderung menjadi lebih puas. Cropanzano dan Greenberg (Saunders et

al., 2002) menyatakan bahwa keadilan distributif adalah keadilan yang diterima

anggota organisasi sebagai hasil dari keputusan tertentu, seperti: gaji, reward,
18

jadwal kerja, beban kerja dan tangung jawab lainnya. McFarlin dan Sweeney

(1992) menyatakan bahwa keadilan distributif merupakan prediktor yang lebih

kuat bagi kepuasan kerja dibanding prosedural. Keadilan distributif merupakan

prediktor penting bagi perilaku personal karyawan, misalnya kepuasan kerja. Hal

yang sama dikemukakan oleh CohenCarash dan Spector (2001) yang menyatakan

bahwa keadilan distributif merupakan prediktor yang paling kuat bagi kepuasan

kerja dibanding prosedural dan interaksional. Penelitian yang mendukurng tentang

pengaruh keadilan distributif terhadap kepuasan kerja yaitu, pegawai tetap di

sebuah instansi pemerintah di India oleh Aryee et al., (2002); karyawan bank

(Lam et al.,2002; McFarlin & Sweeney,1992), karyawan universitas; (Lowe &

Vodanovich, 1995); Karyawan televisi kabel (Moorman, 1991); serta mahasiswa

MBA (Pillai,1999).

Greenberg dan Folger (1983) menyatakan bahwa prosedur yang adil

cenderung untuk membiarkan orang mendapatkan apa yang mereka inginkan dan

akan membuat mereka lebih bahagia. Menurut McFarlin dan Sweeney (1992),

ketika manajer menerapkan aturan yang konsisten untuk semua karyawan dan

menghargai mereka berdasarkan kinerja dan prestasi tanpa adanya hubungan

pribadi, karyawan akan memiliki persepsi yang positif mengenai keadilan

prosedural di tempat kerja yang dapat menyebabkan kepuasan kerja karyawan

yang lebih tinggi. Penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai pengaruh

keadilan prosedural terhadap kepuasan kerja telah dilakukan oleh beberapa

peneliti, misalnya Aryee et al., (2002); Lam et al., (2002); Lowe & Vodanovich

(1995); Moorman (1991); Moorman et al., (1993); McFarlin & Sweeney (1992);
19

walaupun penelitian-penelitian tersebut mengambil seeting responden yang

berbeda, hasil berbagai penelitian tersebut menunjukkan dukungan pengaruh

positif keadilan prosedural terhadap kepuasan kerja.

Bies dan Moag (Beugre, 1998) menyatakan bahwa keadilan interaksional

didefinisikan sebagai kualitas perlakuan interpersonal yang diterima pekerja

selama pengimplementasian prosedur tertentu oleh pihak yang berwenang.

Kualitas perlakuan yang diterima bawahan dari interaksi sosial yang terjadi

sehari-hari dengan atasannya dapat mencerminkan informasi mengenai

status/kedudukan sosial-nya. Oleh karena itu, pekerja sangat mempedulikan

keadilan interaksional. Masterson et al. (2000) memperlihatkan keadilan

interaksional berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Cohen-Carash dan

Spector (2001) menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketidakadilan

interaksional, maka yang bersangkutan akan bereaksi negatif terhadap atasannya

dan tidak terhadap organisasi secara keseluruhan. Fong & Shaffer (2001); Lamertz

(2002); serta Moorman (1991) menunjukkan konsistensi dukungan pengaruh

keadilan interaksional terhadap kepuasan kerja.

Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa keadilan organisasi dapat

menigkatkan kepuasan kerja karyawan. Dengan demikian, maka pengembangan

hipotesis dapat disimpulkan:

H2 : Semakin organisasi memperlakukan karyawan dengan adil, maka

karyawan semakin merasa puas.

2.5.3. Terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap kinerja

karyawan.
20

Konsep keadilan organisasi sebagai proses manajemen pertama kali

dieksplorasi oleh Greenberg (1988, 1990). Dalam organisasi ada beberapa

kepentingan yang berbeda, tujuan, dan akses ke informasi individu pada tingkat

yang berbeda, hal ini menyebabkan adanya keyakinan yang berbeda tentang apa

yang menjadi adil. Banyak riset yang kemudian menguji keadilan organisasi

dengan tiga komponen, yaitu: distributif, prosedural, dan interaksional (Cohen-

Carash dan Spector, 2001). Colquitt (2001) mengkaitkan keadilan dalam tiga hal

yaitu: keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional.

Keadilan distributif merupakan keadilan yang dipandang atas penilaian yang

dibayarkan oleh perusahaan pada karyawan atas usaha yang mereka berikan

terhadap perusahaan (Blakely, 2005; Crow et al., 2012). Keadilan prosedural,

teori keadilan prosedural mempersepsikan suatu aturan dan prosedur yang

digunakan dalam mengalokasikan hasil perlu mendapat penilaian keadilan (Chon

et al., 2000). Keadilan interaksional (interactional justice) mengacu pada sejauh

mana suatu otoritas yang diberikan terhadap karyawan mampu dikomunikasikan

dengan baik (Jawad et al., 2012).

Dessler (1997) dalam Masrukhin dan Waridin (2006) menyatakan bahwa

kinerja merupakan prestasi kerja yakni perbandingan antara hasil kerja dengan

standar yang ditetapkan. Burney et al. (2009) juga menemukan bahwa ketika

karyawan merasa bahwa mereka bekerja dalam lingkungan yang adil, mereka

akan bekerja pada level yang lebih tinggi. Beberapa penelitian sebelumnya

menemukan hubungan yang positif antara keadilan organisasional dan kinerja.

Johnson et al. (2006) menemukan bahwa persepsi karyawan atas keadilan


21

organisasional mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, komitmen karyawan

pada organisasi, dan kinerja karyawan. Penelitian oleh Aryee et al. (2002)

menemukan bahwa keadilan organisasional berpengaruh terhadap hasil kerja

dengan kepercayaan sebagai variabel mediasi. Dengan adanya rasa adil yang

dimiliki oleh karyawan ini akan berdampak pada meningkatnya kinerja

karyawan. Berdasarkan uraian diatas, maka pengembangan hipotesis dapat

disimpulkan:

H3: Semakin organisasi memperlakukan karyawan dengan adil, maka

kinerja karyawan semakin baik.

2.5.4. Terdapat pengaruh positif pengukuran kinerja komprehensif terhadap

kepuasan kerja.

Pengukuran kinerja keuangan dan nonkeuangan yang berbeda ini, menjadi

penting untuk diterapkan di dalam perusahaan. Komponen dalam pengukuran

kinerja nonkeuangan sangat berbeda dengan pengukuran kinerja keuangan, karena

pengukuran kinerja keuangan lebih mengutamakan tentang laporan keuangan

perusahaan yang sementara, sedangkan pengukuran kinerja nonkeuangan bisa

diukur dalam jangka panjang. Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengukuran

kinerja nonkeuangan dirancang untuk mengukur hubungan sebab akibat antara

tindakan dan hasil (Young dan OByrne, 2001). Karyawan yang dievaluasi dengan

menggunakan pengukuran kinerja komprehensif cenderung mengalami kepuasan

kerja yang lebih tinggi.

Menurut Sandt (2001), sistem pengukuran kinerja yang komprehensif

tidak hanya berfokus pada satu atau beberapa aspek bisnis, melainkan mengambil
22

pandangan yang lebih luas lagi tentang komponen yang ada diluar aspek bisnis.

Ukuran kinerja dari belanaced scorecard dianggap lebih adil dan memiliki tinggat

keseimbangan yang tinggi, karena balanced scorecard pengukurannya meliputi

beberapa perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif

bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, keempat perspektif ini

mencakup semua aspek penting dari bisnis. Dengan adanya empat perspektif dari

balanced scorecard ini dapat membantu karyawan dalam memahami hubungan

antara aspek penting dari bisnis sehingga dapat membantu perusahaan dalam

memecahkan masalah (Kaplan dan Norton, 1992), sehingga memungkinkan

karyawan tersebut untuk mengalami rasa puas dalam bekerja.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dikemukakan beberapa peneliti

diatas, disimpulkan bahwa pengukuran kinerja komprehensif dapat meningkatkan

kepuasan kerja. Berdasarkan uraian diatas, maka pengembangan hipotesis dapat

disimpulkan:

H4: Semakin penting pengukuran kinerja komprehensif diterapkan di

dalam sebuah organisasi, maka karyawan semakin merasa puas.

2.5.5. Terdapat pengaruh positif kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.

Kepuasan kerja karyawan sering didefinisikan sebagai reaksi terhadap

pekerjaan seseorang (Cranny,1992) namun biasanya diukur sebagai penilaian

evaluatif dibandingkan dengan standar internal atau eksternal (Weiss &

Cropanzano, 1996). Literatur sebelumnya telah mendukung adanya hubungan

antara kepuasan kerja karyawan dan kinerja karyawan (Hakim, Bono, &

Thoresen, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa ketika individu mengalami


23

kepuasan kerja, mereka akan termotivasi untuk melakukan yang lebih baik karena

mereka siap untuk menerima peran yang lebih kompleks dan menantang karena

mereka merasa lebih puas dalam hal bekerja.

Hakim et al., (2002) berpendapat bahwa individu dengan evaluasi diri

yang tinggi lebih termotivasi untuk melakukan pekerjaan mereka. Kepuasan kerja

karyawan merupakan penentu utama terhadap kinerja karyawan karena individu

yang positif cenderung memiliki pandangan yang lebih baik dan meningkatnya

kepercayaan diri dalam diri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja

karyawan yang tinggi merupakan salah satu konsekuensi dari kepuasan kerja

karyawan. Berdasarkan uraian diatas, maka pengembangan hipotesis dapat

disimpulkan:

H5: Karyawan semakin merasa puas, maka kinerja karyawan semakin

baik.

2.6. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Berikut ini adalah definisi operasional dan pengukuran variabel pada

penelitian ini:

1. Pengukuran kinerja komprehensif


Pengukuran kinerja komprehensif adalah persepsi responden terhadap

pentingnya perusahaan menerapkan pengukuran kinerja komprehensif dari

segi keuangan maupun nonkeuangan. Pengukuran kinerja komprehensif

diukur dengan menggunakan konsep Lau dan Moser (2008) dengan

membagi menjadi dua item ada pengukuran nonkeuangan dan pengukuran

keuangan. Pengukuran nonkeuangan diadopsi dari Kaplan dan Norton


24

(1996) yang dibagi menjadi tiga item, yaitu diukur dari perpektif

pelanggan, proses bisnis internal dan yang terakhir perspektif

pembelajaran dan bisnis internal. Pengukuran keuangan diadopsi dari

konsep Scott dan Tiessen (1999). Pengukurannya menggunakan Skala

Likert dengan skala 7 point dari Sangat Tidak Penting (point 1) sampai

dengan Sangat Penting (point 7). Semakin tinggi skor menunjukkan

dimana pengukuran kinerja komprehensif semakin penting diterapkan di

dalam sebuah organisasi.


2. Keadilan organisasi
Keadilan organisasi merupakan persepsi responden tentang seberapa adil

karyawan diperlakukan dalam hal imbalan, prosedur, dan interaksi antara

atasan dengan bawahan dalam sebuah organisasi. Keadilan organisasi ini

diukur dengan menggunakan konsep dari Colquit (2011). Pengukurannya

menggunakan Skala Likert dengan skala 7 point dari Sangat Tidak Setuju

(point 1) sampai dengan Sangat Setuju (point 7). Semakin tinggi skor

menunjukkan organisasi memperlakukan karyawan semakin adil.


3. Kepuasan kerja
Kepuasan kerja merupakan persepsi responden terhadap perasaan puas

maupun tidak puas yang dihadapi oleh karyawan dalam bekerja selama ini.

Kepuasan kerja diukur dengan menggunakan konsep dari Dewar dan

Werbel (1979). Pengukurannya menggunakan Skala Likert dengan skala 7

point dari Sangat Tidak Setuju (point 1) sampai dengan Sangat Setuju

(point 7). Semakin tinggi skor menunjukkan karyawan semakin merasa

puas bekerja.
4. Kinerja karyawan
25

Kinerja karyawan dalam hal manajerial merupakan persepsi responden

terhadap kegiatan perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi,

pengawasan, pemilihan staff, negoisasi, perwakilan, dan kinerja secara

keseluruhan. Kinerja karyawan diukur dengan menggunakan konsep dari

Mahoney, Jerdee, dan Carroll (1963) yang mengkategorikan kinerja

karyawan dalam sembilan dimensi yaitu: kegiatan perencanaan,

investigasi, koordinasi, evaluasi, pengawasan, pemilihan staff, negoisasi,

perwakilan, dan kinerja secara keseluruhan. Pengukurannya

menggunakan Skala Likert dengan skala 7 point dari Sangat Rendah (point

1) sampai dengan Sangat Tinggi (point 7). Semakin tinggi skor

menunjukkan kinerja karyawan semakin baik.

BAB III

METODE PENELETIAN

3.1. Objek dan Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, objek penelitian adalah para manajer yang bekerja di

perusahaan manufaktur yang ada di kota Semarang dan telah terdaftar di Badan

Pusat Statistik (BPS) sejak 2014.

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur skala

sedang dan besar yang ada di kota Semarang yang berjumlah 278 perusahaan dan

sudah terdaftar di Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2014.

3.2.2 Sampel Penelitian


26

Sampel pada penelitian ini adalah manajer-manajer yang bekerja di

perusahaan manufaktur dengan skala besar dan sedang di Semarang. Penelitian ini

menggunakan metode purposive judgement sampling dengan kriteria :

1. Para manajer yang bekerja pada perusahaan manufaktur dengan skala

sedang dan besar di Semarang (yaitu dengan jumlah tenaga kerja di

atas 100 orang dan dibawah 100 orang). Alasannya karena manager

memiliki atasan yang memberikan penilaian tentang pengukuran

kinerja.

2. Mau berpartisipasi dalam pengisian kuesioner.

Tabel 3.1. Jumlah Perusahaan Manufaktur di Semarang

No. Keterangan Jumlah


1. Jumlah perusahaan manufaktur di Semarang 278
Jumlah perusahaan manufaktur yang tidak ada nomor
2. 1
telepon
3. Jumlah perusahaan manufaktur yang alamat tidak jelas 5
4 Perusahaan yang tidak bersedia berpartisipasi (255)
5 Perusahaan sampel, yaitu 17

Perusahaan manufaktur sedang 10

Perusahaan manufaktur besar 7


Sumber: BPS (Biro Pusat Statistik), 2014

Dengan proses penyebaran kuesioner dengan cara dikirim langsung ke

perusahaan yang akan di teliti. Kriteria perusahaan manufaktur skala sedang

adalah dengan tenaga kerja antara 20 hingga 99 orang sedangkan perusahaan


27

manufaktur skala besar dengan tenaga kerja diatas 100 orang (Biro pusat

Statistik, 2014).

3.3. Metode Pengumpulan data

3.3.1. Jenis dan sumber data

Jenis data pada penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data

yang diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara. Sumber datanya adalah

responden penelitian atau sampel penelitian ini yaitu para manajer.

3.3.2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dapat digunakan adalah teknik

pengumpulan data survei. Survei atau lengkapnya self-administered survey adalah

metode pengumpulan data primer dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan

kepada responden individu. (Jogiyanto, 2010).

3.3.3. Uji Kualitas Data

3.3.3.1. Uji Validitas

Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan

kecermatan suatu instrumen atau alat ukur dalam mengukur konsep yang

seharusnya diukur (Ghozali, 2005). Uji validitas akan dilakukan dengan bantuan

program SPSS, dengan melihat nilai Kaisye-Mayer-Olkin (KMO) dan Burtletts

test. Uji validitas ini dapat digunakan ketika memiliki KMO > 0,5 dan Burtletts

test yang signifikan. Jika kedua asumsi telah terpenuhi maka kemudian dapat

melihat hasil pengelompokkannya pada Rotated Component Matrix.


28

3.3.3.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana hasil

pengukuran tetap konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih

terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama.

Uji reliabilitas akan dilakukan dengan menghitung Cronbach Alpha dari masing-

masing instrumen dalam suatu variabel. Instrumen yang dipakai dalam variabel

tersebut dikatakan handal (reliable) apabila memiliki Cronbach Alpha lebih dari

0,60 (Nunnaly, 1978 dalam Ghozali, 2005).

3.4. Uji hipotesis

3.4.1. Menyatakan Hipotesis

Peneliti menggunakan hipotesis nol atau hipotesis alternatif sebagai

hipotesisnya. Adapun hipotesis yang digunakan sebagai berikut:

Ho1: Tidak terdapat pengaruh positif pengukuran kinerja komprehensif

terhadap keadilan organisasi.


Ha1: Terdapat pengaruh positif pengukuran kinerja komprehensif

terhadap keadilan organisasi.


Ho2: Tidak terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap

kepuasan kerja.
Ha2: Terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap kepuasan

kerja.
Ho3: Tidak terdapat pengaruh keadilan organisasi terhadap kinerja

karyawan.
Ha3: Terdapat pengaruh keadilan organisasi terhadap kinerja karyawan.
29

Ho4: Tidak terdapat pengaruh pengukuran kinerja komprehensif terhadap

kepuasan kerja.
Ha4: Terdapat pengaruh pengukuran kinerja komprehensif terhadap

kepuasan kerja.
Ho5: Tidak terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.
Ha5: Terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.

3.4.2. Memilih Pengujian Statistik

Adapun pengujian prasyarat untuk menetapkan apakah model struktural

sudah memenuhi asumsi yang disyaratkan SEM dengan menggunakan aplikasi

AMOS 22 dan menetapkan kesesuaian model berdasarkan criteria goodness of fit

tertentu. Terdapat tiga jenis ukuran goodness of fit yaitu (1) absolute fit measure,

(2) incremental fit measures dan (3) parsimonious fit measure. Penelitian ini akan

menggunakan ukuran yang pertama (1) yakni absolute fit measure karena

absolute fit measure dapat mengukur model fit secara keseluruhan baik model

struktural maupun model pengukuran secara bersama (Ghozali, 2005: 23). Untuk

menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan model sebagai berikut:

Gambar 3.1. Model Hipotesis


30

3.4.3. Memilih Tingkat Keyakinan

Tingkat keyakinan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebesar 95% yang artinya peneliti menggunakan tingkat error yang dapat

ditoleransi sebesar 5%.

3.4.4. Menghitung Nilai Statistik

Peneliti menggunakan AMOS 21 (Analysis of Moment Structures) untuk

perhitungan nilai statistik, sebagai program komputer yang akan membantu dalam

menghitung nilai statistik dari semua data yang telah diperoleh.

3.4.5. Mendapatkan Nilai Uji Kritis

Peneliti akan menggunakan AMOS 21 untuk mendapatkan nilai uji

sebagai program yang akan membantu peneliti dalam menganalisisnya. Peneliti

juga menggunakan pengujian satu arah (one-tailed) untuk menguji hipotesis

karena hipotesis dalam penelitian ini berarah (positif).

3.4.6. Menginterpretasikan Hasil

Interpretasi dari hasil yang didapat berupa penerimaan semua

hipotesis diterima apabila nilai > 0 dimana merupakan nilai parameter

estimate serta nilai P < 0.10, kedua syarat ini ditunjukkan pada tabel Regression

Weights dalam Amos Text Output. Sedangkan untuk interpretasi dan modifikasi

model, ketika model telah dinyatakan diterima, maka peneliti dapat

mempertimbangkan dilakukannya modifikasi model untuk memperbaiki

penjelasan teoritis atau goodness of fit. Modifikasi dari model awal harus

dilakukan setelah dikaji dengan banyak pertimbangan. Jika model dimodifikasi,


31

maka model tersebut harus di cross-validated (diestimasi dengan data terpisah)

sebelum model modifikasi diterima.


32

Anda mungkin juga menyukai