Anda di halaman 1dari 12

PNEUMONIA

A. Definisi
Pneumonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengensi
jaringan paru (alveoli). (DEPKES. 2006)
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat. (Zuh Dahlan. 2006)
Pneumonia adalah infeksi akut jaringan (parenkim) paru yang ditandai
dengan demam, batuk dan sesak napas. Selain gambaran umum di atas,
Pneumonia dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya
dan pemeriksaan penunjang (Rontgen, Laboratorium). (Masmoki. 2007)

B. Klasifikasi
a) Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired
pneumonia, CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu
terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang
terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang
belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari. (Buke, 2009)
b) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang
terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini
didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006).
Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan
pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan
penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia
(Supandi, 1992)
c) Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme
anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia
jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi,
maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Buke, 2009)
d) Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya
steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur,
dan mikobakteri, selain organisme bakteria lain (Buke, 2009)
e) Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang
terjadi pada fibrosis kistik dan bronkietaksis (Buke, 2009)

C. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), etiologi pneumonia adalah

a. Bakteri
Bakteri adalah penyebab paling sering pneumonia di masyarakat
dan nosokomial. Berikut ini adalah bakteri-bakteri yang menjadi etiologi
pneumonia di masyarakat dan nosokomial:
Lokasi sumber masyarakat
Bakterinya adalah Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae, Legionella pneumoniae, Chlamydida pneumoniae,
Anaerob oral (aspirasi), dan Influenza tipe A dan B.
Lokasi sumber nosokomial
Bakterinya adalah Basil usus gram negatif (Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae), Pseudomonas aeroginosa, Staphylococcus
aureus, dan Anaerob oral (aspirasi).
b. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial
Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran
pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia.
Berikut ini adalah virus yang dapat menyebakan terjadinya
pneumonia:
Influenza virus
Adenovirus
Virus respiratory
Syncytial repiratory virus
Pneumonia virus

c. Mikoplasma
Mikoplasma adalah penyebab pneumonia atipikal primer yang paling
umum. Mikoplasma merupakan organisme kecil yang dikelilingi oleh
membran berlapis tiga tanpa diding sel. Organisme ini tumbuh pada media
kultur khusus tetapi berbeda dengan virus. Pneumonia mikoplasma sering
terjadi pada anak-anak yang sudah besar dan dewas muda.
d. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia
pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii
Pneumonia (PCP). Berikut ini adalah protozoa yang dapat menyebabkan
pnuemonia:
Pneumositis karini
Pneumonia pneumosistis
Pneumonia plasma sel
e. Penyebab Lain
Penyebab lain yang dapat menyebabkan pnuemonia adalah terapi radiasi,
bahan kimia, dan aspirasi. Pneumonia radiasi dapt menyertai terapi radiasi
untuk kanker payudara atau paru, biasanya 6 minbbu atau lebih setelah
pengobatan selesai. Pneumonia kimiawi terjadi setelah mencerna kerosin
atau inhalasi gas yang mengiritasi.

D. Epidemiologi
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di
rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling
tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada
pasien yang dirawat di rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU (Buke, 2009).
Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000
orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar
14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-
20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian
diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa,
2011). Di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35%
dengan kematian mencapai 20-50% (Farmacia, 2006).

E. Faktor Resiko
Berikut ini adalah faktor resiko pneumonia menurut Price dan Wilson, 2005:
Usia di atas 65 tahun
Aspirasi sekret orofaringeal
Infeksi pernapasan oleh virus
Sakit yang parah dan akan menyebabkan kelemahan, misalnya diabetes
militus dan uremia
Penyakit pernapasan kronik, misalnya COPD, asma, kistik fibrosis
Kanker, terutama kanker paru
Tirah baring yang lama
Trasektomi atau pemakaian selang endotrakeal
Bedah abdominial dan toraks
Fraktur tulang iga
Pengobatan dengan imunosupresif
AIDS
Riwayat merokok
Alkoholisme
Malnutrisi
Adapun faktor yang umumnya menjadi predisposisi individu terhadap
pneumonia, yaitu sebagai berikut:
Setiap kondisi yang menghasilkan lendir atau obstruksi bronkial dan
menganggu drainage normal paru. Meninngkatnya resiko pneumonia dapat
terjadi pada penyakit kanker dan penyakit obstruksi paru menahun
(PPOM).
Pasien imunosupresif dan mereka dengan jumlah neutrofil rendah
(neutropeni) akan beresiko pnuemonia.
Individu yang merokok akan beresiko peumonia karena asap rokok
menganggu aktivitas mukosiliaris dan makrofag.
Setiap pasien yang diperbolehkan berbaring secara pasif dalam waktu yang
lama, relatif imobil, dan bernapas dangkal maka akan beresiko terhadap
bronkopneumonia.
Setiap individu yang mengalami depresi refleks batuk (karena medikasi,
keadaan yang melemahkan, atau otot-otot pernapasan melemah), telah
mengaspirasi benda asing masuk ke dalam paru selama periode tidak
sadar (cedera kepala, anastesia), atau mekanisme menelan yang abnormal
dapat dikatakan hampir pasti beresiko bronkopenumonia.
Setiap pasien yang dirawat dengan NPO (dipuasakan) atau mereka yang
mendapat antibiotik mengalami peningkatan kolonisasi organisme (bakteri
gram negatif) faring dan beresiko pneumonia.
Individu yang sering mengalami intoksinasi terutama rentan terhadap
pneumonia, karena alkohol menekan refleks-refleks tubuh, mobilisasi sel
darah putih, dan gerakan siliaris trakeobronkial.
Setiap individu yang menerima sedatif atau opioid dapat mengalami
depresi pernapasan, yang kemudian akan terjadi pengumpulan sekresi
bronkial dan selanjutnya mengalami penumonia.
Pasien tidak sadar atau mempunyai refleks batuk yang buruk adalah
mereka yang beresiko terkena pnuemonia akibat penumpukan sekresi atau
aspirasi.
Setiap orang yang menerima pengobatan dengan peralatan terapi
pernapasan dapat mengalami penumonia jika peralatan tersebut tidak
dibersihkan dengan tepat.
F. Patofisiologi
G. Manifestasi Klinis
Demam dan batuk (awalnya nonproduktif) merupakan gejala umum.
Bisa juga terjadi nyeri dada dan sesak napas. Gambaran sistemik (lebih sering
terjadi) di antaranya adalah nyeri kepala, confusion, myalgia, dan malaise.
Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda konsolidasi lokal dan
ronki kasar (crackles) pada lobus yang terkena. (Patrick Davey, 2006)
Pada anak-anak, infeksi virus (RSV) dan virus parainfluenzae akan
disertai rhinore, suara serak, dan otitis media. Terdengar ronki kering di
seluruh lapangan paru dan disertai dengan mengi inspirasi dan ekspirasi. Jika
disebabkan oleh mycobacterium pneumonia, maka akan menimbulkan ronki
terbatas, dan gejala proses konsolidasi, tetapi pada foto paru, gambaran
prosesnya menyebar. Terkadang juga terdengar bising gesek pelura.
(Darmanto Djojodibroto, 2008)

H. Pemeriksaan Diagnostik
a) Sinar X dada : mengidentifikyanasi distribusi struktural; dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrasi baik menyebar ataupun terlokalisasi, atau
penyebaran/perluasan infiltrate nodul. Selain itu juga dapat menunjukkan
efusi pleura, kista udara-cairan, sampai konsolidasi.
b) Analisis gas darah : untuk mendiagnosis gagal napas,serta menunjukkan
hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
c) LED meningkat
d) Hitung jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/l kadang-kadang
mencapai 30.000/l
e) Pemeriksaan fungsi paru : volume turun, tekanan jalan napas meningkat,
dan komplain menurun.
f) Pemeriksaan elektrolit : Na dan Cl meningkat.
g) Pemeriksaan bilirubin : terjadi peningkatan bilirubin.
h) Aspirasi/biopsi jaringan paru
i) Kultur sputum : penting untuk koreksi terapi antibiotik. (Misnadiarly,
2008)
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk pneumonia bergantung pada penyebab, sesuai
yang ditentukan oleh pemeriksaan sputum mencakup :
Oksigen 1-2 L/menit
IVFD dekstrose 10%: NaCl 0,9% = 3:1, +KCl 10 mEq/500 ml
cairan
Jumlah cairan sesuai berat badan,kenaikan suhu, status hidrasi
Jika sesak tidak selalu berat dapat dimulai makanan enteral
bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip
Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
Antibiotik sesuai hasil biakan atau diberikan untuk kasus pneumonia
community base:
Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 41 kali pemberian
Kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
Untuk kasus pneumonia hospital base:
Sefatoksim 100 mg/kg BB/ hari dalam 2 kali pemberian
Amikasin 10-15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
J. Komplikasi
a. Shock dan gagal napas
Komplikasi parah pneumonia meliputi hipotensi dan syok dan
kegagalan pernafasan (terutama dengan penyakit bakteri gram negatif pada
pasien usia lanjut). Komplikasi ini ditemui terutama pada pasien yang
tidak menerima pengobatan khusus atau pengobatan yang tidak memadai
atau tertunda. Komplikasi ini juga ditemui ketika organisme penyebab
infeksi yang resisten terhadap terapi dan ketika penyakit penyerta
mempersulit pneumonia.
Jika pasien sakit parah, terapi agresif termasuk dukungan
hemodinamik dan ventilasi untuk mencegah pecahnya kapiler perifer,
menjaga tekanan darah arteri, dan memberikan oksigenasi yang memadai.
Agen vasopressor dapat diberikan secara intravena dengan infus dan pada
tingkat disesuaikan sesuai dengan respon tekanan. Kortikosteroid dapat
diberikan parenteral untuk memerangi shock dan toksisitas pada pasien
yang sangat sakit dengan pneumonia dan bahaya nyata kematian dari
infeksi. Pasien mungkin memerlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik. Gagal jantung kongestif, disritmia jantung, perikarditis,
miokarditis dan juga komplikasi dari pneumonia yang dapat menyebabkan
shock.
b. Atelektasis dan Efusi pleura
Atelektasis (dari obstruksi bronkus oleh akumulasi sekresi) dapat
terjadi pada setiap tahap pneumonia akut. Efusi pleura parapneumonik
terjadi pada setidaknya 40% dari pneumonia bakteri. Sebuah efusi
parapneumonik adalah setiap efusi pleura yang berhubungan dengan
pneumonia bakteri, abses paru, bronkiektasis atau. Setelah efusi pleura
terdeteksi pada dada x-ray, thoracentesis yang dapat dilakukan untuk
mengeluarkan cairan tersebut. Cairan ini dikirim ke laboratorium untuk
analisis. Ada tiga tahap efusi pleura parapneumonik berdasarkan
patogenesis: tidak rumit, rumit, dan empiema toraks. Sebuah empiema
terjadi ketika tebal, cairan purulen terakumulasi dalam ruang pleura, sering
dengan perkembangan fibrin dan loculated (berdinding-off) daerah di
mana infeksi berada. Sebuah tabung dada dapat dimasukkan untuk
mengobati infeksi pleura dengan mendirikan drainase yang tepat dari
empiema tersebut. Sterilisasi rongga empiema membutuhkan 4 sampai 6
minggu antibiotik. Kadang-kadang manajemen bedah diperlukan.
c. Superinfeksi
Superinfeksi dapat terjadi dengan pemberian dosis yang sangat
besar antibiotik, seperti penisilin, atau dengan kombinasi antibiotik.
Superinfeksi juga dapat terjadi pada pasien yang telah menerima berbagai
kursus dan jenis antibiotik. Dalam kasus tersebut, bakteri dapat menjadi
resisten terhadap terapi antibiotik. Jika pasien membaik dan demam
berkurang setelah terapi antibiotik awal, tetapi kemudian ada kenaikan
suhu dengan meningkatnya batuk dan bukti bahwa pneumonia telah
menyebar, superinfeksi mungkin terjadi. Antibiotik dapat diubah atau
dihentikan sama sekali dalam beberapa kasus.

K. Pencegahan
Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia:
a. Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berat badan lahir rendah, perlu
gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang
cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta
pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi
selama kehamilan.
b. Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan
karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi
neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak
terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat
memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan
bakteri. Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih
tahan infeksi dibanding balita yang tidak mendapatkannya.
c. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9
bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu
pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
d. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang
sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi
batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.5. Mengurangi polusi
di dalam dan di luar rumah. Untuk mencegah pneumonia disarankan agar
kadar debu dan asap diturunkan dengan cara mengganti bahan bakar kayu
dan tidak membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang
cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas, cuaca
dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai faktor yang
memberi kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia.
e. Menjauhkan balita dari penderita batuk
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada
saluran pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang
penyakit batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat
menularkan pneumonia pada orang lain. Karena bentuk penyakit ini
menyebar dengan droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah.
Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya penyakit saluran
napas yang berat. Semua anak yang sehat sesekali akan menderita
salesma (radang selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka
menjadi pneumonia karena malnutrisi.
f. Mengurangi minum alkohol
Mengurangi minum alkohol dapat membantu dalam mengatasi
hidrasi. Hal ini juga membantu melawan pneumonia. Obat penurun
demam, contohnya acetaminophen (Tylenol) atau ibuprofen (Advil)
mungkin juga dapat membantu agar lebih baik.
g. Latihan Nafas
Untuk orang-orang yang rentan terhadap pneumonia, latihan
bernafas dalam dan terapi untuk membuang dahak, bisa membantu
mencegah terjadinya pneumonia. (Jeremy, 2005)
DAFTAR PUSTAKA

MIsnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor PopulerBare Brenda G,
Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC,
Jakarta.

Buke C, Biyikli B, Tuncel M,Aydemir S, Tunger A,Sirin H, Kocaman A. 2009.


Nosocomial Infections in a Neurological Intensive Care Unit. Journal of
Neurological Sciences (Turkish). Volume 26. Number 3. Page(s) 298-304.

Djojodibroto, Darmanto. 2007. Respirologi. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn, E. dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:


EGC.

Smeltzer, Suzane dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah ; Brunner and Suddarth. Cetakan I. Volume 1. Edisi 8. Jakarta :
EGC.

Smeltzer, Suzanne C. OConnell. 2010. Handbook for Brunner & Suddarths


Textbook of Medical-surgical Nursing Ed 12th. Lippincott Williams &
Wilkins.

Suriadi, Rita Yuliana. 2006. Asuhan Keperawtan pada Anak. Jakarta : Penebar
Swadaya.

Jeremy, dkk. 2005. At a Glance Sistem Respirasi, Edisi 2. Jakarta: Erlangga.

Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia.


Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Anda mungkin juga menyukai