Anda di halaman 1dari 28

LATAR BELAKANG

Melihat seluruh wilayah tanah air, dapat di catat bahwa di tengah percampuran
kebiasaan lama dengan yang baru yang dibawa Islam, agama ini hanya tersebar di berbagi
daerah yang merupakan identitas penduduknya, baik di daerah yang berbahasa Melayu dan
ini merata dari Aceh samapi ke Irian maupun yang berbahasa Jawa. Perasaan bersatu seperti
yang dijumpai pada kalanagan Islam itu berkembang. Sungguhpun perbedaan suku, dari
berbagai perkembangan kadang membuat umat Islam sedikit kesulitan, tapi pada akhirnya
dapat menumbuhkan saling pengertian antara organisasi-organisasi yang berbeda. Perbedaan
ini merupakan perbedaan dalam furu (cabang), bukan dalam usul (pokok). Pendekatan
sesama dirasa perlu dilakukan dan dibina. Maka pada tahun 1935 berdirilah Majelis Islam
Ala Indonesia dimana tempat berkumpulnya organisasi-organisasi Islam.
Dalam perjalanannya, ummat Islam mulai banyak menggeluti aspek dalam bidang
politik, indikasi tersebut bisa dlihat dari berdirinya partai-partai politik Islam pada masa
merdeka dan dilatar belakangi dengan perkembangan politik di Indonesia pada masa
bersangkutan. Dalam hal pembentukan Masjumi (November 19450 perlu dicatat terlebih
dahulu betapa banga dan bersemangatnya sambutan yang diberkan oleh umumnya rakyat
Indonesia terhadap proklamasi kemerdekaan. Dengan melepaskan semua perbedaan, baik
yang bersifat pribadi maupun ideologi. Diantara berbagi kelompok yang biasanya aktif
berbuat untuk mempengaruhi perkembangan, kelompok Sutan Sjahrir pada bulan-bulan
pertama setelah proklamasi lebih bersifat pasif. Tetapi setelah Sutan Sjahrir berkeliling Jawa
selama dua minggu dan dilihatnya sambutan begitu hangat terhadap proklamasi serta
kesedian rakyat untuk memepertahankan kemerdekaan, kemudain Sutan Sjahrir pun
mendukung Soekarno dan Hatta, Presiden dan Wakil Presiden indonesia. Tan Malaka (1897-
1949) seorang komunis yang nasionalis, dan Subardjo (1896-1978) yang banyak melihat
adanya pengertian untuk kemerdekaan pada puhak angkatan laut Jepang selama pendudukan
Jepang. Beusaha mengesampingkan Soekarno dan Hatta dari pimpinan revolusi.
Namun sebaliknya ummat Islam termasuk pemimpinnya, menyambut proklamasi
dengan antusias sehingga mereka lupa akan perlunya usah menegakaan cita-cita islam. Maka
ada kecenderungan pada mereka bahwa cita-cita ini akan otomatis tegak. Sungguhpun begitu,
bulan September 1945 sekelompok pemimpin Islam di Jakarta, termasuk Abdoel Kahar
Moezakkir, Wahid Hasjim dan Mohamad Roem, mulai memberi perhatian kepada isi
kemerdekaan dan memutuskan untuuk merubah Masjumi yang masih ada tetapi

1
keberadaanya sangat pasif menjadi sebuah organisasi partai. Berdirinya partai Masjumi dan
diiringi oleh partai-partai Islam lainnya, yaitu Perti, PSII, dan NU membuat ranah politik di
indonesia mengalami dinamika yang cukup melejit. Selain itu, eksistensinya memberikan
pengaruh yang besar kepada idelogi negara. Dalam pembahasan kali ini saya akan mencoba
menjelaskan bagaimana dinamika dan eksistensi partai Islam di indonesia.

2
RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan partai Islam?


2. Apa saja partai-partai Islam yang ada dan bagaimana stuktur keorganisasinnya ?
3. Bagaimana pengaruh partai-partai Islam tehadap kondisi negara Indonesia ?

3
PEMBAHASAN

1. Garis Besar Ideologi Partai Islam


Dari berbagai pengertian tentang partai politik maka dapat diketahui bahwa partai
politik Islam yang dimaksud adalah suatu kelompok orang-orang Islam yang terorganisir
dalam suatu wadah organisasi yang meletakkan Islam (Quran dan Hadits ) sebagai dasar dan
garis perjuangannya untuk menyampaikan aspirasi, maupun ide dan cita-cita ummat Islam
dalam suatu negara atau dapat dikatakan bahwa partai Islam merupakan sekelompok orang
yang beragama Islam kemudian membentuk sebuah organisasi politik, yang mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut:
Partai yang menggunakan Islam (Quran, Sunah Rasul dan Syariah) sebagai azas
dalam menentukan visi dan misi perjuangan partai.
Partai yang menggunakan Islam (Quran, Sunah Rasul dan Syariah) sebagai landasan
untuk kemantapan perjuangan partai.
Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi dalampembentukan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga partai.
Partai yang mempunyai program perjuangan untuk Islam, ummat Islam, serta
kemaslahatan ummat, baik lewat jalur parlementer maupun ekstra parlementer.
Partai mempunyai basis pendukung, kader, dan partisipan yang keseluruhannya
beragama Islam.
Ciri diatas merupakan ciri khas partai politik Islam dan yang termasuk kategori partai
Islam. Partai Islam yang dibicarakan biasanya tidak lepas dari nilai Islam sebagai dasar
partai dan dalam cita-citanya ingin menegakan ajaran Islam dalam masyarakat dan negara.
Hal ini tidak perlu berarti bahwa sesuatu pertentangan dengan dasar ideologi lain seperti
demokrasi, sosialisme, ataupun pancasila, karena soalnya terletak kepada isi dasar dan
ideologi yang diperbadingkan. Umpamanya, dalam berbicara tentang demokrasi, kita bisa
berkata bahwa dalam prinsip musyawarah ditegaskan dalam Islam, tetapi ada hal-hal dalam
hidup ini umpamanya yang dalam Islam sudah jelas hukumnya yang masalahnya tidak dapat
dibicarakan lagi. Dalam hal sosialisme, pemberantasan kemiskinan dianjurkan pula oleh
Islam, tetapi bila sosialisme itu mengartilkan penghapusan hak milik pribadi, ia tidak dapat
diterima oleh Islam. Begitu pula dengn hal Pancasila, bila sila ketuhanan yang maha esa
sekedar hanya dijadikan simbol saja dan mempunyai kedudukan yang sama dengan sila-sila
yang lain, banyak orang tidak dapat menerima arena dalam ajaran Islam segala sesuatu
berasal dari Allah dan kepadnya pula sega kembali

4
1. Berdirinya Partai-partai Islam dan Stuktur Keorganisasiannya

Berdirinya partai Islam pada masa kemerdekaan perlu dilihat dengan latar belakang
politik di Indonesia pada masa bersangkutan. Dalam hal kedudukan suatu partai, kekuatan
dan kelemahannya bisa dipertimbangkan, disamping itu tentunya melihat kemampuan para
pemimpinnya serta struktur partai itu sendiri. Membicarakan berdirinya suatu partai, partai
masjumi bisa di bilang sebagai partai pertama yang berdiri setelah masa kemerdekaan
kemudian di susul oleh patai-partai lainnya seperti Perti, PSII, dan NU yang dalam stuktur
keorganisasinya mempunyai perbedaan.

1) Masjumi

Kedudukan ummat Islam pada bagian permulaan kemerdekaan tidak menguntungkan


dibandingkan dengan kedudukan mereka yang netral agama. Hal ini merupakan lanjutan
kedudukan mereka yang juga lemah dalam Badan Penyelidik dan dalam Panitia
Kemerdekaan Indonesia. Faktor lain yang kurang menguntungkan adalah berdirinya Partai
Nasionalis Indonesia pada bulan Agustus 1945 yang merurut pimpinan negara merupakan
satu-satunya partai di negara baru. Sungguhpun partai ini tidak dapat dikatakan mempunyai
hubungan dengan PNI yang dipimpin oleh Soekarno pada tahun 1920-an, rakyat awan
menyangka sebaliknya karena dukungan yang diberikan oleh Soekarno dan Hatta, suara PNI
itu bergema. Tetapi dengan bermulanya sistem banyak Partai mejelang akhir Oktober 1945,
PNI dengan wajah baru muncul, yaitu PNI yang bukan merupakan partai Negara. PNI lagi-
lagi dianggap sebagai lanjutan PNI lama sebelum Perang. Baru setelah beberapa waktu
kemudian, dengan munculnya beberapa partai-partai lain, citra tentang PNI berubah. Jadi,
kalangan nasionalis yang netral agama telah mendapat ancaman dari kalangan Islam untuk
menghimpun suatu kekuatan politik di indonesia pada tahun 1945 akhir.

Sungguhpun begitu di tengah masyarakat arti poltik dari kalangan Islam itu bukan
tidak penting. Organisasi sosial seperti Muhamadyah, Nahdatul Ulama, Perikatan Umat Islam
dan Persatuan Umat Islam, tetapi memepertahankan jumlah pengikutnya. Pemimpin Islam
sebelum masa perang masih tetap aktif. Sedangkan keanggotan Hizbullah yang seteleh
proklamsi mendapat pesetujuan dan terus bertambah. Oleh sebab itu, kalangan Islam mudah
pula melahirkan sambutannya terhadap isi pengumuman pemerintah tanggal 3 Oktober 1945
yang mendesak rakyat untuk mendirikan partai. Tetapi kalangan Islam itu sebenarnya
menganggap pengumuman tersebut tidak tepat waktunya, kata pemimpin Masjumi. Pendapat

5
lain yang dikemukakan adalah, bahwa dengan berdirinya partai-partai. Berbagai aliran dalam
masyarakat mendapat penyaluran dan alasan pemerintah dapat diterima. Oleh karena itu,
ummat Islam merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu
wadah politik sehingga dapar melaksanakan dalam bidang politik. Maka diadakanlah
Muktahar Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7 dan 8 November 1945 yang dihadari oleh
hampi semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum peraang serta masa
kedudukan jepang. Kongres memutuskan untuk mendirikan majelis Syuro pusat bagi ummat
Islam Indonesia. Masjumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi ummat
Islam.

Struktur Organisasi Partai

Semenjak berdirinya 1945 sampai saat akan bubar 1960 masalah stuktur dan
orgabisasi partai masjumi terus menjadi pembahasan dari kongres ke kongres. Pembahasan
kadang-kadang menghasilkan perincian keputusan yang telah juga diambil sebelumnya,
kadang-kadang mengganti keputusan sebelumnya, yang sering pula tidak dijalankan masalh
hubungan anggota istimewa (yaitu organisasi yang menjadi anggota Masjumi) tidak pernah
selesai dibicarakan. Soal seperti anggota inti dapat dirumusakan. Tetapi pelaksanaanya tidak
dapat berjalan. Masjumi mempunyai dua macam anggota: pertama, perseoragan kedua,
organisasi. Anggota perseorangan minimum berumur 18 tahun atau sudah kawin, ia tidak
dibenarkan merangkap anggota partai lain. Anggota perseorangan mempunyai hak suara,
sedangkan anggota organisasi (disebut anggota istimewa) mempunyai hak untuk memberi
nasihat atau saran. Ide dualisme keanggotaan ini didasari untuk memper banyak anggota.
Sebab lain, agar masjumi bisa dilihat sebgai wakil ummat tanpa merasa ada yang tidak
terwakili.

Munculnya hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah, Nahdatul


Ulama, Perikatan Ummat Islam dan Persatuan Umat IslamI. Muhammadiyah merupakan
pembaru, NU Tradisional. Kedua nggota organisasi lain bersifat tradisional dalam soal-soal
agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam hal dunia sehingga memudahkannya untuk
bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun 1951 kedua organisasi ini berfungsi
menjadi Persatuan Ummat Islam Indonesia. organisasi-organisasi lain di jawa, seperti
Persatuan Islam (Bandung) dan Al-Irsyad (Jakarta), bergabung dengan Masjumi segra
sesudah mereka didirikan kembali. Bagi persatuan Islam itu terjadi tahun 1948, bagi Al-
Isryad tahun 1950.

6
Betapapun inginnya orang bergabung, tetapi akhirnya semua anggota istimewa
Masjumi putus hubungan dengan partai. Ini terjadi pada puncak perpecahan hubungan antara
Soekarno dan Masjumi. Sekurang-kuranya disaat ketidak percayaan Masjumi terhadap
Soekarno, meningkat Masjumi dilihat oleh presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan
pembeerontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Sebaliknya Soekarno dilihat
Masjumi sebagai penguasa yang ingin menegakan kediktaktoran dan yang memberi angin
kepada Partai Komunis Indonesia. pimpinan partai setelah bermusyawarah dengan pimpinan
anggota-anggota istimewa dan Masjumi (8 September 1959), kebijakan ini diambil untuk
menjaga kelancaran kegiatan organisasi-organisasi bersangkutan sekiranya Masjumi sendiri
mendapat hambatan dalam gerakannya. Memang, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa bubar
oleh pemerintahan Soekarno.

Mulai tahun 1951, ketika hubungan NU dan Masjumi mulai dipersoalkan, soal stuktur
federasi ini didukung oleh NU. Setelah NU keluar dari Masjumi pada tahun 1952 pun.
Organisasi tersebut masih terus mengusulkan agar Masjumi berbentuk federasi saja, atau
dibentuk federasi baru dengan NU, Masjumi, serta partai-partai Islam lain menjadi
anggotanya. Dengan alasan-alasan tesebut, para pemimpin Masjumi tidak mau menyetujui
usul NU tersebut. Memang, partai yang bersifat federasi itu besar dari pada Masjumi sendiri.
Tetapi ini tidak akan menjamin partai lebih kuat. Mungkin sesekali partai akan menjadi
tempat pertarungan atau perebutan antara organisasi anggota partai pun akan lebih pasif, dan
dengan demikian secara garis besar bukan memimpin melaikan dipimpin.

Diantara organisasi anggota Masjumi, NU keluar dari partai tahun 1952 oleh sebab-
sebab yang akan diterangkan di bagian tentang NU. NU menjadi partai politik tersendiri dan
oleh sebab itu tekat tahun 1945 untuk hanya mempunyai satu partai Islam tidak terwujud.
Sebenarnya pada masa revolusi tekad tersebut sudah buayar. Perti yang berpusat di Sumatera
Tengah (1945 atau 1946) telah enggan berada pada lingkungan Masjumi. Ia menyatakan
kembali sebagi Partai tersendiri. Pada tahun 1947 karena Masjumi menolak masuk kabinet
Amir Sjarifudin. PSII berdiri kembali dan diwakili oleh empat orang menteri dalam kabinet
itu. Tetapi perti dan PSII adalah partai kecil yang tidak dapat berkembang, baik sebelum atau
sesudah pemilihan umum tahun 1955. Lebih berpengaruh NU yang dalam pemilihan umum
itu memastikan diri sebagai partai tebesar ketiga di Indonesia. Suatu perkembangan yang
kurang diduga sebelumnya baik oleh NU sendiri maupun Masjumi dan partai-partai lain.
Semenjak tahun 1952 memang Masjumi tidak berhak kembali mengumumkan bahwa ialah
wakil utama ummat Islam dalam bidang politik. Sebaliknya juga demikian, NU senantisa
7
menjadi pemain bola kedua atau ketiga bila permainan politik diibaratkan sebagi suatu orkes
simfoni.

Diantara partai-partai Islam, lebih merata juga penyebaran Masjumi. Hanya daerah-
daerah yang betul-betul bukan Islam pengaruhnya tidak dapat masuk, ini termasuk daerah
Bali (Hindu), Flores dan Timor (Katolik) dan Batak, Toba serta Mando (Protestan). Sebelum
pecah dengan NU, Masjumi juga berpengaruh besar di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan,
di Sulawesi Selatan dan Tengah tampak kompetensi antara Masjumi dan PSII, daerah pada
sebelum perang merupkan daerah PSII. Tetapi masih juga Masjumi yang dominan di daerah
ini. NU lebih menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Serta Kalimantan Selatan. Memang di
tiga daerah ini NU telah mempunyai tradisi pengikut dari masa sebelum merdeka.

Hubungan antara Himpunan Mahasiswa Islam (berdiri bulan Februari 1947) dan
Pelajar Islam Indonesia (berdiri bulan November 1946). Keduanya sering dianggap sebagai
keluarga Masjumi. PII dimulai untuk menggalang persatuan pelajar-pelajar sekolah
menengah serta melatih mereka berorganisasi. Tetapi sebagian banyak pengurusnya dari
Mashasiswa malah juga sarjana suatu gejala yang merembet ke kalangan anggota.
Sebenarnya, kedua organisasi ini merupakan organisasi bebas, tanpa mempunyai ikatan
organisasi dengan Masjumi serta dengan organisasi-organisasi Islam yang lain. Keduanya
memanng mempunyai hubungan yang sangat erat dengan organisasi Islam lain (termasuk
partai) dan sering-sering mempunyai pendapat yang sejalan dengan organisasi atau partai
Islam tertentu. Umpamanya, kedua organisasi pelajar dan Mahasiswa tersebut menyokong
partai-partai Islam dalam pemilihan umum tahun 1955, keduanya juga sangat menentang
komunisme.

Masjumi banyak mempunyai golongan intelektual, artinya orang-orang yang di masa


mudanya mengalami hal-hal yang sedikitnya mempunyai persamaan seperti yang dialami
oleh anggota HMI dan PII, terutama dalam bidang pendidikan. Para pemimpin Masjumi bagi
HMI dan PII bisa lebih menghayati kehidupan pelajar dan Mahasiswa. Sehingga mereka
lebih bisa berkomunikasi dan menunjukan pengertian terhadap problem pelajar dan
Mahasiswa. Sifat intelektual mereka pun menjadi perbawa yang lebih menarik bagi PII dan
HMI.

Stuktur Pimpinan

8
Pusat pimpinan Masjumi dipilih oleh kongres yang federal dari wakil-wakil cabang.
Dari masa revolusi hanya para ketua yang dipilih (sebanyak tiga orang) berdasar suara
terbanyak, para anggota pimpinan yang lain diangkat oleh ketiga ketua ini yang bertindak
sebagi formatir. Kongres partai pada akhir tahun 1949 memilih semua anggota pimpinan
partai. Sekertaris umum partai dipilih dari antara anggota pimpinan, tetapi semenjak tahun
1956 dipilih langsung oleh kongres. Kongres mulanya diadakan setahun sekali, tetapi dari
tahun 1949 sekali dalam dua tahun. Periode pimpinan berlangsung selama tiga tahun,
kemudian dari kongres ke kongres. Diantara dua kongres, kekuasaan tertinggi partai terletak
pada Dewan partai yang terdiri dari wakil-wakil wilayah (provinsi) serta wakil-wakil anggota
istimewa. Semenjak tahun 1951 para anggota Masjumi di parlemen juga duduk dalam Dewan
partai.

Dari tahun 1950 sampai tahun 1952 pimpinan pusat partai ditandai oleh dualisme
struktur, yang bagi orang luar hanya mempertahankan perbedaan dalam pimpinan saja. Ada
presiden yang mengetahui kongres dan wakil partai. Pada tahun 1951 presiden partai dibantu
oleh dua orang wakil presiden. Disamping wakil presidium ini terdapat Dewan Pimpinan
Partai yang bersifat Eksekutuf, melainkan pekerjaan harian pimpinan.

Dualisme pimpinan ini di hapus dalam dalam kongres tahun 1952 sehingga hanya ada
satu pimpinan. Presidium di tiadakan. Perkembangan pimpinan partai dan pembagian
struktural tadi mencerminkan perkembangan ynag unik dalam masalah kepemimpinan partai
di Indonesia, terutama hubungan antara tua dan muda. Perkembangan itu dahulunya
merupakan penyelesaian kesenjangan antara yang muda dan yang tua. Yang tua biasanya
dinaikan ke tingkat pimpinan yang lebih tinggi (seperti menjadi presiden partai atau dalam
lingkungan PSII dijadikan pimpinan dewan partai di samping adanya dewan eksekutif).

Pimpinan dalam Majelis Syuro

Suatu soal yang lain dalm struktur Masjumi yang sering juga dijadikan masalah ialah
hubungan pimpinan pusat partai dengan Majelis Syuro. Badan yang akhir ini umumnya
terdiri dari ulama. Majelis ini merupakan perwakilan dari perkumpulan-perkumpulan dan
aliran-aliran yang terdapat dalam kalangan umum Islam Indonesia. Tugas Majelis
memberikan pertimbangan dan fatwa kepada pimpinan setiap waktu dianggap perlu, dalam
garis besarnya pekerjaan partai. Anggaran dasar partai tidak memperinci syarat-syarat ulama

9
yang dapat menjadi anggota Majelis Syuro. Kedudukan Majelis Syur, baik menurut anggaran
dasar partai maupun menurut praktek, banyak sedikitnya sam selama partai berdiri. Memang
rumusan tentang ini berbeda. Anggaran rumah tangga tahun 1949. Umpamanya, mengatakan
bahwa pimpinan partai wajib memberikan fatwa dari Majelis Syuro dalam masalah-masalah
politik yang mengenai hukum agama (pasal 7 ayat 7 c). tetapi ketentuan ini sedikit kabur,
karena tidak jelas apa masalah politik yang mengenai hukum agama itu, atau siapa saja yang
akan menentukan apakah suatu masalah politik mengnai hukum agama atau tidak,

Dalam anggaran rumah tangga tahun 1953 perkataan wajib dalam rangka Majelis
Syuro itu dihapuskan. Tetapi masih dijumpai kata-kata dalam soal politik mengnai hukum
agama pimpinan parai meminta fatwa, dan Majelis Syuro Pusat memberikan jawabanya
dalam waktu yang dikehendaki. Keputusan Majelis dalam hukum agama adalah keputusan
yang mengikat Pimpinan Partai. Betapapun perumusan yang berubah itu, namun dalam
praktik kedudukan Majelis Syuro tidak berubah karenanya. NU memang pernah
mengemukakan alasan bahwa perubahan ini menyebabakan ia menarik diri dari Masjumi dan
menjadi partai politik. Menurut anggaran dasar partai pada tahun 1945, Majelis Syuro dapat
dibentuk sampai ke tingkat cabang. Tetapi antara tahun 1950 dan 1956 ia dibatasi pada
tingkat wilayah. Semenjak tahun 1956, berdasarkan keputusan kongres, Majelis kembali
dibentuk di tingkat cabang.

Pada tahun 1956 sekelompok ulama dalam Masjumi mengemukan suatu tuduhan
bahwa di antara pimpinan partai ada yang kurang memeperhatikan tuntutan agama. Oleh
karena itu, mereka menuntut agar pimpinan partai terdiri dari orang-orang yang taat
beragama. Pemimpin yang kurang melakukan ibadah hedaknya minggir. Mereka berpendapat
bahwa hanya dengan jalan ini partai akan mendapat kerelaan Allah, artinya kemenangan. Para
ulama yang mengemukakan tuntutan ini berasal dari segenap anggota istimewa partai.

Struktur Daerah

Pembagian partai meneurut daerah sesuia dengan pembagian daerah indonesia


menurut administrasi pemerintahan: cabang (untuk kabupaten), anak cabang untuk
keasistenan (istilah 1945-1949) atau kecamatan dan ranting (untuk desa). Di tingkat provinsi
dibentuk juga badan yang sebelumnya 1949 disebut daerah, dan kemudian wilayah.

Dana

10
Semua anggota perseorangan harus membayar iuran bulanan (50 sen untuk tahun
1952) yang banyak tidak masuk. Kegiatan partai lebih banyak dibantu oleh zakat, infak dan
sedekah dari anggota dan simpatisan. Dalam hubungan dana partai, suatu pemikiran yang
berhubungan dengan agama perlu dikemukakan. Teori politik Islam mengenal apa yang
disebut dar Al-Islam (negara Islam) dan dar Al-Harb(negara perang). Dalam Al-Islam segala
sesuatu harus bejalan dengan hukum di alam damai. Memang Al-Islam adalah negara dalam
keadaan tertiib, damai, tentram. Tetapi dalam dar Al-Harb tipu daya dan seumpamaan itu,
yang biasanya harus diberantas, bisa ditoleransi dalam rangka ini termasuk pemerasan uang
untuk keperluan perjuangan Islam.

2) Perti

Diantara ketiga partai Islam selajutnya, Perti dan PSII muncul sebagai partai pada
masa revolusi, NU 1952 sebagi akibat penarika dirinya dari Masjumi. Pemunculan PSII dan
NU lebih disebabkan sekurang-kurangnya sebagai sebab langsung, oleh kursi menteri yang
ingin diduduki oleh tokoh-tokohnya. Perti muncul sabagi partai karena hubungan yang
kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi, suatu partai di Sumatera yang kemudian
megubah diri sebagai Masjumi. Sebenarnya masih ada partai islam lain, yaitu partai politik
Tharekat Islam tetapi karena peranannya yang benar-benar tidak berarti, partai ini hanya
sekedar ada saja. Boleh dikatakan PPTI tidak berhubungan dengan partai-partai Islam lain.
Sungguhpun mereka juga ikut bersam-sama dalam satu dua hal. Mungkin sifat isolasi terekat
menjadi sebab ini dan merupakan pecahan dari Perti.

Perti, Parati politik Perti bersal dari organisasi tradisional Islam. Persatuan Tarbiyah
Islamiyah, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah. organisasi ini didirikan di suatu
pasantren terkenal di Candung, dekat Bukittinggi, pada tanggal 20 Mei 1930. Merupakan
benteng pertahanan golongan tradisional Islam terhadap pemahaman penyebaran paham dan
gerakan modern.. pendirinya termasuk Syaikh dari Candung dan Syaikh Muhammad Djamil
Djaho dai Padang Jepang, Payakumbuh, semuanya ulama tradisional terkenal di
Minangkabau yang mempunyai surau-surau besar. Walupun dalam hal pendidikan para ulama
ini relatif cepat memasukan cara-cara persekolahan modern (umpamanya Syaikh Abbas
memulainya tahun 1918). Pada masa pendudukan Jepang, Perti melanjutkan kegiatan

11
pendidikan dan sosialnya, tetapi mudah dipahami jumlah anggota dan mulai berkurang.
Banyak diantara para muridnya yang kembali pulang ke kampung asal. Kesulitan
perhubungan menambah kurangnya hubungan antara pusat pendidikan yang satu dengan
yang lain. Pada tahun 1944 para pemimpin Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi di
Bukittinggi, suatu organisasi Islam untuk seluruh Sumatera yang diketahui oleh Syaikh
Muhammad Djamil Djambek, seorang ulama yang modernis terkenal. MIT merupakan
tempat merujuk persoalan-persoalan agama, tetapi selama perang Pasifik ia kurang dapat
berfungsi dengan baik dan lancar. Pada bulan Desember 1945, jadi setelah merdeka , MIT
berubah bentuk menjadi partai politik sehubungan dengan pengumuman pemerintah Republik
Indonesia di Jakarta sebelumnya agar rakyat mendirikan partai politik sebagai cermin
pelaksanaan demokrasi. Pada masa itu boleh dikatakan segenap pihak gandrung pada
demokrasi dan partai merupakan refleksi daripadanya.

Pada sekitar masa ini Perti memutuskan manjadikan organisasi mereka suatu partai
politik tersendiri. Keputusan ini diambil pada tanggal 22 November 1945, dan diperkuat
kongres di Bukittinggi pada tanggal 22-24 Desember 1945. Berbagai alasan dapat
dikemukakan mengapa para pemimpin Perti dalam hal partai berjalan sendiri. Pertama,
mereka tidak cocok berada di MIT, dan kemudian dengan Masjumi di Sumatera (yang
merupakan trasformasi dari MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang kurang
memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para
pemimpin Perti cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama
mereka, dan ini menurut mereka lebih pula mudah diilakukan dengan mengubah organisasi
mereka menjadi partai daripada dengan berjuang dalam MIT dan Masjumi. Dipandang dari
sudut ini mereka lebih didorong oleh kepentingan ajaran agama atau paham mereka daripada
oleh kepentingan ummat keseluruhan. Ketiga, beberapa pemimpin Perti sudah merdeka lebih
berambisi di masa jajahan Belanda. Walupun Perti bergabung dengan Gapi pada tahun 1939,
ia tidak giat dalam bidang politik. Atau mungkin juga partisipasi mereka dalam Gapi
menyebabkan Perti menganggap dirinya sebgai organisasi politik yang perlu dikembangkan
di jaman merdeka secara tersendiri.

Mengenai keanggotaan, Perti mereka mereka yang sudah berumur 15 tahun. Ini
berbeda dengan umur anggota partai-partai Islam lain (atau partai lain umumnya) yang
memberi batas minimum 18 tahun sejalan dengan anggapan kedewasaan seseorang di
Indonesia menurut peraturan. Umur yang muda ini sedikitnya bagi Perti dihubungkan dengan
banyaknya orang yang kawin muda di kampung-kampung. Sebab lain adalah pandangan yang
12
ambivalen dari para pemimpin Perti terhadap organisasi mereka, yaitu sebagai organisasi
agama dan organisasi politik. Dari sudut agama, seseorang memang telah dianggap akil balig
bila berumur 15 tahun dan ini berlaku bagi mereka yang tradisional maupun yang modernis.
Perbedaan antra organisasi agama dan politik dalam lingkungan Islam memang sering tidak
dicernakan.

Dalam perkembangan Perti memperlihatkan kegigihan dalam hubungan dengan


Mazhab Syafii. Anggaran dasar partai padaa tahun 1950 masih memungkinkan partai untuk
bubar. Anggaran dasar tahun 1953 menekankan kelanjutan hidup partai. Partai tidak boleh
dibubarkan. Partai harus hidup dari abad ke abad sebagai benteng pertahanan kaum Ahlus
Sunnah Wal Jamaah yang bermazhab Syafii. ini juga mencerminkan juga ambisi pemimpin
Perti untuk mempertahankan terus kedudukan mereka dalam bidang politik serta di tengah
masyarakat. Lebih penting adalah angkatan bersenjata Perti, di masa revolusi. Laskar
Muslimin Indonesia dan Laskar Muslimat, Laskar Muslimat lebih lanjut aktif dalam kegiatan
palang merah yang tidak mempergunakan senjata. Tetapi seperti dikatakan, kegiatan-kegiatan
ini terbatas di masa revolusi.

3) Partai Syarikat Islam Indonesia

Partai Syarikat Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai partai tertua
di Indonesia karena ia memang berasal dari serikat dagang Islam (1911) dan serikat Islam
(1912). Tetapi sebab langsung maka partai tersebut didirikan kembali. Padahal sebelumnya
telah ada kebulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagi satu-satunya partai Islam, ialah
usaha formatir Amir Sjarifudin membentuk kabinet pada tahun 1947 yang ingin
mengikutsertakan kalangan Islam tetapi ditolak Masjumi. Pengunduran diri pemimpin-
pemimpin PSII lama dari Masjumi dan usaha mereka mendirikan PSII kembali itu dengan
memberikan dukungan kepada Amir Sjarifudin disebabkan oleh ketidak puasan mereka
dalam Masjumi. Keduanya tokoh sebelum perang, menduduki posisi yang tidak berarti dalam
Masjumi. Alasan lain adalah bahwa pimpinan Masjumi dianggap lunak dalam menanggapi
revolusi (khususnya pihak Belanda), dan oleh sebab itu dikatakan bersedia berkompromi
dengan pihak Belanda.

Di samping itu oarang lama PSII di daerah juga mendesak para pemimpin mereka di
pusat untuk mendirikan kembali partai. Termasuk dalam pemimpin daerah ini mereka yang
dari Minangkabau, seperti Aziz Chan, Wali kota Republik Indonesia di Padang yang pada
bulan Juli 1947 dibunuh Belanda di kota itu ketika sedang bertugas. Sesudah PSII didirikan

13
kembali pada tahun 1947, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman yang mengatakan
bahwa PSII tidak mempunyai pertikaian dengan Masjumi. PSII masuk kabinet semata-mata
berdasarkan tanggung jawab terhadap negara yang sedang menghadapi ketegangan yang
sangat serta kesulitan besar sehingga partai perlu menanggulanginya. Suatu KOnferensi
partai di Banjarnegara di Jawa Barat tanggal 13 Juli 1947, yang diikuti oleh 20 cabang
mendukung inisiatif yang diambil para pemimpin parati untuk mendirikan kembali PSII.
Teapi Konferensi mewajibkan pimpinan partai menghubungi Masjumi guna mencari
penyelesaian dalam kehidupan negara, persatuan ummat islam, dan umumnya orang
Indonesia.

Umumnya anggaran dasar PSII seudah merdeka sama saja dengan anggaran dasar
sebelum perang. Malah juga dalam cita-cita dan pemikiran. PSII melanjutkan pemikiran yang
terangkum dalam Asas Partai tahun 1933. Tidak ada pengembangan tampaknya dalam hal ini,
seakan-akan partai terus terpaku oleh kebesaran H.O.S Tjikroaminoto. Mungkin keterkaitan
PSII dalam hal ini menyebabkan partai tersebut tidak dapat berkembang di zaman merdeka.

Menurut Anggaran Dasar Partai, tiap orang asalkan ia beragama Islam dapat menjadi
anggota. Dalam praktik hanya orang Indonesia Muslim yang diterima sebagi anggota. Partai
mulanya berkongres tiap tahun (Anggaran Dasar 1950). Kemudian sekali dua tahun
(Anggaran Dasar 1951). Kongres memilih dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah, yang akhir
ini badan eksekutif. Dualisme pimpinan ini menyebabkan kadang-kadang ketegangan dalam
partai, oleh karena perbedaan dan pertikaian mudah muncul secara terbuka. Akibatnya, juga
sering dilakukan penskorsan dan pemecatan. Ini terjadi baik pada masa jajahan Belanda
maupun sesudah merdeka, malah di masa Orde Baru. Anggaran Dasar partai menyebutkan
bahwa Dewan Partai hanya bersifat penasihat dan pengawas terhadap eksekutif.
Tetapihubungan antara keduannya tergantung lebih banyak pada sikap dan kecenderungan
para pimpinannya. Dengan adanya pengaruh negatif dari sistem Dualisme kepemimpinan ini,
Masjumi menghapuskannya pada tahun 1952.

Sebagai akibat pembentukan kabinet Ali Sastroamidjojo pada tahun 1953, terjadi
skorsing terhadap Abikusno Tjokrosujoso yang mulai duduk sebagi menteri pekerjaan umum
(1 Agustus-14 September 1953). Karena partisipasinya dalam kabinet tidak dibicarakan
sebelumnya dengan partai. Sudibjo dari pimpinan partai yang juga tersangkut, menjadi
menteri sosial 1 Agustus-15 September 1953, tetapi dia segera rujuk dengan partainya.
Keduanya terpaksa mundur dari kabinet, tetapi Abikusno terus bertahan dalam PSII

14
tandingan. Sampai PSII tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah Soekarno tahun 1960.
Abikusuno sendiri mulai lebih banyak diam tetapi dalam kongreskongres PSII di Solo (3-10
April 1955) dan di Surabaya (29 Juli-3 Agustus 1956) kelihatanya mendapatkan dukungan
dari sebagian utusan. Dukungan ini terutama oleh PSII Sumatera Selatan. Dipergunakan
selanjutnya untuk bertahan sebagai tandingan terhadap PSII pimpinan Arudji Kartawinata-
Anwar Tjokroaminoto. Sekali Abikusno bersedia memimpin PSII tandingan ini (September
1956) tiada jalan baginya untuk surut.

Dalam kongres di Solo tahun 1955 skorsing Abikusno dicabut dan ia diharapkan
duduk dalam pimpinan partai. Dalam kongres berikutnya di Solo 1956 diminta menjadi
formatir pimpinan partai yang ia terima. Tetapi menurut versi PSII Abikusno, lawannya
(Arudji dan Anwar) menyabot kedudukan ini. Sehingga ia tidak turut sebagai formatir.
Menurut versi resmi PSII, Abikusno menghendaki mendai formatir tunggal. Padahal kongres
memilih lima orang formatir. PSII Abikusno mengadakan pula konferensi-konferensi
nasionalnya dan membentuk bagian-bagian tersendiri, seperti kepanduan, pemuda,
mahasiswa, dan pelajar. Tetapi dengan pengakuam pemerintah terhadap PSII Arudji-Anwar
pada tahun 1960 PSII Abikusno dengan sendirinya lenyap.

Pengikut PSII dijumpai di daerah-daerah tempat partai-partai di masa jajahan


Belanda. Ini termasuk Sumatera Selatan, terutama Lampung, Sulawesi Utara (mulanya juga
Selatan), tetapi disini kalh berkompetensi dengan Masjumi) dan Aceh (disinipun dominasi
Masjumi sangat menonjol). Boleh dikatakan PSII lebih mengingat zaman emasnya di masa
silam daripada menghadapi masa kini dan masa depan.

4) Nahdatul Ulama (NU)

Organisasi ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menekan
perkembangan paham pemburu dalam Islam di Tanah Air. Serta upaya memperhatikan ajaran
tradisional dan Mazhab di tanah Suci yang baru dikuasai oleh golongan wahabi di bawah
Raja Abdul Aziz bi Saud. Organisasi ini juga merupakan forum komunikasi antara berbagai
pusat pendidikan tradisional Islam. Terutama di Jawa, yang sebelumnya secara tidak resmi
memang sudah mempunyai hubungan yang kuat juga. Dalam masa sebelum perang, NU
tersebar sampai ke Banten dan Cirebon ke Jawa Barat dan di Kalimantan Selatan. NU
menjadi organisasi sosial dan pendidikan di zaman Belanda dan Jepang. Walaupun sesekali

15
ada juga suaranya dikemukakan tentang kebijaksanaan pemerintah seperti ordonasi
perkawinan (1937). Pemindahan perkara faraid dari pengadilan agama ke pengadilan negeri
(1935) serta soal-soal yang bersifat politik, termasuk soal milisi dan rodi. NU juga
mendukung Gapi dalam tuntutan Indonesia Berparlemen (1939).

Perhatian Nu dalam bidang politik lebih keara di masa revolusi. Demikianlah


organisasi ini pada tahun 1945 mengeluarkan fatwa mempertahankan tanah air dari serangan
musuh merupakan hal wajib bagi tiap Muslim. NU juga mengambil jihad terhadap Belanda.
Dalm rapat-rapat pimpinannya soal-soal Perjanjian Lingarjati dan Renville dibicarakan, dan
sering organisasi ini mengambil keputusan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah.
Tetapi selam revolusi keputusan-keputusab diambil dengan kesadarn tentang keterikatan
organisasi pada Masjumi. Keputusan tersebut lebih merupakan sumbangan bagi Masjumi
dalam mengambil keputusan pula. Dalam mas revolusi itu tidak terdapat indikasi yang
memperlihatkan kebebasan NU dari Masjumi dan ini sesuai dengan tekad tahun 1945 untuk
mengakui Masjumi sebagi satu-satunya partai Islam di Indonsia.

Tetapi pada tahun 1949 ketika mulai jelas tampak bahwa pihak Belanda benar-benar
akan meninggalkan Indonesia. NU tambah memperlihatkan kekurangserasiannya dalam
Masjumi. Tetapi ini dikemukakan kemudian yaitu tahun 1950-an ada perubahan dalam
perumusan tentang Majelis Syuro dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga seperti
telah disinggung tadi tentang Masjumi. Perubahan ini kian dijadikan alasan dalam penarikan
diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU dengan perubahan ini Masjumi telah berubah
sifat. Dari suatu organisasi yang memberi tempat penting bagi ulama menjadi organisasi yang
tidak menghormati ulama. Hal ini dijadikan alasan dalam pengunduran diri NU dari Masjum.

Penarikan diri NU dari Masjumi dikukuhkan oleh kongres NU di palembang pada


bulan Oktober 1952. Kejadian yang mendorong penarikan diri ini dimuali bulan Maret 1952
ketika RaisAm Majelis Syuriah NU. Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah, mengeluarkan suatu
pengumuman yang menganut usul-usul tentang pembentukan serta komposisi kabinet baru.
Ketika itu perdana menteri sukiman telah menyerahkan mandatnya kepada presiden dan
semua perhatian pun tertuju pada pembentukan kabinet baru. Kebetulan Prawonto
Mangkusasmoto dari Masjumi ditunjuk sebagai formatir kedua (mede-formateur) formatir
lainnya adalah Siddik Djojosukarto dari PNI. Prawonto merasa bahwa pengumuman Kiai
Wahab itu melemahkan kedudukannya berhadapan dengan rekan formatir Siddik, apalagi
oleh karena keterangan Kiai Wahab itu berlawanan dengan keinginan Masjumi serta

16
strateginya sebagai mede-formateur. Kiai Wahab mengemukakan agar kursi menteri agama
dipercayakan kepada NU.

Pada tanggal 17 Maret 1952 pimpinan pusat Masjumi membicarakn usaha-usaha


mede-formateur Prawonto dalam pembentukan kabinet. Surat Kiai Wahab kepada Prawonto
juga masuk acara. RaisAm Nu ini malah didukung dan dijemput untuk hadir dalam rapat
dengan memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan pendapatnya. Namun sayang
rapat 17 Maret itu tampaknya tidak memberikan hasil yang positif. Walaupun Prawoto dan
Siddik akhirnya gagal dalam membetuk kabinet dan mengembalikan mandat kepada presiden
tanggal 18 Maret, kejadian sekitar pembentukan itu telah mengganggu hubungan antara
sesama Masjumi.

Pada tanggal 23 Maret pimpinan Masjumi berapat lagi untuk membicarakan tuntutan
NU. Kiai Wahab hadir dan menuraikan pendapatnya bahwa akan sukar untuk menggalang
persatuan bila tidak ditegakkan bersadar keadilan, ini berarti menolak tuntutan NU sama
dengan melepaskan keadilan. Pengurus besar NU telah mengirim surat kepada semua
cabangnya untuk menjelaskan pendiriannya. Perkembangan pun terus terasa dan
diperlihatkan bahwa perpecahan Masjumi tidak dapat dikelakan. Rapat pimpinan Masjumi
tersebut meminta Kiai Wahab agar membicarakan pertimbangan-pertimbangan tadi dengan
pimpinan NU. Pada tanggal 26 Maret Kiai Wahab pergei menjumpai formatir wilopo untuk
mengemukakan keinginan NU tentang formasi kabinet.

Pada akhirnya Masjumi memutuskan untuk tidak memeperhatikan lagi keinginan NU.
Oleh karena NU menolak pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan oleh Masjumi
tanggal 23 Maret. Masjumi memutuskan untuk tidak menyerahkan pilihan calon menteri
agama kepada formatir. Melainkan menentukan sendiri pilihan itu berdasarkan kebiasaan
yang berlaku dalam partai ini. Delapan calon termasuk 2 dari NU, dibicarakan dan
dinyatakan sebagai calon dalam rapat itu. Pemungutan suara dilakuakan dan calon terpilih
jatuh pada Kiai Haji Fakih Usman dari Muhammadiyah dengan suara tebanyak. Formatir
wilopo menyetujui pencalonan Fakih Usman ini, dan 10 hari kemudian, yaitu tanggal 5 April
1952, satu rapat besar pengurus NU di Surabaya mengambil keputusan keluar dari Masjumi.
Keputusan ini diperkuat oleh kongres NU di Palembang pada bulan Oktober tahun itu juga.
Masjumi bukan satu-satunya partai yang menyalurkan aspirsi masyarakat lagi.

Disamping penarikan NU dari Masjumi dapat juga dilihat sebagi puncak


ketidaksetaraan antar kedua organisasi itu yang mulai kelihatan pada kongres Masjumi di

17
Yogyakrta bulan Desember 1949. Menurut sebagian kalangan NU ada diantara peserta yang
tidak mulai memperlihatkan rasa hormatnya kepada ulama. Peserta ini juga menganggap
lulusan sekolah Belanda lebih superior dari lulusan sekolah agama. Hal ini sukar ditolerir
oleh kalangan santri, kalangan yang banyak dijumpai di dalam NU. Faktor lain yang
menyebabkan kurang mesranya hubungan antara NU dan Masjumi sesudah penyerahan
kedaulatan ialah bergantinya ketua partai dari Sukiman kepada Natsir. Dari masa Desember
1949 ini pimpinan Masjumi yang lebih banyak dipercaya pada angkatan bawah generasi
sukiman. Yaitu Natsir dan kawan-kawannya yang bukan saja keluaran sekolah Barat,
melainkan pula telah mendapatkan pendidikan agama secara khusus di luar sekolah dengan
paham modern. Sukiman, yang menjadi ketua pimpinan Masjumi di masa revolusi juga
berpendidikan Barat (ia malah pernah studi berapa tahun di negeri Belanda) tetapi
pengetahuan agamanya tidak dalam, malah boleh dikatakan minim, ini yang mengakibatkan
Sukiman kurang mengemukakan alasan-alasan yang bersandar agama apabila berhadapan
dengan NU.

Dalam struktur NU badan atau bagian yang paling penting ialah Syuriah. Yang
bersama bagain Tanfidziyah (eksekutif) menjadi pengurus keagamaan. Ini dapat termasuk
setiap kegiatan, ide, tindakan. Syuriah juga mengawasi dan memimpin gerak langkahnya
bagian-bagian lain dan umumnya NU agar jangan sampai bertentangan dengan kemuslihatan.
Adapun bagian Tanfidziyah ia melakukan tugas harian dari pengurus besar. Bagian Syuriah
NU ini semuanya terdiri para ulama. Dahulu, pada masa jajahan Belanda bagian Tanfidziyah
terdiri dari bukan ulama. Tetapi setelah mereka merdeka tambah banyak ulama yang duduk
didalamnya. Kedudukan seseorang dalam pemuda Ansor (bagain pemuda dari NU)
memudahkan juga baginya untuk menempati kedudukan dalam bagian Tanfidziyah bila ia
telah memperlihatkan kebolehannya dengan cukup lama. Yang diterima menjadi anggota NU
ialah semua orang Islam yang dewasa yang mengikuti salah satu dari empat mazhab. NU
umumnya terdiri dari orang-orang muslim Indonesia, tetapi kongres-kongresnya sering
dihadiri oleh wakil-wakil negara tetangga seperti Singapura.

Anggota NU tidak dilarang masuk partai lain apabila partai lain ini mempunyai tujuan
yang sama dengan NU. Hal ini dapat ditafsirkan sebagi kemauan baik NU terhadap semua
pihak. Tatapi dalam kenyataan para pengikut NU sangat merasa terikat dengan partai dan
pemimpinnya. NU juga mempunyai penasihat yang dapat diambil dari orang-orang bukan
NU selama mereka setuju dengan politik atau kebijaksanaan NU. Maka, dengan beberapa

18
cara ini orang intelektual berpendidikan Barat muncul sebagai wakil NU dalam kabinet serta
berbagai jabatan pemerintah.

Iuran anggota kepada partai (pada tahun 1945 sejumlah 25 sen sebulan) kelihatanya
tidak merupakan sumber penting bagi dan partai. Yang lebih penting adalah sumbangan
sukarela berupa sedekah, infak, zakat, dari para anggota dan simpatisan yang sering diberikan
melalui Kiai stempat. Para pedagang yang menikmati fasilitas dari pemerintah karena
hubungannya dengan NU juga turut membatu. Umumnya juga dapat dikatakan bahwa
kedudukan Kiai yang begitu dihormati oleh masyarakat setempat turut membantu kelancaran
uang masuk NU. Loyalitas sesama NU nampaknya tinggi. Partai ini mendukung kuat para
anggotanya yang bergerak dalam bidang usaha, baik perdagangan maupun perindustrian
untuk memperoleh fasilitas dari pemerintah. Hal ini menjadi daya penarik bagi sebagian
orang untuk masuk partai yang lain masuk NU karena jaminan kedudukan kepegawaian
dalam kementrian (terutama kementrian agama) apalagi bila diingatkan kementrian ini
membuka kantornya sampai tingkat kecamatan. Dalam berbagai lembaga pendidikan pun
termasuk lembaga perguruan tinggi seperti IAIN, partai ini berusaha memberikan kemudahan
kepada pengikutnya. NU juga berusaha menghimpun para partai (Serikat Buruh Muslimin
Indonesia-Sarbumusi) mahasiswa (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) pelajar (Ikatan
Pelajar NU-IPNU) malah juga para artis dapat dihimpun NU dalam Lembaga Seni dan
Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang terdiri dari pelukis, bintang film, pemain pentas,
dan sastrawan.

Untuk menghindari berdirinya lagi organisasi Mahasiswa dengan dukungan NU (PSII


ketika itu telahmempunyai organisasi Mahasiswa sendiri) para anggota besar pengurus HMI
pada tahun-tahun permulaan 1950-1n sering menghubungi tokoh-tokoh NU bila terdengar
akan berdirinya kembali suatu organisasi Mahasiswa NU. Mulanya kalangan HMI mendapat
jaminan dari kalangan pimpinan NU bahwa organisasi Mahasiswa baru itu tidak akan berdiri.
Jadi, usaha itu sampai tahun 1955 berhasil. Tetapi jaminan-jaminan itu diberikan tokoh-tokoh
NU di Jakarta. Dan tiba-tiba pada tahun 1956 PMII muncul di Yogyakarta. Rupanya,
penegrtian yang diperoleh di Jakarta disampai diperoleh di Yogyakarta. Sekali PMII berdiri,
tidak mungkin lagi dilakukan usaha dariluar untuk mentiadakannya. Yang mungkin adalah
menjaga hubungan baik antara berbagi organisasi Islam, termasuk organisasi Mahasiswanya.

2. Pengaruh Partai-partai Islam terhadap Indonesia

19
1) Masalah Konstitusi

Bentuk Federasi dan Kesatuan, masalah bentuk negara telah banyak dibicarakan di
masa pedudukan Jepang. Dikalangan para pemuda pelajar dan Mahasiswa ketika itu,
terutama mereka yang tinggal di Jakarta, seiring dengan persolan apakah negara Indonesa
akan menjadi negara serikat atau negara kesatua. Perasaan ini tercermin dalam sidang-sidang
badan perwakilan rakyat, baik di pusat maupun di daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Negara
Sumatera Selatan memulai gerakan pembubaran negaranya tanggal 10 Februari 1950 dengan
memutuskan agar pemerintahan negara bagian itu menyerahkan kekuasannya kepada RIS.

Dua pendapat muncul dan berkembang di parlemen dalam trieulan kedua tahun 1950
dalam rangka pembubaran bentuk negara serikat itu, pendapat pertama bersal dari tokoh PNI,
Susanto Tirtoprodjo, yang menganjurkan agar negara-negara bagian yang ada bergabung ke
Republik Indonesia (Yogyakarta. Dengan demikian, RI akan menggantikan RIS dalm
memerintah seluruh Indonesia. oleh karena pandangan ini bila diterima akan menimbulkan
konflik antara berbagai kalanagan di negara-negara bagian itu, terutama di Indonesia Timur
dan Sumatera Timur. Mohammad Natsir dari Masjumi mengemukakan bahwa soal yang
pokok ialah pembentukan negara kesatuan, buka apakah negara kesatuan itu tercapai dengan
penggabungan negara-negara bagian ke RI atau melalui RIS. Pembentukan negara kesatuan,
kata NAtsir, hendaklah dilaksanakan tanpa menimbulkan konflik, baik antara negara-negara
bagian itu maupun antara golongan masyarakat kita pada umumnya.

Namun kali ini usaha Masjumi tidak berhasil mengusakan terlaksananya keinginannya
tentang pembentukan suatu sistem presidensial untuk negara kesatuan. Rapat-rapat para wakil
kedua lembaga perwakilan itu menetapkan suatu bentuk kepala negara yang simbolis serta
wakil kepala negara yang dalam UUD RIS tidak tercantum, bentuk baru ini meniadakan
kemungkinan bagi Hatta untuk menjadi perdana menteri, karena boleh dikatakan semua
sependapat bahwa kedudukan wakil kepala negara harus dipercayakan kepadanya. Kedua
wakil presiden tidak dapt dirangkap dengan jabatan menteri, kecuali dengan pengecualian
khusus. Ketentuan-ketentuan pengecualian khusus ini walau perlu untuk sebagain kalangan,
tidak tercermin dalam perumusan akar UUD dan kecenderungan pendapat tampaknya lebih
banyak pada terciptanya sistem parlementer penuh, tanpa memberi kemungkinan untuk Hatta
mengetahui kabinet seperti pada masa RIS atau RI 1945. Karena kedudukannya nanti sebagai
wakil kepala negara, maka Masjumi bersiap-siap untuk kalau mengetahui pemerintahan.

20
Sebenarnya Sjarifudin Prawiranegara, menteri keuangan RIS dan seorang tokoh
Masjumi pernah mengusulkan kepada sidang yang membicarakan soal kedudukan
presiden/wakil presiden di negara kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 agar dilakukan
semacam escape clause (ayat peluang mengatasi kesulitan) dalam undang-undang
memungkinkan Hatta yang pasti akan menjabat kedudukan wakil presiden. Menjadi perdana
menteri bila keadaan menghendaki. Sidang-sidang tersebit diwakili oleh wakil-wakil
pemerintahan RIS (yang juga berbentuk atas nama NIT dan NST) dan pemerintah RI
(Yogyakarta) tanggal 19 Juli 1950. Ketika itu perdana menteri Republik Indonesia dan
condong kepada pemikiran Sjahrir, usulan Sjahfudin tersebut mendapat sambutan. Yang
mengerankan bahwa Abdul Hakim dari RI (Yogyakarta) dan seorang tokoh Masjumi yang
juga hadir dalam sidang tersebut tidak juga menyongkong usul Sjarifuddin ini, padahal
Masjumi lebih menyukai kabinet presidensial.

Dalam hubungan dengan bentuk negara, penyelesaiannya rupanya tidak sesulit yang
disangka semula. Dan mosi integral dari Natsir tadi memang telah memudahkan jalan bagi
pembentukan negara kesatuan. Namun ummat Islam tidak terlalu mempersoalkan masalah
ini. Perti lebih menyukai bentuk Federal, tetapi segara meninggalkan pikiran bersama-sama
NU. PSII kurang acuh dengan hal ini. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa walaupun
timbul masalah, mudah saja kesepakatan diperoleh. Mereka yang memang lebih melihat
manfaat pada struktur federal itu, dan dalam golongan ini termasuk Masjumi sepakat juga
dengan bentuk negara kesatuan dengan catatan bahwa bentuk ini tidak menghilangkan
kesepakatan bagi daerah-daerah untuk memperoleh otonomi penuh. Tetapi gerakan daerah
dan pemberontakan ini hendaknya dilihat sebagi cermin kekecewaan daerah terhadap
pemerintahan pusat dalam pembangunan, termasuk dalam pembagian pendapat antara daerah
dan pusat, pembangunan daerah, penyedian berbagi fasilitas, umpamanya pendidikan.
Umumnya kesejahteraan rakyat, kalu hal-hal ini dilaksanakan dengan baik rasanya daerah-
daerah tersebut akan puas dengan bentuk negara kesatuan. Dengan kata lain, pemikiran
mereka tentang masalah bentuk federal atau kesatuan lebih didasarkan pada tuntutan
pragmatis bukan prinsip. Oleh itu juga, sikap-sikkap partai Islam tentang masalah ini sangat
luwes. Mereka setuju saja denganbentuk negara kesatuan setelah nyata bahwa banyak
anggota Konstituante yang menyukainya.

Masalah Dasar Negara, seperti dibicarakan dalam Konstituante. Perlu diingat bahwa
presiden Soekarno sendiri, sungguhpun berfungsi sebagai kepala negara konstitusional,
mempunyai pilihan sendiri dalam soal ini dan gigih sekali mempropagandakan pendpatnya.
21
Ini mudah dipahami karena dialah pula yang memperkenalkan Pancasila dalam Sidang Badan
Penyelidik untuk Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945. Disamping
itu semenjak jaman pergerakan kebangsaan ini memang kurang setuju dengan Islam sebagai
dasar negara. Oleh karena itu, bila para pemimpin Islam mengemukakan bahwa Islam
merupakan ajaran yang berbeda di atas ajaran manapun. Termasuk Pancasila. Soekarno tidk
dapat menahan diri. Maka, jauh sebelum Pemilihan Umum 1955 ia berpidato di Amuntai,
Kalimantan selatan pada tanggal 27 Januari 1953. Ia mengajukan rakyat untuk menolak usul
atau ajakan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara karenanya ini akan menyebabkan
daerah-daerah seperti Maluku, Bali, Flores, Kepulauan Kai, dan Sulawesi Selatan lepas dari
Republik Indonesia. pandangan ini berlandaskan pada banyaknya orang bukan Muslim di
daerah-daerah tersebut. Walaupun presiden Soekarno menjelaskan pendapatnya secara lebih
terperinci dalam suatu ceramah umum di Universitas Indonesia tanggal 7 Mei 1953 sudah
jeles kelihatan bahwa Soekarno akan berusaha sekuat tenaga untuk menekan keinginan
ummat Islam dalam hal ini. Dalam cermahnya mengemukakan bahwa Islam sejelan dengan
demokrasi sambil menunjuk pada ceramah Mohammad Natsir di Karachi setahun
sebelumnya.

Pendirian teguh kalangan pemimpin Islam dalam hali ini disadakan pada berbagai
alasan. Pertama, mereka melihat dasar ini sebagai masalah yang mereka janjikan selama
kampanye Pemilihan Umum tahun 1954 dan 1955. Tema merek ialah umumnya bagaimana
menjalankan ajaran: agama dalam masyarakat. Kedua mereka melihat kostituante sebagai
forum tempat tiap kelompok atau fraksi perlu mengungkapkan dasar dan cita-cita mereka
sendiri dan membicarakannya dengan kawan-kawan atau juga lawan-lawannnya di dalam
sidang. Walaupun orang lain tidak akan menerima cita-cita atau ajarannya sekurang-
kurangnya kewajiban menyampaikan sudah dipahami. Ketiga, forum kostituante juga dilihat
oleh para pemimpin Islam sebagai forum dakwah untuk menyampaikan kepada orang-orang
di Kostituante serta diluarnya apa yang sebenarnya dimaksud oleh Islam dalam hubungan
dengan masyarakat dan politik. Dipandang dari sudut Islam, pidato-pidato panjang yang
disampaikan oleh wakil-wakil ummat Islam dalam sidang Konstituante dan sering pula yang
diulang-ulang, merupakan dakwah, tablig dan tablig termasuk wajib. Pidato-pidato panjang
mempunyai tuhjuan untuk menanamkan pengertian Islam pada para anggota dan secara tidak
langsung juga kepada masyarakat. Para mubalig telah bisa menyampaikan hal serupa di
masjid-masjid, langgar, serta tanah-tanah lapang tempat rapat umum, termasuk dalam soal-
soal agama dan politik.

22
Dalam lingkungan pimpinan Masjumi, suatu suara lain sebenarnya sudah juga
terdengar walaupun tidak sampai ke tengah keramaian. Jusuf Wibisono berpikir sebaliknya
dari semula partai-partai Islam lebih bersifat luwes dan menerima pancasila sebagai dasar
negara. Ia bukan tidak setuju dengan dasar Islam, tetapi lebih melihat kenyatan. Di samping
kenyataan bahwa wakil-wakil ummat Islam tidak dominan. Pada tanggal 2 Maret 1959
perdana menteri Djuanda mengemukakan kepada parlemen pemikiran untuk kembali ke
UUD 1945, pada tanggal 22 April hal yang sama dilakukan oleh presiden Soekarno kepada
Konstutuante walaupun sebagai anggota Konstituante termasuk dari partai-partai Islam, lebih
menginginkan agar Konstituante menyelesaikan tugasnya semula. Kemudian selanjutnya
suara terdengar dari pihak pemerintah yang menginginkan kembali ke UUD 1945 (tanpa
perubahan) juga diserahkan kepada pemungutan suara. Usulan ini juga tidak diterima. Karena
2/3 mayoritas untuk tidak setuju tidak tercapai. Pemungutan suara dilakukan tiga kali, tanggal
30 Mei dengan 269 pro dan dan 199 kontra, tanggga 1 Juni 264 pro dan 204 kontra, dan
tanggal 2 Juni 263 pro dan 203 kontra.

Fraksi Islam berharap agar Konstituante dapat kembali kepada kerjanya semula
sebelum soal kembali ke UUD 1945 dibicarakan. Memang sebelumnya Djazuli Kartawinata
dan Abu Bakar dan Masjumi meminta kepada pemerintah untuk memberi kesempatan kepada
Konstituante menyelaraskan tugasnya samapai Maret 1960. Tetapi perkembangan tidak
sesuai yang diduga. Konstituante bagai lumpuh karena banyak anggotanya yang tidak hadi.
Maka, tentara dan Suwirjo, ketua Umum PNI, masing-masing mengirim kawat kepada
presiden Soekarno yang sedang melakukan perjalanan keliling duniannya di Tokyo, agar
mendekritkan saja UUD 1945. Menteri penerangan Roesalem Abdulgani dari PNI pergi
menghubungi presiden di Tokyo untuk memberikan laporan langsung,

Dan tampaknya presiden Soekarno sejalan dengan pendapat Nasution dan Suwirjo.
Setelah kembali pulang ke Indonesia pada taggal 29 juni 1959 mengumumkan dekrit itu di
Istana Bogor. Dekrit yang sama membubaarkan Konstituante. Hal ini merupakan pukulan
keras bagi ketua dan wakil ketua Konstituante dan bagi siapapun yang ingin kostituante
bekerja dengan selesai. Dekrit ini merupakan pikulan bagi fraksi-fraksi Islam yang masih
menanti terlaksananya kompromi dengan pihak Pancsila. Sebaliknya, Dekrit menambah kuat
kedudukan Soekarno sebagai kepala negara. Dan soekarni juga menjadi kepala pemerintahan
dan ini merupakan permulaan tekanan yang terus bertambah terhadap setiap oposisi dalam
alam apa yang dikatakan Demokrasi Terpimpin.

23
2) Masalah-masalah Khusus Islam

Masalah yang menurut kalangan yang berorientasi pada ajaran Isalam sangat erat
hubungannya dengan ajaran agamanya, karena memang ada peraturan dan ketentuan Islam
tentang itu atau kalangan ummat menganggapnya demikian. Ini tidak berarti kalangan bukan
islam tidak menaruh perhatian terhadapnya. Sebaliknya, karena masalah-masalh itu tidak
terpisah dari perkembangan di Indonesia pada umumnya masalah ini juga menarik perhatian
mereka yang bukan Islam. Masalah-masalah yang timbul diantaranya:

Departemen Agama, walaupun Departemen agama telah berdiri sejak tahun 1946,
eksistensinya masih dipertanyakan di Indonesia pada tahun 1950-an malah pada masa ini pun
juga. Terutama kalangan Non-Islam yang mempertanyakan kegunaannya. Memang mulanya
departemen tersebut didirikan untuk memenuhi keinginan dan keperluan ummat Islam. yang
merasa perlu adanya departemen itu semenjak dari jaman sebelum perang. Departemen
tersebut tidak dimulai dengan kabinet pertama tahun 1945 karena keberatan-keberatan dari
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sam dengan keberatan tujuh kata-kata
Mukaddimah UUD 1945.

Pada masa revolusi boleh dikatakan orang sudah tidak mempersoalkan eksistensinya
kembali, orang pun lebih bnyak memberi perhatian pada revolusi. Tetapi begitu tahun 1950-
an tiba, rpanya pemikiran yang terpendam itu timbul juga dipermukaan. Ada juga sebagian
kalangan Islam yang tidak setuju dengan adanya kementerian itu. Keberatan Non-Islam
disebabkan oleh tuduhan atau sangkaan bahwa kementerian lebih mementingkan ummat
Islam daripada ummat Islam lain. Keberatan sebagian kalangan Islam sendiri disebabkan
kelemahan cara kerja kementerian. Yang perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa
Departemen Agama dikuasai oleh NU untuk sebagain besar mas yang kita bicarakan. Dari 23
kabinet tahun 1946-1965 hanya tiga kali kursi menteri agama diduduki oleh bukan NU. Jadi
20 kali oleh orang NU. Yang ketiga orang tadi adalah Mohammad Hassan Rasjidi (1946),
Fakih Usman (1952-1953) dan Teuku Mohammad Hassan (1949). Yang dua pertama dari
Muhammadiyah yang terakhir independen. Dengan demikian, kementrian itu menjadi lat
yang sangat berguna bagi NU dalam menyebarkan pengaruhnya ke segenap penjuru tanah air,
termasuk daerah-daerah yang sebelumnya tahun 1950 tidak ada cabangnya.

24
Sungguhpun begitu, partai-partai Islam tidak tampak berusaha mengadakan perbaikan
dalam departemen, boleh dikatakan mereka tidak melancarkan kritik terhadap kerja
departemen kecuali satu-dua hal yang bersifat teknis, seperti pencetakan Al-Quran,
pembelian/penjualan kain kafan, dan penyelenggaraan naik haji. Yang mengherankan tidak
adanya usaha bersama antara partai-partai dan organisasi-organisasi Islam untuk malihat
masalh Departemen Agama itu secara bersam, yang perlu dihadapi bersama pula, sekurang-
kurangnya agar eksistensi departemen yang tidak mereka persoalkan itu lebih dapat
dipertanggungjawabkan jalannya.

Persatuan Ummat, dalam Islam ide persatuan itu dicerminkan oleh kata Ummat
Muhammad atau Ummat Islam. Malah perkataan ummat saja sudah mengingatkan
kalangan Islam akan persatuan. Kata itu dipergunakan oleh kalangan Islam di Indonesia
sebgai imbauan untuk persatuan semenjak masa-masa yang tidak dapat diingat lagi. terutama
setelah kepulauan Indonesia dipersangkutkan dalam satu unit administrasi. Kata tersebut
sering dipakai. Ide persatuan juga diperkuat dengan ayat Al-Quran dan Sunnah.

Pada tahun 1950-an ide persatuan ummat secara politik hancur terutama karena
penarikan NU dari Majumi (1952). Mulai saat itu persatuan ummat Islam Indonesia
merupakan sekedar mimpi. Dengan pemilihan umum 1955, ummat masih terbelah-belah,
walau semua tidak menyukainya. Pada tahun 1953 hal perpecahan ini telah keliatan ketika
Panitia Pemilihan Umum Indonesia tidak mengikutsertakan Masjumi sebagai unsur anggota
PPI oleh kabinet Ali I, NU, PSII, dan Perti tidak memprotesnya sama sekali, padahal Panitia
seperti itu seharusnya mencakup unsur-unsur yang bersifat luas.

Kendatipun begitu, ummat Islam di Indonesia ingin sekali melihat para pemimpin
mereka dan partai Islam bersatu, kalaupu tidak dalam bentuk, dalam tindakan, apalagi ketika
pemilihanumum mendekat pada tahun 1955. Banyak organisasi dan kelompok yang
mengemukakan keinginan dan kemauan mereka dengan adanya pemilihan umum ini demi
persatuan ummat Islam. Hal ini memberikan pengaruh juga bagi partai-partai Islam yang
pada tanggal 15 Juni 1955 mengeluarkan suatu pengumuman bersama dengan menghimbau
para pengikut dan simpatisan mereka agar:

a. Menjaga sungguh-sungguhagar perbedaan paham di lapangan politik jangan


sampai merusakan ukhuwah Islamiyah.

25
b. Bersam-sama menciptakan suasana saling tidak menyerang dalm kegiatan yang
bersifat menyarankan pendirian dan program-program masing-masing dalam
menghadapi pemilihan umum.

c. Bertidak sesuai dengan pernyataan ini.

Pernyataan ini ditandatangani oleh Mohammad Natsir (Masjumi). Arudji Kartawinata


(PSII), Kiai Dahlan (NU) dan H. Rusli Abdulwahid (Perti) sangat dihargai ummat dan
semangat pernyataan ini kelihatan dipelihara ditingkat pusat. Tetapi di daerah-daerah
propagandis partai ada yang tidak dapat menahan dirinya dari kecaman timbal balik, mada
ada juga yang bersifat serangan timbal balik. Hal ini terutama di jumpai antara NU dan
Masjumi beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan antara Masjumi dan Perti di
Sumatera Tengah. Para Propagandis partai banyak yang tidak mampu menahan perasaan
mereka, seiring masalah yang dibicarakn tidak berhubungan dengan program atau pendapat
partainya dalam politik. Umpamanya, masalah Mazhab masih diungkit, demikian juga
dengan masalah Ijtihad dan taklid masalah-masalah yang peka dan pelit di masa sebelum
perang. Tetapi bukan masalah lagi sesudah merdeka. Perlu diperhatikan bahwa tidak sedikit
dari anggota istimewa Masjumi, seperti Al-Jamiyatul Washliyah, Al-Ittihadiyah (keduanya
dari Sumatera Utara), PUI (Jawa Barat) dan Mathalul Anwar (Banten, Jawa Barat) masih
berpegang pada Mazhab, tetapi dalam mata NU dan Perti ketika itu, partai Masjumi Secara
mudah disebut partai yang tidak bermazhab atau antimazhab.

26
SIMPULAN

Perkembangan dinamika partai-partai Islam memang selalu diwarnai oleh beragam


peristiwa. Kesemuanya bergerak dan berdiri atas dasar ingin tegaknya agama Islam di bumi
Indonesia. Ke empat partai Islam seperti yang telah di ulas dalam pemabahasan yakni
Masjumi, Perti, PSII dan NU mulai bergejolak dan tumbuh atas reaksi pada rezim pasca
kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin yang bersifat represif terhadap umat islam.
Sebagaimana kita ketahui cikal bakal munculnya partai-partai Islam di masa itu berinduk
kepada Masjumi yang merupakan partai Islam pertama yang menjadikan wadah aspirasi
seluruh rakyat di kacah Indonesia. Dari prosesnya banyak dinamika yang dilewati termasuk
eksistensinya dalam dunia politik di Indonesia.
Namun disisi lain ada kekurangan yang sangat disoroti di dalam partai Islam salah
satunya yang disoroti adalah dari faktor internal-eksternal partai Islam. Faktor internal-
eksternal ini tentunya berimpek pada kekalahan yang dialami partai-partai politik Islam.
Faktor internal dapat meliputi, internal dari partai politik islam itu sendiri maupun internal
umat islam. Kelemahan internal partai politik islam salah satunya adalah kepemimpinan dan
manajemen. Partai Politik Islam dapat dikatakan agak lemah dalam manajemen konflik,
sehingga selalu dirundung perpecahan. Pada hal sumber perpecahan umumnya bukan dari
hal-hal yang bersifat perinsipil, tetapi hanya konflik kepentingan seperti persaingan antar
tokoh dalam memperebutkan posisi puncak di partai misalnya dalam muktamar atau kongres
seorang kandidat kalah dalam pemilihan ketua umum, kemudian yang kalah disingkirkan lalu
mendirikan partai baru dengan membawa gerbong pendukungnya. Kondisi semacam ini

27
melemahkan Partai Politik Islam, kendatipun dialami juga parpol-parpol sekuler. Pada hal
konflik merupakan dinamika yang tidak mungkin dicegah, tetapi yang terpenting bagaimana
mengelola konflik supaya berbagai perbedaan serta konflik kepentingan tetap dapat
dipersatukan. Namun perlu diketahui pada umumnya semua niat partai-partai Islam tersebut
tidak terlepas dari niat mulianya yang ingin membangun, melayani, dan memberdayakan
seluruh ummat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Deliar Noer. Cetakan Pertama 1987, Cetakan Kedua 2000. PARTAI ISLAM DI PENTAS
NASIONAL : PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA 1945-1965. Mizan Anggota
IKAPI. Bandung
https://www.academia.edu/11704535/Partai_Politk_Islam_Masalah_dan_Tantangan_Partai_P
olitik_Islam_Pada_Saat_IniS

28

Anda mungkin juga menyukai