Anda di halaman 1dari 15

TUGAS EKONOMI INDONESIA

MAKALAH KEMISIKINAN

Oleh :
Marvin Arifin
NIM : 142220

MANAJEMEN
FAKULTAS BISNIS DAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS
PALEMBANG
2016
A. Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa
lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,
tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran
kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang
tersedia pada zaman modern. Negara kita Indonesia sebagai negara yang kaya
akan sumber daya alamnya, tapi kemiskinan sampai dengan sekarang belum
juga teratasi. Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan
sudah banyak pula dilaksanakan, seperti pengembangan desa tertinggal,
perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang
pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak
krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun
1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS
ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan dan akhir-akhir
ini adanya jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) dan askeskin (asuransi
kesehatan miskin) tapi itu semua belum menjawab masalah kemiskinan
(Masrizal, 2009).
Angka kemiskinan nasional menyembunyikan sejumlah besar penduduk
yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen
dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan AS$1- dan
AS$2-per hari-suatu aspek kemiskinan yang luar biasa dan menentukan di
Indonesia. Analisis menunjukkan bahwa perbedaan antara orang miskin dan
yang hampir-miskin sangat kecil, menunjukkan bahwa strategi pengentasan
kemiskinan hendaknya dipusatkan pada perbaikan kesejahteraan mereka yang
masuk dalam dua kelompok kuintil berpenghasilan paling rendah. Hal ini
juga berarti bahwa kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia:
walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk
Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka pernah
jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan. Data
terakhir juga mengindikasikan tingkat pergerakan tinggi (masuk dan keluar)
kemiskinan selama periode tersebut, lebih dari 38 persen rumah tangga
miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003 (The World Bank,
2006).
B. Faktor Penyebab Kemiskinan
Pada umumnya faktor penyebab kemiskinan di negara Indonesia adalah :
1. Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkat di setiap 10
tahun menurut hasil sensus penduduk. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) di tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta lebih
penduduk. Kemudian di sensus penduduk tahun 2000 penduduk
meningkat sebesar 27 juta penduduk atau menjadi 206 juta jiwa, dapat
diringkaskan pertambahan penduduk Indonesia persatuan waktu adalah
sebesar setiap tahun bertambah 2,04 juta orang pertahun atau 170 ribu
orang perbulan atau 5.577 orang perhari atau 232 orang perjam atau 4
orang per menit. Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia
menjadi negara ke-4 terbanyak penduduknya setelah China, India dan
Amerika. Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia semakin
terpuruk dengan keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk
yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan.
Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban
ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di
bawah garis kemiskinan (Sitanggang, 2011).
2. Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran
Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu
tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja
ialah penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja. Batasan usia
kerja berbeda-beda disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas
usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10
tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap orang atau semua
penduduk berumur 10 tahun tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya
merupakan bukan tenaga kerja yang selanjutnya dapat dimasukan dalam
katergori beban ketergantungan.
Tenaga kerja (manpower) dipilih pula kedalam dua kelompok yaitu
angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk
angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang
bekerja atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak bekerja
dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk sebagai bukan
angkatan kerja adalah tenaga kerja dalam usia kerja yang tidak sedang
bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan,
yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah, mengurus rumah
tangga, serta orang yang menerima pendapatan tapi bukan merupakan
imbalan langsung atas jasa kerjanya. Selanjutnya angkatan kerja
dibedakan pula menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan penganggur.
Pekerja di sini adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan,
mencakup orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang
bekerja maupun orang yang memilki pekerjaan namun sedang tidak
bekerja. Pengangguran yang dimaksud adalah orang yang tidak
mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan
mencari pekerjaan. Pengangguran semacam ini oleh BPS dikatergorikan
sebagai pengangguran terbuka (Dumairy, 1996).
3. Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau
timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan
penduduknya. Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas
porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk,
yakni 40% penduduk berpendapatan rendah (penduduk miskin); 40%
penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan
tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan ketidakmerataan
distribusi dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah
menikmati kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan
dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk berpendapatan rendah
menikmati 12-17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40%
penduduk miskin menikmati lebih dari 17 persen pendapatan nasional
makan ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi
pendapatan nasional dikatakan cukup merata (Dumairy, 1996).
Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang
mereka lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
sedangkan ada sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan
yang berlebih. Ini disebut jugasebagai ketimpangan. Ketimpangan
pendapatan yang ekstrim dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi.
Penyebabnya sebagian adalah pada tingkat pendapatan rata-rata bearapa
pun, ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin
kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan
pinjaman atau sumber kredit. Selain itu ketimpangan dapat menyebabkan
alokasi aset yang tidak efisien. Ketimpangan yang tinggi menyebabkan
penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan
mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar, dan kemudian
menyebabkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar
(Todaro,2006).
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung
dan berwujud dalam berbagai bentuk dan aspek atau dimensi. Bukan saja
berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan per
kapita tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu
sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar
daerah tetapi ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.
Ketimpangan sektoral dan regional dapat ditengarai antara lain dengan
menelaah perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan
tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan.
Sepanjang era PJP I (lima pelita) yang lalu, sektor pertanian rata-rata
hanya tumbuh 3,54% per tahun. Sedangkan sektor industri pengolahan
tumbuh dengan rata-rata 12,22% per tahun. Di Repelita VI sektor
pertanian saat itu ditargetkan tumbuh rata-rata 3,4% per tahun, sementara
pertumbuhan rata-rata tahunan sektor industri pengolahan ditargetkan
9,4% per tahun. Tidak seperti masa era PJP I, dimana dalam pelita-pelita
tertentu terdapat sektor lain yang tingkat pertumbuhannya lebih tinggi
dari tingkat pertumbuhan sektor industri pengolahaan, selama Repelita
VI tingkat pertumbuhan sektor ini dicanangkan yang tertinggi
dibandingkan sector-sektor lainnya. Sektor industri pengolahan diharapka
dapatmenjadi pemimpin sepanjang sektor Repelita VI. Ketimpangan
pertumbuhan antarsektor, khususnya antara sektor pertanian dan sektor
industri pengolahan harus disikapi secara arif. Ketimpangan
pertumbuhansektoral ini bukanlah kecelakaan atau ekses pembangunan.
Ketimpangan ini lebih kepada suatu hal yang terencana dan memang
disengaja terkait dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara
industri. Akan tetapi sampai sejauh manakah ketimpangan ini dapat
ditolerir. Pemerintah perlu memikirkan kembali perihal ketepatan
keputusan menggunakan industrialisasi sebgai jalur pembangunan
karenaakan sangat berdampak bagi pendapatan penduduk dan selanjutnya
kemiskinan (Dumairy, 1996).
4. Tingkat Pendidikan Masyarakat yang Rendah
Banyak masyarakat Indonesia tidak memiliki pendidikan yang
dibutuhkan oleh perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja. Pada
umumya untuk memperoleh pendapatan yang tinggi diperlukan tingkat
pendidikan yang tinggi pula atau minimal mempunyai memiliki
ketrampilan yang memadai sehingga dapat memperoleh pendapatan yang
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga kemakmuran penduduk
dapat terlaksana dengan baik dan kemiskinan dapat ditanggulangi.
Rendahnya kualitas penduduk merupakan salah satu penyebab
kemiskinan di suatu negara. Untuk adanya perkembangan ekonomi
terutama industri, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak teanga kerja yang
mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis. Menurut
Schumaker pendidikan merupakan sumber daya yang terbesar
manfaatnya dibandingkan faktor-faktor produksi lain (Irawan, 1999).
5. Kurangnya Perhatian dari Pemerintah
Masalah kemiskinan bisa dibilang menjadi masalah Negara yang
semakin berkembangsetiap tahunnya dan pemerintah sampai sekarang
belum mampu mengatasi masalahtersebut. Kurangnya perhatian
pemerintah akan maslah ini mungkin menjadi salah satu penyebnya.
Pemerintah yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat
miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak
dapat memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat
kemiskinan di negaranya (Sitanggang, 2011).
6. Kurangnya Lapangan Pekerjaan yang Tersedia di Indonesia
Seperti kita ketahui lapangan pekerjaan yang terdapat di Indonesia
tidak seimbangdengan jumlah penduduk yang ada dimana lapangan
pekerjaan lebih sedikitdibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Dengan demikian banyak penduduk diIndonesia yang tidak memperoleh
penghasilan itu menyebabkan kemiskinan diIndonesia

C. Dampak Kemiskinan
Dampak dari kemisikinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak
dan kompleks (Ghopur, 2011), yang kemudian dipaparkan sebagai berikut :
a Pengangguran
Jumlah pengangguran terbuka awal tahun 2011 sebanyak 8,12 juta
orang. Jumlah yang cukup fantastis, mengingat krisis multidimensional
yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran,
berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak
bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis
pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat.
Sehingga akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat
pendapatan, nutrisi dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya
pembangunan manusia di tanah air akan melemahkan kekuatan daya saing
bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui
kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain
secara global. Dalam konteks daya beli, di tengah melemahnya daya beli
masyarakat, kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka
kemiskinan. Perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup
dominan terhadap penentuan garis kemiskinan, yakni hampir tiga
perempatnya (74,99 %) (Ritonga, 2007).
Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan
rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga disebabkan kebijakan
pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau
pertumbuhan (growth). Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia
tahun 1997 silam misalnya, banyak perusahaan yang melakukan
perampingan jumlah tenaga kerja, sebab tak mampu lagi membayar gaji
karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang
terpaksa harus dirumahkan, atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK
(Putus Hubungan Kerja).
b Kekerasan
Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini
merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi
mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi
jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan
hidupnya, maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok,
menodong, mencuri atau menipu (dengan cara mengintimidasi orang lain)
di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada
yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia
mendapatkan uang dari memalak.
c Pendidikan
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang
terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat
miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas
mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu.
Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka
sudah kesulitan. Bagaimana seorang penarik becak misalnya, yang
memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan, ketika
biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher, sementara anak-
anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi
mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya
negara sudah melakukan pemiskinan struktural terhadap rakyatnya.
Akhirnya, kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih
dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat
pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan
seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan
bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era
globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
d Kesehatan.
Biaya pengobatan sekarang sangatlah mahal. Hampir setiap klinik
pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif/ongkos
pengobatan dengan biayanya yang tinggi, sehingga biayanya tak
terjangkau oleh kalangan miskin.
e Konflik Sosial Bernuansa SARA (istilah Orba).
Tanpa bersikap munafik, konflik SARA muncul akibat
ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini
menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. Akibat ketiadaan
jaminan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum dari negara,
persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam
bentrokan identitas yang subjektif. Terlebih lagi fenomena bencana alam
yang kerap melanda negeri ini, yang berdampak langsung terhadap
mingkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang
daftar kemiskinan dan semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di
Indonesia, baik di perdesaan maupun perkotaan.

D. Upaya Pengentasan Kemiskinan


Kemiskian timbul karena ada sebagian masyarakat yang belum ikut serta
dalam pembanguna sehingga belum dapat menikmati hasil pembangunan
secara memadai. Keadaan ini disebabkan oleh ketrbatasan dalam kepemilikan
dan penguasaan faktor produksi sehingga kemampun masyarakat dalam
menghasilkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan belum merata dan
belum seimbang. Oleh sebab-sebab itu upaya pengembangan kegiatan
ekonomi kelompk masyarakat berpendapatan rendah senantiasa ditempatkan
sebagi prioritas utama. Sejalan dengan itu, penyedia faktor produksi termsuk
modal dan kemampuan peningkatan kemampuan masyarakat menjadi
landasan bagi berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat secara
berkelanjutan. Pelaksanaan pembangunan nasional yang dijabarkan dalam
program pembangunan sektoral, regional dan khusus. Pembangunan baik
secara langsung maupun tidak langsung dirancang untuk memecahkan
masalah kemiskinan.
Kebijaksanaan penanggulangan kemiskianan dapat di kategorikan menjadi
dua yaitu:
1 Kebijaksanaan tidak langsung
Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi
yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan.
Kondisi yang dimaksudkan antara lain adalah suasana sosial politik yang
kentara, ekonomi yang stabil dan budaya yang berkembang. Upaya
penggolongan ekonomi makro yang yang berhati-hati melalui
kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan bagian dari upaya
menaggulangi kemiskinan. Pengendalian tingkat inflasi diarahkan pada
penciptaan situsasi yang kondusif bagi upaya penyediaan kebutuhan
daasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan dengan
harga yang terjangkau oleh penduduk miskin.

2 Kebijaksanaan langsung
Kebijaksaan langsung diarahkan kepada peningkatan peran serta
dan produktifitas sumber daya manusia khususnya golongan masyarakat
berpendapatan rendah, melalui penyediaan kebutuhan dasar seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, serta pengembangan
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang bekelanjutan untuk mendorong
kemandirian golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.
Pemenuhan kebutuhan dasar akan memberikan peluang bagi penduduk
miskin untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang dapat memberikan
pendapatan yang memadai. Dalam hubungan ini, pengembangan kegiatan
sosial ekonomi rakyat diprioritaskan pada pengembangan kegiatan sosial
ekonomi penduduk miskin di desa-desa miskin berupa peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan peningkatan permodalan yang didukung
sepenuhnya dengan kegiatan pelatih yang terintegrasi sejak kegiatan
penghimpunan modal, penguasaan teknik produksi, pemasaran hasil dan
pengelolaan surplus usaha.
E. Penanggulangan Masalah Kemiskinan di Indonesia
Ada beberapa program yang perlu dilakukan agar kemiskinan di
Indonesia bisa dikurangi, antara lain :
1 Meningkatkan Pendidikan Rakyat
Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh seluruh rakyat
Indonesia. Dulu pada tahun 1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada
sekolah pagi dan ada sekolah siang sehingga 1 bangunan sekolah bisa
dipakai untuk 2 sekolah dan melayani murid dengan jumlah 2 kali lipat.
Ini tentu lebih efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan
gedung sekolah bisa dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang
berpendapat bahwa hal itu bisa mengurangi jumlah pelajaran karena jam
belajar berkurang. Sebaliknya jam pelajaran di sekolah terlalu lama justru
membuat siswa jenuh dan tidak mandiri karena dicekoki oleh gurunya.
Guru bisa memberi mereka PR atau tugas yang dikerjakan baik sendiri,
bersama orang tua, atau teman-teman mereka. Ini melatih kemandirian
serta kerjasama antara anak dengan orang tua dan juga dengan teman
mereka. Selain itu biaya untuk beli buku cukup tinggi, untuk mengurangi
beban orang tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa menyediakan
Perpustakaan Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah meminjamkan buku-
buku Pedoman (waktu itu terbitan Balai Pustaka) kepada seluruh siswa
secara gratis, untuk soal bisa didikte atau ditulis di papan tulis.
Berbeda dengan sekarang dimana buku harus ditulis dengan pulpen
sehingga begitu selesai dipakai harus dibuang tidak bisa diturunkan ke
adik-adiknya. Saat ini biaya SPP sekolah gratis hanya mencakup SD dan
SMP (meskipun sebetulnya tetap bayar yang lain dengan istilah Ekskul
atau Les) sedang untuk Perguruan Tinggi Negeri biayanya justru jauh lebih
tinggi dari Universitas Swasta yang memang bertujuan komersial.
Meskipun ada surat edaran Rektor bahwa orang tua tidak perlu takut akan
bayaran karena bisa minta keringanan, namun teori beda dengan praktek.
Orang-orang kurang berkecukupan saat ini hanya bisa bermimpi
untuk bisa masuk ke PTN. Hanya segelintir saja orang kurang mampu
yang mau bersusah payah mengurus surat keterangan tidak mampu dan
merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus sebagai Keluarga
Miskin (Gakin) untuk minta keringanan biaya. Tanpa pendidikan, sulit
bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi bangsa
yang maju.
2 Pembagian Tanah/Lahan Pertanian untuk Petani
Paling tidak separuh rakyat (sekitar 100 juta penduduk) Indonesia
masih hidup di bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas petani
Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak
punya tanah dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar
desa hingga jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan
beberapa hektar. Artinya jika 1 hektar bisa menghasilkan 6 ton gabah dan
panen 2 kali dalam setahun serta harga gabah hanya Rp 2.000/kg,
pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp 800
ribu/bulan. Jika dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk
dengan asumsi 50% dari pendapatan mereka, maka penghasilan petani
hanya Rp 400 ribu/bulan saja.
Pada saat yang sama 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652
pengusaha. Ini menunjukkan belum adanya keadilan di bidang pertanahan.
Dulu pada zaman Orba (Orde Baru) ada proyek Transmigrasi di mana para
petani mendapat tanah 1-2 hektar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua. Transportasi, rumah, dan biaya hidup selama setahun ditanggung
oleh pemerintah.
Program itu sebenarnya cukup baik untuk diteruskan mengingat
saat ini Indonesia kekurangan pangan seperti beras, kedelai, daging sapi,
dsb sehingga harus impor puluhan trilyun rupiah setiap tahunnya. Jika
petani dapat tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi Rp
48 juta per tahun atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga. Memang
biaya transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun,
rumah, lahan, dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga.
Dengan anggaran Rp 10 trilyun per tahun ada 250.000 keluarga yang dapat
diberangkatkan per tahunnya.
Seandainya tiap keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar
menghasilkan 12 ton beras per tahun, maka akan ada tambahan produksi
sebesar 6 juta ton per tahun. Ini sudah cukup untuk menutupi kekurangan
beras di dalam negeri. Saat ini dari 2 juta ton kebutuhan kedelai di
Indonesia (sebagian untuk tahu dan tempe), 60% diimpor dari luar negeri.
Karena harga kedelai luar negeri naik dari Rp 3.500/kg menjadi Rp
7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang bangkrut dan
karyawannya banyak yang menganggur. Jika program transmigrasi
dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk di mana kita
harus impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa diatasi dan
Indonesia tidak tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp
8 trilyun per tahunnya. Ini akan menghemat devisa.

3 Menutup Bisnis Pangan yang Menjadi Kebutuhan Utama Rakyat dari


Para Pengusaha Besar
Para petani/pekebun kecil sulit untuk mengekspor produk mereka.
Sebaliknya para pengusaha besar dengan mudah mengekspor produk
mereka (para pengusaha bisa menekan/melobi pemerintah) sehingga
rakyat justru bisa kekurangan makanan atau harus membayar tinggi sama
dengan harga Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya harga
minyak kelapa hingga 2 kali lipat lebih dalam jangka waktu kurang dari 6
bulan akibat kenaikan harga Internasional. Pemerintah tidak bisa berbuat
apa-apa.
Jika produk utama seperti beras, kedelai, terigu dikuasai oleh
pengusaha, rakyat akan menderita akibat permainan harga. Selain itu
dengan dikuasainya industri pertanian oleh pengusaha besar, para petani
yang merupakan mayoritas dari rakyat Indonesia akan semakin tersingkir
dan termiskinkan.
4 Melakukan Efisiensi di Bidang Pertanian
Perlu dikaji apakah pertanian kita efisien atau tidak. Jika pestisida
kimia mahal dan berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator alami
seperti burung hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk
kimia mahal dan berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk
hijau/kompos. Semakin murah biaya pestisida dan pupuk, para petani akan
semakin terbantu karena ongkos tani semakin rendah.
Jika membajak sawah bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa
harus memakai traktor, dengan sapi/kerbau para petani bisa menternaknya
sehingga jadi banyak untuk kemudian dijual. Daging dan susunya juga
bisa dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan butuh bensin/solar yang
selain mahal juga mencemari lingkungan.
5 Mendata Produk-Produk yang Masih Kita Impor
Meneliti produk mana yang bisa dikembangkan di dalam negeri
sehingga kita tidak tergantung dengan impor sekaligus membuka lapangan
kerja. Sebagai contoh jika mobil bisa kita produksi sendiri, maka itu akan
sangat menghemat devisa dan membuka lapangan kerja. Ada 1 juta mobil
dan 6,2 juta sepeda motor terjual di Indonesia dengan nilai lebih dari Rp
200 trilyun/tahun. Jika pemerintah menyisihkan 1% saja dari APBN yang
Rp 1.000 trilyun/tahun untuk membuat/mendukung BUMN yang
menciptakan kendaraan nasional, maka akan terbuka lapangan kerja dan
penghematan devisa milyaran dollar setiap tahunnya.
6 Menghentikan Eksploitasi Kekayaan Alam oleh Perusahaan Asing.
Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing dengan alasan
kita tidak mampu dan sedang transfer teknologi. Kenyataannya dari tahun
1900 hingga saat ini ketika minyak hampir habis kita masih transfer
teknologi. Padahal 95% pekerja dan insinyur di perusahaan-perusahaan
asing adalah orang Indonesia. Bahkan perusahaan migas Qatar pun sering
memasang lowongan untuk merekrut ahli migas dari Negara Indonesia.
Saat ini 1.500 ahli perminyakan Indonesia bekerja di Timur Tengah seperti
Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar. Bahkan ada Doktor Perminyakan yang
bekerja di negara Eropa seperti Noewegia.
Banyak perusahaan asing beroperasi menguras kekayaan alam
Indonesia. Negara tetangga yang menambang emas bekerjasama dengan
penduduk lokal dengan memakai alat pahat dan martil saja bisa mendapat
Rp 240 juta per bulan, bagaimana dengan Freeport yang memakai banyak
excavator dan truk-truk raksasa yang meratakan gunung-gunung di Papua.
Agar Indonesia bisa makmur, maka Indonesia harus mengelola sendiri
kekayaan alamnya.

Anda mungkin juga menyukai