Anda di halaman 1dari 3

LGBT: ANTARA GENETIKA DAN PANCASILA

Semua makhluk biologis memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melestarikan
spesiesnya. Tujuan ini dipenuhi lewat system reproduksi, yang pada manusia
melibatkan pasangan berlainan jenis. Itu sebabnya, proses reproduksi yang hanya
melibatkan pasangan sejenis secara fundamental bertentangan dengan hukum
dasar biologis.

Yang mengherankan, jutaan dollar dana dikeluarkan mulai dari tahap penelitian,
regulasi, sampai kampanye LGBT. Seakan-akan dunia ini kekurangan masalah untuk
diteliti dan dientaskan. Jika pada zaman dahulu perilaku homoseksual murni
merupakan produk syahwat, sekarang LGBT merupakan agenda global yang lebih
mirip produk kapitalis, siap dijajakan kepada siapapun yang belum mengenalnya.

Ada banyak penelitian, dan mayoritas mendukung bahwa perilaku homoseksual


merupakan sesuatu yang wajar, natural, dan usaha untuk mengubahnya adalah
sesuatu yang sia-sia, bahkan harmful alias merugikan. Hal ini tentunya amat
bertentangan dengan ajaran agama manapun, baik samawi maupun non-samawi.
Benturan yang tejadi kali ini jauh lebih halus dibandingkan benturan antara kaum
ilmuwan dan otoritas keagamaan ratusan tahun lalu. Namun efeknya jauh lebih
dahsyat daripada sekadar memperdebatkan apakah Bumi atau Matahari yang
menjadi pusat tata surya kita.

Perdebatan antara nature vs nurture merupakan perdebatan klasik di bidang


psikologi. Apakah yang membentuk kepribadian kita? Faktor genetika? Atau faktor
lingkungan? Memisahkan keduanya adalah mustahil. Kedua faktor tersebut pastilah
bahu-membahu untuk menjadikan diri kita seperti sekarang ini. Mengatakan bahwa
hanya satu saja faktor yang berperan dalam pembentukan kepribadian mirip seperti
mengatakan bahwa kita bisa mengajari pohon untuk membuat roket agar mereka
bisa terbang ke planet Mars.

Sekarang kita sampai di bagian yang menarik. Sampai saat ini, belum ada satu gen
pun yang layak menjadi tersangka (culprit gene) sebagai faktor determinan alias
penentu seseorang menjadi homoseksual atau straight (heteroseksual). Penelitian
genetika tentang homoseksualitas hanya mampu mendeteksi keberadaan region
tertentu pada kromosom kita yang diduga mempengaruhi orientasi seksual
seseorang. Dengan kata lain, faktor genetika jelas bukan faktor determinan dalam
pembentukan homoseksualitas.

Di sisi lain, faktor lingkungan jelas berpengaruh terhadap pembentukan mental


seseorang. Sudah begitu banyak contoh kasus di mana seseorang yang mengalami
trauma seksual di masa kecilnya mengalihkan rasa sakit atas traumanya itu dengan
mengubah orientasi seksualnya. Itu sebabnya penyembuhan atas trauma seksual
menjadi prioritas pada kasus-kasus sexual abuse yang menimpa anak-anak kita.
Usaha untuk mencegah berubahnya orientasi seksual pada tahap ini adalah sesuatu
yang layak dilakukan atas nama kemanusiaan.

Usaha semacam ini adalah sesuatu yang rutin dilakukan pada penyakit-penyakit
genetika tertentu yang berpotensi mengubah identitas gender dan orientasi seksual
seseorang. Sebut saja pada kasus CAH.

CAH adalah Congenital Adrenal Hyperplasia, suatu penyakit genetika yang


menyebabkan pembesaran kelenjar adrenal pada pasien penderitanya. Salah satu
jenis yang sering dijumpai adalah defisiensi enzim 21-hydroxylase. Kekurangan
enzim ini menyebabkan peningkatan produksi hormone testosterone, tidak peduli
apakah penderitanya wanita atau pun pria. Dan ini terjadi sejak di dalam
kandungan.

Perubahan identitas gender dan orientasi seksual sangat mungkin terjadi pada
pasien CAH perempuan. Paparan kadar testosterone yang tinggi di masa kehamilan
akan mempengaruhi pembentukan alat kelamin luar. Bayi perempuan dengan CAH
yang tidak diterapi sejak kandungan akan lahir dengan ambiguous genitalia, atau
kerancuan kelamin. Masyarakat akan cenderung memperlakukan bayi perempuan
dengan CAH ini sebagai bayi laki-laki.

Maka demikianlah, bayi perempuan ini diperlakukan sebagai laki-laki, didandani


sebagai laki-laki, dan diajarkan untuk menjadi laki-laki. Sistem saraf di otaknya pun
akan membentuk jati diri seorang laki-laki. Padahal dia punya rahim, ovarium, dan
kromosom berjenis 46XX sebagai penanda perempuan tulen. Pada akhirnya dia
akan jatuh cinta kepada seorang perempuan juga. Dan, tentu saja, pernikahan ini
akan menimbulkan masalah, tidak hanya dari segi biologis (tidak bisa hamil), tetapi
juga sosial dan budaya, ketika akhirnya terungkap bahwa sang pengantin pria
adalah seorang wanita.

Mendeteksi suatu penyakit genetic bukan merupakan hal yang mudah di negeri kita
tercinta, itu sebabnya beberapa pasien CAH datangdalam kondisi seperti
diceritakan di atas. Butuh pendekatan psikologis yang intensif untuk membantu
klien dengan CAH memutuskan identitas gender dan orientasi seksualnya secara
final. Sebuah keputusan seumur hidup sebaiknya tidak diambil dalam semalam.

Point pentingnya adalah, sebuah konseling untuk membantu menentukan oerientasi


seksual bukanlah sesuatu yang mustahil dan patut diupayakan pada orang-orang
dengan kelainan genetic. Apatah lagi pada orang-orang yang memiliki profil genetic
normal. Seharusnya orang-orang dengan orientasi seksual sejenis tidak serta-merta
memandang keadaan mereka sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah.

Hal ini harusnya menjadi perhatian bagi penggiat LGBT di tanah air dan para
simpatisan mereka yang straight. Bagaimanapun, negeri kita tercinta ini masih
menganut azas Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ibarat tuan rumah memasang tanda peringatan Dilarang Merokok, hal-hal yang
tidak sesuai dengan prinsip negara ini seharusnya diperbaiki, bukan dijadikan
komoditas.

Indonesia adalah bangsa besar dengan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur.
LGBT jelas bukan salah satunya. Nilai-nilai luhur yang dirumuskan dalam Pancasila
ini haruslah kita jaga bersama-sama agar dapat dinikmati anak cucu kita. Jangan
sampai identitas asli Bangsa ini tergerus oleh perubahan nilai moral yang dibawa
arus globalisasi.

Orang Amerika boleh saja melegalkan pernikahan sejenis. Tetapi itu adalah produk
mereka yang amat tidak sesuai dengan nilai moral kita. Ketidaksesuaian nilai moral
ini bisa merusak tatanan masyarakat kita bila dipaksakan. Pada akhirnya, LGBT
tidak hanya akan merusak system kita dalam melestarikan kehidupan, tetapi juga
merusak cara dan budaya kita dalam menjalani hidup. Dari sisi ini, tidak ada
argument budaya yang dapat dilontarkan oleh penggiat LGBT untuk menjustifikasi
promosi mereka di negeri kita tercinta.

Pada akhirnya, jika para paenggiat LGBT mengatakan bahwa homoseksual


merupakan takdir yang telah ditentukan lewat peran genetika, maka mereka harus
setuju bahwa LGBT merupakan penyakit genetik. Sebab, tidak ada kondisi genetic
normal yang bertentangan sedemikian besar dengan asas fundamental biologi:
tujuan dari seluruh kode genetic setiap makhluk adalah melestarikan spesiesnya.
Jika ada kode genetic yang menyebabkan kecacatan fungsi tersebut, maka pastilah
ia merupakan penyakit genetic.

Bila para penggiat LGBT mengatakan bahwa mereka menjadi penyuka sesame jenis
karena faktor psikologis, maka seharusnya mereka mencari pertolongan sedini
mungkin. Bukannya malah menjerumuskan diri sendiri dan orang lain ke dalam
lubang yang sama. Sebab, tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa negeri kita
tercinta ini menerima produk budaya yang demikian itu.

Yang manapun, argumentasi para penggiat LGBT kembali kepada pertanyaan yang
sama: Apakah mereka hendak berubah? TIdak peduli berapa pun lama waktu yang
dibutuhkan atau sebesar apa pun usaha yang harus dikeluarkan.

Anda mungkin juga menyukai