Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Luka adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang dikarenakan suatu
paksaan atau tekanan fisik maupun kimiawi. Luka dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
berdasarkan penyebab dan tingkat kontaminasinya. Salah satu bentuk luka adalah luka bedah
atau luka operasi (Roper, 2006). Luka operasi termasuk dalam bentuk luka bersih. Meskipun
termasuk dalam kategori luka bersih, tetapi pasien dengan luka pasca operasi tetap berisiko
infeksi sebagai salah satu komplikasi luka pasca operasi (Sabiston 1995).
Infeksi sebagai salah komplikasi pasca operasi lebih dikenal dengan nama Infeksi Luka
Operasi (ILO) merupakan salah satu komplikasi pasca bedah yang ditakuti oleh dokter
spesialis bedah karena dapat meningkatkan lama perawatan yang tentunya akan menambah
biaya perawatan (Wulandari 2008). Pendapat senada dikemukakan Nainggolan (2007) yang
menyatakan bahwa kejadian infeksi pasca operasi mengakibatkan bertambahnya biaya
perawatan.
Selain meningkatkan meningkatkan lama perawatan dan biaya perawatan, ILO
merupakan masalah yang serius karena dapat mengakibatkan cacat dan bahkan kematian
(Wulandari, 2008). Pendapat yang sama disampaikan Potter dan Perry (2006) yang
menyatakan bahwa infeksi luka pasca operasi merupakan salah satu masalah utama dalam
praktek pembedahan dan infeksi menghambat proses penyembuhan luka sehingga
menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas bertambah besar. Di samping itu Raihana
(2011) menyatakan infeksi luka operasi dapat menyebabkan pemberian antibiotika tambahan
untuk penanganan infeksi tersebut, yang dapat meningkatkan resiko terjadinya resistensi
bakteri.

Kejadian ILO pada tahun 2001 di rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Dr. Sardjito
1
untuk operasi bersih terkontam si 6% dan operasi kotor 50%. Penelitian Dharsini (2010)
menyatakan bahwa insiden infeksi nosokomial di Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia
cukup tinggi yaitu 6-16 % dengan rata-rata 9,8% dari seluruh prosedur pemberdahan atau
operasi. Sedangkan Di RSUD Cilacap sampai saat ini belum ada catatan tentang angka
kejadian ILO.
Menurut Scaffer (2000) Insidensi infeksi luka secara keseluruhan adalah sekitar 5
sampai l0 persen di seluruh dunia dan tidak berubah selama dasawarsa yang lalu. Insidensi
memuat hubungan langsung dengan derajat kontaminasi yang terjadi selama operasi dari
proses penyakit sendiri.
Infeksi luka operasi terjadi karena adanya gangguan penyembuhan luka (Jong, 2007).
Morison (2003) mengatakan luka operasi dikatakan terinfeksi apabila luka tersebut
mengeluarkan nanah atau pus dan kemungkinan terinfeksi apabila luka tersebut mengalami
tanda-tanda inflamasi atau mengeluarkan rabas serosa.
Salah satu bentuk operasi yang memiliki tingkat risiko infeksi cukup tinggi adalah
operasi laparatomi. Sebagaima dikemukakan Haley (dalam Raihana, 2011) bahwa operasi
pada daerah abdominal merupakan salah satu faktor resiko terjadinya infeksi pada luka
operasi. Menurut Morison (2003) infeksi luka pasca operasi laparatomi sering muncul pada
36 46 jam setelah operasi laparatomi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi
adalah stapilokokus aureus , organisme gram positif yang mengakibatkan pernanahan
(Morison, 2003).
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi risiko terjadinya infeksi pada luka operasi
meliputi durasi rawat inap pra operatif, persiapan kulit pra operatif, penggunaan antibiotik
profilaksis, faktor operasi, perawatan luka operasi dan status gizi pasien. Semakin lama
pasien dirawat di rumah sakit sebelum operasi, maka semakin rentan terhadap infeksi luka.
Sedangkan beberapa bentuk persiapan kulit pra operasi meliputi mandi dengan sabun,
mencukur sekitar daerah yang akan dioperasi. Penggunaan antibiotik profilaksis membuat
risiko infeksi berkurang sampai dengan 75%. Lamanya operasi, tingkat trauma yang diderita
jaringan selama operasi, masuknya benda asing mempengaruhi probabilitas infeksi luka
operasi dan kemungkinan tinggi terjadinya kerusakan luka berikutnya (Morison, 2003).
Perawatan memiliki peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan luka bedah
tertutup. Perawatan luka pasca operasi juga termasuk faktor lingkungan, dimana ruang
perawatan juga berpengaruh terhadap peningkatan risiko infeksi karena infeksi dapat terjadi
melalui Untuk kontaminasi udara pada luka, khususnya pada ruang perawatan yang diisi
oleh banyak pasien (Morison, 2003).
Selain faktor lingkungan, status gizi yang cukup baik pada pasien sebelum dilakukannya
bedah mayor merupakan hal yang sangat penting. Fungsi imun akan terganggu pada kondisi
malnutrisi yang mengakibatkan meningkatnya resiko infeksi serta terjadinya komplikasi
seperti dehiscence, pneumonia dan sepsis (Pilchard, 2004). Proses penyembuhan luka
memerlukan protein sebagai dasar untuk terjadinya jaringan kolagen, sedangkan defisiensi
protein dapat diketahui melalui rendahnya kadar serum albumin berpengaruh terhadap
proses penyembuhan luka (Scaffer, 2000)
Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD ) Cilacap adalah Rumah Sakit milik Pemerintah
Kabupaten Cilacap yang dirintis mulai tahun 1964 dan secara yuridis formal ditetapkan
dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun1950 tentang pembentukan daerah daerah kota
kecil dalam lingkungan Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia Nomor 1807 / Menkes Kesos / SK / XII
Tahun 2000 tentang peningkatan RSUD Cilacap sebagai RSUD Tipe B Non Pendidikan.
Pada Tahun 2001, RSUD Cilacap telah memenuhi standar penilaian akreditasi untuk 12
bidang pelayanan rumah sakit dan mendapat status Akreditasi Penuh. Pada tahun 2008,
RSUD Cilacap menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah
(PPK-BLUD) berdasarkan Keputusan Bupati Cilacap, Nomor 446/209/44.1 Tahun 2008
tertanggal 27 Februari 2008. Terhitung sejak Bulan Mei Tahun 2010, RSUD Cilacap
mempunyai 238 tempat tidur terdiri dari kelas utama I: 18 tempat tidur, kelas utama II: 25
tempat tidur, kelas satu: 23 tempat tidur, kelas dua: 37 tempat tidur, kelas tiga: 109 tempat
tidur dan non kelas: 26 tempat tidur (RSUD Cilacap, 2010).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medis RSUD Cilacap (2010),
total kegiatan operasi Instalasi Bedah Sentral (IBS) tahun 2010 sebanyak 1481 yang terbagi
atas operasi besar: 255, operasi sedang:1022, operasi kecil: 14, operasi khusus: 190, yang
kemudian masuk dalam ruang perawatan kelas satu dan kelas dua: 827 pasien, kelas tiga:
1028 pasien. Sampai dengan saat ini, belum data tentang angka kejadian infeksi pasca
operasi di RSUD Cilacap.
Survey awal yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa lama rawat inap pasien post
operasi laparatomi di RSUD Cilacap rata-rata adalah 7 hari. Di RSUD Cilacap telah ada
Instruksi Kerja (IK) yang mengatur persiapan pre operasi laparatomi, sehingga seluruh
pasien pre operasi laparatomi memiliki persiapan yang sama.
Dari latar belakang dan fenomena yang peneliti jumpai di lapangan, maka penulis
tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi luka post
operasi laparatomi di RSUD Cilacap selama tahun 2012.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah apa
sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi pasca operasi laparatomi di
RSUD Cilacap Tahun 2012 ?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi pasca operasi
laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian infeksi pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun
2012.
b. Mengetahui hubungan faktor durasi perawatan pre operasi dengan kejadian infeksi
pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap.
c. Mengetahui hubungan faktor ruang perawatan dengan kejadian infeksi pasca
operasi laparatomi di RSUD Cilacap.
d. Mengetahui hubungan faktor status gizi berdasarkan kadar albumin dengan
kejadian infeksi pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap.
e. Mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian infeksi
pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Perawat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan infeksi luka pasca operasi sehingga perawat dapat
mengurangi resiko terjadinya nosokomial infection (INOS) pada pasien yang dapat
berakibat bertambahnya hari rawat.
b. Bagi Rumah Sakit
Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi RSUD Cilacap meningkatkan mutu
pelayanan sehingga dapat menjadi rumah sakit yang berkualitas dan dipercaya oleh
masyarakat.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang infeksi luka operasi diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
Suprapti (2011) dengan judul Perbedaan Tingkat Infeksi Luka Pasca Operasi Mayor Di
Ruang Rawat Inap Kelas Tiga Dengan Di Ruang Rawat Inap Non Kelas Tiga RSUD Cilacap
Tahun 2011. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat infeksi luka
pasca operasi mayor yang di rawat di kelas tiga dengan non kelas tiga di RSUD Cilacap
2011. Desain penelitian deskriptif komparatif, pengambilan sampel dengan cara accidental
sampling berjumlah 20 pasien pasca operasi mayor yang di rawat di kelas tiga dengan non
kelas tiga di RSUD Cilacap tahun 2011. Analisa menggunakan statistik non parametrik
dengan uji beda Mann Whitney U Test. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang
signifikan antara tingkat infeksi luka pasca operasi pasien yang dirawat di kelas tiga dengan
kelas satu di RSUD Cilacap 2011 (pv = 0,014 < a = 0,05) serta kelas tiga dengan kelas
utama (pv = 0,014 < a = 0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat infeksi
luka pasca operasi pasien yang dirawat di kelas tiga dengan kelas dua di RSUD Cilacap
2011 (pv = 0,513 > a = 0,05). Ada perbedaan yang signifikan antara tingkat infeksi luka
pasca operasi pasien yang dirawat di kelas tiga dengan non kelas tiga di RSUD Cilacap 2011
(pv = 0,018 < a = 0,05).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada desain. Penelitian
sebelumnya merupakan penelitian deskripsi komparatif, sedangkan penelitian ini
menggunakan desain deskripsi korelatif. Penelitian tersebut merupakan penelitian dengan
analisis bivariat sedangkan penelitian adalah penelitian dengan analisis multivariat. Rumus
analisis yang digunakan pada penelitian tersebut adalag uji mann whitney U Test , sedangkan
penelitian ini menggunakan uji regresi logistik dengan metode back ward untuk mengetahui
faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian infeksi pasca operasi laparatomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Luka
a. Pengertian
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengata listrik atau gigitan hewan (Corwin, 2009). Sedangkan
mendefinisikan luka sebagai sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh
yang dikarenakan suatu paksaan atau tekanan fisik maupun kimiawi (Roper 2006).
b. Jenis-Jenis luka
Ismail (2007) menjelaskan bahwa luka dapat dikate-gorikan berdasarkan
beberapa hal, yaitu:
1) Berdasarkan mekanisme terjadinya luka
Mekanisme terjadinya luka dikelompokkan sebagai berikut:
a) Luka insisi (Incised Wounds )
Luka insisi terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang
terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh
sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (ligasi).
b) Luka memar (Contusion Wound)
Luka memar terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan
dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan
bengkak.
c) Luka lecet (Abraded Wound)
Luka lecet terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang
biasanya dengan benda yang tidak tajam.

d) Luka tusuk (Punctured Wound)


Luka tusuk 7a akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang
masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
e) Luka gores (Lacerated Wound)
Luka gores terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh
kawat.
f) Luka tembus (Penetrating Wound)
Luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka
masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan
melebar.
g) Luka bakar ( Combustio)
Kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.
2) Berdasarkan tingkat kontaminasi
a) Clean Wounds (Luka bersih)
Luka bersih adalah luka bedah tidak terinfeksi yang mana tidak terjadi
proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,
pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya
menghasilkan luka yang tertutup, jika diperlukan dimasukkan drainase
tertutup.
b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi)
Luka bersih terkontaminasi merupakan luka pembedahan dimana
saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi
terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya
infeksi luka adalah 3% -11%.

c) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi)


Luka terkontaminasi termasuk luka terbuka, luka akibat kecelakaan
dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau
kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut,
inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% -17%.
d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi)
Luka kotor atau infeksi yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
3) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a) Stadium I: Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema)
Luka superfisial yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b) Stadium II: Luka Partial Thickness
Luka partial thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan
epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan
adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c) Stadium III: Luka Full Thickness
Luka full thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi
kerusakan atau necrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai
bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai
pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka
timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa
merusak jaringan sekitarnya.
d) Stadium IV: Luka Full Thickness
Luka full thickness adalah luka yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
4) Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a) Luka akut
Luka akut adalah luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan
konsep penyembuhan yang telah disepakati.
b) Luka kronis
Luka kronis adalah luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
c. Proses penyembuhan luka
Morison (2003) menjelaskan bahwa proses fisiologis penyembuhan luka dapat
dibagi ke dalam 4 fase utama, yaitu:
1) Respon inflamasi akut terhadap cedera
Respon ini mencakup hemostasis, pelepasan histamin dan mediator lainnya
dari sel-sel yang rusak dan migrasi sel darah putih ke tempat yang rusak
tersebut.
2) Fase destruktif
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah
dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka
bagi pengambilan sel. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka.
Bekuan dan jaringan mati, scab membantu hemostasis dan mencegah
kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epythelial sel berpindah
dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai barier antara tubuh dengan
lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme Fase inflamatori juga
memerlukan pembuluh darah dan respon seluler digunakan untuk mengangkat
benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan
membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.
Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit
selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF
bersama-sama mempercepat proses penyembuhan.
3) Fase proliferasi
Fase ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah
pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke
daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan
mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglican kira-kira 5
hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah
tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah
kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama
waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka.
Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring
perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini
disebut granulasi.
4) Fase maturasi
Fase ini mencakup reepitelisasi, konstraksi luka dan reorganisasi jaringan
ikat. Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah
pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya,
menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil,
kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih.
d. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Morison (2003) menjelaskan bahwa faktor yang memperlambat penyembuhan
luka dan meningkatkan risiko infeksi dapat dibagi menjadi 2, yaitu faktor dari
dalam diri pasien (intrinsik) dan faktor dari luar pasien (ekstrinsik). Secara lebih
lengkap diuraikan sebagai berikut:
1) Faktor intrinsik
a) Faktor yang merugikan pada tempat luka
Faktor-faktor lokal yang merugikan di tempat luka yang dapat
memperlambat penyembuhan meliputi kurangnya suplai darah dan
pengaruh hipoksia ke daerah luka, dehidrasi, eksudat yang berlebihan,
turunnya temperatur jaringan, adanya jaringan nekrotik, krusta yang
berlebihan, adanya benda asing dan trauma berulang.
b) Faktor patofisiologi umum
Sejumlah kondisi medis yang dihubungkan dengan buruknya
penyembuhan luka meliputi status nutrisi yang buruk, anemia, turunnya
daya tahan tubuh terhadap infeksi, gangguan kardiovaskuler, gangguan
pernafasan dan proses penyakit lain, misalnya diabetes millitus, penyakit
Cushing, penyakit Addison dan Arthritis Rheumatoid .
c) Pengaruh fisiologis proses penuaan
Terdapat perbedaan yang signifikan di dalam struktur dan karakteristik
kulit sepanjang rentang kehidupan yang disertai dengan perubahan
fisiologis normal berkaitan dengan usia yang terjadi pada sistem tubuh.
Kondisi ini dapat mem-pengaruhi predisposisi terhadap cedera dan efisiensi
mekanisme penyembuhan luka. Secara umum dapat disampaikan bahwa
pada klien anak-anak proses penyembuhan lebih cepat dibandingkan
dengan klien dewasa.
d) Faktor psikososial
Beberapa faktor psikososial yang mempengaruhi penyembuhan luka
antara lain: faktor cemas dan faktor finansial. Pasien yang mengalami
cemas akan mengalami penurunan efisiensi sistem imun pasien dan secara
fisiologis akan kurang mampu menghadapi setiap gangguan patologis.
Sedangkan faktor finansial berhubungan erat dengan kemampuan pasien
dalam menyediakan kebutuhan penunjang penyembuhan luka, misalnya
perawatan yang memadai.
2) Faktor ekstrinsik
a) Pengaruh merugikan dari terapi lain
Obat-obat sitotoksik, yaitu obat-obatan yang memiliki kekuatan spesifik
untuk menghancurkan sel tertentu, radioterapi dan terapi steroid dapat
memperlambat penyembuhan luka.
b) Penatalaksanaan luka yang tidak tepat
Gagal mengidentifikasi penyebab luka, penggunaan antispetik yang
tidak bijaksana, penggunaan antibiotik yang kurang tepat dan ramuan obat
perawatan luka lainnya serta teknik pembalutan luka yang kurang hati-hati
adalah penyebab terlambatnya penyembuhan luka.
c) Lingkungan perawatan yang tidak baik
Lingkungan perawatan yang tidak baik dapat menyebabkan
kontaminasi eksogen. Lingkungan kamar perawatan di rumah sakit turut
mendukung peningkatan kontaminasi eksogen pada luka. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Meers (1981, dalam Morison 2003) menyebutkan
bahwa angka kejadian infeksi nosokomial pada pasien yang dirawat secara
bersama-sama dalam satu ruangan (bangsal) lebih tinggi dibandingkan
dengan infeksi yang dialami oleh pasien yang dilakukan secara terpisah.
Perawatan pasien dengan luka dalam satu ruangan dapat menjadi
sumber infeksi bagi pasien lain. Idealnya, penggantian balutan luka
dilakukan di dalam kamar khusus yang memiliki ventilasi yang baik serta
pasien dengan luka terinfeksi paling berat diobati terakhir. Apabila
penggantian balutan terpaksa dilakukan di dalam bangsal, maka sangat
penting untuk meminimalkan jumlah mikroorganisme di udara dalam
ruangan, yaitu satu jam setelah pembersihan tempat tidur dan pembersihan
ruangan menggunakan vaccum cleaner dan saat aktifitas pasien sedang
minimal. Selain itu sedapat mungkin menggunakan tirai penyekat antar
pasien pada saat perawatan luka (Morison, 2003).
2. Infeksi
a. Pengertian
Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap
organisme inang dan bersifat membahayakan inang. Organisme penginfeksi atau
patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri,
yang pada akhirnya merugikan inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang
dan dapat berakibat pada luka kronik, gangren, kehilangan organ tubuh, dan bahkan
kematian. Respon inang terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum,
patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik, walaupun
sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion,
dan viroid (Infeksi 2010).
Potter dan Perry (2005) mendefinisikan infeksi sebagai proses invasif oleh
mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit.
Sedangkan menurut Kozier (2000) infeksi didefinisikan sebagai invasi tubuh oleh
mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh.
b. Proses Infeksi
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari
tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Secara
umum proses infeksi adalah sebagai berikut:
1) Periode inkubasi
Interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan munculnya gejala
pertama.
2) Tahap prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala nonspesifik ( malaise, demam ringan,
keletihan) sampai gejala yang spesifik. Tahap ini mikroorganisme tumbuh dan
berkembang biak dan mampu menyebarkan penyakit ke orang lain.
3) Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis
infeksi.
4) Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi.
c. Tanda-Tanda Infeksi
Tanda-tanda infeksi menurut Potter dan Perry (2005) adalah sebagai berikut:
1) Calor (panas)
Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab
terdapat lebih banyak darah yang disalurkan ke area terkena infeksi/fenomena
panas lokal karena jaringan jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti dan
hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.
2) Dolor (rasa sakit)
Dolor dapat ditimbulkan oleh perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal
ion-ion tertentu dapat merangsang ujung saraf. Pengeluaran zat kimia tertentu
seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf nyeri,
selain itu pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan
tekanan lokal dan menimbulkan rasa sakit.
3) Rubor (kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami
peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang
mensuplai daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah yang
mengalir kedalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya
kosong atau sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah. Keadaan
ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti.
4) Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh karena pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah kejaringan interstisial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun
di daerah peradangan disebut eksudat.

5) Functiolaesa
Adanya perubahan fungsi secara superficial bagian yang bengkak dan sakit
disertai sirkulasi dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, sehingga organ
tersebut terganggu dalam menjalankan fungsinya secara normal.
d. Rantai Infeksi
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor
yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan,
portal of entry dan host/ pejamu yang rentan.

Agen Infeksi

Host/ Pej amu


Reservoir

Portal de Entry
Portal de Exit

Cara Penularan
g .
Rantai Infeksi
(Sumber: Potter & Perry 2005)

e. Infeksi pada Luka Operasi


Morison (2003) mengatakan luka operasi dikatakan terinfeksi apabila luka
tersebut mengeluarkan nanah atau puss dan kemungkinan terinfeksi apabila luka
tersebut mengalami tanda-tanda inflamasi atau mengeluarkan rabas serosa . Faktor-
faktor yang mempengaruhi risiko infeksi pada luka operasi meliputi:
1) Durasi rawat inap pra operatif
Semakin lama pasien dirawat di rumah sakit sebelum operasi, maka
semakin rentan terhadap infeksi luka. Alasan tepat mengenai kondisi tersebut
tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi dimungkinkan karena kulit pasien
terpapar mikroorganisme rumah sakit yang resisten terhadap antibiotik multipel.
2) Persiapan kulit pra operatif
Beberapa bentuk persiapan kulita pra operasi meliputi mandi dengan sabun,
mencukur sekitar daerah yang akan dioperasi.
3) Penggunaan antibiotik profilaksis
Penggunaan antibiotik profilaksis membuat risiko infeksi berkurang sampai
dengan 75%. Pemberian antibiotik secara umum diberikan satu jam sebelum
pembedahan maupun selama induksi anesthesia .
4) Faktor selama operasi
Lamanya operasi, tingkat trauma yang diderita jaringan selama operasi,
masuknya benda asing, misalnya benang atau drain mempengaruhi probabilitas
infeksi luka operasi dan kemungkinan tinggi terjadinya kerusakan luka
berikutnya.
5) Perawatan luka pasca operatif
Perawat memiliki peranan yang sangat penting dalam pentalaksanaan luka
bedah tertutup. Peran perawat meliputi observasi luka dan pengkajian pasien,
penggantian balutan dan perawatan luka secara umum.
Ruang perawatan luka operasi juga berpengaruh terhadap peningkatan
risiko infeksi. Untuk mencegah kontaminasi udara pada luka, ruang perawatan
direkomendasikan memiliki sistem ventilasi mekanik yang baik.
6) Kadar Albumin
Pasien yang akan dibedah pada umumnya tidak membutuhkan perhatian
khusus tentang gizi. Mereka dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan
penyakit dan pembedahannya. Tetapi tidak jarang juga pasien datang dalam
keadaan gizi yang kurang baik misalnya yang terjadi pada penderita penyakit
saluran cerna, keganasan, infeksi kronik dan trauma berat (Pieter, 2005).
Sebuah penelitian pada tahun 2004, menemukan kadar albumin serum
yang rendah ada hubungan yang bermakna antara kadar albumin serum dengan
lamanya penyembuhan luka operasi (Agung et al, 2005).
Status gizi yang cukup baik pada pasien sebelum dilakukannya bedah
elektif terutama bedah elektif mayor merupakan hal yang sangat penting.
Fungsi imun akan terganggu pada kondisi malnutrisi yang mengakibatkan
meningkatnya resiko infeksi serta terjadinya komplikasi seperti dehiscence,
pneumonia dan sepsis dimana semuanya itu berdampak terhadap meningkatnya
risiko infeksi, morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dengan konsekuensi
bertambahnya biaya perawatan kesehatan (Pilchard et al, 2004).
Telah diketahui bahwa status gizi merupakan faktor yang sangat penting
dalam penanganan seluruh jenis bedah. Konsep status gizi dalam bedah
terbangun secara gradual melalui seluruh periode nutrisi mencakup aspek pre-
operatif dan post-operatif. Banyak penelitian menunjukkan kondisi pre-operatif
dengan status gizi yang baik membantu mencegah terjadinya komplikasi pasca
operasi termasuk infeksi. Proses penyembuhan luka memerlukan protein
sebagai dasar untuk terjadinya jaringan kolagen, sedangkan defisiensi protein
dapat diketahui melalui rendahnya kadar serum albumin berpengaruh terhadap
proses penyembuhan luka (Agung et al, 2005).
f. Pengkajian Tingkat Infeksi Luka Bedah Tertutup
Observasi luka harus dilakukan dan dicatat setiap penggantian balutan dan setiap
bentuk perubahan pada luka harus diperhatikan. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui secara dini adanya infeksi pada luka. Pengelompokkan luka
berdasarkan tingkat infeksi sangat penting untuk menentukan prioritas perawatan
luka. Luka dengan tingkat infeksi lebih ringan harus didahulukan penggantian
balutannya (Morison 2003).
Morison (2003) menjelaskan terdapat 7 kriteria penilaian untuk menentukan
tingkat infeksi pada luka operasi tertutup, yaitu eksudat, eritema, edema, hematoma,
letak nyeri, frekuensi nyeri dan bau. Tingkatan infeksi dapat dikategorikan menjadi
3, yaitu infeksi ringan, sedang dan infeksi berat sebagaimana tercantum dalam tabel
2.1.
Tabel 2.1 Tingkat infeksi berdasarkan kriteria penilaian

Kriteria Tingkat infeksi


No
penilaian Ringan Sedang Berat
1 Eksudat Minimal Sedang Banyak
2 Eritema Minimal Hanya di Meluas keluar
sekitar daerah sekitar
jaringan luka
3 Edema Ringan Sedang Berat
4 Hematoma Ringan Sedang Berat
5 Letak nyeri Hanya pada Hanya pada Nyeri menyebar
daerah luka daerah luka ke daerah
sekitar luka
6 Intensitas nyeri Tidak ada / Intermitten Kontinyu
hanya pada saat
penggantian
balutan
7 Bau Tidak ada Ada bau Bau menyengat
Sumber: Morison 2003
Untuk menyamakan persepsi dalam pengkajian tingkat infeksi luka bedah
tertutup, maka RSUD Cilacap memberikan pedoman beberapa kriteria untuk
pengisian lembar obervasi infeksi luka tertutup sebagai berikut:
1) Eksudat
a) Minimal
Tidak ada eksudat atau ada eksudat tetapi tidak purulen, dan
jumlahnya tidak lebih dari seperempat kassa balutan
b) Sedang
Apabila eksudat berwarna kekuningan dan jumlahnya maksimal
setengah dari kassa balutan
c) Banyak
Apabila eksudat purulen dan jumlahnya lebih dari setengah kassa
pembalut
2) Eritema
a) Minimal
Tidak ada eritema atau ada eritema tetapi tidak terlalu tampak
b) Hanya disekitar jaringan
Ada eritema, tetapi tidak lebih dari 0,5 cm dari luka
c) Meluas keluar daerah sekitar luka
Ada eritema dan meluas lebih dari 0,5 cm dari luka
3) Edema
a) Ringan
Tidak ada edema atau ada edema tetapi tidak terlalu tampak
b) Sedang
Tampak ada edema tetapi tidak disertai kemerahan
c) Berat
Tampak sekali ada edema yang menonjol dan disertai kemerahan
4) Hematom
a) Ringan
Tidak ada atau ada hematoma, tetapi
b) Sedang
Terdapat hematoma dengan diameter maksimal 1 cm
c) Berat
Terdapat hematoma dengan diameter lebih dari 1 cm
5) Letak nyeri
a) Ringan
Hanya di daerah luka
b) Sedang
Hanya di daerah luka
c) Berat
Nyeri menyebar ke daerah sekitar luka
6) Intensitas nyeri
a) Ringan
Tidak ada / hanya pada saat penggantian balutan
b) Sedang
Nyeri dirasa kadang-kadang muncul
c) Berat
Rasa nyeri selalu dirasakan pasien
7) Bau
a) Ringan
Tidak ada bau
b) Sedang
Terdapat bau yang tidak menusuk saat balutan dibuka
c) Berat
Terdapat bau yang menusuk, baik saat baluta belum dibuka maupun
setelah dibuka

3. Operasi
a. Pengertian
Operasi atau pembedahan yang dalam bahasa Inggris adalah surgery dan dalam
bahasa Yunani: cheirourgia artinya pekerjaan tangan adalah spesialisasi dalam
kedokteran yang mengobati penyakit atau luka dengan operasi manual dan
instrumen (Bedah 2010).
b. Fase-Fase Operasi
Fase-fase operasi dalam lingkup aktivitas perawat menurut Yeni (2008) adalah
sebagai berikut:
1) Fase Praoperatif
Peran perawat dimulai ketika keputusan untuk intervensi pembedahan
dibuat dan berakhir ketika klien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas
perawat meliputi:
a) pengkajian dasar klien (di rumah sakit atau di rumah)
b) wawancara praoperatif
c) persiapan anestesia
d) persiapan pembedahan
2) Fase Intraoperatif
Dimulai ketika klien masuk atau dipindah ke bagian atau departemen bedah
dan berakhir saat klien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktivitas
perawat meliputi:
a) memasang Intravenous (IV)-line (infus)
b) memberikan medikasi intravena
c) melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan
d) menjaga keselamatan klien (menggenggam tangan klien, mengatur posisi
klien)

3) Fase Pascaoperatif
Dimulai dengan masuknya klien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan
evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktivitas
perawat meliputi:
a) mengkaji efek dari agen anestesi
b) memantau fungsi vital
c) mencegah komplikasi
d) peningkatan penyembuhan klien
e) penyuluhan
f) perawatan tindak lanjut
g) rujukan yang penting untuk penyembuhan
h) rehabilitasi
i) pemulangan
c. Standar Praktik Keperawatan Perioperatif
Standar praktik keperawatan perioperatif menurut Yeni (2008) terdiri dari 7
standar. Standar I merupakan pengumpulan data tentang status kesehatan pasien
bersifat sistematis dan kontinyu. Data dapat dilihat kembali dan dikomunikasikan
pada orang yang tepat. Standar II menentukan diagnosis keperawatan berasal dari
data status kesehatan. Standar III merupakan rencana asuhan keperawatan
mencakup tujuan yang berasal dari diagnosis keperawatan. Standar IV adalah
rencana asuhan keperawatan menentukan tindakan keperawatan untuk mencapai
tujuan. Standar V adalah rencana untuk asuhan keperawatan tersebut
diimplementasikan. Standar VI merupakan rencana untuk asuhan keperawatan
tersebut dievaluasi dan standar VII adalah pengkajian ulang pasien, pertimbangan
ulang diagnosis keperawatan, menyusun kembali tujuan dan modifikasi dan
implementasi rencana asuhan keperawatan adalah sebuah proses yang
berkesinambungan.

d. Tipe Operasi
Yeni (2008) menjelaskan tipe operasi dapat dibedakan menjadi beberapa
kategori, yaitu:
1) Menurut Fungsinya (tujuannya)
a) diagnostik: biopsi, laparotomi eksplorasi
b) kuratif: tumor, appendiktomi
c) reparatif : memperbaiki luka multiple
d) rekonstruktif atau kosmetik: mammoplasti, perbaikan wajah
e) paliatif: menghilangkan nyeri, memperbaiki masalah (gastrostomy)
f) transplantasi: penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ atau
struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).
2) Menurut tingkat Urgensinya:
a) Kedaruratan
Klien membutuhkan perhatian dengan segera, gangguan yang
diakibatkannya diperkirakan dapat mengancam jiwa (kematian atau
kecacatan fisik), tidak dapat ditunda. Contoh: perdarahan hebat, luka
tembak atau tusuk, fraktur tulang tengkorak.
b) Urgen
Klien membutuhkan perhatian segera, dilaksanakan dalam 24 30 jam.
Contoh: infeksi kandung kemih akut, batu ginjal atau batu pada uretra.
c) Diperlukan
Klien harus menjalani pembedahan, direncanakan dalam beberapa
minggu atau bulan. Contoh: katarak, gangguan thyroid, hiperplasia prostat
tanpa obstruksi kandung kemih.

d) Elektif
Klien harus dioperasi ketika diperlukan, tidak terlalu membahayakan
jika tidak dilakukan. Contoh: hernia simpel, perbaikan vagina, perbaikan
scar/cycatric/jaringan parut.
e) Pilihan
Keputusan operasi atau tidaknya tergantung kepada klien (pilihan
pribadi klien). Contoh: bedah kosmetik.
3) Menurut Luas atau Tingkat Resiko :

a) Operasi Mayor
Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai
tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien dan
dilakukan dengan bius total (general anethesi). Contoh: bypass arteri
coroner, amputasi dan laparatomy explorasi .
b) Operasi Minor
Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko
komplikasi lebih kecil dibandingkan dengan operasi mayor. Contoh:
katarak, operasi plastik pada wajah.
4. Laparatomi
1) Pengertian Laparatomi Eksplorasi
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen, bedah
laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang
dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan (Medicastore, 2010).
2) Indikasi Laparatomi
1) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur hepar
2) Peritonitis
3) Perdarahan saluran pencernaan ( Internal Blooding)
4) Sumbatan pada usus halus dan usus besar
5) Masa pada abdomen (Sjamsuhidajat 2007).
3) Komplikasi
1) Ventilasi paru tidak adekuat
2) Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung
3) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
4) Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
4) Komplikasi Post Laparatomi
1) Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati
dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif
dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
2) Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus, organisme
;gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari
infeksi luka yang pali penting adalah perawatan luka dengan mempertahankan
aseptik dan antiseptik.
3) Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka
adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi
atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan,
ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan
muntah.

B. Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang dikemuakakn oleh Proper (2006), Ismail (2007), Morison
(2003), Potter dan Perry (2005), Yenni (2008) dan Jati (2009), maka dapat disusun kerangka
teori sebagai berikut :

1 pasien 1 Kelas utama


Perawatan kamar
operasi di ruang
> 1 pasien 1. Kelas satu Faktor infeksi:
rawat inap
1 kamar 2. Kelas dua 1. Durasi pre
3. Kelas tiga op
2. Persiapan
op
Fase penyembuhan 3. antibiotik
luka: 4. selama
1. Fase inflamasi Laparatomi komplikasi: operasi
2. Fase destruksi infeksi luka 5. perawatan
3. Fase proliterasi 6. kadar
4. Fase maturasi Faktor-faktor yang albumin
memperlambat
penyembuhan luka:
1. Faktor intrinsik Tingkat infeksi
2. Faktor ekstrinsik luka:
1. Infeksi ringan
2. Infeksi sedang
Kriteria penilaian: 3. Infeksi berat
1. Eksudat
2. Eritema
3. Edema
4. Hematoma
5. Letak nyeri
6. Intensitas nyeri
7. Bau

Bagan 2.2
Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep Penelitian


Kerangka konsep merupakan alur dan hubungan antar variabel yang diteliti. Kerangka

Variabel bebas Variabel terikat


konsep pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Faktor-faktor yang
mempengaruhi infeksi luka post
operasi:
1. Durasi rawat pre operasi Infeksi
2. Ruang perawatan
3. Gizi

4. Persiapan operasi
5. Antibiotik
6. Faktor selama operasi

Bagan 2.3
Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

D. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan suatu parameter yang akan diuji kebenarannya berdasarkan

statistik atau data-data sampel yang diperoleh (Pratiknya 2001, dalam Machfoedz 2007).

Dari hipotesis peneliti menarik kesimpulan dalam bentuk yang masih sementara dan harus

dibuktikan kebenarannya (hipotesis) sebagai titik tolak atau arah dari pelaksanaan penelitian

(Notoatmodjo, 2002). Berdasarkan teori di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Ho : Tidak ada hubungan faktor durasi perawatan pre operasi dengan kejadian infeksi

pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

Ha : Ada hubungan faktor durasi perawatan pre operasi dengan kejadian infeksi pasca

operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

2. Ho : Tidak ada hubungan faktor ruang perawatan dengan kejadian infeksi pasca
operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

Ha Ada hubungan faktor ruang perawatan dengan kejadian infeksi pasca operasi

laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

3. Ho Tidak ada hubungan faktor status gizi berdasarkan kadar albumin dengan

kejadian infeksi pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

Ha Ada hubungan faktor status gizi berdasarkan kadar albumin dengan kejadian

infeksi pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

4. Ho Tidak ada faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian

infeksi pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

5. Ha Ada faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian infeksi

pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelatif. Metode deskriptif adalah suatu metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu situasi kondisi, suatu sistem
pemikiran atau pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Studi korelatif bertujuan
untuk mengetahui korelasi antara suatu variabel dengan variabel lainnya dengan
mengidentifikasi variabel yang ada pada suatu obyek, kemudian diidentifikasi pula variabel
lain yang ada pada objek yang sama dan dilihat apakah ada hubungan antara keduanya
(Notoatmodjo 2010).
Rancangan yang digunakan adalah cross sectional. Rancangan cross sectional adalah
suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan
efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat
(point time approach ) (Notoatmodjo, 2005).
Penggunaan desain penelitian deskriptif korelatif dengan rancangan cross sectional
adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
infeksi pasca operasi laparatomi di RSUD Cilacap Tahun 2012.

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan di RSUD Cilacap dengan waktu pengambilan data pada
bulan September 2012.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Machfoeds (2007) menyatakan bahwa populasi adalah keseluruhan objek yang
diteliti. Populasi pada penelitian ini adalah termasuk dalam kategori populasi infinit,
yaitu populasi yang jumlah 31blum diketahui karena hanya diketahui pada saat
penelitian. Berdasarkan data peroleh dari Instalasi Rekam Medis RSUD Cilacap
2010, rata-rata jumlah pasien operasi besar (mayor) setiap bulan adalah 37 pasien.
2. Sampel
Pada penelitian ini, penulis mengambil jumlah sampel minimal yaitu 30 sampel.
Machfoeds (2007) mengatakan bahwa sampel minimal untuk sebuah penelitian statistik
adalah 30 data, karena dalam statistik jumlah sampel minimal untuk membuat kurva
normal adalah 30 data.
Teknik pengambilan sampel accidental sampling atau juga disebut dengan captive
sample (man-on-the-street), yaitu suatu teknik pengambilan data yang dilakukan
berdasarkan kebetulan, artinya siapa saja yang ditemui pada saat penelitian dan
memenuhi syarat, maka dapat diambil sebagai sampel penelitian (Machfoeds 2007).
Seluruh sampel penelitian telah memenuhi kriteria sampel, yaitu:
a. Pasien pasca operasi laparatomi yang secara sukarela bersedia untuk menjadi
responden
b. Pasien pasca operasi laparatomi yang tidak memiliki riwayat penyakit gula
(diabetes millitus)
c. Pasien pasca operasi laparatomi yang akan diganti balutannya pada hari ke empat
sejak operasi dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi
d. Pasien pasca operasi laparatomi yang dirawat di ruang kelas utama, kelas satu, kelas
dua, dan kelas tiga RSUD Cilacap 2012

D. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Variabel bebas:
Durasi rawat pre Lama pasien Diperoleh dengan cara Hasil ukur dibagi menjadi 2 Nominal
operasi mendapat perawatn melihat catatan medik kategori, yaitu:
sebelum operasi, tentang durasi lama 0. 0-1 hari
dihitung sejak perawatan pre operasi 1. > 1 hari
masuk ruang
perawatan sampai
pelaksanaan operasi

Ruang perawatan Ruang perawatan Diperoleh dengan cara Hasil ukur dibagi menjadi 2 Nominal
bagi pasien setelah melihat catatan medik kategori, yaitu:
menjalani operasi untuk melihat ruang 0. Ruang perawatan 1
perawatan pasien kamar diisi 1 pasien
1. Ruang perawatan 1
kamar lebih dari 1
pasien
Kadar albumin Kadar albumin Diperoleh dengan cara Hasil ukur dibagi menjadi 2 Nominal
darah yang dimiliki rekam medik tentang kategori, yaitu:
pasien pasca kadar albumin pasien 0. Normal, apabila kadar
operasi albumin 3,5 - 5
1. Kurang normal, apabila
kadar albumin < 3,5 atau
>5
Infeksi luka pasca Adanya tanda-tanda Diperoleh dengan cara Hasil ukur dibagi menjadi 2 Nominal
operasi proses invasif oleh observasi tanda-tanda kategori, yaitu:
mikroorganisme infeksi pada saat 0. Tidak ada infeksi,
patogen dan penggantian balutan hari apabila tidak ditemukan
berpoliferasi di ke empat pasca operasi. tanda-tanda infeksi dan
dalam jaringan Hasil pengukuran tidak0 disertai demam (>
tubuh di daerah dicantumkan dalam chek 38,6 C).
luka pasca operasi list yang telah disiapkan 1. Ada infeksi, apabila
ditemukan tanda infeksi
baik pada satu kategori
ataupun lain kategori
dengan0 disertai demam
(> 38,6 C).

E. Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam mendapatkan data penelitian, yang
terbagi atas:
1. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil observasi peneliti
terhadap infeksi pada luka pasien dengan menggunakan lembar observasi. Observasi
tingkat infeksi luka pasca operasi pasien dilakukan pada saat pertama kali ganti balut.
2. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka sebagai dasar
pembahasan teori, rekam medik RSUD Cilacap yaitu berupa jumlah pasien pasca
operasi mayor.
F. Alat Pengumpulan Data
1. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data untuk mendapatkan data tanda-tanda infeksi berbentuk check
list, yang berisi 7 kriteria tanda-tanda infeksi, yang meliputi eksudat, eritema,
hematoma, edema, letak nyeri, intensitas nyeri dan bau luka.
2. Cara Pengumpulan Data
Metode yang digunakan antara lain:
1) Observasi atau pengamatan
Menurut Notoatmodjo (2010) pengamatan adalah sebuah prosedur yang
berencana, yang antara lain meliputi melihat dan mencatat jumlah dan taraf aktifitas
tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini,
penulis melakukan observasi langsung terhadap tanda-tanda infeksi pada saat
penggantian balutan pada hari ke empat pasca operasi. Observasi peneliti lakukan
sendiri tanpa melibatkan observer lain.
2) Wawancara
Suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti
mendapatkan keterangan atau pendapat secara lisan dari seorang sasaran penelitian
(Notoatmodjo, 2010). Wawancara pada penelitian ini dilakukan untuk mengkaji
tingkat, letak dan intensitas nyeri yang dirasakan pasien.

3) Studi Pustaka
Dilakukan dengan membaca literatur, buku serta catatan kuliah yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.

G. Pengolahan Data Dan Analisa


1. Pengolahan Data
Menurut Budiarto (2002) data mentah yang didapat dari responden harus
diorganisasi sedemikian rupa agar dapat dilakukan analisa data dan mengambil
keputusan atau kesimpulan penelitian. Kegiatan-kegiatan dalam mengolah data terdiri
dari:
a. Editing
Mengedit adalah memeriksa lembar observasi atau check list tentang tingkat
infeksi luka yang telah diisi oleh pengumpul data, baik dari daftar pertanyaan
ataupun sumber data lainnya. Seluruh data pada penelitian ini telah lengkap.
b. Coding atau pembobotan
Coding adalah mengklasifikasikan hasil observasi dari para responden ke dalam
kategori-kategori. Klasifikasi dilakukan dengan cara memberi kode berbentuk angka
pada masing-masing jawaban. Kegiatan coding ini dapat dilakukan sebelum maupun
setelah pengumpulan data. Pada penelitian ini, coding dilakukan sebagai berikut:
1) Infeksi
a) Tidak ada tanda infeksi, diberi kode 0
b) Terdapat tanda infeksi, diberi kode 1
2) Durasi perawatan pre operasi
a) 0-1 hari, diberi kode 0
b) > 1 hari, diberi kode 1
3) Ruang Perawatan
a) Kelas : diberi kode 0
b) Bangsal : diberi kode 1
4) Kadar albumin
a) Normal : diberi kode 0
b) Tidak normal : diberi kode 1
c. Tabulating
Tabulating adalah merupakan pekerjaan penyusunan data sedemikian rupa
sehingga dapat mudah dijumlah, disusun, ditata dan disajikan untuk analisa data.
Variabel-variabel yang sudah diberi kode kategori jawaban kemudian dimasukkan
dalam tabel. Penerapannya dalam penelitian ini yaitu mengelompokan data-data
sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.
2. Analisa Data
a. Analisis Univariat
Dilakukan dengan uji statistik deskriptif untuk mengetahui distribusi dan
frekuensi tingkat infeksi pada masing-masing variabel penelitian.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara faktor yang mempengaruhi infeksi dengan kejadian infeksi. Untuk mengetahui
perbedaan tersebut dilakukan analisis data menggunakan chi square dengan tingkat
kemaknaan 95 % ( a = 0,05). Rumusnya adalah sebagai berikut:

(fo - fh)
2
X =
fh

Keterangan :
X2 : chi kuadrat
fo : data frekuensi yang observasi
fh : frekuensi yang diperoleh

Kriteria penolakan dan penerimaan hipotesa chi square dengan tingkat kemaknaan
95 % ( a = 0,05) menurut Santoso (2008) adalah sebagai berikut:
1) Bila p -value lebih besar dari a (0,05), maka Ho diterima atau tidak ada
perbedaan
2) Bila p -value lebih kecil atau sama dengan dari a (0,05), maka Ho ditolak atau
ada perbedaan
c. Analisis Multivariat
Sebelum melakukan analisa multivariat, ditentukan dulu variabel kandidat
yang akan dimasukkan dalam variabel multivariat. Variabel kandidat adalah
variabel yang dalam analisa bivariat memiliki nilai v 0,25 (Santoso, 2008).
Analisis Multivariat dengan uji regresi logistic menggunakan metode back
ward dilakukan untuk mengetahui faktor yang paling dominan mempengaruhi
kejadian infeksi. Digunakan metode ini dengan tujuan supaya variabel yang
mempunyai nilai p-value besar (hubungan paling lemah) akan dikeluarkan secara
bertahap dari analsis, sehingga akan diperoleh variabel yang mempunyai nilai p-
value paling kecil (hubungannya paling kuat). Untuk selanjutnya, variabel yang
mempunyai nilai p-value paling kecil disebut sebagi faktor utama (determinan).
H. Etika Penelitian
Penelitian yang dilakukan telah sesuai dengan etika penelitian menurut Notoatmodjo
(2010) yang meliputi:
1. Informed concent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan
menggunakan lembar persetujuan ( informed concent). Tujuan informed concent adalah
agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Seluruh
responden telah mendapat informed concent dan lembar persetujuan menjadi responden.
2. Anonim (tanpa nama)
Merupakan masalah etika dalam penelitian dengan cara tidak memberikan nama
responden pada data penelitian.
3. Confidentiality (kerahasian)
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasian dari hasil penelitian baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan
dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya data tertentu yang dilaporkan pada hasil riset.

Anda mungkin juga menyukai