KELARUTAN
I. LATAR BELAKANG
Pelepasan zat dari bentuk sediaan sangat dipengaruhi oleh sifat fisika kimia
zat tersebut terhadap formulasinya. Pada prinsipnya obat baru dapat diabsorpsi
setelah zat aktifnya terlarut dalam cairan usus, sehingga salah satu usaha untuk
mempertinggi efek farmakologi dari sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan
zat aktifnya. Dalam bidang farmasi, untuk memilih medium pelarut yang baik
untuk obat atau kombinasi obat akan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetik, dan lebih jauh lagi
dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian. Pengetahuan yang lebih
mendetail mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan itu juga
memberikan informasi mengenai struktur obat dan gaya antarmolekul obat.
Kelarutan sering digunakan dalam beberapa pengertian. Kelarutan
menyatakan pengertian secara kualitatif dari proses larutan. Kelarutan juga di
gunakan secara kuantitatif untuk menyatakan komposisi dari larutan. Suatu
larutan dinyatakan merupakan larutan tidak jenuh jika solute dapat ditambahkan
untuk memperoleh berbagai larutan yang berbeda dalam konsentrasinya. Dalam
banyak hal, ternyata proses penambahan solute tidak dapat berlangsung secara
tidak terbatas. Suatu keadaan akan dicapai dimana penambahan solute pada
sejumlah solvent tertentu tidak akan menghasilkan larutan lain yang memiliki
konsentrasi lebih tinggi.
Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai
membentuk larutan jenuh. Apabila suatu larutan suhunya diubah, maka hasil
kelarutannya juga akan berubah. Larutan ada yang jenuh, tidak jenuh dan lewat
jenuh. Larutan dikatakan jenuh pada temperatur tertentu, bila larutan tidak dapat
melarutkan lebih banyak zat terlarut. Bila jumlah zat terlarut kurang dari larutan
jenuh disebut larutan tidak jenuh. Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat
fisika kimia zat terlarut, juga bergantung pada faktor tekanan, suhu, pH larutan
untuk jumlah yang kecil, bergantung pada hal terbaginya zat terlarut.
1
Pengaruh suhu terhadap kelarutan suatu zat dapat terlihat pada kehidupan
sehari-hari. Misalnya gula dilarutkan dalam air panas dan air dingin. Maka gula
yang dilarutkan dalam air panas akan mudah larut jika dibandingkan dengan gula
yang dilarutkan dalam air dingin, hal tersebut menandakan bahwa suatu zat akan
mudah larut jika dilarutkan dalam suhu tinggi. Artinya jika semakin tinggi suhu
maka kelarutannya akan semakin besar. Pernyataan tersebut sesuai dengan tujuan
praktikum kali ini yaitu untuk mempelajari tentang kelarutan dan pengaruh suhu
terhadap kelarutan serta untuk menentukan panas pelarutan dari asam oksalat.
Panas pelarutan suatu zat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
Vant hoff. Pada umumnya proses pelarutan bernilai positif. Hal tersebut sesuai
dengan persamaan Vant Hoff yang menyatakan semakin tinggi temperatur maka
semakin tinggi pula zat yang larut (panas pelarutan positif atau bersifat
endotermis). Sedangkan pada zat-zat yang memiliki panas pelarut yang negatif
atau bersifat eksoterm maka semakin tinggi temperatur dalam suatu reaksi
menyebabkan semakin berkurangnya zat yang dapat larut (Silbey, 1996).
Pada percobaan ini, akan ditentukan pengaruh suhu terhadap kelarutan suatu
zat.
III. TUJUAN
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
III.1 Menerapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat.
III.2 Menjelaskan pengaruh suhu terhadap kelarutan zat.
2
larut dalam air dan etanol (95%) P. Kelarutan asam oksalat berbanding lurus
dengan kenaikan suhu yang merupakan reaksi endoterm. Penetapan kadar asam
oksalat dilakukan dengan menimbang asam oksalat kurang lebih 3 gram,
dilarutkan dalam 50 mL air bebas CO 2 P, dititrasi dengan NaOH 1 N
menggunakan indikator fenolftalein P (Depkes RI, 1979). Berikut adalah gambar
struktur asam oksalat :
IV.2 Kelarutan
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting
dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang
mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali
menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap
penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi obat (Zaini dkk., 2011).
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, solut,
untuk larut dalam suatu pelarut. Kelarutan dinyatakan dalam jumlah maksimum
zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada kesetimbangan (Voight, 1994).
Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat
terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu dan secara kualitatif
didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk
dispersi molekuler homogen. Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa
cara. Menurut U. S. Pharmacopeia dan National Formulary, definisi kelarutan obat
adalah jumlah mL pelarut di mana akan larut 1 gram zat terlarut (Martin dkk.,
1990).
3
Berdasarkan kelarutannya, larutan dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Larutan jenuh adalah suatu larutan di mana pelarut berada dalam
kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut).
b. Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang
mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di bawah konsentrasi yang
dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu.
c. Larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut
dalam konsentrasi lebih banyak daripada yang seharusnya ada pada
temperatur tertentu sehingga terdapat juga zat terlarut yang tidak larut.
(Martin dkk., 1990)
Kelarutan dapat digambarkan secara benar dengan menggunakan aturan fase
Gibbs, yaitu:
F=C-P+2
dimana F adalah jumlah derajat kebebasan yaitu jumlah variabel bebas
(biasanya temperatur, tekanan dan konsentrasi) yang harus ditetapkan untuk
menentukan sistem secara sempurna. C adalah jumlah komponen terkecil yang
cukup untuk menggambarkan komposisi kimia dari setiap fase. P adalah jumlah
fase (Martin dkk., 1990).
Menurut Farmakope Indonesia, untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah
kelarutan dalam pengertian umum kadang-kadang perlu digunakan, tanpa
mengindahkan perubahan kimia yang mungkin terjadi pada pelarutan tersebut.
Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu
20o dan kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian bobot zat padat atau
1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut. Pernyataan
kelarutan yang tidak disertai angka-angka adalah kelarutan pada suhu kamar.
Kecuali dinyatakan lain, zat dilarutkan boleh menunjukkan sedikit kotoran
mekanik seperti bagian kertas saring, serat dan butiran debu. Pernyataan bagian
dalam kelarutan berarti bahwa 1 gram zat padat atau 1 mL zat cair dalam sejumlah
mL pelarut. Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya
dapat ditunjukkan dengan istilah berikut:
4
Tabel 1. Istilah Kelarutan (Depkes RI, 1995).
Jumlah bagian pelarut yang diperlukan
Istilah Kelarutan
untuk melarutkan 1 bagian zat
Sangat Mudah Larut Kurang dari 1
Mudah Larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak Sukar larut 30 sampai 100
Sukar Larut 100 sampai 1000
Sangat Sukar Larut 1000 sampai 10.000
Praktis Tidak Larut Lebih dari 10.000
5
dapat menyebabkan bercampurnya cairan polar dan non polar. Mekanisme kerja
pelarut polar dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pelarut polar memiliki tetapan dielektrik yang tinggi sehingga mengurangi
gaya tarik-menarik antara ion dalam kristal yang bermuatan berlawanan.
- Pelarut polar memecahkan ikatan kovalen dari elektrolit kuat dengan
reaksi asam-basa karena pelarut polar bersifat amfiprotik.
- Pelarut polar mampu mensolvasi molekul dan ion dengan adanya gaya
interaksi dipol terutama pembentukan ikatan hidrogen.
(Martin dkk., 1990)
Konstanta dielektrik adalah sifat suatu pelarut yang berhubungan dengan
jumlah energi yang dibutuhkan untuk memisahkan dua tubuh yang berbeda
muatan dalam pelarut. Sifat ini sangat erat hubungannya dengan polaritas pelarut,
sehingga tidak mengherankan bahwa suatu zat terlarut menunjukkan pilihan untuk
sistem pelarut yang mempunyai konstanta dielektrik spesifik (Lachman
dkk.,1994).
Tabel 2. Tetapan Dielektrik dari Beberapa Bahan Pelarut (Martin dkk., 1990).
Nama Bahan Nama Bahan
N- metilformamid 190 Kloroform 4,8
Air 80,4 Asam hidroklorida 4,6
Gliserin 43,0 Etil Eter 4,34
Metil alkohol 33,7 Minyak Zaitun 3,1
Etil alkohol 25,7 Minyak biji kapas 3,1
N- Propil alkohol 21,8 Asam Oleat 2,45
Aseton 21,4 Toluen 2,39
Benzaldehid 17,8 Benzen 2,28
Amil alkohol 15,8 Dioksan 2,26
Benzil alkohol 13,1 Minyak Lemon 2,25
Fenol 9,7 Karbon Tetraklorida 2,24
Metil salisilat 9,0 Petroleum Cair 2-5
Etil asetat 6,4
6
e. Penambahan Bahan Lain
- Penambahan ion sejenis
Penambahan ion sejenis akan menurunkan kelarutan elektrolit yang sukar
larut apabila ion sejenis tersebut tidak membentuk kompleks dengan garam.
Sedangkan garam-garam yang tidak memiliki ion yang sejenis akan meningkatkan
kelarutan dengan elektrolit yang sukar larut karena adanya penurunan koefisien
keaktifan (Martin dkk., 1990).
- Penambahan surfaktan
Senyawa yang bersifat asam lemah dan basa lemah dapat ditingkatkan
kelarutannya dengan bantuan kerja pelarutan dari zat aktif permukaan (surfaktan)
(Martin dkk., 1990).
- Cosolvent
Campuran dua pelarut seringkali meningkatkan kelarutan zat terlarut
dibandingkan dengan penggunaan satu pelarut saja. Peristiwa ini dikenal dengan
cosolvency dan pelarut yang digunakan dalam kombinasi untuk meningkatkan
kelarutan zat terlarut disebut cosolvent (Martin dkk., 1990).
- Pengaruh Kompleksasi dan Sistem Multi Komponen
Apabila beberapa obat bersama-sama dengan zat tambahan farmasetik
berinteraksi dalam larutan membentuk kompleks yang tidak larut, profil kelarutan
sederhana dari masing-masing obat tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
kelarutan dalam campuran (Martin dkk., 1990).
Selain faktor-faktor di atas, dalam pembuatan tablet, bahan atau jumlah bahan
yang berbeda dari komponen formulasi seperti pengisi, zat pendisintegrasi,
pengikat, pelumas, zat warna, pemberi rasa dan penyalutan yang mungkin
digunakan. Tablet dapat bervariasi bentuk, ukuran, dan kekerasannya tergantung
teknik kompresi yang digunakan. Sehingga dengan demikian faktor bahan obat itu
sendiri serta cara pembuatan atau formulasi dapat mempengaruhi kelarutan suatu
obat dalam tubuh (Syukri, 2004).
Proses kelarutan yang melibatkan interaksi solut dengan solut, solven dengan
solven, dan solut dengan solven. Proses kelarutan terdiri dari tiga tahap, yaitu:
7
a. Tahap pertama menyangkut pemindahan suatu molekul zat dari zat
terlarut pada temperatur tertentu.Kerja yang dilakukan dalam
memindahkan satu molekul dari zat terlarut sehingga dapat lewat ke
wujud uap membutuhkan pemecahan ikatan antar molekul-molekul
berdekatan.
b. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang
cukup besar untuk menerima molekul zat terlarut.
c. Tahap ketiga penempatan molekul zat terlarut dalam lubang pelarut
(Martin dkk., 1990).
8
V. PROSEDUR PENELITIAN
V.1 Alat dan Bahan
V.1.1 Alat
- Alat pengocok orbital - Labu ukur
- Aluminium foil Gelas - Labu Erlenmeyer
- Beaker - Pipet ukur
- Ball filler - Pipet tetes
- Batang pengaduk - Sendok tanduk
- Buret - Statif
- Kertas perkamen - Timbangan analitik
9
V.1.2 Bahan:
- Asam Oksalat
- Larutan NaOH 0,5 N
- Indikator Phenolphtalein
- Es Batu
- Garam
- Aquadest
V.2 Prosedur Kerja
V.2.1 Perhitungan
a. Pembuatan Larutan NaOH 0,5 N
Diketahui:
N NaOH = 0,5 N
V NaOH = 100 mL
BM NaOH = 40 g/mol
Ditanya:
Massa NaOH yang ditimbang = ?
Jawab:
N 0,1 N
M= = = 0,5 M
ek 1 grek/mol
massa 1000
M=
BM V (mL)
massa 1000
0,5 M =
40 g/mol 100 mL
massa = 2 gram
Jadi, NaOH yang ditimbang untuk membuat 100 mL larutan NaOH
0,5 N yaitu 2 gram.
Ditambahkan akuades secukupnya sambil diaduk dengan batang pengaduk hingga larut.
Larutan NaOH dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuades hingga tanda batas 100 mL.
Ditambahkan etanol 95% secukupnya sambil diaduk dengan batang pengaduk hingga larut.
Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan akuades hingga tanda batas 25 mL.
Kristal asam oksalat dilarutkan didalam aquadest 50 mL pada suhu 600 C sampai tepat jenuh
Beaker glass kecil tersebut diletakan didalam beaker glass besar yang sudah diisi garam dan es batu, letakan termometer pa
Larutan diaduk hingga suhu dalam beaker glass kecil turun sampai 450C, diambil 10 mL larutan lalu diencerka
Larutan yang telah diencerkan tersebut lalu diambil 10 mL dan ditambahkan indikator phenolphtalein seba
Larutan dititrasi dengan NaOH 0,5 N, dicatat volume NaOH yang dibutuhkan dalam tabel pengam
Dilakukan hal yang sama pada penurunan suhu 350C, 250C, 150C.
Dari hasil titrasi diperoleh hasil volume NaOH yang dibutuhkan dalam tabel pengamatan.
Dibuat kurva antara In s v.s 1/T
Berdasarkan harga kelarutan maka dapat dihitung panas pelarutnya dengan menggunakan persamaan vant Hoft sebagai be
Dari persamaan diatas maka diperoleh nilai , lalu dihitung harga rata-rata sebesar gram/mol .
N = M .Ek
N = 3,968 . 2
N = 7,9 N
1 45 9,7 10 - 9,85
45 318 0,246 mL
35 308 0,155 mL
25 298 0,115 mL
15 288 0,076 mL
Ln
S2
S1
=
R [
H T 2T 1
T 2 .T
1
]
Ln
0,155
0,246
=
H
[
308318
8,314 J /mol 308.318 ]
H
-0,630 = . ( -1,0209.10-4)
8,314 J /mol
H = 50902,040 J/mol.
2. Padasaat T1 = 308 oK, T2 = 298 oK
Ln
S2
S1
=
R [
H T 2T 1
T 2 .T 1
]
Ln
0,115
0,155
=
H
[
298308
8,314 J /mol 298 . 308 ]
H
-0,741 = . ( -1,0895.10-4)
8,314 J /mol
H = 56545,8834J/mol
Ln
S2
S1
=
R [
H T 2T 1
T 2 .T 1
]
Ln
0,076
0,115
=
H
[
288298
8,314 J /mol 288 . 298 ]
H
-6,6782 = . ( -1,1651.10-4)
8,314 J /mol
H = 476551,891 J/mol
H 1+ H 2+ H 3
4. H rata-rata=
3
50902,040+56545,8834 +476551,891
= J/mol
3
= 194666,6048J/mol
Tabel 3. Hubungan Ln s dan 1/T
Ln S
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan uji kelarutan dari suatu
senyawa dan pengaruh perubahan suhu terhaap kelarutan. Peningkatan suhu
secara umum diketauhi dapat menungkatkan kelarutan zat padat pada suatu
pelarut. Dimana suatu sistem larutan yang kelarutannya meningkat seiring
peningkatan panas disebut sistem endotermik. Sebaliknya, suatu sistem larutan
yang kelaurtannya menurun seiring meningkatnya suhu disebut sistem
eksotermik. Secara kuantitatif, kelarutan didefinisikan sebagai konsentrasi atau
jumlah zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur dan tekanan terntentu dan
secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat
untuk membentuk dispersi molekul homogen (Martin, 1999).
Pada praktikum kali ini, digunakan senyawa Asam Oksalat (C 2H2O4)
sebagai bahan yang akan diuji kelarutannya dan pengaruh suhu terhadap
kelarutannya. Digunakan asam oksalat dikarenakan asam oksalat memiliki
kelarutan yang sensitif terhadapt suhu sehingga dengan berubahnya suhu maka
berubah pula kelarutan asam oksalat. Pada kegiatan praktikum kali ini, suhu yang
digunakan adalah 45oC, 35oC, 25oC dan 15oC.
Sebelum dilakukan uji pengaruh suhu terhadap kelarutan asam oksalat,
terlebih dahulu dilakukan pembuatan larutan titran atau baku NaOH.
Digunakannya NaOH sebagai baku dikarenakan NaOH merupakan senyawa basa
yang digunakan untuk mentitrasi senyawa asam dalam metode titrasi alkalimetri.
Pertama-tama dilarutkan NaOH sebanyak 2,026 gram dalam 100 mL aquadest
sehingga diperoleh konsentrasi NaOH sebesar 0,5 N. Selanjutnya ditimbang asam
oksalat sebanyak 25,006 gram dan dilarutkan dalam beaker glass 50 mL pada
suhu 60oC. Dibuat larutan asam oksalat jenuh yang dilakukan dengan cara
melarutkan asam oksalat sedkit demi sedikit hingga terdapat asam oksalat yang
tidak larut lagi, yang menandakan larutan tersebut telah jenuh dengan asam
oksalat.
Setelah diperoleh larutan jenuh asam oksalat, mulai dilakukan pengamatan
pengaruh suhu terhadap kelarutan dengan cara meletakkan larutan jenuh asam
oksalat 60oC pada beaker glass berisi es batu dan didiamkan hingga suhu larutan
turun hingga 45oC. dipipet sebanyak 10 mL larutan asam oksalat suhu sekian dan
diencerkan dengan aquadest sebanyak 100 mL. Pengenceran dilakukan karena
dimungkinkan larutan asam oksalat tersebut terlalu pekat. Kemudian larutan encer
asam oksalat 100 mL yang belum diketahui konsnentrasinya dipipet masing-
masing sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke tiga ernlenmeyer yang berbeda.
Dilakukan proses titrasi asam oksalat dengan NaOH 0,5 N hingga terbentuk warna
merah muda yang stabil atau telah mencapai titik akhir titrasi. Dilakukan hal yang
sama untuk penurunan suhu 35oC, 25oC dan 15oC.
Titrasi dilakukan untuk menentukan konsentrasi asam oksalat dalam larutan
asam oksalat encer tersebut. Titrasi yang digunakan adalah titrasi alkali metri
dimana digunakan titran basa untuk penetralan titrat basa. Penambahan sedikit
NaOH berlebih pada larutan asam oksalat akan menyebabkan suasana basa dalam
larutan tersebut dan mengalamin prose shidrolisis (Gandjar dan Rohman, 2007).
Digunakan indikator phenolphtalein dikarenakan phenonphtalein dapat berubah
warna pada rentang pH 8,4 hingga 10,0 yang dimana akibat dari penambhana
NaOH berlebih yang memberikan suasan basa pada larutan tersebut. Jika pH
sistem yang berisi indikator phenonphtalein berubah basa, sistem titrasi tersebut
akan berubah warna menjadi warna merah muda (Ahluwalia dkk., dkk)
Dari data volume NaOH hasil titrasi, dilakukan perhitungan konsentrasi
asam oksalat pada tiap perubahan suhu. Konsentrasi asam oksalat yang diperoleh
adalah 0,246 M pada suhu 45oC, 0,155 M pada suhu 35 oC, 0,155 M pada suhu
25oC dan 0,076 M pada suhu 15oC. Konsentrasi atau harga kelarutan
asammoksalat dinyatakan dalam satuan molar karen kelarutan secara kuantitatif
dinyatakan sebagai konsentrasi atau jumlah zat terlarut dalam larutan dan
konsentrasi dinyatakan dalam molar (Martin dkk., 1999) berdasarkan hasil
perhitungan, diperoleh kurva hubungan Ln S dengan 1/T sebagai berikut :
Ln S
Hal diatas menunjukan hubungan antara kelarutan terhadap suhu dimana
kurva tersebut hampir linier. Karena kelarutan asam oksalat berbanding lurus
dengan suhu sistem larutan. Hal diatas menunjukkan bahwa seiring penurunan
suhu konsentrasi asam oksalat juga menurun. Dimana asam oksalat merupakan
senyawa yang membutuhkan suhu tinggi untuk dapat terlarut atau disebut
endotermik.
VII. KESIMPULAN
VII.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah perubahan
suhu, ukuran partikel, kecepatan pengadukan, pH dan konstanta dielektrik
suatu larutan.
VII.2 Suhu dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat yang mana semakin besar
suhu maka kelarutan semakin meningkat untuk zat endotermik seperti asam
oksalat. Dimana peningkatan konsentrasi yang diperoleh adalah adalah 0,246
M pada suhu 45oC, 0,155 M pada suhu 35 oC, 0,155 M pada suhu 25oC dan
0,076 M pada suhu 15oC.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Lachman, L., H. A. Lieberman dan J. L. Kanig. 1986. Teori dan Praktek Farmasi Industri
Edisi III. Jakarta : UI Press.
Martin, A., J. Swarbrick dan A. Cammarata. 1990. Farmasi Fisik Dasar - Dasar Kimia
Fisik Dalam Ilmu Farmasetik. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Rahayu, Imam. 2009. Praktis Belajar Kimia untuk Kelas XII Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Silbey, Robert J. 1996. Physical Chemistry 2nd edition. USA: John Wiley and sons inc.
Syukri, Yandi dan U. Sukmawati. 2004. Desintegrasi dan Disolusi Tablet Furosemida dari
Berbagai Produk Generik dan Produk Paten Yang Beredar. Logika. Vol. 1(1).
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada
University Press.
Zaini, E., A. Halim, S. N. Soewandhi dan D. Setyawan. 2011. Peningkatan Laju Pelarutan
Trimetoprim Melalui Metode Ko-Kristalisasi dengan Nikotinamida. Jurnal
Farmasi Indonesia. Vol. 5(4): 205-212.