Anda di halaman 1dari 12

Kajian BPJS-JKN : Tanggapan Kami para Mahasiswa

Kesehatan
Sebagai manusia, hakikatnya kita memiliki pikiran yang terbuka dan kritis terhadap lingkungan sekitar,
misal terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah
JKN.Urgensi, manfaat dan kesiapan kita dalam mengimplementasikan JKN mungkin adalah 3
pertanyaan yang sering terbesit di pikiran kita. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita
coba mengenal dan memahami sistem yang katanya disusun untuk menyejahterakan rakyat ini.

Jaminan Kesehatan Nasional atau yang biasa disingkat JKN ini adalah bentuk transformasi sekaligus
reformasi pelayanan kesehatan di Indonesia yang dulunya lebih dikenal khalayak banyak sebagai
Askes (Asuransi Kesehatan) maupun Jamkesmas. Askes, Jamkesmas, Jamsostek, Taspen, Asabri
akan bergabung menjadi satu sistem asuransi yaitu SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). JKN
tercantum disana bersama dengan Jaminan hari tua, Ketenagakerjaan, Pensiun, dan Keselamatan
kerja.SJSN sendiri dijalankan secara mandiri oleh penyelenggara khusus yang disebut BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial). Prinsip yang digunakan JKN dibandingkan dengan yang terdahulu
sebenarnya sama, hanya saja JKN dibentuk dengan tujuan untuk mencakup seluruh warga
masyarakat Indonesia. Dan perlu diketahui bahwa program JKN ini telah menjadi prioritas utama bagi
reformasi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Landasan Hukum

Berikut beberapa landasan hukum yang melatarbelakangi terbentuknya JKN ini :

1. Deklarasi PBB 1948 tentang HAM yang terdiri dari 30 pasal, ada pasal 25 ayat 1 yang
menyatakan bahwa, Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan
perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat
menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya
yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.

2. Agenda sidang tahunan WHO (World Health Organization), yaitu WHA (World Health Assembly)
ke 58 tahun 2005 di Jenewa, Swiss. Disebutkan bahwa setiap negara perlu mengembangkan UHC
(Universal Health Coverage) melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin
pembiayaan kesehatan yg berkelanjutan. Landasan UHC ini juga dikaitkan dengan perwujudan sila
ke 5 pada pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan pengertian setiap
orang di Indonesia ini berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan terlepas dari kondisi ekonomi
yang ada pada dirinya.

3. UUD 45 hasil amandemen tahun 2002

a. pasal 28H
1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinyasecara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.

b. Pasal 34

1. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.


2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak.

Melalui landasan hukum diatas, pemerintah mulai membuat RUU maupun peraturan-peraturan
lainnya untuk membangun JKN, berikut ini kronologis upaya pemerintah dalam upaya membangun
JKN :

UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN


UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS
PP No.101 Tahun 2012 tentang PBI (Penerima Bantuan Iuran)
Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan

Dari perjalanan awal pembuatan UU hingga peresmian tanggal 1 Januari 2014 kurang lebih
membutuhkan waktu 10 tahun, yang perlu dicermati disini adalah rentang waktu yang sangat lama,
khususnya pada UU BPJS itu sendiri. UU BPJS seharusnya selesai maksimum dalam 3 kali masa
sidang (sekitar 9 bulan), namun pada kenyataannya mundur menjadi 3 tahun; salah satu penyebab
yang paling jelas terlihat adalah pada masa sidang tersebut kurang lebih sekitar total 9 kementrian
absen/tidak datingApakah ini mencerminkan kesungguhan pemerintah yang memang tujuannya
untuk menyejahterakan rakyat?

Secara umum, JKN ada untuk mencegah pemiskinan akibat dari bencana sakit dan sekaligus untuk
mencegah kehidupan yang tidak produktif.

Berawal dari sifat kesehatan yang tidak pastiuncertainty, misal jika seseorang mengidap penyakit
berat seperti stroke, ia membutuhkan biaya yang sangat besar dari ratusan juta bahkan hingga
milyaran rupiah. Kondisi ini jika menimpa orang yang kaya sekalipun tentunya akan menyebabkan
bencana. Untuk itu, JKN dirancang sebagai jaminan sosial untuk menghadapi bencana sakit yang
dapat datang kapan saja dan dimana saja.
Prinsip-prinsip Dasar Pelaksanaan JKN

Berbicara tentang tujuan JKN untuk menyejahterakan rakyat, sistem ini memiliki prinsip-prinsip yang
mendasari tujuan itu, seperti :

Gotong-royong: peserta yang mampu membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang
sakit, dan yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi
Nirlaba: dana hasil iuran (dana amanat) digunakan sepenuhnya untuk kepentingan peserta, tidak
menuntut untuk memaksimalkan surplus, hasil pengembangan dan surplus akan dikembalikan untuk
kepentingan peserta.
Portabilitas nasional : peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang berkelanjutan
meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja dalam wilayah NKRI.
Prinsip dasar manajemen seperti keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektifitas.
JKN ini sendiri menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib bagi seluruh
pesertanya (masyarakat Indonesia) dengan membayar premi ke pemerintah atau dibayarkan
preminya oleh pemerintah untuk golongan tidak mampu. Prinsip sosial disini membedakan JKN
dengan pengertian asuransi tahunan komersil yang umumnya mengedepankan profit dan
individualitas. Berbasis asuransi sosial, sistem ini ditujukan untuk mengatasi resiko kesehatan tanpa
mengalami hambatan finansial. Rupanya pemerintah ingin masyarakatnya untuk menjadi insurance
minded dengan mengubah budaya berpikir praktis dan singkat menjadi masyarakat modern yang
berpikir panjang tentang resiko kedepan yang akan dihadapi.

Hakikatnya asuransi adalah adanya sistem pengumpulan dana. Dalam JKN ini, dana yang terkumpul
dari tiap pesertanya disebut dengan Dana Amanat. Besaran dana iuran sendiri telah diatur dalam
Perpres. Dana yang terkumpul digunakan untuk mendanai biaya kesehatan peserta dan hanya
sekitar 0.5% dana yang digunakan untuk biaya operasional BPJS. Berbeda dengan Askes yang
sebelumnya dikelola oleh BUMN PT Persero yang mematok target laba yang harus dicapai oleh
Dewan Direksi dan Komisaris.

Dana yang terkumpul tadi dikembalikan kepada fasilitas kesehatan melalui paket manfaat. Paket
manfaat adalah jenis layanan kesehatan yang dijamin dengan batasan maksimum tertentu yang
mengandung nilai moral hazard seperti kaca mata dan alat bantu gerak. Tetapi terdapat pula layanan
yang tidak terjamin, seperti:

1. Tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan


2. Pelayanan yang berada diluar dari fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
3. Pelayanan yang bertujuan untuk kosmetik,
4. General check up, pengobatan alternatif,
5. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi,
6. Pelayanan kesehatan pada saat bencana
7. Pasien bunuh diri / penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ bunuh
diri/narkoba

Jaminan layanan kesehatan pada BPJS ini menggunakan prinsip cost effective dengan pengertian
menjamin kebutuhan bukan keinginan seperti hal estetika.

Peserta dan Pembiayaan JKN

Telah disebutkan bahwa dana untuk penyelenggaraan ini berasal dari rakyat dalam bentuk iuran dan
digunakan sepenuhnya untuk rakyat dalam bentuk pelayanan kesehatan. Peserta dalam JKN ini
sendiri bersifat wajib dan dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

PBI (penerima bantuan iuran) yang akan ditanggung pemerintah


Penerima upah mencakup pekerja dan pemberi kerja
Non-penerima upah (mandiri) mencakup kelompok/keluarga/individu

Untuk WNA yang tinggal di Indonesia lebih dari 6 bulan, wajib juga untuk menjadi peserta. Peserta
non-PBI dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain. Pekerja WNI yang berada di luar negeri
sampai saat ini belum jelas, sampai saat ini jawabannya akan diatur dalam perundang-undangan
tersendiri.

Kepesertaan JKN ini sendiri ditargetkan berlangsung secara bertahap, yaitu pada 1 Januari 2014
kemarin hanya mencakup peserta PBI, peserta Askes, Jamsostek, anggota PNS dan TNI/Polri dan
baru akan mencakup seluruh masyarakat di Indonesia pada tahun 2019.

Untuk non-penerima upah yang notabene-nya berpenghasilan tidak tetap, prosesnya masih rumit,
pengumpulan iuran harus dilakukan secara perorangan. Sedangkan untuk pekerja, secara otomatis
iuran akan dipotong dengan presentase sesuai dengan gaji yang diterima.

Masalah selanjutnya terdapat pada penetepan keluarga Penerima Bantuan Iuran (PBI), hal ini riskan
akan terjadinya error baik inclusion maupun exclusion error seperti halnya dalam daftar penerima
Bantuan Langsung Tunai dahulu. BPJS sendiri berkoordinasi dengan Kementrian Sosial dalam
mengatasi masalah ini.

Besaran iuran sendiri telah diatur Perpres No. 12 th. 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Pembayaran ke fasilitas kesehatan (tenaga medis) oleh BPJS sendiri dibagi menjadi 2, yaitu untuk
pelayanan primer menggunakan sistem kapitasi (tarif paket per diagnosis dari mulai pemeriksaan
hingga pengobatan) yang nilainya diatur oleh menteri lewat Permenkes no 69 tahun 2013, sedangkan
pelayanan rujukan menggunakan sistem paket (INA-CBGs).
Pembayaran yang dilakukan oleh JKN (BPJS-Kesehatan), dilakukan setelah 15 hari klaim yang
diajukan fasilitas kesehatan lengkap.Terdapat juga manfaat tambahan (additional charge) untuk non-
medis akomodasi seperti ambulans (dalam kondisi tertentu).Manfaat tambahan lainnya yaitu tentang
kelas perawatan, jika ingin mendapatkan kelebihan pelayanan, peserta dapat membayar selisih dari
nilai hak yang ditanggung oleh BPJS. Peran dan hubungan BPJS, fasilitas kesehatan dan masyarakat
kurang lebih dapat digambarkan sebagai trias segitiga yang saling berkaitan.

Kendala Pelaksanaan JKN secara Umum

Sebenarnya, uji coba sistem JKN telah dilakukan oleh pemprov DKI Jakarta, dalam program KJS
(Kartu Jakarta Sehat), program ini sendiri merupakan pilot project dari JKN yang telah berlangsung
dalam 1 tahun terakhir. Meskipun premi yang ditetapkan KJS lebih tinggi daripada JKN, masalah-
masalah operasional tetap tidak dapat dihindari dari sistem baru ini, mulai dari banyaknya kesalahan
pada identitas peserta, sistem pembayaran INA-CBGs yang riskan menimbulkan banyak RS yang
protes karena biaya yang mereka keluarkan untuk merawat pasien tak sebanding dengan jumlah
yang diganti pemerintah, pembayaran klaim tidak sesuai dengan tingkat klasifikasi kelas RS, jumlah
tenaga medis yang tidak sebanding dengan jumlah peserta yang menyebabkan banyaknya salah
diagnosis dan obat, hingga permasalahan kesejahteraan tenaga medis yang masih dipertanyakan.

1. Kontradiksi muncul dari masalah ketidakseimbangan pengelolaan dana, selayaknya JKN ini
menetapkan iuran yang lebih besar daripada pengeluarannya, toh nantinya dana yang berlebih akan
digunakan pada tahun berikutnya; di sisi lain justru masyarakat sendiri masih keberatan untuk
membayar iuran. Hal inilah yang memunculkan berita bahwa terjadi tunggakan pembayaran / utang
BPJS pada beberapa fasilitas kesehatan.

Intinya, masalah iuran dalam BPJS ini adalah masalah teknis, bukan masalah politis, dibutuhkan
transparansi dan akuntabilitas dalam mengatasinya.

2. Dengan sistem paket pelayanan, tenaga kesehatan akan terdorong untuk meminimalisir
pengeluaran agar mencukupi tarif paket. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kualitas tindakan
seperti pencarian obat yang paling hemat dan lain sebagainya.

Hal ini dapat memunculkan kontradiksi yaitu dengan kembalinya menggunakan peralatan medis yang
kebanyakan lebih murah dan umumnya lebih tradisional dan lebih lama.Bukankah hal ini tidak selaras
dengan tuntutan jaman yang menginginkan segala sesuatunya berlangsung lebih cepat, efektif dan
minim resiko?

Pada awal pelaksanaannya, terdapat perbedaan pelayanan / kelas perawatan antara yang membayar
iuran / pengguna Askes sebelumnya / Jamsostek / asuransi sosial lainnya dengan yang dibiayai oleh
pemerintah (PBI).
Pemerintah yang hanya menganggarkan 2-4% APBN untuk kesehatan memang akan keberatan
untuk meningkatkan standar paket pembiayaan. Mengingat kesehatan adalah Hak dari setiap warga
Indonesia, Indonesia sebenarnya dapat belajar pada Negara Kuba, dengan kondisi ekonomi negara
yang tidak jauh berbeda saja dapat menganggarkan APBN khusus untuk bidang kesehatan mencapai
12%. Pemerintah tidak perlu khawatir akan merugi karena kesehatan masyarakat akan berimbas
pada peningkatan kualitas kerja (productivity) sehingga akan meningkatkan pajak dan pendapatan
Negara pula.

Selain itu sistem INA-CBGs yang bermasalah di kebanyakan RS bisa disiasati seperti yang telah
dilakukan salah satu RS di Tangerang, RS ini telah menformulasi INA-CBGs dengan penerapan
case-mixed dan terbukti RS ini mendapatkan untung besar pada 2 bulan perjalanan JKN. Disamping
itu, sistem INA-CBGs terbaru saat ini (4.0) telah memperkecil perbedaan harga paket dalam tiap tipe
rumah sakit, yaitu hanya berkisar 20-40 persen.

Titik berat yang harus dicermati dalam sistem ini adalah bagaimana sosialisasinya.BPJS harus
memiliki langkah tepat untuk menjelaskan tentangpembayaran iuran yang bersifat wajib bagi peseta
non-PBI / peserta mampu. Masyarakat tentunya akan sensitif apabila mendengar pernyataan wajib
membayar, padahal sebenarnya pembayaran seperti itu telah mereka lakukan pada era sebelum
JKN.
Jangankan untuk masyarakat.Sosialisasi BPJS diantara tenaga kesehatan juga masih simpang
siur.Pengajuan klaim, batas rawat dan pembatasan penggunaan obat adalah masalah yang paling
sering diberitakan.

Untuk pekerja yang pembayarannya diakumulatifkan dengan pemotongan gaji, sosialisasi akan
lebih mudah (karena mereka secara otomatis akan mempertanyakan pemotongan gaji). Lembaga
penyelenggara kerja sebaiknya diwajibkan untuk mendaftarkan pekerjanya pada BPJS.Selama ini,
yang secara langsung mengoordinir anggotanya adalah Badan-Lembaga-Perusahaan milik
pemerintah ataupun milik swasta yang masiv.Untuk lembaga yang berjalan jangka panjang
apalagi jika diintegrasikan dengan izin pengadaan perusahaan (seluruh pekerja harus terdaftar BPJS,
misalnya), maka pelaksanaannya akan lebih mudah dan dalam sekali jalan.

Jika masyarakat kota saja banyak yang tak tahu menahu, apalagi mereka di tempat terpencil?

Bagaimana pemenuhan target 2014; 50% terdaftar BPJS?75% kepuasan rakyat?

Untuk masyarakat awam yang tengah digempur internet, banyak artikel yang kebenarannya masih
dipertanyakan.Pembaca biasa juga tidak semuanya memahami penjelasan belasan dasar hukum
maupun 48 lembar aturan BPJS tertulis yang dituangkan dalam beberapa .ppt pencerdasan yang
strukturnya tak kalah rumit.Lebih persuasif dan mudah dicerna adalah salah satu tantangan
penyampaian sistem BPJS; tentu saja bukan hanya penyampaian via internet; tapi tatap muka dan
penyuluhan-penyuluhan melalui Primary Health Care (PHC).Tentu bisa jika diusahakan bersama.
3. Selanjutnya adalah tentang pengggolongan peserta PBI dan non-PBI itu sendiri, JKN harus
memiliki kriteria tegas mengingat banyak sekali masyarakat yang mengaku-ngaku tidak mampu
padahal mampu. Perlu ditegaskan bagaimana penggolongan yang tepat agar tidak terjadi salah
sasaran.

4. JKN ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat
primer, rujukan ke tingkat sekunder harus melalui tingkat primer kecuali dalam kondisi yang benar-
benar darurat dan ketidaktersediaan peralatan maupun incapability pada tingkat primer.

Realita yang ada di Indonesia kini adalah persebaran baik dari segi infrastruktur maupun sumber
daya yang belum merata, diperlukan percepatan pembangunan disini, BPJS sendiri berkewajiban
untuk memberikan kompensasi untuk daerah-daerah yang masih tertinggal meliputi penggantian
uang tunai untuk pelayanan kesehatan dan transportasi, pengiriman tenaga kesehatan, dan juga
yang paling penting adalah penyediaan/pembangunan fasilitas kesehatan itu sendiri.

5. Masalah krusial dalam penerapan suatu sistem salah satunya adalah pengawasan, pada JKN,
BPJS wajib melakukan laporan keuangan dan pengelolaan program tahunan yang telah di audit oleh
akuntan publik pada presiden dan juga DJSN. DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) adalah
lembaga yang dibentuk oleh lembaga eksekutif yang memiliki fungsi monitoring dan evaluasi kinerja
BPJS disamping dengan fungsi tanggung jawab yang dimiliki oleh Menkes.

Disamping itu, BPJS sendiri memiliki pengawas internal yang terdiri dari dewan pengawas dan satuan
pengawas internal, dan badan pengawas eksternal yaitu DJSN dan lembaga pengawas independen.

Pandangan Kedokteran

Secara keseluruhan, meski sempat tersendat, program yang pencanangannya sudah dimulai kira-kira
9 tahun lalu ini akhirnya telah disahkan dengan cukup baik. Dalam prosesnya, pengesahan dasar-
dasar hukum BPJS banyak dikritisi oleh mahasiswadengan pergerakkan paling nyata adalah
melalui ISMKI yang pada tahun 2011 mengirimkan hasil kajian mereka kepada para stakeholder
terkait. Kajian berupa tanggapan, kritikan dan tuntutan ini ditanggapi secara positif oleh para
stakeholder.

Sistem ini sebenarnya cukup baik diterapkan di Indonesia. Hal ini berdasarkan dengan UU no. 39
tahun 1999 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah salah satu hak dasar manusia, pemerataan
kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia dan juga mendorong pelayanan kesehatan primer menjadi
ujung tombak penyelesaian masalah kesehatan di masyarakat. Sehingga, peran dokter layanan
primer sebagai gate-keeper menjadi otomatis wajib ditingkatkan kompetensinya. Setelah itu,
anggapan masyarakat tentang dokter puskesmas yang tidak kompeten menjadi tidak beralasan. Hal
ini juga memunculkan polemik baru di ranah pendidikan dokter dengan dikeluarkannya UU no 20
tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yaitu tentang penambahan masa pendidikan berkisar 2-3
tahun untuk mendapatkan setifikasi DLP (Dokter Layanan Primer).Tetapi, hal tersebut diatas penting
adanya sekaligus sehubungan dengan menyambut AFTA 2015 yang membutuhkan daya saing tinggi
di berbagai bidang, khususnya kesehatan dan tenaga medis.

Namun lagi-lagi semuanya akan menjadi terbentur dengan pelaksanaan di lapangan. Dimulai dari
pengelolaan serta pengawasan dana yang riskan, pendataan peserta yang masih rumit, follow up
hasil uji coba seperti KJS masih belum jelas, beban ekonomi negara dan masyakat membuat lebih
ingin menyimpan uang cash dibanding berkewajiban membayar premi, dan sosialisasi yang masih
kurang. Hal sosialisasi ini menjadi momok bagi JKN, stigma pelayanan gratis yang muncul dari kata
jaminan bisa mengubah mind-set masyarakat menjadi menyepelekan kesehatannya.Padahal jika
dilihat dari data yang ada, pemilik NPWP yang mengindikasikan pembayar pajak di Indonesia saja
masih dikisaran 10 %, artinya nilai tersebut masih sulit untuk menjamin kesehatan seluruh
masyarakat secara gratis.Jika dilihat dari dampak fiskal yang terjadi dari penerapan sistem universal
ini, Indonesia memerlukan adanya perencanaan peningkatan anggaran belanja kesehatan yang
sampai saat ini masih berada di kisaran 3 % PDB (Produk Domestik Bruto) dengan rasio pajak
negara terhadap PDB ini masih di kisaran 12,3 %. Bandingkan dengan negara-negara yang memang
sudah mapan dalam menerapkan sistem ini, PDB mencapai 6-11 % dengan rasio pajak negara
terhadap PDB mencapai 20 %. Namun, ada baiknya hal ini tidak menjadi kambing hitam dari
kekurangan sistem apabila diterapkan di Indonesia, karena melihat Muangthai (Thailand) yang
ternyata mampu menunjukan dampak positif (kenaikan rasio pajak) dengan perluasan jaminan
kesehatan yang diterapkannya.

Kontradiksi lainnya adalah BPJS ini juga menanggung pasien yang berhubungan dengan lifestyle
seperti rokok, minum alkohol, dan HIV/AIDS.Jadi terkesan sistem ini tidak mengedukasi perubahan
lifestyle pada masyarakat.Pengecualian untuk HIV/AIDS sesuai dengan anjuran WHO karena alasan
kemanusiaan.

Jika kita melihat Amerika Serikat misalnya, negara adidaya yang sudah sedemikian majunya,
menerapkan sistem seperti ini (Obama care), pada akhirnya berujung dengan shutdownoperasional
negaranya.Beberapa lembaga juga telah mengkaji sesungguhnya disamping kelemahan dan
kekurangan sistem ini karena masih baru, keluhan yang muncul di masyarakat secara umum berasal
dari kurangnya sosialisasi, sehingga masyarakat menjadi kurang bahkan tidak mengerti dengan
program ini.

Gaji pokok yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dan peningkatan kompetensi
sebagaimana yang diwajibkan (poin kehadiran seminar dan pelatihan, misalnya) sangat
dibutuhkan.Fakta bahwa dokter yang tadinya hanya perlu memikirkan bagaimana kesehatan pasien,
kini harus juga memikirkan klaim jasa dapat menghambat kinerjanya.Selain itu, memang untuk
sekarang pengguna klaim BPJS masih sangat sedikit sehingga tampaknya klinik dan tenaga
kesehatan tidak terlalu dirugikan secara finansial. Tapi kelak ketika semua orang telah memahami
haknya, pendapatan yang hanya dari kapitasi itu tak akan memadai.
Bagaimana dengan dokter di wilayah terpecil dengan penduduk yang minim?

Untuk penerapannya, Indonesia rasanya belum siap dan membutuhkan kerja ekstra agar sistem ini
berjalan sesuai dengan tujuan awal.Dan yang perlu diingat bahwa tidak ada program yang sempurna,
kesalahan dan ketidakbenaran itu tetap diperbaiki seiring dengan berjalannya program ini secara
terus-menerus.Program ini harus didukung demi Indonesia bebas kendala biaya kesehatan, lebih
produktif dan berekonomi kuat.

Pandangan Kedokteran Gigi

Sebenarnya, tidak ada perbedaan signifikan antara pelayanan oleh dokter umum maupun dokter
gigi.Yang biasa disorot odalah pembayaran biaya kapitasi dokter gigi yang hanya seharga Rp.
2.000,-/orang/bulan. Bila dibandingkan dengan biaya kapitasi dokter yang mencapai Rp. 8.000,-
hingga Rp. 10.000,-, kisaran tersebut dianggap cukup memberatkan.

Dari hasil wawancara dengan Ketua PDGI Kab.Karawang, untuk sosialisasi BPJS pada pelayan
kesehatan sendiri sudah mumpuni dan dari jauh-jauh hari.Namun, sosialisasinya untuk masyarakat
luas masih sangat minim.Akibatnya, dari sebuah klinik yang mendapat jatah 9000 penduduk, hanya
100 orang yang meng-klaim BPJSnya.Hal ini memang menguntungkan klinik secara finansialbukan
tidak mungkin klinik tersebut bukannya meningkatkan perannya dalam bidang preventive dan gate-
keeper di PHC, malah mereka bisa menahan informasi BPJS untuk menekan angka klaim.Hal ini
didukung dengan pembiayaan BPJS untuk tenaga dokter yang diatur oleh klinik secara mutlak
sehingga bila angka klaim rendah, kliniklah yang diuntungkan.

Untuk klaim dari seorang dokter gigi ke klinik dalam pembiayaan tergolong minim masalah.
Permintaan refund yang minor cenderung lebih mudah. Mereka sebagai pelayanan kesehatan tingkat
pertama dapat merujuk pasien jika memang tidak dapat menangani pasien tersebut.Pasien yang
dirujuk ini cenderung memiliki resiko dan penanganan dengan tingkat kesulitan tinggi sehingga biaya
yang mereka butuhkan juga relatif lebih tinggi.Klaim dari tingkat rumah sakit inilah yang cenderung
lebih sulit dan ribet prosedurnya, sehingga manajemennya perlu lebih diefisienkan.

Pandangan Kebidanan

Masalah terbesar yang dialami bidan dalam sistem BPJS adalah mereka tidak dibayar dengan sistem
Kapitasi, tapi pay-per-services. Ini cukup memberatkan karena setiap paket tindakan sudah
ditentukan dananya dengan spesifik (tidak bisa menentukan berdasar kesulitan) dan sistem BPJS ini
tidak memfasilitasi mereka untuk menjadi Bidan pelayan keluarga yang mem-promote tindak preventif
resiko kehamilan.

Jika dilihat dari pasien, sistem ini juga menyebabkan mereka harus bolak-balik dari klinik ke bidan
karena pengambilan obat dan sebagainya diatur oleh klinik, sementara pemerikaan oleh bidan.Hal ini
dapat berbahaya karena track record dan penanganan pasien tidak diawasi langsung secara utuh
oleh bidan. Resiko kehamilan tinggi bisa saja tidak dapat dideteksi dengan PNC dari dokter umum di
klinik-klinik, sementara jika pasien meninggal saat melahirkanbidanlah yang akan direpotkan. Bidan
sendiri juga dirugikan secara komersial karena jika mereka terpaksa bekerja sama dengan klinik,
pembayaran mereka pun akan dipotong biaya administrasi yang bisa mencapai 1/3 nya.

Jika sistem ini tidak segera diperbaiki, tindakan beberapa bidan Surabaya yang akhirnya menolak
pasien BPJS karena kesimpangsiurannya dapat menyebar ke wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Pandangan Farmasi

Menurut departemen kesehatan kesalahan medis (medical errors) yang sebetulnya bisa dicegah.
Kesalahan pengobatan yang paling besar terjadi pada proses ordering. Pengobatan sangat erat
sekali dengan ketenagakerjaan farmasi.Peran farmasi dalam kesehatan sangat penting, banyak
orang berpikir bahwa seorang farmasis hanya membuat obat kemudian menjualnya. Berbicara
tentang kesalahan pengobatan jelas disini yang bertanggung jwab adalah seorang
apoteker.Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam
mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di perhatikan.Di
rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika
melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih. Saat ini di negara-negara maju
sudah ada apoteker dengan spesialisasi khusus menanganimedication safety.

1. Dengan jumlah penduduk hampir 250juta, sudah seimbangkah perbandingan jumlah warga
negara dengan perbandingan jumlah apoteker yang ada dalam pelayanan kefarmasian? Siapa yang
memiliki tanggung jawab dalam itu?

UU No 36 Tahun 2009 Pasal 26 (1) menyatakan bahwa Pemerintah mengatur penempatan tenaga
kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. (2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan
mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.

Kementerian Kesehatan menyatakan, jumlah Puskesmas maupun Rumah Sakit yang tersebar di
Indonesia adalah 10 ribu RS dan Puskesmas sedangkan jumlah apoteker yang terdaftar di Kemkes
hanya berjumlah 1.938 orang. Kemkes menyatakan jumlah apoteker ini baru mencapai 20% dari total
jumlah RS dan Puskesmas yang ada di Indonesia. Profesi farmasi belum menjadi prioritas utama
dalam pendistribusian tenaga kesehatan kedaerah-daerah.Hal ini dapat dilihat dari angka yang
ada.Padahal untuk mengurangi medication error pada saat berlakunya UU BPJS ini diperlukan
penambahan tenaga kefarmasian yang sangat signifikan, agar tidak terjadi lagi pasien meninggal
karena kesalahan dalam pemberian obat.

2. Penyebaran tenaga kefarmasian yang belum merata di seluruh Rumah sakit maupun puskesmas
yang ada di Indonesia terutama daerah-daerah terpencil. Mengacu pada pedoman bangsa Indonesia
yaitu pancasila utamanya sila kee-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini menunjukan bahwa keadilan dalam bidang kesehatan di Indonesia belom adil secara
menyeluruh karena masih ada yang belum bisa mendapatkan hak nya dalam salah satu kebijakan
pemerintah ini yaitu SJSN. Kembali ke permasalahan pertama yaitu kurangnya tenaga kefarmasian,
kita asumsikan permasalahan pada poin pertama terselesaikan yang menjadi evaluasi juga untuk
profesi farmasi, sudah mau kah kita mengabdi di daerah terpencil untuk mengamalkan ilmu yang kita
punya demi peningkatan kualitas masyarakat indonesia, terutama di daerah pinggir Indonesia.

Pandangan Keperawatan

Perawat berada pada posisi kunci untuk melaksanakan pendidikan kesehatan, karena perawat
merupakan pemberi perawatan kesehatan yang mengadakan kontak secara berkesinambungan
dengan pasien dan keluarga dan biasanya menjadi sumber informasi yang paling dapat diakses oleh
pasien dan keluarga tersebut.Oleh karena itu pengajaran pada pasien dan keluarga menjadi fungsi
yang lebih penting lagi dalam lingkup praktik keperawatan.

Perawat dianggap sebagai perantara informasi/pendidik yang dapat membuat perbedaan penting
pada cara pasien dan keluarga mengatasi penyakitnya, cara pasien dan keluarga mendapat manfaat
dari pendidikan yang ditujukan untuk pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Tanggung jawab
perawat untuk memberikan perawatan kepada konsumen dapat dipenuhi sebagian melalui
pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran yang kuat. Kunci
untuk memberikan pendidikan yang efektif pada pasien dan keluarga adalah perhatian dan komitmen
perawat yang konsisten dengan perannya sebagai educator/pendidik.

1. Selain itu, meningkatkan peran perawat dalam care giver dan care educator, dalam keperawatan
mengenal perawat komunitas, perawat inilah yang menjadi garda utama dalam preventif dan promotif
di masyarakat. Di beberapa negara maju, perawat komunitas yang berperan aktif dalam pemberian
pendidikan tentang kesehatan. Tapi kekurangannya adalah sebaran perawat di Indonesia dan
kompetensi yang belum merata dan setara, belum tersedianya fasilitas memadai di tingkat Pelayanan
Kesehatan primer, atau kurang percayanya masyarakat terhadap puskesmas.

2. Selain itu belum adanya payung hukum yang jelas dari sisi keperawatan. Jika BPJS dibarengi UU
Keperawatan maka perawat akan mendapat haknya yang adil secara hukum dan professional. Bagi
masyarakat juga terlindungi secara proporsional yaitu meminimalkan kesalahan prosedur dan
tindakan kesehatan. 75% pelayanan kesehatan di rumah sakit termasuk kegiatan promotif atau
pencegahan penyakit pada masyarakat yang banyak ditangani perawat, hal itu juga didukung oleh
fakta lapangan bahwa 60% tenaga kesehatan adalah perawat. Hal ini menunjukkan perawat berperan
vital.

Kehadiran BPJS dibarengi UU Keperawatan sangat penting untuk mengatur pelayanan perawat
secara professional.Pengaturan ini pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan mutu perawat
dan pelayanan keperawatan.Lebih jauh lagi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada perawat dan klien serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Unduh versi .pdf-nya disini.

Kementrian Kajian Strategis


Badan Eksekutif Mahasiswa
berkerja sama dengan Kastrat Fakultas Medical Complex
Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran
Sekretariat: StudentCenter Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor
Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: kema@unpad.ac.id
Kajian Fakultas Kajian Strategis BEM Kema
http://lismunpad.blogspot.co.id/2014/05/kajian-bpjs-jkn-tanggapan-kami-
para.html

LISM UNPAD

LEMBAGA INDEPENDEN SURVEY MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN

Anda mungkin juga menyukai