Semua makhluk biologis memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melestarikan
spesiesnya. Tujuan ini dipenuhi lewat system reproduksi, yang pada manusia
melibatkan pasangan berlainan jenis. Itu sebabnya, proses reproduksi yang hanya
melibatkan pasangan sejenis secara fundamental bertentangan dengan hukum
dasar biologis.
Yang mengherankan, jutaan dollar dana dikeluarkan mulai dari tahap penelitian,
regulasi, sampai kampanye LGBT. Seakan-akan dunia ini kekurangan masalah untuk
diteliti dan dientaskan. Jika pada zaman dahulu perilaku homoseksual murni
merupakan produk syahwat, sekarang LGBT merupakan agenda global yang lebih
mirip produk kapitalis, siap dijajakan kepada siapapun yang belum mengenalnya.
Sekarang kita sampai di bagian yang menarik. Sampai saat ini, belum ada satu gen
pun yang layak menjadi tersangka (culprit gene) sebagai faktor determinan alias
penentu seseorang menjadi homoseksual atau straight (heteroseksual). Penelitian
genetika tentang homoseksualitas hanya mampu mendeteksi keberadaan region
tertentu pada kromosom kita yang diduga mempengaruhi orientasi seksual
seseorang. Dengan kata lain, faktor genetika jelas bukan faktor determinan dalam
pembentukan homoseksualitas.
Usaha semacam ini adalah sesuatu yang rutin dilakukan pada penyakit-penyakit
genetika tertentu yang berpotensi mengubah identitas gender dan orientasi seksual
seseorang. Sebut saja pada kasus CAH.
Perubahan identitas gender dan orientasi seksual sangat mungkin terjadi pada
pasien CAH perempuan. Paparan kadar testosterone yang tinggi di masa kehamilan
akan mempengaruhi pembentukan alat kelamin luar. Bayi perempuan dengan CAH
yang tidak diterapi sejak kandungan akan lahir dengan ambiguous genitalia, atau
kerancuan kelamin. Masyarakat akan cenderung memperlakukan bayi perempuan
dengan CAH ini sebagai bayi laki-laki.
Mendeteksi suatu penyakit genetic bukan merupakan hal yang mudah di negeri kita
tercinta, itu sebabnya beberapa pasien CAH datangdalam kondisi seperti
diceritakan di atas. Butuh pendekatan psikologis yang intensif untuk membantu
klien dengan CAH memutuskan identitas gender dan orientasi seksualnya secara
final. Sebuah keputusan seumur hidup sebaiknya tidak diambil dalam semalam.
Hal ini harusnya menjadi perhatian bagi penggiat LGBT di tanah air dan para
simpatisan mereka yang straight. Bagaimanapun, negeri kita tercinta ini masih
menganut azas Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ibarat tuan rumah memasang tanda peringatan Dilarang Merokok, hal-hal yang
tidak sesuai dengan prinsip negara ini seharusnya diperbaiki, bukan dijadikan
komoditas.
Indonesia adalah bangsa besar dengan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur.
LGBT jelas bukan salah satunya. Nilai-nilai luhur yang dirumuskan dalam Pancasila
ini haruslah kita jaga bersama-sama agar dapat dinikmati anak cucu kita. Jangan
sampai identitas asli Bangsa ini tergerus oleh perubahan nilai moral yang dibawa
arus globalisasi.
Orang Amerika boleh saja melegalkan pernikahan sejenis. Tetapi itu adalah produk
mereka yang amat tidak sesuai dengan nilai moral kita. Ketidaksesuaian nilai moral
ini bisa merusak tatanan masyarakat kita bila dipaksakan. Pada akhirnya, LGBT
tidak hanya akan merusak system kita dalam melestarikan kehidupan, tetapi juga
merusak cara dan budaya kita dalam menjalani hidup. Dari sisi ini, tidak ada
argument budaya yang dapat dilontarkan oleh penggiat LGBT untuk menjustifikasi
promosi mereka di negeri kita tercinta.
Bila para penggiat LGBT mengatakan bahwa mereka menjadi penyuka sesame jenis
karena faktor psikologis, maka seharusnya mereka mencari pertolongan sedini
mungkin. Bukannya malah menjerumuskan diri sendiri dan orang lain ke dalam
lubang yang sama. Sebab, tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa negeri kita
tercinta ini menerima produk budaya yang demikian itu.
Yang manapun, argumentasi para penggiat LGBT kembali kepada pertanyaan yang
sama: Apakah mereka hendak berubah? TIdak peduli berapa pun lama waktu yang
dibutuhkan atau sebesar apa pun usaha yang harus dikeluarkan.