Anda di halaman 1dari 12

TUGAS RESUME

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG SENGKETA


KEWENANGAN KOSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA(SKLN)
Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Dosen Pengampu
Mustafa Lutfi, S.Pd., SH., MH

Disusun oleh:
Dinar Fathi Mahartati (14210083)
Riyan Hidayat (14210092)

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERIMAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017

1. Penjadwalan dan Pemanggilan Sidang

Setiap permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu harus


melalui pemeriksaan akan kelengkapan permohonan yang dilakukan oleh Panitera
Mahkamah Konstitusi. Apabila permohonan belum memenuhi kelengkapan baik jumlah
rangkap maupun syarat-syarat lain dalam hal surat kuasa dari pemohon kepada kuasanya
serta syarat-syarat formal identitas dan uraian yang menjadi dasar permohonan maupun
alat bukti awal untuk mendukung permohonan, maka dikembalikan kepada pemohon
untuk diperbaiki dan dilengkapi.
Kekurangan-kekurangan tersebut wajib dipenuhi pemohon dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari sejak pemberitahuan kekurangan tersebut telah diterima pemohon (Pasal 32
UU No. 24 Tahun 2003). Permohonan yang belum lengkap seperti itu belum boleh
didaftarkan. Apabila telah dilengkapi sesuai dengan petunjuk panitera sebagaimana telah
ditentukan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi- barulah permohonan dapat
dicatatkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Registrasi tersebut akan
menentukan nomor perkara yang telah didaftarkan.1

Setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah


Konstitusi menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja.2 Penetapan tersebut harus diberitahukan kepada para pihak dan
diumumkan kepada masyarakat, yaitu dengan menempelkan salinan pemberitahuan
tersebut di papan pengumuman Mahkamah Konstitusi yang khusus digunakan untuk itu
dan/atau melalui media cetak atau media elektronik. 3 Dan pemberitahuan penetapan hari
sidang pertama harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkara dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum hari persidangan.4

Pasal 38 UU 24/2003 jelas menyatakan bahwa para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir.
Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling
lambat tiga hari sebelum hari persidangan. Para pihak yang merupakan lembaga negara
dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan
perundangundangan. Dan jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah
dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitbusi dapat meminta bantuan
kepolisian untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.5

Panggilan sidang harus ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara resmi
oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara panggilan serta dapat dibantu

1 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, Cet I, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011, hlm. 64
2 Pasal 34 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
3 Pasal 34 ayat (2 dan 3) UU No. 8 Tahun 2011
4 Pasal 34 ayat (4) UU No. 8 Tahun 2011
5 Pasal 11 Ayat (1) PMK 08/2006.
media komunikasi lainnya, seperti telepon, faksimili, dan surat elektronik (e-mail).
Panitera dapat meminta bantuan pemanggilan kepada pejabat negara di daerah.6

2. Pemeriksaan Perkara:
a. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan adalah satu pemeriksaaan yang dilakukan oleh hakim
(Panel) dan dihadiri pemohon untuk mempersiapkan permohonan tersebut secara lengkap
sebelum diadakan persidangan, baik untuk mendengar keterangan dari pemerintah, DPR,
maupun pihak terkait dengan cara yang efektif, efisien, dan lancer. Sifat pemeriksaan
pendahuluan adalah informatif, dalam arti pemeriksaan pendahuluan dimaksdukan untuk
memberi penjelasan dan memperoleh informasi, sehingga masalah yang diajukan dapat
dipahami secara baik dan benar oleh hakim maupun oleh pemohon sendiri.7

Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel
Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim atau oleh Pleno Hakim
yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim.8

Pemeriksaan pendahuluan diatur dalam ketentuan Pasal 39 Undang-Undang No. 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 39 menyebutkan sebagai berikut:

1. Sebelum memulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan


pemeriksaaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
2. Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi
wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Dalam pemeriksaan pendahuluan, meskipun pemohon diminta melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari, tetapi
dalam ketentuan ini tidak diatur sanksi terhadap pemohon apabila tidak memenuhinya.
Tetapi dengan tidak dilengkapi dan atau diperbaikinya permohonan tersebut besar
kemungkinan permohonan tersebut dalam putusannya nanti akan dinyatakan tidak

6 Pasal 10 PMK 08/2006.


7 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 87
8 Pasal 11 PMK No. 8 Tahun 2006
diterima (niet onvankelijk verklaard).9 Dalam hal permohonan telah lengkap dan jelas,
hasil Pemeriksaan Pendahuluan dilaporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim.10

Dalam pemeriksaan pendahuluan, majelis hakim: a. memeriksa kelengkapan


permohonan; b. Meminta penjelasan pemohon tentang materi permohonan yang
mencakup kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) pemohon, dan
pokok permohonan; c. wajib memberi nasehat kepada pemohon, baik mengenai
kelengkapan administrasi, materi permohonan, maupun pelaksanaan tertib persidangan;
d. wajib mendengar keterangan termohon dalam hal adanya permohonan untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan; e. memeriksa
alat-alat bukti yang telah dan akan diajukan oleh pemohon. 11

b. Pemeriksaan Persidangan

Pemeriksaan persidangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 40 sampai 44 UU


No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian ada beberapa
pasal lainnya yang berkaitan dengan pemeriksaan persidangan, seperti pasal 28 ayat (1),
pasal 39 dan pasal 54.12

Pada pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Dengan demikian persidangan yang
dilakukan Mahkamah Konstitusi dapat diakses oleh publik, yaitu setiap orang boleh
hadir, menyaksikan dan mendengarkan jalannya persidangan. Meskipun persidangan
terbuka untuk umum, tetapi setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati
tata tertib persidangan yang diatur oleh Mahkamah Konstitusi. Pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut, merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi atau dikenal
dengan istilah Contempt of Court. Kalau persidangan terbuka untuk umum, tetapi
sebaliknya dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi dilakukan secara tertutup.13

9 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta:
UII Press, 2009, hlm. 75
10 Pasal 11ayat (5) PMK 08/2006
11 Pasal 11 PMK 08/2006
12 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 73
13 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 74
Dalam Pasal 14 ayat (1 dan 2) Peraturan MK No. 8 Tahun 2006 disebutkan bahwa
Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Pleno
Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim. Pemeriksaan
Persidangan, berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim, dapat dilakukan oleh
Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim.

Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang
berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan
secara tertulis kepada lembaga Negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga
Negara dapat diminta keterangan tertulis dengan tenggang waktu maksimal 7 hari sejak
diminta harus telah terpenuhi. Dalam hal ini Lembaga Negara wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan
hakim konstitusi diterima (pasal 41 ayat 2 dan 3)14 Dalam praktik, pada persidangan awal
diminta kehadiran Menteri Hukum dan HAM sebagai kuasa tetap Presiden/Pemerintah
dan Menteri yang menangani secara teknis, minimal harus hadir keterangan yang
diberikan adalah keterangan lisan dengan menyatakan keterangan lisan tersebut akan
disusul dengan keterangan secara tertulis. Hal ini telah diatur demikian dalam Peraturan
MK No. 001/PMK/2005.15

Pemeriksaan Persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 bertujuan untuk: a.


memeriksa materi permohonan yang diajukan pemohon; b. mendengarkan keterangan
dan/atau tanggapan termohon; c. memeriksa dan mengesahkan alat bukti tertulis maupun
alat bukti lainnya, baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, maupun oleh pihak
diperlukan oleh Mahkamah, baik pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung
maupun kepentingan yang tidak langsung; e. mendengarkan keterangan ahli dan saksi,
baik yang diajukan oleh pemohon maupun oleh termohon.16

c. Pembuktian
Pada dasarnya membuktikan adalah suatu proses untuk menetapkan kebenaran
peristiwa secara pasti dalam persidangan, dengan sarana-sarana yang disediakan oleh

14 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 75
15 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 91

16 Pasal 15 PMK 08/2006


hukum, hakim mempertimbangkan atau memberi alasan-alasan logis mengapa suatu
peristiwa dinyatakan benar. Ketentuan mengenai pembuktian yang berlaku dilingkungan
Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 36 sampai 38 Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.17

Dalam Pasal 36 ayat (1) disebutkan ada 6 macam alat bukti yang dapat digunakan,
yaitu:

a. Surat atau tulisan;


b. Keterangan saksi;
c. Keterangan ahli;
d. Keterangan para pihak;
e. Petunjuk; dan
f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Alat-alat bukti di atas harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara
hukum. Dalam hal alat bukti tersebut tidak dapat dipertanggungjaawabkan perolehannya
secara hukum, maka tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dalam hal ini lebih lanjut
Mahkamah Konstitusi dapat menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti tersebut dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi.18

1. Surat atau Tulisan

Alat bukti surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
bisa dimengerti dan mengandung suatu fikiran tertentu. Surat sebagai alat bukti terdiri
atas tiga jenis: a. akta otentik, b. akta di bawah tangan, c. surat-surat lain yang bukan akta

2. Keterangan Saksi

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan
hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Menurut pasal 42 UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir
untuk memberikan keterangan.

17 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 79
18 Pasal 36 ayat (2, 3, 4) UU No. 24 Tahun 2003
3. Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.

4. Keterangan Para Pihak

Para pihak dalam hali ini adalah pemohon dan termohon. Keterangan para pihak
merupakan salah satu alat bukti penting, dalam rangka memberikan kejelasan tentang
peristiwa atau duduk perkara yang sebenarnya. Berdasarkan peristiwa konkret ini, hakim
dapat menglualifikasikan hukumnya dan selanjutnya memberikan konstitusinya.

5. Petunjuk

Petunjuk ini hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan barang bukti. Di luar hal
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk. Dalam pasal 37 UU No. 4
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa MAhkamah Konstitusi
menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian
antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Alat bukti yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah alat bukti petunjuk.

6. Alat bukti lain

Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu19.

d. Penarikan Kembali Permohonan


Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan
Mahkamah Konstitusi dilakukan. Penarikan kembali tersebut mengakibatkan
permohonan tidak dapat diajukan kembali. Menurut UU 8/2011, berdasarkan ketetapan
Mahkamah Konstitusi, Panitera Mahkamah Konstitusi akan menerbitkan Akta
Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada pemohon disertai
dengan pengembalian berkas Permohonan.20

19 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 82-86
20 Pasal 35 ayat (1, 1a, 2) UU No. 8 Tahun 2011
Walaupun penarikan kembali tersebut mengakibatkan permohonan tidak dapat
diajukan kembali, akan tetapi terdapat pengecualian dalam Pasal 19 ayat 2 PMK 8/2006,
yaitu apabila substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional, tidak
terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud, dan adanya kepentingan
umum yang memerlukan kepastian hukum.

3. Rapat Permusyawaratan Hakim

Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup dan rahasia. RPH
dipimpin oleh Ketua Mahkamah, atau apabila Ketua berhalangan RPH dipimpin oleh
Wakil Ketua, atau apabila Ketua dan Wakil Ketua berhalangan, RPH dipimpin oleh Ketua
Sementara yang dipilih dari dan oleh Hakim.21 Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
merupakan rapat pleno hakim yang diselenggarakan secara tertutup untuk membahas
putusan atas perkara yang telah diperiksa melalui persidangan yang bersifat terbuka
untuk umum.22

melalui persidangan yang bersifat terbuka untuk umum.Rapat Permusyawaratan


Hakim (RPH) untuk pengambilan putusan akhir dalam sengketa yang dihadapkan
kepadanya harus memenuhi kuorum sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Ini
terjadi hanya karena adanya hal-hal luar biasa baik karena sakit atau halangan tetap yang
belum dapat diatasi sementara.

Dalam hal biasa, kuorom itu harus dengan pleno lengkap yang dihadiri oleh 9
(sembilan) orang hakim. RPH pada tahap pertama akan lebih dahulu mendengarkan
laporan panel hakim yang menangani perkara tersebut yang akan melaporkan hasil-hasil
pemeriksaan perkara, baik mengenai legal issue (s) maupun pendapat ahli dan keterangan
saksi tentang fakta yang relevan dengan perkara yang dihadapi.

Setelah itu, panel hakim akan memberi rekomendasi tentang arah penyelesaian perkara
jika panel hakim yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota memiliki kesamaan pendapat.
Jika tidak, pendapat individual hakim panel bersama-sama dengan pendapat hukum
hakim konstitusi yang dibuat secara tertulis akan didengar satu per satu.23

21 Pasal 20 PMK 08/2006


22 Luthfi Widagdo Eddyono, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, PDF
23 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 207
Menurut Achmad Roestandi, RPH dapat memutuskan:

1. mengembalikan ke Persidangan Pleno Hakim untuk: a. melanjutkan


pemeriksaan; b. dapatmenjatuhkan putusan sela (khusus dalam perkara
sengketa kewenangan lembaga Negara);c. dapat melakukan pemeriksaan di
tempat; atau
2. memutus perkara, dengan: a. menyetujui amar putusan; b. menunjuk perancang
(drafter) untuk menyusun rancangan (draft) putusan; dan c. menentukan hari
persidangan Pleno Hakim untuk mengucapkan putusan.24
4. Putusan
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 56 UU No. 24 Tahun 2003, pada dasarnya isi
putusan hakim konstitusi dapat berupa 3 macam, yaitu: permohonan tidak diterima,
permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Sedangkan putusan gugur maupun
putusan verstek tidak dikenal dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Meskipun
pemohon atau termohon tidak hadir dalam persidangan, pemeriksaan perkara tetap
dilanjutkan.

1. Permohonan Tidak Diterima (niet onvankelijk verklaard)

Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet


onvankelijk verklaard), apabila permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan
hukum. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dalam pasal 50 dan pasal 51, maka
amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

2. Permohonan ditolak (ontzegd)

Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak, apabila permohonannya


tidak beralasan.

3. Permohonan dikabulkan

Putusan menyatakan permohonan dikabulkan, yaitu apabila permohonannya beralasan.


Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah konstitusi menyatakan dengan tegas

24 Luthfi Widagdo Eddyono, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, PDF
bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa termohon


tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan,
termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7
(hari) kerja sejak putusan diterima. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal
demi hukum. Selanjutnya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan
disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan presiden.25

Jenis putusan yang disebut pertama dikenal dengan putusan akhir, yaitu satu sikap
dan pernyataan pendapat yang benar-benar telah mengakhiri sengketa tersebut. Dalam
persidangan dan hukum acara MKRI, diartikan bahwa putusan tersebut telah final dan
mengikat (final and binding). Dalam pasal 24 PMK 08 Tahun 2006 disebutkan Putusan
akhir diambil dalam RPH yang khusus diadakan untuk itu dan dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka
untuk umum dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Putusan
bersifat final dan mengikat.

Di lain pihak satu putusan yang belum mengakhiri sengketa tersebut dinamakan
putusan sela. Di Mahkamah Konstitusi dikenal juga beschikking yang di peradilan
biasa dinamakan penetapan, tetapi di Mahkamah Konstitusi disebut dengan ketetapan.
Putusan sela secara khusus disebut dalam penanganan perkara sengketa kewenangan
antara lembaga Negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945.26

Pasal 63 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan:


Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada
pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan
yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal tersebut menyebut bahwa tindakan hakim untuk menghentikan sementara


pelaksanaan kewenangan yang diperengketakan sampai ada putusan hakim, sebenarnya
25 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 105
26 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 202
merujuk pada tindakan sementara(provisionel handeling) yang dilakukan menunggu
adanya pendapat akhir yang mengakhiri sengketa yang dihadapi. Meskipun dalam pasal
63 disebut bahwa yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi berupa penetapan,
sesunguhnya yang dimaksudkan adalah putusan provisi. Dalam jenis putusan yang
dibicarakan, maka putusan provisi dimaksud adalah merupakan putusan sela, yang
dikeluarkan sebelum putusan akhir yang memutus sengketa pokok (bodem gaschill)
diucapkan27

Dalam pasal 26 PMK 08 Tahun 2006 disebutkan Putusan harus memuat sekurang-
kurangnya :

a. kepala putusan yang berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA;
b. Identitas pemohon dan termohon;
c. Ringkasan permohonon;
d. Ringkasan keterangan dan/atau tanggapan termohon;
e. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
f. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
g. Amar putusan;
h. Pendapat berbeda atau alasan berbeda dari hakim; dan
i. Hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim, serta panitera
Pasal 31 PMK 08 Tahun 2006 disebutkan bahwa Putusan mempunyai kekuatan
hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum.

27 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 203
DAFTAR PUSTAKA

Sutiyoso, Bambang. 2009. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan


Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII Press

Siahaan, Maruarar. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


Edisi 2. Cet I. Jakarta: Sinar Grafika

Luthfi Widagdo Eddyono, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara,


PDF

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003

UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

Peraturan MK No. 08 Tahun 2006

Anda mungkin juga menyukai