Isi Penganiayaan Fix 2
Isi Penganiayaan Fix 2
PENDAHULUAN
seseorang. Berbagai jenis kejahatan yang terjadi tersebut, antara lain pencurian,
kejahatan tersebut masih terdapat jenis kejahatan yang lainnya sebagaimana yang
diatur di dalam Buku Kedua Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan data yang di himpun oleh POLRI dan data berbasis survei
(survey based data) yakni survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Statistik
Potensi Desa (Podes) yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data
crime total dari sekitar 347.000 kasus pada tahun 2011 menurun menjadi sekitar
341.000 kasus pada tahun 2012. Namun, pada tahun 2013 meningkat menjadi
sekitar 342.000 kasus. Hal ini sejalan dengan resiko penduduk terkena kejahatan
(crime rate) selama periode Tahun 2011-2013 yang juga berfluktuasi. Jumlah
orang yang berisiko terkena tindak kejahatan (crime rate) setiap 100.000
penduduk diperkirakan sebanyak 149 orang pada tahun 2011, 134 orang pada
tahun 2012, dan 140 orang pada tahun 2013 (BadanPusatStatistik, 2014).
1
2
Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus
perlukaan, KLL dan keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat
terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai
pada tubuh korban. Dimana tanda bekas atau luka tersebut dapat dijadikan alat
bukti bagi penyidik untuk mengungkap apakah telah terjadi tindak pidana
penganiayaan pada korban atau tidak. Disinilah peran keterangan ahli untuk
korban. Pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : Keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
3
kepentingan pemeriksaan. Dimana hasil dari pemeriksaan tersebut dituangkan
disidang pengadilan dalam keadaan sebagaimana adanya. Hal ini karena barang
bukti tersebut (misalnya : luka, mayat atau bagian tubuh lainnya) segera akan
penegak hukum yang berwenang di sini khususnya oleh penyidik. VeR dibuat
oleh dokter sesuai apa yang dilihat dan diketemukanya pada pemeriksaan
(Ariani, 2010).
mengenai Visum et Repertum sebagai pengganti alat bukti pada kasus tindak
pidana penganiayaan?
4
1.3.1 Tujuan khusus
a. Mengetahui definisi VeR
b. Mengetahui jenis VeR
c. Mengetahui manfaat VeR
d. Mengetahui peranan dan fungsi VeR
e. Mengetahui dasar hukum VeR
f. Mengetahui prosedur,permintaan,penerimaan dan penyerahan VeR
g. Mengetahui definisi tindak pidana
h. Mengetahui unsur tindak pidana
i. Mengetahui definisi penganiayaan
j. Mengetahui unsur dan jenis penganiayaan
1.4 Manfaat
Visum et Repertum.
2. Bagi terdakwa
3. Bagi masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat
dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada barang
bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh manusia yang
Jenis Visum et Repertum pada orang hidup terdiri dari (Algozi, 2013) :
Dalam hal ini dokter membuat visum tentang apa yang dijumpai
Visum tersebut dapat lebih dari satu visum tergantung dari dokter
6
2. Visum et Repertum Jenazah
label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan,
yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat
kasus kejahatan yang terhambat dan belum mungkin diselesaikan secara tuntas.
(Soeparmono, 2002).
7
memiliki keahlian khusus untuk memberikan keterangan yang meringankan atau
Repertum ini juga dapat bermanfaat sebagai petunjuk, dimana petunjuk itu
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaianya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya
(Hamzah, 1996).
Peranan dan fungsi Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang
sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et Repertum turut
berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan
juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik
Repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum
sehingga dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa
yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan
norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa
8
Kewajiban dokter untuk membuat visum et repertum ini telah diatur dalam
Pasal 133 KUHAP. Pasal 133 KUHAP mengatur Sebagai berikut (Budiyanto,
1997):
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan menangani seorang korban, baik
luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana,
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan secara tegas
bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,
dilakukan dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau
Visum et Repertum ini akan dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang
peran dokter sebagai ahli forensic. Di sini korban yang diperiksa berstatus sebagai
diambil oleh dokter di sini adalah pemeriksaan forensik yang bertujuan untuk
9
Dalam KUHAP kedudukan atau nilai Visum et Repertum adalah satu alat
bukti yang sah KUHAP pasal 184. Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keteragan terdakwa.
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
10
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas visum merupakan surat yang
dibuat oleh pejabat dan dibuat atas sumpah jabatan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, visum masuk dalam kategori alat
Unsur penting dalam Visum et Repertum yang diusulkan oleh banyak ahli
1) Pro Justitia
Menyadari bahwa semua surat baru sah dipengadilan bila dibuat diatas
kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum
peraturan pos, maka bila dokter menulis pro-justitia dibagian atas visum,
maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai. Kata tersebut harus
11
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang
diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang
sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai
dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan
garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis
kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan
(status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan
12
menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter
anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran
ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat Visum et
Repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu
jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan
13
arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan hokum-hukum yang
berlaku.
5) Penutup
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat
Repertum.
Repertum perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum,
Visum et Repertum dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam Visum et
derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti
Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik,
psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek,
bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan
penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu
14
penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana
pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk
penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan
luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk
hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan
dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada seorang
korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau
dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga
bila kita memeriksa seorang korban dan didapati penyakit akibat kekerasan
15
1. Luka yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
1. Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut);
2. Di wilayah sendiri;
3. Memiliki SIP;
4. Kesehatan baik.
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter;
16
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter;
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki;
mencatat tanggal dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama
17
petugas yang mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan
hasil Visum et Repertum kepada penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai,
batas waktunya menjadi 40 hari dan atas persetujuan penuntut umum (Budiyanto,
1997).
Lampiran visum :
a. Fotografi forensik;
b. Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut;
c. Penjelasan istilah kedokteran;
d. Hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi,
mikrobiologi).
strafbaar feif' untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai "tindak pidana" di
tersebut. Perkataan feif itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti "perbuatan"
oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Kata perbuatan dalam
perbuatan pidana mempuyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang
18
b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan
sebagai: "Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi
1997).
Menurut Simons, strafbaar feif itu sebagai; "suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
(Marpaung, 2005)"
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sumber pokok
hukum pidana materil, memuat tentang aturan umum hukum pidana dan
Buku I. Sedangkan Kejahatan dan Pelanggaran diatur dalam Buku II dan III.
(dua) bagian yaitu: unsur yang bersifat subyektif dan unsur yang bersifat
obyektif. Unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku
atau yang berhubungan dengan si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segaja
19
sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Yang termasuk unsur-unsur subjektif
2. Maksud atau fenomena pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dan lain-lain.
5. Perasaan takut atau depresi seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur obyektif adalah
20
2.3. Penganiayaan
Secara etiologis penganiayaan berasal dari kata aniaya yang oleh W.J.S.
Penganiayaan diatur dalam Buku Kedua Bab XX mulai Pasal 351 sampai
dengan Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun demikian dalam
Undang-Undang ini tidak diberikan suatu penjelasan resmi terhadap apa yang
dijelaskan dalam Undang-Undang ini maka para ahli hukum pidana Indonesia
21
beberapa bentuk yaitu: penganiayaan biasa, penganiayaan ringan, penganiayaan
maka ada 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi, yaitu (Bammel, 1997):
izin si korban sesuai dengan aturan yang diakui dalam mengikuti olah raga
dengan itikad baik atau boleh menduga, bahwa ia harus bertindak sesuai
dengan suatu dasar pembenaran, akan tetapi dugaan ini berdasarkan suatu
senang itu terjadi secara melawan hukum, dan bahwa dalam peristiwa
22
dianggap sebagai penganiayaan, dan oleh karena itu tidak dilarang
Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP. Pada rumusan pasal-pasal tersebut,
dapat dipertanggungjawabkan.
b. Unsur menjadikan sakit, halangan melakukan jabatan atau pekerjaan,
23
a. Sengaja sebagai maksud, yaitu adanya kehendak untuk melakukan
atau yakin bahwa selain akibat yang dimaksud, akan terjadi suatu
akibat lain.
mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam
oleh undang-undang.
1. Adanya kesengajaan;
2. Adanya perbuatan;
Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan
Tindak pidana penganiayaan terbagi atas beberapa jenis dan diatur pula
secara terpisah dalam setiap pasalnya dengan ancaman yang berbeda dari
24
beberapa jenis penganiayaan tersebut. membagi jenis-jenis penganiayaan sebagai
1. Penganiayaan Biasa
Dikatakan penganiayaan biasa jika penganiayaan tersebut mengakibatkan
rasa sakit, luka atau penderitaan pada diri orang lain hingga ia terhalang
rasa sakit pada diri seseorang tetapi tidak sampai menyebabkan penderitaan
B merasa sakit (pijn) tetapi tidak jatuh sakit (ziek) dan masih bisa
dapat disebut juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain.
25
Penganiayaan berat berencana adalah berupa bentuk gabungan antara
(Pasal 353 ayat (1)). Dengan kata lain, suatu penganiayaan berat yang terjadi
penganiayaan berencana.
lain terhadap fisik bahkan dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tidak
hanya itu, terdapatnya 3aturan pidana dari penganiyaan yang dapat menyebabkan
luka berat ataupun menyebabkan hilangnya nyawa orang lain jelas harus
telah termuat dalam KUHP yakni pada Pasal 351 s/d Pasal 358 KUHP yang
menegaskan bahwa :
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah.
26
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah diancam dengan
tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Selain Pasal 351 s/d Pasal 358 KUHP yang mengatur tentang
penganiayaan, ketentuan tindak kekerasan juga termuat dalam Pasal 170 KUHP,
mengakibatkan luka-luka ;
b. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
27
Secara umum, tindakan yang bersinggungan dengan perbuatan
oleh aparat penegak hukum dalam rangka mewujudkan suatu keadilan yang
Tindak pidana penganiayaan terbagi atas beberapa jenis dan diatur secara
terpisah dalam setiap pasalnya dengan ancaman yang berbeda dari beberapa jenis
1. Penganiayaan Biasa
Dikatakan penganiayaan biasa jika penganiayaan tersebut mengakibatkan
rasa sakit, luka atau penderitaan pada diri orang lain hingga ia terhalang
mengakibatkan luka berat atau cacat pada orang lain. Ketentuan pidana
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
tujuh tahun
28
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan orang
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
2. Penganiayaan Ringan
Dikatakan penganiayaan ringan jika penganiayaan tersebut menyebabkan
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat
bawahannya.
(2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
3. Penganiayaan Berencana
Dikatakan penganiayaan berencana apabila penganiayaan tersebut
29
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
atau menjadikan luka berat pada tubuh orang lain. Penganiayaan berat
delapan tahun
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
lain; Penganiayaan berat biasa ayat (1) dan penganiayaan berat yang
30
Penganiayaan berat berencana adalah berupa bentuk gabungan antara
(Pasal 353 ayat (1)). Dengan kata lain, suatu penganiayaan berat yang
harus terjadi secara serentak / bersama. Oleh karena harus terjadi secara
yang sah.
31
b. Pada cara melakukan penganiayaan, yakni dengan memberikan bahan
kesehatan.
dalam :
Pasal 356: Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355
(1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang
Selain daripada itu, penganiayaandiatur pula pada Pasal 358 KUH- Pidana,
dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170
32
(1) Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika
yang mati.
mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan
dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana
salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana penganiayaan, hal
33
tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam
akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat
diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas
secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga
dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah
terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma
hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia (Fauzan,
2010).
Peranan Visum et Repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah
sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et Repertum turut berperan
dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
barang bukti. Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
bahwa kedudukan keterangan ahli antara lain dalam bentuk sebuah Visum et
34
Repertum dalam peradilan Pidana Indonesia mengacu pada ketentuan KUHAP
Pasal 179, Pasal 180, Pasal 184 ayat1 sub b, Pasal 187 butir c.3 Esensi ketentuan-
kebenaran materiil dari kasus tindak pidana. Unsur keyakinan hakim yang
menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus
(Fauzan, 2010).
alat bukti yang sah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP Pasal 184
ayat (1), Pasal 187 huruf c; Kedua, untuk menentukan arah penyelidikan; Ketiga
35
Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka
terhadap korban. Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai oleh
penahanan tersangka. Barang bukti yang diperiksa adalah korban hidup pada
perihal jenis luka dan jenis kekerasan serta kualifikasi luka, dimana kualifikasi
luka dapat menentukan berat ringannya hukuman bagi pelaku, yang pada taraf
penyidikan dapat dikaitkan dengan Pasal dalam KUHAP yang dapat dikenakan
pada diri tersangka, yang berkaitan pula dengan alasan penahanan (Hakim, 2014).
penting dalam pembuktian, sehingga Visum et Repertum akan menjadi alat bukti
yang sah karena berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk
luka dapat menentukan berat ringannya hukuman bagi pelaku, yang pada taraf
penyidikan dapat dikaitkan dengan Pasal dalam KUHAP yang dapat dikenakan
pada diri tersangka, yang berkaitan pula dengan alasan penahanan. Dengan
Repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti
sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan
sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat (Hakim, 2014).
BAB III
36
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti
yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan atas
Penganiayaan diatur dalam Buku Kedua Bab XX mulai Pasal 351 sampai
dengan Pasal 358 KUHP, namun tidak ada penjelasan resmi mengenai
sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana Visum et Repertum
37
dalam bagian pemberitaan. Dengan demikian Visum et Repertum merupakan
bukti.
Repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan
para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana
3.2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
38
Abdulrahman. (2009). Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang: UMM-
Press.
Bammel, J. V. (1997). Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Farid, A. Z. (2007). Asas Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
39
Lamintang, P. A. (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya.
40