Anda di halaman 1dari 10

Journal Reading

The epidemiology, antibiotic resistance and


post-discharge course of peritonsillar abscesses in
London, Ontario
Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL

RST BHAKTI WIRA TAMTAMA


SEMARANG

Disusun Oleh :

Lisa Ikha Herwiani

012116435

Pembimbing:

dr. H. Achadi Imam Santosa., Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2016
Epidemiologi, Resistensi Antibiotik dan Pasca Pembuangan Abses Peritonsiler
di London

ABSTRAK

Latar belakang : Abses peritonsiler (PTA) merupakan kompilasi yang sering terjadi pada
tonsillitis. Data epidemiologi global terbaru mengenai PTA menunjukkan peningkatan pola
peningkatan antimikroba. Belum ada studi yang sama yang dilakukan di Kanada dan tidak ada
penelitian orang Kanada yang meneliti pasca pembuangan abses pada pasien.

Metode : Penelitian epidemiologi observasi prospektif, resistensi antibiotik dan pasca


pembuangan abses yang sebelumnya dengan abses peritonsiler di bagian kegawatdaruratan di
London, Ontario lebih dari 1 tahun. Follow up melalui telepon dilakukan 2-3 minggu setelah
drainase abses.

Hasil : 60 pasien didiagnosis dengan abses, dengan insiden 12/100,000. 46 pasien dimasukkan
dalam penelitian ini; rata-rata durasi gejala primer hingga terbentuknya abses adalah 6 hari,
dengan 51% diobati dengan antibiotik utama hingga terbentuknya abses. Streptococcus pyogenes
dan streptococcus anginosus didapatkan pada 56% orang yang sebelumnya diisolasi, 7/23 (32%)
specimen menunjukkan resistensi pada klindamisin. Delapan paien diobati dengan klindamisin
dan hasil kulturnya resisten, dimana hanya satu yang kambuh. Follow up elalui telepon
dilakukan pada 38 pasien : 51% pasien dilaporkan makan makanan padat dalam 2 hari, dan 75%
dilaporkan tidak kesakitan pada 5 hari. Perbaikan trismus membutuhkan waktu seminggu atau
lebih pada 51%.

Interpretasi : Resisten klindamisin diketahui pada isolasi streptococcus ketiga, dimana harus
harus diperhitungkan ketika memberikan resep antibiotik. Kultur rutin tidak terlalu penting
dilakukan karena pasien membaik secara cepat dari rawat jalan sejak drainase dan terapi empiris,
dengan sakit yang sedikit dibandingkan perkiraan, namun trismus membutuhkan waktu yang
lebih untuk membaik.
PENDAHULUAN

Abses peritonsiler (PTA) merupakan infeksi ruang dalam leher yang sering terjadi dan
komplikasi tersering dari tonsillitis dengan potensi sekuele yang parah. Penelitian epidemiologi
dari seluruh dunia menunjukkan insidensi PTA yaitu 10 hingga 37 per 100,000 orang. Infeksi
peritonsiler yang tidak diobati atau tidak diobati dengan baik dapat berubah menjadi abses ruang
parafaring atau menyebabkan sepsis, obstruksi jalan nafas, pseudoaneurisma karotis dan bahkan
kematian.

Beberapa laporan yang telah dipublikasikan yang memeriksa cara pandang orang kanada, dengan
laporan epidemiologi paling terbaru yang dipublikasikan tahun 1990. Pengobatan pada penyakit
ini telah berubah secara signifikan sejalan waktu dimana kebanyakan pasien diobati dengan
drainase rawat jalan. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan perubahan signifikan pada kedua
hasil mikrobiologi bakteri dan pola resistennya pada antibiotik yang biasa digunakan.

Tujuan dari penelitian ini berlipat 2. Yang pertama adalah karakteristik flora bakteri,
epidemiologi dan pola resistensi antimikroba abses peritonsiler lokal. Yang kedua adalah merinci
kejadian pasca pembuangan abses pada pasien dengan abses peritonsiler yang sudah didrainase,
dengan mempertimbangkan adanya sakit, intake oral dan kebutuhan obat penghilang rasa sakit
dengan tujuan utama mengoptimalisasi manejemen pasien rawat jalan.

METODE

Setelah mendapatkan persetujuan komite etik bagian percobaan, penelitian observasi prospektif
dilakukan pada keempat (3 dewasa dan 1 pediatrik) bagian kegawat daruratan (ED) di London,
Ontario, Kanada dari 30 Januari 2009 hingga 1 Februari 2010.

Pengobatan/pendaftaran peserta penelitian

Seluruh pasien melakukan konsultasi untuk menentukan abses peritonsiler yamg diobati dengan
protocol standar, dengan detai pada Gambar 1. Seluruh kasus penatalaksanaan termasuk
pemilihan antibiotik, jalur pemberiannya, pemeriksaan lanjutan dan follow up dilakukan atas
kebijaksanaan dokter yang mengobati. Jika didapatkan pus, spesimennya dikirimkan untuk
dilakukan kultur aerob/sensitifitas dan pasien diminta untuk bergabung dalam penelitian ini. Bila
mereka setuju, lembar riwayat/pemeriksaan fisik dilengkati oleh dokter yang mengobati untuk
mengetahui demografi dan penemuan dari pemeriksaan, dan informasi kontak pasien disesuaikan
dengan keinginan pasien untuk berpartisipasi atau tidak.

Pasca Pembuangan Pus

Follow up pada pasien dilakukan oleh dokter yang mengobati. Dimana merupakan bagian dari
penelitian, pasien dihubungi 2-3 minggu setelah darinase abses melalui telepon. Survey kuisioner
menanyakan tentang hari ke berapa memulai makanan padat, hari dimana bebas rasa sakit, hari
dimana membutuhkan obat penghilang rasa sakit dan hari dimana terjadi perbaikan trismus. Jika
ada gejala yang menetap yang diragukan, follow up lanjutan dilakukan pada pasien. Jika
ditemukan pada kultur bakteri dengan resisten antiotik, pasien diberi tahu sehingga membantu
terapi antibiotik selanjutnya.

Waktu penelitian

Untuk menentukan tingkat partisipasi yang sebenarnya, setelah selesai penelitian, database
pasien bagian kegawatdaruratan ditinjau secara retrospektif menggunakan kode International
Classification Disease Ninth Revision (ICD-9-CM) untuk abses peritonsiler untuk mengetahui
apakah abses peritonsiler merupakan diagnosis primer atau skunder. Catatan medis dari seluruh
pasien yang didapatkan ditinjau untuk memeriksa apakah pasien telah didiagnosis dengan abses
peritonsiler. Daftar hasil lalu disesuaikan dengan pasien yang terdaftar.

Analisis statistic

Perbandingan statistik deskripsi dihitung untuk mengetahui data demografi. Data perbandingan
statistic inferensial, digunakan SPSS versi 13.0. Uji chi square independen digunakan untuk
variable katagorik, Uji T student digunakan untuk variable yang berkelanjutan dan ANOVA
digunakan untuk variable multiple yang diatur. Seluruh uji merupakan uji berpasangan dan p
0.05 ditentukan sebagai ambang signifikansi statistic.

HASIL

Epidemiologi

Sebanyak 46 pasien didaftarkan pada penelitian ini. Distribusi menurut jenis kelamin
diperkirakan sama, dengan 25 pria (54%) terdaftar. Gambar 2 menunjukkan distribusi usia.
Durasi gejala primer hingga manifestasi rata-rata 6 hari, dengan hanya 3 pasien (6.7%)
menunjukkan onset gejala dalam 2 hari. Hanya 15% pasienyang merokok dan setengah pasien
mengkonsumsi antibiotik untukfaringitis dalam 1 bulan terakhir. Antibiotik yang diresepken
sebelumnya untuk faringitis/tonsillitis secara dijelaskan pada Gambar 3. Hanya 15 pasien (24%)
yang memiliki temperature lebih dari 38 o namun peningkatan jumlah sel darah putih (lebih dari
11.0 x 109/L) terdapat pada 82% pasien, dan 91% memiliki hitung neutrofil yang meningkat
(lebih dari 7.5 x 109/L). Hanya dua pasien (4.5%) memiliki tes heterofil yang positif. Pada
pemeriksaan fisik, terdapat gejala klasik seperti deviasi uvula (94%), trismus (94%) dan suara
gumam (91%).

Volume pus yang didrainase adalah 5 mL atau kurang pada 32 pasien (71%) dengan rata-rata dan
nilai tengah keseluruhan yang didrainase 4 (+/-1.1) mL; tidak ada hubungan yang signifikan
diantara jumlah pus yang didrainase dan demam, hitung sel darah putih, durasi gejala atau hitung
neutrofil.

Mikrobiologi

Hanya 7% pasien yang kulturnya tidak tumbuh (lihat Tabel 1 untuk hasil kultur keseluruhan).
Streptococcus, baik sendirian maupun kombinasi dengan bakteri lain, didapatkan pada 25 dari 46
pasien (56%) dan pada 25 dari 29 (81%) kultur dimana pathogen spesifik ditemukan.
Streptococcus pyogenes dan streptococcus anginosus didapatkan pada kebanyakan kultur
streptococcus, dengan S.anginous terdapat pada 12 kultur dan S.pyogenes pada 11 kultur dari 42
pasien dengan kultur positif. Streptococcus pyogenes merupakan organisme tunggal pada 11 dari
12 (91%) kultur dimana hanya diketahui 3 dari 12 (25%) kultur dengan S.anginous yang
merupakan organism tunggal yang dikultur (p=0.001). pewarnaan gram merupakan indikasi
adanya kuman anaerob yang diketahui dengan adanya organism multiple, seperti batamg
psitif/negative dan kokus gram negative, yang gagal tumbuh pada kultur aerob pada 20 (44%)
specimen. Organism tunggal dikultur pada 16 dari 46 (36%) pasien dimana organism multiple
terdapat pada 26 dari 46 (58%) kultur. Resisntensi antimikroba terdapat pada 11 dari 23 spesimen
yang menguji streptococcus (48%), dengan resisten klindamisin 32% dan eritromisin 41%.
Seluruh spesies streptococcus secara universal sensitive terhadap penisilin. Pada 5 kultur
staphylococcus, 3 (60%) resisten pada klindamisin dan 4 (80%) resisten eritromisin. S.aureus
secara universal sensitive terhadap ocacillin, vancomisin dan sulfametoksazol.
Ada kecenderungan untuk pasien tersebut tidak mengkonsumsi antibiotik sebelumnya pada saat
diketahui hasil kultur positif S.pyrogenes dengan 8 dari 22 pasien (36%) tidak mengkonsumsi
antibiotik dibandingkan 3 dari 23 pasien (13%) yang mengkonsumsi antibiotik., namun ini tidak
signifikan secara statistic (p=0.07). Tidak ada tren bakteri yang didapatkan untuk
keseluruhanstreptococcus (p=0.42). kemiripan terjadi pada tren yang tidak mengkonsumsi
antibiotik sehingga menjadi febris (7 dari 19, 36.8%) berhubungan dengan yang pernah
mengkonsumsi sekali (3 dari 21, 14.3%), namun hal ini gagal uuntuk mencapai signifikansi
statistic, dimana diuji dengan analisis X2 (p=0.10) atau rasio kemiripan (p=0.097).

Penatalaksanaan Segera

Seluruh pasien diobati dengan jarum aspirasi diikuti dengan insisi menyilang dan drainase pus
yang tersisa. Total 7 pasien (51%) diinapkan di rumah sakit untuk hidrasi intravena, pengobatan
dan observasi. Kebanyakan alasan pasien menginap di rumah sakit adalah intoleransi melalui
asupan oral (5 pasien), diikuti dengan observasi untuk masalah pontensi jalan nafas (2 pasien).
Durasi menginap di rumah sakit adalah 2 hari atau kurang pada 5 dari 7 pasien yang menginap
(71%). Pada pasien yang pulang dari bagian kegawatdaruratan, 5 pasien (13%) kembali ke ruang
gawat darurat untuk pemeriksaan ulang namun hanya 2 dari pasien tersebut yang memiliki re-
akumulasi pus. Drainase ulang abses dilakukan pada 5 pasien (11%), 3 diantaranya masih
menginap di rumah sakit saat dilakukan drainase ulang. Faktanya, rawat inap di rumah sakit
secara jelas berhubungan dengan re-akumulasi pus (p=0.003). Re-akumulasi pus cenderung
berhubungan dengan lebih tingginya volume saat drainase pertama, dengan perbedaan statistic
mencapai signifikansi (p=0.082). Kekambuhan (terbentuknya abses lebih dari satu bulan setelah
drainase pertama) selama periode penelitian terjadi pada 1 pasien, yang juga mengalami re-
akumulasi setelah drainase pertama. Tidak ada dari 5 pasien tersebut yang mengalami
kekambuhan atau re-akumulasi yang merupakan perokok.

Pasien kebanyakan diberikan klindamisin (31 pasien, 69%); gambar 4 menggambarkan pilihan
antibiotik yang lain. Pasien dengan re-akumulasi pus, satu terdapat H.influenzae, satu tumbuh
Fusobacterium necrophorum, 2 terdapat kultur dengan flora normal jalan nafas, dan yang
terakhir tumbuh s,pyrogenes . Kelima pasien sebelumnya diobati dengan klindamisin dan diubah
ke antibiotik spectrum luas lainnya setelah drainase ulang. Hasil uji sensitifitas terdapat pada 2
dari 5 pasien; kultur s.pyrogenes resisten pada eritromisin dan klindamisin, dimana
Fusobacterium necrophorum sensitive pada klindamisin, metronidazol dan penisilin.

Post-discharge course

Seluruh pasien dipulangkan dengan mendapatkan klindamisin, 8 dari 31 pasien (26%) memiliki
hasil kultur yang kembali resisten dengan klindamisin dan satu pasien tidak meminum antibiotik
apapun setelah drainase kedua karena alasan keuangan. Satu dari pasien ini beralih menggunakan
antibiotik yang berbeda setelah terjadi kekambuhan, namun kedelapan pasien lainnya membaik
dan tidak diberikan medikasi yang berbeda. Seluruh pasien dengan hasil kultur resisten diberi
tahu antibiotik apa yang harus dipilih saat gelajanya kambuh. Tidak ada pasien yang terkena
colitis clostridium difficile.

Sebanyak 38 pasien (38%) dapat dihubungi lewat telepon 2-3 minggu setelah drainase abses dan
setuju untuk menyelesaikan kuisioner melalui telepon. Gambar 5 menyajikan semua data untuk 4
poin akhir yang diselidiki. Setengah pasien (51%) mampu memakan makanan padat dalam 2 hari
dan sebagian besar pulih (75%) membaik sepenuhnya dari sakit pada hari ke 5. Pengobatan
untuk rasa sakit tidak diperlukan pada 22% pasien setelah di drainase dan 70% tidak
membutuhkan obat penghilang rasa sakit setelah 3 hari. Perbaikan trismus memakan waktu yang
lebih lama, dengan 51% pasien masih mengalami trismus pada 7 hari dan 18% pad 2 minggu.

Pengambilan sample

Total 108 pasien dibawa ke Instalasi Gawat Daurat selama masa penelitian setelah mengetahui
kode diagnosis primer atau sekunder sebagai abses peritonsillar. Tinjauan pada grafik
menunjukkan seluruh 46 pasien penelitian dan tambahan 14 pasien yang memiliki abses
peritonsiler namun tidak disertakan dalam penelitian, sehingga tingkat keikutsertaan 77%.
Populasi kota London pada tahun 2009 diperkirakan 362,000 orang dan 45 dari 60 pasien dari
kota London (berdasarkan pada tiga digit pertama kode pos mereka), insidensi tahunan
menjelaskan abses peritonsiler terjadi pada 12.4 per 100,000 orang. Tidak ada variasi yang
signifikan dari bulan ke bulan atau musiman yang tercatat saat pemeriksaan tanggal kejadian
penyakit tersebut.
DISKUSI

Penelitian ini mengkarakterisasi beberapa aspek penting epidemiologi dan penatalaksanaan abses
peritonsiler. Kebanyakan berdampak pada demografi dimana terjadi pada akhir remaja hingga
usia awal 30an; dan kebanyakan memiliki gejala klasik seperti trismus, suara gumam dan deviasi
uvula. Yang menarik, demam hanya terdapat pada 25% peserta penelitian, namun kebanyakan
(91%) pasien memiliki peningkatan jumlah hitung neutrofil. Pada kultur bakteri ditemukan
spesies streptokokus hanya separuh dari seluruh specimen; semuanya kecuali 2 kutur yang
mengalami pertumbuhan bakteri tersebut. Sangat mengejutkan saat mengetahui 32% didapatkan
streptokokus dan 60% didapatkan staphylokokus resisten terhadap klindamisin namun kegunaan
hasil kultur jarang berdampak pada pembuatan keputusan klinis. Terlebih lagi,9 pasien yang
diobati dengan antibiotik yang tidak efektif, 8 pasien sembuh total. Ada kemungkinan bila
tindakan sederhana seperti drainase abses merupakan pengobatan yang efektif dan pengobatan
antibiotik tidak dibutuhkan. Penelitian Jerman menyelidiki secara prospektif pada abses yang
diobati dengan tonsilektomi dan menemukan tidak ada perbedaan pada kelompok perlakuan dan
control. Beracuan pada penelitian tersebut dalam halnya drainase jarum juga tidak valid, namun
menjelaskan bukti lain bahwa drainase definitive abses dapat dilakukan dengan baik. Penelitian
lebih jauh untuk menyelidiki kemungkinan ini terjamin namun diragukan untuk dilakukan.

Kebanyakan pasien dapat diobati dengan rawat jalan, dengan 15% dirawat inap untuk
pengobatan lebih lanjut dan observasi. Hal ini menarik bahwa 60% dari re-akumulasi terjadi
pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Gejala yang menetap setelah drainase menjadi
perhatian dokter akan terjadinya re-akumulasi atau pus residu. Pada pasien kami, nyeri saat
proses penyembuhan terjadi sedikit dari pada yang diperkirakan; dan kemungkinan penemuan
yang paling mengejutkan adalah rendahnya konsumsi obat penghilang nyeri. Standar pemberian
obat saat pasien pulang di pusat pelayanan kami adalah 30 dosis analgesic narkotik
(asetaminofen dengan kodein). Diberikan pada 22% pasien kami yang tidak sama sekali
diberikan pengobatan penghilang rasa sakit dan 70% tidak mendapat obat penghilang rasa sakit
dalam 3 hari, terdapat sejumlah besar narkotik yang dibagikan dan tidak digunakan.

Satu perbedaan penting epidemiologi dari penelitian sebelumnya adalah insiden 15% merokok
sebenarnya lebih rendah dari insiden 17.3% daerah London-Middlesex yang dilaporkan tahun
2009. Perbedaan ini dibandingkan penelitian Kanada sebelumnya yaitu ditemukannya jumlah
merokok secara signifikan meningkat pada pasien dengan abses. Prevalen anaerob pada abses
peritonsiler tidak diketahui di Kanada namun dapat disimpulkan dari perwarnaan Gram dimana
peningkatan pada penelitian kami pada bakteri anaerob adalah 44%. Hal ini penting, dimana tren
peningkatan pertumbuhan bakteri anaerob telah diketahui di Israel, meningkat dari 6.8% ke 37%
dalam 3 tahun dan adanya bakteri anaerob merupakan factor resiko kekambuhan. Kedua jumlah
pasien yang dirawat di rumah sakit dan pasien yang membutuhkan aspirasi ulang konsisten
seperti yang telah diketahui di literature, dengan jumlah terdahulu rawat inap berkisar 3-14% dan
drainase ulang 4-16%.

Biasanya, pilihan antibiotik empiris terbaru pada pusat pelayanan kami adalah klindamisin
berdasarkan pada gram positif luas dan mencakut bakteri anaerob. Kedua klindamisin dan
penisilin dengan metronidazol disarankan oleh American Academy of Otolaryngology sebagai
terapi pertama intravena yang penting. Untuk pengobatan pasien rawat jalan, disarankan
pemerian klindamisin, penisilin dan metronidazol atau amoxisilin-asam klavunamat oral.
Megalamani et al, melaporkan peningkatan tren resistensi penisilin pada gram positif yang
diisolasi dari abses peritonsiler; namun di laboratorium mikrobiologi kami, specimen
streptokokus kebayakan sensitive terhadap penisilin. Hasil dari penelitian lain menjelaskan
peningkatan signifikan pada resistensi klindamisin yang diisolasi dari kultur abses peritonsiler
dan adanya bakteri anaerob. Hal itu disebabkan karena penggunaan antibiotik yang
sembarangan, pengobatan antibiotik yang tidak tuntas dan penggunaan antibiotik lini kedua saat
tidak diindikasikan. Berdasarkan penemuan penelitian kami, dan laporan literature terbaru,
klindamisin diberikan sebagai antibiotik lini kedua dengan penisilin dan metronidazol atau
amoksisilin-asam klavunamat diberikan sebagai lini pertama pengobatan. Penggunaan
amoksisilin,tidak direkomendasikan pada pasien dengan bersamaan terinfeksi mononucleosis.
Seperti yang sudah dilaporkan pada tiga laporan sebelumnya, hasil kultur jarang berdampak pada
pembuatan keputusan klinis, dimana keefektifan biaya kultur rutin abses peritonsiler
dipertanyakan sehingga disarankan hanya dilakukan pada kasus spesifik.

Beberapa keterbatasan didapatkan pada penelitian kami. Pasien dihubungan 2-3 minggu setelah
drainase, dimana dapat terjadi bias. Untuk mengurangi hal ini, pasien diberitahu bahwa follow up
dapat dilaksanakan dan segala usaha dilakukan untuk memastikan follow-up dilakukan pada 3
minggu setelah drainase, denganpasien yang tidak bias dihubungi dieksklusi dari penelitian. Hal
ini memungkinkan kegagalan subjek yang memenuhi syarat pada penelitian kami karena
demografi yang unik, seperti perbedaan usia yang ekstrim dan komplikasi. Dalam meninjau data
ini, tidak menjadi permasalahan. Factor pernacu lainnya dapat dialami oleh dokter yang
mengobati (kebanyakan diobati oleh dokter junior dan residen tingkat tengah), keterbatasan
kultur bakteri anaerob (karena masalah dana) dan variasi teknik pengobatan individual. Namun,
dengan memeriksa populasi ini tanpa ikut campur dalam protocol pengobatan memberikan
gambaran yang akurat pada keluaran seluruh pasien dengan abses peitonsiler yang diobati di
London. Akhir kata, perbandingan statistic antara kelompok bakteri masih lemah dan mungkin
dapat menjadi kesimpulan yang valid. Penelitian selanjutnya dapat membantu menyelidiki
masalah ini.

KESIMPULAN

Penemuan epidemiologi pada penelitian ini konsisten dengan yang sebelumnya dijelaskan pada
literature, perkiraan akan banyak terjadi pada pasien merokok tidak terjadi pada penelitian kami.
Kebanyakan drainase abses banyak terdapat spesies streptokokus dan secara mengejutkan 32%
resisten terhadap klindamisin. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan empiris dan
umumnya tidak mudah diubah, mengingat perubahan kultur rutin yang tidak dibutuhkan. Abses
cenderung membaik meskipun diobati dengan antibiotik yang terbukti resisten pada kuman
pathogen tersebut dan pasien membutuhkan obat penghilang rasa nyeri jauh lebih sedikit
dibandingkan yang diresepkan biasanya.

Anda mungkin juga menyukai