Anda di halaman 1dari 11

Makalah

HUKUM OTOPSI DAN ABORSI DALAM ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqhiyah

Oleh:

Arina Wahyuni 09110008


Yona Erizca Hafsari 09110003
Suhartini Tri Utami 09110006
M. Shofia Rahman 09110064

JURUSAN TARBIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2011/2012
I. OTOPSI
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat
manusia untuk menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan
kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta
keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan baru
hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti
hukum bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam
nash tidak ditemukan keterangan yang sharih tentang hukum
melakukan pembedahan mayat, sebab bedah mayat seperti di
zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu. Yang ditemukan
hanya dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara tentang
larangan merusak tulang mayat. Selain itu terdapat perbedaan
pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut
mayat. Hanya saja masalahnya tidak sama persis dengan kasus
otopsi. Pembedah perut mayat dilakukan bila mayat itu menelan
harta atau didalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan
dalam berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta
ilmu kedokteran guna penyidikan sebab-sebab kematian manusia
yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah atau
meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek yang
dilakukan oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran
tidak cukup dengan teori-teori yang terdapat di dalam buku-buku
saja, akan tetapi mereka langsung diperlihatkan berbagai macam
anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah satu cara yang
telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah otopsi sebagai salah
satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam
mengetahui struktur anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi
berbagai macam penyakit yang terdapat dalam tubuh manusia dan
sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia tersebut yang
nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat
bukti.
Oleh karena itu penggunaan mayat manusia untuk
membuktikan ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran
merupakan hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga
yang cocok sehingga mendapatkan gambaran langsung dan nyata.

B. Pengertian
Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan
jalan memotong atau mengiris bagian tubuh manusia yang sakit
atau operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Jirahah atau
amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi
pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah
at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa inggris dikenal istilah
autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati
untuk mencari sebab-sebab kematianya.
Dalam terminologi ilmu kedokteran otopsi atau bedah mayat
berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat,
termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunanya pada bagian
dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan
sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran
maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.

C. Landasan Hukum Otopsi

Semua penemuan baru sebagai hasil dari perekembangan


teknologi hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum
Islam, seperti otopsi menurut pandangan Hukum Islam.
Adapaun teori yang dapat menjawab persolan bedah mayat (otopsi)
adalah sebagai berikut :
1. Al-quran




Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah,
daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan
(menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan
tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS.Al
Baqoroh : 173)

2. Kaidah-kaidah Fiqh
-
Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
-
Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang
lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan
mudaratnya
-
Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya
suatu hal, maka hal tersebut juga wajib
-
kemaslahatan publik didahulukan daripada kemaslahatan individu
-
kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak
kemudaratan yang bersifat umum

D. Otopsi dalam pandangan hukum Islam

Berikut beberapa pandangan ulama yang berkenaan tentang


hukum otopsi dalam Islam:

a. Menurut Imam Ahmad bin Hambal


Seseorang yang sedang hamil dan kemudian ia meninggal dunia,
maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar,
bahwa janin yang ada didalamnya masih hidup.
b. Menurut Imam Syafii
Jika seorang hamil, kemudia dia meninggal dunia dan ternyata
janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk
mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya kalau dalam perut si
mayat itu ada barang berharga.
c. Menurut Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang
berharga, maka mayat itu harus dibedah, baik barang itu milik
sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu (tidak boleh
dibedah), kalau hanya untuk mengeluarkan janinnya yang
diperkirakan masih hidup.
d. Menurut Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib
dibedah untuk mengeluarkan janin itu.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum
otopsi di atas dalam dua pendapat. Pertama, membolehkan ketiga
otopsi itu, dengan alasan dapat mewujudkan kemaslahatan di
bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini pendapat Hasanain
Makhluf, Said Ramadhan Al-Buthi, dan beberapa lembaga fatwa.

Kedua, mengharamkan ketiga otopsi itu, dengan alasan otopsi


melanggar kehormatan mayat, yang telah dilarang berdasarkan
sabda Nabi SAW,Memecahkan tulang mayat sama dengan
memecahkan tulangnya saat dia hidup. (kasru azhmi al-mayyit ka-
kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, sahih). Ini pendapat Taqiyuddin An-
Nabhani, Bukhait Al-Muthii, dan Hasan As-Saqaf.

Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim.


Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Terdapat hadis
sahih (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda
Nabi SAW, Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama
dengan memecahkannya saat dia hidup. (kasru azhmi al-mu`min
maytan mitslu kasrihi hayyan.)

Sebab-sebab dilakukannya otopsi adalah sebagai berikut :

a. Otopsi untuk Kepentingan penegak Hukum (otopsi forensik)

Otopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan


dengan maksud untuk mengetahui sebab-sebab kematianya di
sebut juga obductie. Di Indonesia masalah bedah mayat atau otopsi
diatur dalam pasal 134 UU No 8 Tahun 1981 tentang hukum acara
pidana yang berbunyi sebagai berikut : Dalam hal sangat dimana
untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi
dihindarkan, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada
keluarga korban. Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib
menerangkan dengan jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu
dilakukanya pembedahan tersebut. Apabila dalam waktu dua hari
tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu
diberitahu tidak ketemukan penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 UU ini.
Pasal 133 dari UU tersebut berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran dan atau ahli
lainya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat. Mayat yang dikirim kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat yang
dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakan pada ibu jari
kaki atau bagian lain pada mayat.
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa otopsi atau bedah mayat adalah suatu pembedahan atau
pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh para tim dokter ahli
dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk
mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi
mayat yang digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan
dengan menggunakan teori Qawaid al-Fiqhiyah dapat diterapkan
kaidah-kaidah berikut ;
Kaidah Pertama

kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak
kemudaratan yang bersifat umum
Berdasarkan kaidah di atas, kemadharatan yang bersifat
khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang
bersifat umum. Sebuah tindakan pembunuhan misalnya, adalah
tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan publik atau
mendatangkan mudaharat am. Untuk menyelamatkan masyarakat
dari rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap pelakunya harus
diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-
bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukanya harus diperkuat
agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses
pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan
melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
Didalam hukum Islam, Suatu tindakan yang dilandasi oleh
alasan untuk menjamin keamanan dan keselamatan diri orang yang
hidup harus lebih diutamakan daripada orang yang sudah mati.
Kaidah Kedua

Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat
itu membolehkan sesuatu yang semula diharamkan. Berangkat dari
fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting
kedudukanya sebagai metode bantu pengungkapan kematian yang
diduga karena tindak pidana. Dengan melaksanakan otopsi forensik
maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab
kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
Kaidah Ketiga

Tiada keharamna dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh
dalam kondisi hajat
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman
dalam kondisi darurat, seperti halnya tidak adanya kemakaruhan
dalam kondisi hajat. Maka jika otopsi di atas dipahami sebagai hal
yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara membuktikan,
maka otopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu
status hukumnya dibolehkan.
Kaidah Keempat

Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat
Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah
sebelumnya. Maka kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan
darurat, baik hajat umum maupun hajat yang bersifat perorangan.

b. Otopsi Untuk mengeluarkan Benda yang Berharga

Jika seseorang menelan sesuatu yang bukan miliknya yang


mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya pemilik menuntut
agar barang yang ada diperut mayat dikembalikan kepadanya.
Dalam hal di atas tidak ada cara lain yang bias ditempuh
kecuali dengan membedah mayat itu untuk mengeluarkan barang
yang ada di perut mayat.
Melihat persolan seperti kasus di atas, perlu ditentukan status
hukum bedah mayat tersebut apakah dibolehkan atau diharamkan.
Berdasarkan ajaran Islam haram hukumnya seseorang menguasai
suatu barang yang bukan haknya. Tindakan yang demikian akan
menjadi ganjalan bagi orang yang mati di alam sesudahnya
kematianya karena ia masih terkait dengan hak orang lain.
c. Otopsi untuk Menyelamatkan Janin dalam Rahim

Dalam menentukan status hukum masalah otopsi untuk


menyelamtkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat dapat
diterapkan kaidah-kaidah berikut :

Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang
lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan
mudaratnya

Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudaratan
yang lebih ringan
Dengan kaidah tesebut dapat dipahami bahwa apabila dua
mafsadah bertemu dalam suatu waktu, dan kedua mafsadah itu
saling bertentangan, maka harus diperhatikan mana yang lebih
besar madhartnya dengan mengerjakan yang lebih ringan
madharatnya.
Jika kaidah kedua tersebut di atas di aplikasikan dalam kasus
otopsi untuk menyelamtkan janin yang masih hidup dalam perut,
maka pilihan yang harus diambil adalah kemaslahatan orang yang
hidup. Artinya kemaslahatan janin harus lebih diutamakan dari pada
orang yang mati (mayat).
Bahkan dalam persoalan ini Al-Syirahi berpendapat bahwa
wajib hukumnya membedahkan mayat bila mengandung janin yang
masih hidup. Karena janin tersebut tidak berdaya untuk
menyelamatkan dirinya, maka orang hiduplah yang berkewajiban
untuk menolongnya meskipun dengan melalui pembedahan mayat,
ia mengatakan :


Tetapi kaidah fiqih juga membatasi tindakan yang dilakukan
terhadap mayat yaitu tidak boleh melewati batasbatas tertentu
atau melewati batas-batas yang menjadi hajat diadakanya
pembedahan itu

d. Otopsi Untuk Penelitian Ilmu Kedokteran (otopsi anatomis


dan klinis)
Menurut Umar Hubais mempelajari ilmu kedokteran adalah
wajib atau fardhu kifayah bagi umat Islam, karena Rasul sendiri
berobat, memberi obat serta menganjurkan untuk berobat
sebagaimana sabdanya :
:
:
. : :
, :
, :
,

Salah satu ilmu kedokteran yang sangat penting adalah ilmu


bedah. Ilmu ini menghajatkan pengetahuan yang luas dan dalam
tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Untuk
mengembangkan ilmu ini maka penyelidikan terhadap organ tubuh
manusia menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan, jika perlu
mengadakan pembedahan dan pemeriksaan tubuh mayat,
memeriksa susunan syaraf, rongga perut dalam rangka. Hal
demikian dimaksudkan agar seorang tenaga medis (dokter) dapat
menunaikan tugas profesionalnya dengan baik, memberikan
pengobatan dan menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.
Dalam tinjauan Qawaid Fiqhiyah, status hukum bedah mayat
untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran dapat ditentukan
dengan menggunakan kaidah-kaidah berikut
Kaidah Pertama

Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya
suatu hal, maka hal tersebut juga wajib
Melalui kaidah pertama ini, dapat dipahami bahwa sebuah
kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaanya tanpa adanya
dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib pula.
Dalam kasus di atas, apabila seorang dokter tidak akan bisa
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami
seluk beluk anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang
sesuai dengan profesinya ia harus memahami seluk-beluk anatomi
tubuh manusia, meskipun dengan jalan melakukan pembedahan
terhadap mayat.
Kaidah Kedua

Sebuah sarana sama hukumnya dengan tujuan
Melalui kaidah ini dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana
hukumnya sama dengan tujuan. Misalnya agama Islam mewajibkan
kepada umatnya untuk memelihara kesehatan, maka mempelajari
ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula. Konsekuensi
lanjutanya adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam
menuntut ilmu kesehatan, termasuk sarana pratikum seperti
mempelajari anatomi tubuh manusia.

Anda mungkin juga menyukai