Dosen Pengampu
Mustafa Lutfi, S.Pd., SH., MH
Disusun oleh:
Dinar Fathi Mahartati (14210083)
Riyan Hidayat (14210092)
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERIMAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
Pasal 38 UU 24/2003 jelas menyatakan bahwa para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir.
Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling
lambat tiga hari sebelum hari persidangan. Para pihak yang merupakan lembaga negara
dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan
perundangundangan. Dan jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah
dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitbusi dapat meminta bantuan
kepolisian untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.5
Panggilan sidang harus ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara resmi
oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara panggilan serta dapat dibantu
1 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, Cet I, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011, hlm. 64
2 Pasal 34 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
3 Pasal 34 ayat (2 dan 3) UU No. 8 Tahun 2011
4 Pasal 34 ayat (4) UU No. 8 Tahun 2011
5 Pasal 11 Ayat (1) PMK 08/2006.
media komunikasi lainnya, seperti telepon, faksimili, dan surat elektronik (e-mail).
Panitera dapat meminta bantuan pemanggilan kepada pejabat negara di daerah.6
2. Pemeriksaan Perkara:
a. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan adalah satu pemeriksaaan yang dilakukan oleh hakim
(Panel) dan dihadiri pemohon untuk mempersiapkan permohonan tersebut secara lengkap
sebelum diadakan persidangan, baik untuk mendengar keterangan dari pemerintah, DPR,
maupun pihak terkait dengan cara yang efektif, efisien, dan lancer. Sifat pemeriksaan
pendahuluan adalah informatif, dalam arti pemeriksaan pendahuluan dimaksdukan untuk
memberi penjelasan dan memperoleh informasi, sehingga masalah yang diajukan dapat
dipahami secara baik dan benar oleh hakim maupun oleh pemohon sendiri.7
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel
Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim atau oleh Pleno Hakim
yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim.8
b. Pemeriksaan Persidangan
Pada pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Dengan demikian persidangan yang
dilakukan Mahkamah Konstitusi dapat diakses oleh publik, yaitu setiap orang boleh
hadir, menyaksikan dan mendengarkan jalannya persidangan. Meskipun persidangan
terbuka untuk umum, tetapi setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati
tata tertib persidangan yang diatur oleh Mahkamah Konstitusi. Pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut, merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi atau dikenal
dengan istilah Contempt of Court. Kalau persidangan terbuka untuk umum, tetapi
sebaliknya dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi dilakukan secara tertutup.13
9 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta:
UII Press, 2009, hlm. 75
10 Pasal 11ayat (5) PMK 08/2006
11 Pasal 11 PMK 08/2006
12 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 73
13 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 74
Dalam Pasal 14 ayat (1 dan 2) Peraturan MK No. 8 Tahun 2006 disebutkan bahwa
Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Pleno
Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim. Pemeriksaan
Persidangan, berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim, dapat dilakukan oleh
Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim.
Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang
berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan
secara tertulis kepada lembaga Negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga
Negara dapat diminta keterangan tertulis dengan tenggang waktu maksimal 7 hari sejak
diminta harus telah terpenuhi. Dalam hal ini Lembaga Negara wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan
hakim konstitusi diterima (pasal 41 ayat 2 dan 3)14 Dalam praktik, pada persidangan awal
diminta kehadiran Menteri Hukum dan HAM sebagai kuasa tetap Presiden/Pemerintah
dan Menteri yang menangani secara teknis, minimal harus hadir keterangan yang
diberikan adalah keterangan lisan dengan menyatakan keterangan lisan tersebut akan
disusul dengan keterangan secara tertulis. Hal ini telah diatur demikian dalam Peraturan
MK No. 001/PMK/2005.15
c. Pembuktian
Pada dasarnya membuktikan adalah suatu proses untuk menetapkan kebenaran
peristiwa secara pasti dalam persidangan, dengan sarana-sarana yang disediakan oleh
14 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 75
15 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 91
Dalam Pasal 36 ayat (1) disebutkan ada 6 macam alat bukti yang dapat digunakan,
yaitu:
Alat bukti surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
bisa dimengerti dan mengandung suatu fikiran tertentu. Surat sebagai alat bukti terdiri
atas tiga jenis: a. akta otentik, b. akta di bawah tangan, c. surat-surat lain yang bukan akta
2. Keterangan Saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan
hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Menurut pasal 42 UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir
untuk memberikan keterangan.
17 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 79
18 Pasal 36 ayat (2, 3, 4) UU No. 24 Tahun 2003
3. Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Para pihak dalam hali ini adalah pemohon dan termohon. Keterangan para pihak
merupakan salah satu alat bukti penting, dalam rangka memberikan kejelasan tentang
peristiwa atau duduk perkara yang sebenarnya. Berdasarkan peristiwa konkret ini, hakim
dapat menglualifikasikan hukumnya dan selanjutnya memberikan konstitusinya.
5. Petunjuk
Petunjuk ini hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan barang bukti. Di luar hal
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk. Dalam pasal 37 UU No. 4
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa MAhkamah Konstitusi
menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian
antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Alat bukti yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah alat bukti petunjuk.
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu19.
19 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, hlm. 82-86
20 Pasal 35 ayat (1, 1a, 2) UU No. 8 Tahun 2011
Walaupun penarikan kembali tersebut mengakibatkan permohonan tidak dapat
diajukan kembali, akan tetapi terdapat pengecualian dalam Pasal 19 ayat 2 PMK 8/2006,
yaitu apabila substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional, tidak
terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud, dan adanya kepentingan
umum yang memerlukan kepastian hukum.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup dan rahasia. RPH
dipimpin oleh Ketua Mahkamah, atau apabila Ketua berhalangan RPH dipimpin oleh
Wakil Ketua, atau apabila Ketua dan Wakil Ketua berhalangan, RPH dipimpin oleh Ketua
Sementara yang dipilih dari dan oleh Hakim.21 Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
merupakan rapat pleno hakim yang diselenggarakan secara tertutup untuk membahas
putusan atas perkara yang telah diperiksa melalui persidangan yang bersifat terbuka
untuk umum.22
Dalam hal biasa, kuorom itu harus dengan pleno lengkap yang dihadiri oleh 9
(sembilan) orang hakim. RPH pada tahap pertama akan lebih dahulu mendengarkan
laporan panel hakim yang menangani perkara tersebut yang akan melaporkan hasil-hasil
pemeriksaan perkara, baik mengenai legal issue (s) maupun pendapat ahli dan keterangan
saksi tentang fakta yang relevan dengan perkara yang dihadapi.
Setelah itu, panel hakim akan memberi rekomendasi tentang arah penyelesaian perkara
jika panel hakim yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota memiliki kesamaan pendapat.
Jika tidak, pendapat individual hakim panel bersama-sama dengan pendapat hukum
hakim konstitusi yang dibuat secara tertulis akan didengar satu per satu.23
3. Permohonan dikabulkan
24 Luthfi Widagdo Eddyono, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, PDF
bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.
Jenis putusan yang disebut pertama dikenal dengan putusan akhir, yaitu satu sikap
dan pernyataan pendapat yang benar-benar telah mengakhiri sengketa tersebut. Dalam
persidangan dan hukum acara MKRI, diartikan bahwa putusan tersebut telah final dan
mengikat (final and binding). Dalam pasal 24 PMK 08 Tahun 2006 disebutkan Putusan
akhir diambil dalam RPH yang khusus diadakan untuk itu dan dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka
untuk umum dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Putusan
bersifat final dan mengikat.
Di lain pihak satu putusan yang belum mengakhiri sengketa tersebut dinamakan
putusan sela. Di Mahkamah Konstitusi dikenal juga beschikking yang di peradilan
biasa dinamakan penetapan, tetapi di Mahkamah Konstitusi disebut dengan ketetapan.
Putusan sela secara khusus disebut dalam penanganan perkara sengketa kewenangan
antara lembaga Negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945.26
Dalam pasal 26 PMK 08 Tahun 2006 disebutkan Putusan harus memuat sekurang-
kurangnya :
27 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 203
DAFTAR PUSTAKA