Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini kejahatan sering terjadi didalam kehidupan masyarakat, tidak

hanya mengancam harta benda tetapi juga mengancam keselamatan jiwa

seseorang. Berbagai jenis kejahatan yang terjadi tersebut, antara lain pencurian,

penipuan, penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan. Di samping jenis -jenis

kejahatan tersebut masih terdapat jenis kejahatan yang lainnya sebagaimana yang

diatur di dalam Buku Kedua Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan data yang di himpun oleh POLRI dan data berbasis survei

(survey based data) yakni survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Statistik

Potensi Desa (Podes) yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data

registrasi POLRI mengungkapkan bahwa kejadian kejahatan di Indonesia selama

periode Tahun 2011-2013 cenderung berfluktuasi. Jumlah kejadian kejahatan atau

crime total dari sekitar 347.000 kasus pada tahun 2011 menurun menjadi sekitar

341.000 kasus pada tahun 2012. Namun, pada tahun 2013 meningkat menjadi

sekitar 342.000 kasus. Hal ini sejalan dengan resiko penduduk terkena kejahatan

(crime rate) selama periode Tahun 2011-2013 yang juga berfluktuasi. Jumlah

orang yang berisiko terkena tindak kejahatan (crime rate) setiap 100.000

penduduk diperkirakan sebanyak 149 orang pada tahun 2011, 134 orang pada

tahun 2012, dan 140 orang pada tahun 2013 (BadanPusatStatistik, 2014).

1
2
Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus

perlukaan, KLL dan keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat

mencapai 50-70%.Dibandingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus

penganiayaan yang mengakibatkan luka merupakan jenis yang paling sering

terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai

alat bukti di depan pengadilan (Afandi, 2010).

Tindak pidana penganiayaan dapat menimbulkan bekas-bekas atau luka

pada tubuh korban. Dimana tanda bekas atau luka tersebut dapat dijadikan alat

bukti bagi penyidik untuk mengungkap apakah telah terjadi tindak pidana

penganiayaan pada korban atau tidak. Disinilah peran keterangan ahli untuk

menentukan ada tidaknya tanda-tanda perbuatan tindak pidana penganiayaan pada

korban. Pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : Keterangan ahli

adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

3
kepentingan pemeriksaan. Dimana hasil dari pemeriksaan tersebut dituangkan

dalam bentuk visum et repertum (Novrialdi, 2015).

Barang bukti yang diperiksa tersebut tidak mungkin bisa dihadapkan

disidang pengadilan dalam keadaan sebagaimana adanya. Hal ini karena barang

bukti tersebut (misalnya : luka, mayat atau bagian tubuh lainnya) segera akan

berubah menjadi sembuh atau membusuk (Algozi, 2013).

Bantuan seorang dokter dengan ilmu kedokteran kehakiman yang

dimilikinya sebagaimana tertuang dalam VeR yang dibuatnya mutlak diperlukan.

VeR sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan

penegak hukum yang berwenang di sini khususnya oleh penyidik. VeR dibuat

oleh dokter sesuai apa yang dilihat dan diketemukanya pada pemeriksaan

barangbukti, berdasarkan sumpah kedokteran, serta berdasarkan pengetahuanya

(Ariani, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Apakah perlu masyarakat diberikan pemahaman atau informasi

mengenai Visum et Repertum sebagai pengganti alat bukti pada kasus tindak

pidana penganiayaan?

1.3 Tujuan Umum

Agar permasalahan hukum di masyarakat dapat diselesaikan dengan

mudah dan lancar.

4
1.3.1 Tujuan khusus
a. Mengetahui definisi VeR
b. Mengetahui jenis VeR
c. Mengetahui manfaat VeR
d. Mengetahui peranan dan fungsi VeR
e. Mengetahui dasar hukum VeR
f. Mengetahui prosedur,permintaan,penerimaan dan penyerahan VeR
g. Mengetahui definisi tindak pidana
h. Mengetahui unsur tindak pidana
i. Mengetahui definisi penganiayaan
j. Mengetahui unsur dan jenis penganiayaan
1.4 Manfaat

1. Bagi para tenaga medis

Mengasah kemampuan untuk mengevaluasi kelainan yang ada dan terlihat

pada korban, serta membuat pernyataan tertulis dengan sejujurnya dalam

Visum et Repertum.

2. Bagi terdakwa

Dapat memberikan keterangan meringankan atau memberatkan yang

diajukan oleh saksi ahli.

3. Bagi masyarakat

Memberikan pengetahuan tambahan bagi masyarakat mengenai visum et

repertum yang berfungsi sebagai pengganti barang bukti dalam Tindak

Pidana Penganiayaan, sehingga masyarakat merasa di lindungi oleh hukum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Visum et Repertum

2.1.1 Definisi Visum et Repertum

5
Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat

dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan

dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada barang

bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh manusia yang

diperiksa sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya atas permintaan penyidik

untuk kepentingan peradilan. (Algozi, 2013)

2.1.2 Jenis Visum et Repertum

Jenis Visum et Repertum pada orang hidup terdiri dari (Algozi, 2013) :

1. Visum et Repertum korban hidup:

a. Visum seketika adalah visum yang dibuat seketika oleh karena

korban tidak memerlukan tindakan khusus atau perawatan dengan

perkataan lain korban mengalami luka - luka ringan .

b. Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara

berhubung korban memerlukan tindakan khusus atau perawatan.

Dalam hal ini dokter membuat visum tentang apa yang dijumpai

pada waktu itu agar penyidik dapat melakukan penyidikan

walaupun visum akhir menyusul kemudian .

c. Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa

perawatan dari korban oleh dokter yang merawatnya yang

sebelumnya telah dibuat visum sementara untuk awal penyidikan.

Visum tersebut dapat lebih dari satu visum tergantung dari dokter

atau rumah sakit yang merawat korban.

6
2. Visum et Repertum Jenazah

Visum et Repertum jenazah, yaitu Visum et Repertum yang dibuat

terhadap korban yang meninggal. Tujuan pembuatan Visum et Repertum

ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme kematian.

Jenazah yang akan dimintakan Visum et Repertum-nya harus diberi

label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan,

yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat

permintaan Visum et Repertum-nya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan

yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah atau pemeriksaan

bedah jenazah (autopsi).

3. Visum et Repertum pemeriksaan TKP;

4. Visum et Repertum penggalian mayat;

5. Visum et Repertum mengani umur;

6. Visum et Repertum psikiatrik;

7. Visum et Repertum mengenai barang bukti lain.

2.1.3 Manfaat Visum et Repertum

Manfaat dari visum et repertum ini adalah untuk menjernihkan suatu

perkara pidana, bagi proses penyidikan dapat bermanfaat untuk pengungkapan

kasus kejahatan yang terhambat dan belum mungkin diselesaikan secara tuntas.

(Soeparmono, 2002).

Visum et Repertum juga berguna untuk membantu pihak tersangka atau

terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan kepada seseorang yang

7
memiliki keahlian khusus untuk memberikan keterangan yang meringankan atau

menguatkan bagi dirinya yaitu saksi ahli (Soeparmono, 2002). Visum et

Repertum ini juga dapat bermanfaat sebagai petunjuk, dimana petunjuk itu

adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaianya, baik antara

yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya

(Hamzah, 1996).

2.1.4 Peranan dan Fungsi Visum Et Repertum

Peranan dan fungsi Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang

sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et Repertum turut

berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan

jiwa manusia, dimana Visum et Repertum menguraikan segala sesuatu tentang

hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang

karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et Repertum

juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik

tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian Visum et

Repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum

sehingga dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa

yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan

norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa

manusia (Fauzan, 2010).

2.1.5 Dasar Hukum Visum Et Repertum

8
Kewajiban dokter untuk membuat visum et repertum ini telah diatur dalam

Pasal 133 KUHAP. Pasal 133 KUHAP mengatur Sebagai berikut (Budiyanto,

1997):

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan menangani seorang korban, baik

luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana,

ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli

kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan secara tegas

untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan

bedah mayat.

(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada

rumah sakit harus diperlakuakan secara baik dengan penuh penghormatan

terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,

dilakukan dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau

bagian lain pada mayat.

Visum et Repertum ini akan dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang

pengadilan. Dalam menangani kasus untuk membantu proses peradilan di sini

peran dokter sebagai ahli forensic. Di sini korban yang diperiksa berstatus sebagai

barang bukti dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan yang

diambil oleh dokter di sini adalah pemeriksaan forensik yang bertujuan untuk

penegakan keadilan (Afandi, 2008)

9
Dalam KUHAP kedudukan atau nilai Visum et Repertum adalah satu alat

bukti yang sah KUHAP pasal 184. Alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keteragan terdakwa.

Bukti Visum et Repertum (visum) dikategorikan sebagai alat bukti surat

didasarkan pada ketentuan Pasal187 KUHAP yang menyatakan:

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang

memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,

dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas

dan tegas tentang keterangannya itu;


b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam

tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu keadaan;


c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta

secara resmi dari padanya;


d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dari alat pembuktian yang lain.

10
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas visum merupakan surat yang

dibuat oleh pejabat dan dibuat atas sumpah jabatan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, visum masuk dalam kategori alat

bukti surat. Dengan demikian visum memiliki nilai pembuktian di persidangan.

2.1.6 Struktur Visum et Repertum.

Unsur penting dalam Visum et Repertum yang diusulkan oleh banyak ahli

adalah sebagai berikut (Hamzah, 1996):

1) Pro Justitia
Menyadari bahwa semua surat baru sah dipengadilan bila dibuat diatas

kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum

yang dibuatnya harus memakai kertas bermaterai. Berpedoman kepada

peraturan pos, maka bila dokter menulis pro-justitia dibagian atas visum,

maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai. Kata tersebut harus

dicantumkan di kiri atas.


2) Pendahuluan

Pendahuluan memuat: identitas pemohon Visum et Repertum, tanggal

dan pukul diterimanya permohonan Visum et Repertum, identitas dokter

yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa: nama, jenis

kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan

tempat dilakukan pemeriksaan.

3) Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)

11
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang

diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang

diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah

sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai

dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan

garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis

permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik serta

ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada pemeriksaan korban mati

yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada

pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:

a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan

dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang

diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga

kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik

pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda

dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan

perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya

(status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan

sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya

dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya

tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk

12
menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter

dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.


d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan

merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus

diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu

anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran

luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.


4) Kesimpulan

Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat Visum et

Repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et

Repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu

jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan

anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya

tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil

anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan

Visum et Repertum adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak

terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya

tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan

dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku.

Kesimpulan Visum et Repertum harus dapat menjembatani antara temuan

ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum.

Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan,melainkan lebih ke

13
arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan hokum-hukum yang

berlaku.

5) Penutup

Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebu dibuat

dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat

dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan

pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat Visum et

Repertum.

2.1.7 Penentuan Derajat dan Kualifikasi Luka

Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah Visum et

Repertum perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum,

Visum et Repertum dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam Visum et

Repertum tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan

derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti

pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan kedokteran

berkelanjutan dan sebagainya (Budiyanto, 1997).

Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik,

psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek,

ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting

bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan

sesuai dengan rasa keadilan. Hukum pidana Indonesia mengenal delik

penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu

14
penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana

maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat

(pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam

pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk

penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan

luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk

hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan

menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang

bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur

dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada seorang

korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau

komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut.

Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur

dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga

bila kita memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat kekerasan

tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut (Idries, 2009).

Kata penganiayaan merupakan istilah hukum dan tidak dikenal dalam

istilah kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya menimbulkan luka, maka

dalam kesimpulan visum et repertum kata penganiayaan diganti dengan kata

luka Dengan demikian kualifikasi luka menjadi (Budiyanto, 1997):

15
1. Luka yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau

halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian;


2. Luka yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan

untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian;


3. Luka yang tergolong luka berat.

Menurut KUHP pasal 90 yang tergolong luka berat adalah :

1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan

sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut;


2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan

atau pekerjaan pencaharian;


3. Kehilangan salah satu panca indera;
4. Mendapat cacat berat;
5. Menderita sakit lumpuh;
6. Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih;
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

2.1.8 Prosedur, Permintaan, Penerimaan dan Penyerahan Visum et Repertum

Syarat pembuat Visum et Repertum (Budiyanto, 1997) :

1. Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut);
2. Di wilayah sendiri;
3. Memiliki SIP;
4. Kesehatan baik.

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter

untuk membuat Visum et Repertum korban hidup, yaitu (Budiyanto, 1997):

1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan;

2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui

korban atau keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos;

3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter;

16
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter;

5. Ada identitas korban;

6. Ada identitas pemintanya;

7. Mencantumkan tanggal permintaan;

8. Korban diantar oleh polisi atau jaksa.

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter

untuk membuat Visum et Repertum jenazah, yaitu (Budiyanto, 1997):

1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan;

2. Harus sedini mungkin;

3. Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar;

4. Ada keterangan terjadinya kejahatan;

5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki;

6. Ada identitas pemintanya;

7. Mencantumkan tanggal permintaan;

8. Korban diantar oleh polisi.

Saat menerima permintaan membuat Visum et Repertum, dokter harus

mencatat tanggal dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama

17
petugas yang mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan

hasil Visum et Repertum kepada penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai,

batas waktunya menjadi 40 hari dan atas persetujuan penuntut umum (Budiyanto,

1997).

Lampiran visum :

a. Fotografi forensik;
b. Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut;
c. Penjelasan istilah kedokteran;
d. Hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi,

mikrobiologi).

2.2. Tindak Pidana Penganiayaan


2.2.1. Pengertian Tindak Pidana
Pembentukan undang-undang Indonesia telah menggunakan perkataan

strafbaar feif' untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai "tindak pidana" di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan suatu penjelasan

mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan "straafbaar feif"

tersebut. Perkataan feif itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti "perbuatan"

sedangkan "strafbaar" berarti "dapat dihukum", sehingga secara harfiah

perkataan "strafbaar faif' dapat diterjemahkan sebagai "sebagian dari suatu

perbuatan yang dapat dihukum". (Lamintang, 1997)


Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur

oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Kata perbuatan dalam

perbuatan pidana mempuyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang

menunjuk pada 2 kejadian yang konkrit (Lamintang, 1997):


a. Adanya kejadian tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang.

18
b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan

sebagai: "Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar

larangan tersebut " (Prodjodikoro, 2003)


Menurut Pompe, perkataan "strafbaar feif itu secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai, Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)

yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang

pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjalinnya kepentingan hukum (Lamintang,

1997).
Menurut Simons, strafbaar feif itu sebagai; "suatu tindakan melanggar

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat di pertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

(Marpaung, 2005)"
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sumber pokok

hukum pidana materil, memuat tentang aturan umum hukum pidana dan

rumusan-rumusan tindak pidana tertentu. Mengenal aturan umum diatur dalam

Buku I. Sedangkan Kejahatan dan Pelanggaran diatur dalam Buku II dan III.

2.2.2 Unsur-unsur Tindak Pidana

Secara garis besar unsur-unsur tindak pidana dapat digolongkan menjadi 2

(dua) bagian yaitu: unsur yang bersifat subyektif dan unsur yang bersifat

obyektif. Unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku

atau yang berhubungan dengan si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segaja

19
sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Yang termasuk unsur-unsur subjektif

antara lain (Lamintang, 1997) :

1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau fenomena pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat ini misalnya

di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan

dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voothedachte read seperti yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan sesuai Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau depresi seperti yang antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur obyektif adalah

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,yaitu di

dalam keadaan-keadaan dimana tindakan - tindakan dan pelaku itu harus

dilakukan. Termasuk unsur-unsur objektif antara lain:

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtehjkheid.

b. Kualitas dan si pelaku, misalnya "keadaan sebagai seorang pegawai

negeri" di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 41 KUHP atau

"keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan

terbatas" di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

20
2.3. Penganiayaan

2.3.1 . Definisi Penganiayaan

Secara etiologis penganiayaan berasal dari kata aniaya yang oleh W.J.S.

Poerwadarminata memberikan pengertian sebagai perbuatan bengis seperti

penyiksaan, penindasan dan sebagainya (Poerwardaminata, 1985). Hilman

Hadikusuma memberikan pengertian aniaya sebagai perbuatan bengis atau

penindasan sedangkan yang di maksud dengan penganiayaan adalah perlakuan

sewenang-wenang dengan penyiksaan, penindasan dan sebagainya terhadap

teraniaya (Hadikusuma, 1983).

Penganiayaan diatur dalam Buku Kedua Bab XX mulai Pasal 351 sampai

dengan Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun demikian dalam

Undang-Undang ini tidak diberikan suatu penjelasan resmi terhadap apa yang

dimaksud dengan penganiayaan, oleh karena tidak adanya pengertian yang

dijelaskan dalam Undang-Undang ini maka para ahli hukum pidana Indonesia

dalam membahas pengertian penganiayaan selalu berpedoman pada rumusan

Memorie Van Toelichting, yang merumuskan bahwa yang dimaksud dengan

penganiayaan ialah mengakibatkan penderitaan pada badan atau kesehatan

Kualifikasi ancaman pidana dimaksud ada, karena penganiayaan sebagaimana

dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikategorikan dalam

21
beberapa bentuk yaitu: penganiayaan biasa, penganiayaan ringan, penganiayaan

berat dan penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu. (Effendi, 2011).

Berdasarkan uraian tersebut di atas menurut J.M. Van Bammemenegaskan

bahwa untuk menentukan ada tidaknya terjadinya suatu bentuk penganiayaan

maka ada 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi, yaitu (Bammel, 1997):

a. Setiap tindakan yang dengan sengaja mengakibatkan perasaan sakit, luka

dan perasaan tidak senang, dilarang. Kekeculian dari larangan menurut

hukum pidana ini dibentuk oleh peristiwa-peristiwa dimana dalam

undang-undang dimuat dasar pembenaran yang diakui untuk

mengakibatkan dengan perasaan tidak senang ini, misalnya pembelaan

terpaksa, perintah jabatan, peraturan undang-undang, seperti bertindak

sesuai dengan aturan jabatan sebagai dokter, demikian pula berdasarkan

izin si korban sesuai dengan aturan yang diakui dalam mengikuti olah raga

tertentu (pertandingan tinju).


b. Kekecualian juga dapat timbul dari t
c. idak adanya kesalahan sama sekali yaitu dalam peristiwa dimana si pelaku

dengan itikad baik atau boleh menduga, bahwa ia harus bertindak sesuai

dengan suatu dasar pembenaran, akan tetapi dugaan ini berdasarkan suatu

penyesatan yang dapat dimanfaatkan.


d. Suku kata tambahan Mis mishandeling (penganiayaan) telah

menyatakan bahwa mengakibatkan rasa sakit, luka atau perasaan tidak

senang itu terjadi secara melawan hukum, dan bahwa dalam peristiwa

dimana tindakan-tindakan dilakukan sesuai ilmu kesehatan tidak boleh

22
dianggap sebagai penganiayaan, dan oleh karena itu tidak dilarang

menurut hukum pidana, sehingga hakim harus membebaskan terdakwa.

2.3.2 Unsur-Unsur Penganiayaan

Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan adalah dari

Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP. Pada rumusan pasal-pasal tersebut,

dapat ditemui kalimat-kalimat seperti barangsiapa, luka berat, merusak kesehatan,

menjadikan sakit dan berhalangan untuk melaksanakan jabatan atau pekerjaan.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

unsur-unsur tindak pidana penganiayaan adalah sebagai berikut (Farid, 2007):

1. Unsur obyektif, yaitu:


a. Unsur barangsiapa, yang dimaksud dengan barangsiapa adalah orang

yang melakukan perbuatan penganiayaan, yang mana terhadap

perbuatan dan orang yang melakukan tindak pidana penganiayaan itu

dapat dipertanggungjawabkan.
b. Unsur menjadikan sakit, halangan melakukan jabatan atau pekerjaan,

unsur menjadikan/menyebabkan luka-luka berat atau luka parah, unsur

merusak kesehatan, dan unsur menyebabkan kematian (bukan sebagai

maksud dan tujuan). Unsur-unsur tersebut harus merupakan sebagai

tujuan yang ditujukan kepada orang yang dianaiya, bukan merupakan

suatu akibat dari penganiayaan.

2. Unsur subyektif, yaitu:

Unsur dengan sengaja, pengertian sengaja menurut ilmu hukum dibagi

atas 3 (tiga) kategori yaitu sebagai berikut:

23
a. Sengaja sebagai maksud, yaitu adanya kehendak untuk melakukan

perbuatan atau mencapai akibat yang dimaksud.

b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yaitu mengetahui dengan pasti

atau yakin bahwa selain akibat yang dimaksud, akan terjadi suatu

akibat lain.

c. Kesengajaan sebagai keinsyafan kemungkinan, yaitu bahwa

seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan

suatu akibat tertentu, akan tetapi si pelaku menyadari bahwa

mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam

oleh undang-undang.

Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, penganiayaan

mempunyai unsur sebagai beriku (Farid, 2007)

1. Adanya kesengajaan;

2. Adanya perbuatan;

3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu:

a. Rasa sakit pada tubuh;

b. Luka pada tubuh.

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan

ketiga berupa unsur objektif.

2.3.3. Jenis-Jenis Penganiayaan

Tindak pidana penganiayaan terbagi atas beberapa jenis dan diatur pula

secara terpisah dalam setiap pasalnya dengan ancaman yang berbeda dari

24
beberapa jenis penganiayaan tersebut. membagi jenis-jenis penganiayaan sebagai

berikut (Effendi, 2011):

1. Penganiayaan Biasa
Dikatakan penganiayaan biasa jika penganiayaan tersebut mengakibatkan

rasa sakit, luka atau penderitaan pada diri orang lain hingga ia terhalang

untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Tetapi tidak sampai mengakibatkan

luka berat atau cacat pada orang lain.


2. Penganiayaan Ringan
Dikatakan penganiayaan ringan jika penganiayaan tersebut menyebabkan

rasa sakit pada diri seseorang tetapi tidak sampai menyebabkan penderitaan

yang berkepanjangan. Misalnya si A menampar si B tiga kali diwajahnya, si

B merasa sakit (pijn) tetapi tidak jatuh sakit (ziek) dan masih bisa

menjalankan aktifitasnya sehari-hari.


3. Penganiayaan Berencana
Dikatakan penganiayaan berencana apabila penganiayaan tersebut dilakukan

dengan perencanaan terlebih dahulu dan dalam tindakan penganiayaan

tersebut ada pemisahan antara timbulnya kehendak / pengambilan keputusan

perbuatan, untuk berbuat dengan pelaksanaan peruatan, baik pemisahan

berupa jarak waktu (obyektif) maupun pemisahan suasana batin (subyektif).


4. Penganiayaan Berat
Dikatakan penganiayaan berat jika penganiayaan tersebut melukai berat atau

dapat disebut juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain.

Penganiayaan berat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :


a. Kesalahannya : kesengajaan;
b. Perbuatan : melukai berat;
c. Objeknya : tubuh orang lain;
d. Akibat : luka berat.
5. Penganiayaan Berat Berencana

25
Penganiayaan berat berencana adalah berupa bentuk gabungan antara

penganiayaan berat (Pasal 354 ayat (1)) dengan penganiayaan berencana

(Pasal 353 ayat (1)). Dengan kata lain, suatu penganiayaan berat yang terjadi

dalam penganiayaan berencana. Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi

secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama maka

harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur dari

penganiayaan berencana.

2.4. Hukum Penganiayaan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), delik

penganiayaan merupakan suatu bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang

lain terhadap fisik bahkan dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tidak

hanya itu, terdapatnya 3aturan pidana dari penganiyaan yang dapat menyebabkan

luka berat ataupun menyebabkan hilangnya nyawa orang lain jelas harus

dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan korbannya selaku

subjek hukum yang patut untuk mendapatkan keadilan.

Ketentuan pidana terhadap tindak pidanaatau delikpenganiayaan sendiri

telah termuat dalam KUHP yakni pada Pasal 351 s/d Pasal 358 KUHP yang

menegaskan bahwa :

(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua

tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus

rupiah.

26
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun.


(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Selain Pasal 351 s/d Pasal 358 KUHP yang mengatur tentang

penganiayaan, ketentuan tindak kekerasan juga termuat dalam Pasal 170 KUHP,

dalam Pasal ini menegaskan bahwa :

(1) Barang siapa, dengan terang-terangan dan tenaga bersama-sama

menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan


(2) Yang bersalah diancam :
a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja

menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan

mengakibatkan luka-luka ;
b. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan

mengakibatkan luka berat ;


c. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan

mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan

Kedua pasal diatas menegaskan bahwa delik yang bersinggungan dengan

penganiayaan maupun kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang

lainbahkan terhadap benda sekalipunmenjadi suatu alasan seseorang harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

27
Secara umum, tindakan yang bersinggungan dengan perbuatan

menganiaya sebagaimana yang dimaksudkan, patut untuk dipahami dengan baik

oleh aparat penegak hukum dalam rangka mewujudkan suatu keadilan yang

dikehendaki. Sehingga aparat dapat memutuskan hukuman yang adil pada

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

2.4.1. Jenis Delik Penganiayaan

Tindak pidana penganiayaan terbagi atas beberapa jenis dan diatur secara

terpisah dalam setiap pasalnya dengan ancaman yang berbeda dari beberapa jenis

penganiayaan tersebut. Adami Chazawi pada tahun 2010, membagi jenis

penganiayaan sebagai berikut :

1. Penganiayaan Biasa
Dikatakan penganiayaan biasa jika penganiayaan tersebut mengakibatkan

rasa sakit, luka atau penderitaan pada diri orang lain hingga ia terhalang

untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Tetapi tidak sampai

mengakibatkan luka berat atau cacat pada orang lain. Ketentuan pidana

yang mengatur mengenai delik penganiayaan biasa diatur dalam :

Pasal 351 KUHP :

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun.


(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun

28
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan orang
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
2. Penganiayaan Ringan
Dikatakan penganiayaan ringan jika penganiayaan tersebut menyebabkan

rasa sakit pada diri seseorang tetapi tidak sampai menyebabkan

penderitaan yang berkepanjangan.


Ketentuan pidana mengenai penganiayaan ringan termuat dalam :
Pasal 352 KUHP ;
(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan

yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan

ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat

ditambah sepertiga bagi orang yang bekerja padanya, atau menjadi

bawahannya.
(2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
3. Penganiayaan Berencana
Dikatakan penganiayaan berencana apabila penganiayaan tersebut

dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu dan dalam tindakan

penganiayaan tersebut ada pemisahan antara timbulnya

kehendak/pengambilan keputusan perbuatan, untuk berbuat dengan

pelaksanaan peruatan, baik pemisahan berupa jarak waktu (obyektif)

maupun pemisahan suasana batin (subyektif).


Ketentuan pidana mengenai penganiayaan berencana diatur dalam :
Pasal 353 KUHP :
(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan

pidanapenjara paling lama empat tahun


(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah

dikenakan penjara paling lama tujuh tahun.

29
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.


4. Penganiayaan Berat
Dikatakan penganiayaan berat jika penganiayaan tersebut melukai berat

atau menjadikan luka berat pada tubuh orang lain. Penganiayaan berat

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :


a. Kesalahannya : kesengajaan (opzettelijk)
b. Perbuatan : melukai berat;
c. Objeknya : tubuh orang lain;
d. Akibat : luka berat.

Ketentuan pidana mengenai penganiayaan berat diatur dalam :

Pasal 354 :43

(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena

melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama

delapan tahun
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Penganiaayan berat hanya terbagi dalam dua bentuk yang antara

lain; Penganiayaan berat biasa ayat (1) dan penganiayaan berat yang

menimbulkan kematian ayat (2). Pada penganiayaan berat dapat

menimbulkan kematian. Kesengajaan terhadap kematian dalam

penganiayaan berat adalah sama dengan kesengajaan terhadap kematian

penganiayaan biasa dan penganiayaan berencana yang menimbulkan

kematian, dalam arti bahwa kematian ini tidaklah menjadi tujuan/kematian

tersebut dikehendaki sebelumnya.

5. Penganiayaan Berat Berencana

30
Penganiayaan berat berencana adalah berupa bentuk gabungan antara

penganiayaan berat (Pasal 354 ayat (1)) dengan penganiayaan berencana

(Pasal 353 ayat (1)). Dengan kata lain, suatu penganiayaan berat yang

terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua bentuk penganiayaan ini

harus terjadi secara serentak / bersama. Oleh karena harus terjadi secara

bersama maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun

unsur dari penganiayaan berencana.Ketentuan pidana mengenai

penganiayaan berat berencana diatur dalam :

Pasal 355 KUHP :

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan berencana terlebih dahulu,

diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.


(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.


6. Penganiayaan Terhadap OrangBerkualitas Tertentu atau Dengan Cara

Tertentu yang Memberatkan.


Bagi bentuk khusus penganiayaan ini, sifat yang memberatkan pidana

pada penganiayaan biasa (Pasal 351), penganiayaan berencana (Pasal

353), penganiayaan berat (Pasal 354), dan penganiayaan berat berencana

(Pasal 355), terletak pada 2 hal antara lain :


a. Pada kualitas pribadi korban sebagai :
Ibunya;
Bapak yang sah;
Istrinya;
Anaknya;
Pegawai negeri (a) ketika atau (b) karena menjalankan tugasnya

yang sah.

31
b. Pada cara melakukan penganiayaan, yakni dengan memberikan bahan

untuk dimakan atau diminum yang berbahaya bagi nyawa atau

kesehatan.

Ketentuan pidana mengenai penganiayaan terhadap orang-orang

berkualitas tertentu atau dengan cara tertentu yang memberatkan diatur

dalam :

Pasal 356: Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355

dapat ditambah sepertiga :

(1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang

sah, istrinya atau anaknya ;


(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau

karena menjalankan tugasnya yang sah


(3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang

berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Selain daripada itu, penganiayaandiatur pula pada Pasal 358 KUH- Pidana,

orang-orang yang turut pada perkelahian / penyerbuan / penyerangan yang

dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170

KUHP sebab perkelahian didefinisikan sebagai umunya penggunaan

kekerasan dimuka umum.

Pasal 358 KUHP:

Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian

dimana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing

terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam :

32
(1) Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika

akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-lukaberat ;


(2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada

yang mati.

Sedangkan Pasal 170 KUHP menentukan :

(1) Barangsiapa dengan terang- terangan dan tenaga bersama-sama

menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan


(2) Yang bersalah diancam :
a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan

sengaja menghancurkan barang atau jika


b. Kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka dengan

pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekeresan

mengakibatkan luka berat ;


c. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun jika kekerasan

mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan

2.5. Peranan Visum et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan

Pada kasus penganiayaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak

Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana penganiayaan berlangsung lama

sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda bahwa korban dianiyaya, hasil

pemeriksaan yang tercantum dalam Visum et Repertum tentunya dapat berbeda

dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana

penganiayaan. Terhadap tanda-tanda yang nampak pada fisik yang merupakan

salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana penganiayaan, hal

33
tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam

Visum et Repertum (Fauzan, 2010).

Menghadapi keterbatasan hasil Visum et Repertum yang demikian, maka

akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat

diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas

tindak pidana pengaiayaan yang terjadi. Dengan demikian Visum et Repertum

secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga

dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah

terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma

hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia (Fauzan,

2010).

Peranan Visum et Repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah

sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et Repertum turut berperan

dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa

manusia (termasuk kasus penganiayaan), dimana Visum et Repertum

menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di

dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti

barang bukti. Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter

mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian

kesimpulan (Fauzan, 2010).

Dalam Buku Kapita Selekta Hukum pidana dan Kriminologi disebutkan

bahwa kedudukan keterangan ahli antara lain dalam bentuk sebuah Visum et

34
Repertum dalam peradilan Pidana Indonesia mengacu pada ketentuan KUHAP

Pasal 179, Pasal 180, Pasal 184 ayat1 sub b, Pasal 187 butir c.3 Esensi ketentuan-

ketentuan tersebut adalah :

1. Sekalipun kesaksian seorang ahli dilakukan dibawah sumpah, Keterangan

seorang ahli bukan merupakan bukti yang mengikat hakim dalam

menjatuhkan putusan di pengadilan.


2. Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan yang lemah dilihat dari

pendekatan yuridis maka fungsi visum et repertum di dalam Sistem

Peradilan Indonesia hanya sebagai instrumen pelengkap di dalam mencari

kebenaran materiil dari kasus tindak pidana. Unsur keyakinan hakim yang

sangat menentukan kesalahan terdakwa.

Peranan Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus

penganiayaan menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak

Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana

penganiayaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam Visum et Repertum,

menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus

(Fauzan, 2010).

Visum et Repertum mempunyai peran sebagai berikut: Pertama,sebagai

alat bukti yang sah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP Pasal 184

ayat (1), Pasal 187 huruf c; Kedua, untuk menentukan arah penyelidikan; Ketiga

bukti untuk penahanan tersangka. Dalam suatu perkara yang mengharuskan

penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik

harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut.

35
Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka

terhadap korban. Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai oleh

penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah

penahanan tersangka. Barang bukti yang diperiksa adalah korban hidup pada

kasus perlukaan (penganiayaan). Selain identitas korban perlu diberikan kejelasan

perihal jenis luka dan jenis kekerasan serta kualifikasi luka, dimana kualifikasi

luka dapat menentukan berat ringannya hukuman bagi pelaku, yang pada taraf

penyidikan dapat dikaitkan dengan Pasal dalam KUHAP yang dapat dikenakan

pada diri tersangka, yang berkaitan pula dengan alasan penahanan (Hakim, 2014).

Keterangan ahli berupa Visum et Repertum tersebut akan menjadi sangat

penting dalam pembuktian, sehingga Visum et Repertum akan menjadi alat bukti

yang sah karena berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk

kepentingan peradilan, sehingga akan membantu para petugas Kepolisian,

Kejaksaan, dan Kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana. Kualifikasi

luka dapat menentukan berat ringannya hukuman bagi pelaku, yang pada taraf

penyidikan dapat dikaitkan dengan Pasal dalam KUHAP yang dapat dikenakan

pada diri tersangka, yang berkaitan pula dengan alasan penahanan. Dengan

demikian Visum et Repertum merupakan kesaksian tertulis. Maka Visum Et

Repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti

sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan

sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat (Hakim, 2014).

BAB III

36
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat

dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan saat menerima jabatan dokter,

memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti

yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan atas

permintaan penyidik untuk kepentingan peradilan.

Penganiayaan diatur dalam Buku Kedua Bab XX mulai Pasal 351 sampai

dengan Pasal 358 KUHP, namun tidak ada penjelasan resmi mengenai

penganiayaan dalam Undang-Undang. Para ahli hukum pidana Indonesia

berpedoman pada rumusan Memorie Van Toelichting, yang merumuskan bahwa

penganiayaan ialah mengakibatkan penderitaan pada badan atau kesehatan

Kualifikasi ancaman pidana dimaksud ada, karena penganiayaan sebagaimana

dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikategorikan dalam

beberapa bentuk yaitu: penganiayaan biasa, penganiayaan ringan, penganiayaan

berat dan penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu.

Peranan Visum et Repertum dalam kasus penganiayaan merupakan

sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184

KUHAP. Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu

perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana Visum et Repertum

menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di

37
dalam bagian pemberitaan. Dengan demikian Visum et Repertum merupakan

kesaksian tertulis, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang

bukti.

Dengan demikian Visum et Repertum secara utuh telah menjembatani

ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca Visum et

Repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan

para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana

yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.

3.2. SARAN

1. Pentingnya edukasi bagi masyarakat tentang hak hukum yang dimilikinya.


2. Permintaan Visum et Repertum harus dilakukan bagi kepentingan

pemeriksaan suatu perkara dan untuk menjernihkan persoalan yang timbul,

serta agar lebih jelas perkaranya.


3. Belum adanya pengaturan yang secara jelas dan rinci mengenai tata cara

penggunaan Visum et Repertum oleh aparat penegak hukum, seharusnya

dibuat ketentuan atau pedoman mengenai hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

38
Abdulrahman. (2009). Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang: UMM-
Press.

Afandi, D. (2008). Visum et Repertum pada Orang Mati.

Afandi, D. (2010). Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan


Penentuan Derajat Luka.

Algozi. (2013). Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Fakultas


Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.

Algozi, A. M. (2013). Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya:


Fakultas kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Ariani. (2010). Tinjauan Yuridis Penggunaan Visum Et Repertum Sebagai Sarana


Pembuktian Perkara Penganiayaan Yang Terjadi Dalam Pertandingan Sepak
Bola ( Studi Kasus Dalam Putusan Nomor:173/Pid/2010/Pt.Smg). Surakarta.

BadanPusatStatistik. (2014). STATISTIK KRIMINAL.

Bammel, J. V. (1997). Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Budiyanto. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik.

Budiyanto. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Chazawi, A. (2005). Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta: Raja rafindo.

Effendi, E. (2011). Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: PT


Rafika Aditama.

Farid, A. Z. (2007). Asas Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Fauzan, A. (2010). FUNGSI VISUM ET REPERTUM DALAM PROSES


PENYIDIKAN KASUS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (STUDI
KASUS DI KEPOLISIAN KOTA BESAR PEKANBARU).

Hadikusuma, H. (1983). Bahasa Hukum Indonesia.

Hakim, L. (2014). Peranan Visum Et Repertum pada tahap penyidikan dalam.

Hamzah, A. (1996). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Idries, A. (2009). Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi Praktisi


Hukum. Jakarta: Sagung Seto.

39
Lamintang, P. A. (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya.

Marpaung, L. (2005). Asas- Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. (2005). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Novrialdi. (2015). Peranan Visum Et Repertum pada Penyidikan Tindak Pidana


Penganiayaan di Polsek Pauh Padang.

Poerwardaminata, W. (1985). KamusUmumBahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Prodjodikoro, W. (2003). Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung:


Citra Adiya Bakti.

Singh, S. K. (2013). Angka Kejadian Korban Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan


Hasil Pemeriksaan Luar Visum Et Repertum di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2011-2013.

Soeparmono. (2002). Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek


Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Soeparmono, R. (2002). Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek


Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Soesilo, R. (1995). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor:


Politeia.

40

Anda mungkin juga menyukai