Anda di halaman 1dari 4

Senin, 12 Januari 2009

BAB I PENDAHULUAN
http://nurrijal-biologimetamorfosis.blogspot.co.id/

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Tentang Alelopati


Alelopati merupakan interaksi antar populasi, bila populasi yang satu menghasilkan
zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut
(juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang
bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa. Contoh jamur
Penicillium sp. dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
tertentu.
Alelopati juga merupakan sebuah fenomena yang berupa bentuk interaksi antara
makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya melalui senyawa kimia (Rohman
dan I wayan Sumberartha, 2001). Sedangkan menurut Odum (1971) dalam Rohman dan I
wayan Sumberartha (2001) alelopati merupakan suatu peristiwa dimana suatu individu
tumbuhan yang menghasilkan zat kimia dan dapat menghambat pertumbuhan jenis yang lain
yang tumbuh bersaing dengan tumbuhan tersebut. Istilah ini mulai digunakan oleh Molisch
pada tahun 1937 yang diartikan sebagai pengaruh negatif dari suatu jenis tumbuhan tingkat
tinggi terhadap perkecambahan, pertumbuhan, dan pembuahan jenis-jenis lainnya.
Kemampuan untuk menghambat pertumbuhan tumbuhan lain merupakan akibat adanya suatu
senyawa kimia tertentu yang terdapat pada suatu jenis tumbuhan.
Dalam Rohman dan I wayan Sumberartha (2001) disebutkan bahwa senyawa-
senyawa kimia tersebut dapat ditemukan pada jaringan tumbuhan (daun, batang, akar,
rhizoma, bunga, buah, dan biji). Lebih lanjut dijelaskan bahwa senyawa-senyawa tersebut
dapat terlepas dari jaringan tumbuhan melalui berbagai cara yaitu melalui penguapan, eksudat
akar, pencucian, dan pembusukan bagian-bagian organ yang mati. Anonim (tanpa tahun)
menjelaskan lebih lanjut proses-proses tersebut melalui penjelasan berikut ini.
1. Penguapan
Senyawa alelopati ada yang dilepaskan melalui penguapan. Beberapa genus tumbuhan
yang melepaskan senyawa alelopati melalui penguapan adalah Artemisia, Eucalyptus, dan
Salvia. Senyawa kimianya termasuk ke dalam golongan terpenoid. Senyawa ini dapat diserap
oleh tumbuhan di sekitarnya dalam bentuk uap, bentuk embun, dan dapat pula masuk ke
dalam tanah yang akan diserap akar.
2. Eksudat akar
Banyak terdapat senyawa kimia yang dapat dilepaskan oleh akar tumbuhan (eksudat akar),
yang kebanyakan berasal dari asam-asam benzoat, sinamat, dan fenolat.
3. Pencucian
Sejumlah senyawa kimia dapat tercuci dari bagian-bagian tumbuhan yang berada di
atas permukaan tanah oleh air hujan atau tetesan embun. Hasil cucian daun tumbuhan
Crysanthemum sangat beracun, sehingga tidak ada jenis tumbuhan lain yang dapat hidup di
bawah naungan tumbuhan ini.
4. Pembusukan organ tumbuhan
Setelah tumbuhan atau bagian-bagian organnya mati, senyawa-senyawa kimia yang
mudah larut dapat tercuci dengan cepat. Sel-sel pada bagian-bagian organ yang mati akan
kehilangan permeabilitas membrannya dan dengan mudah senyawa-senyawa kimia yang ada
didalamnya dilepaskan. Beberapa jenis mulsa dapat meracuni tanaman budidaya atau jenis-
jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya.
Selain melalui cara-cara di atas, pada tumbuhan yang masih hidup dapat
mengeluarkan senyawa alelopati lewat organ yang berada di atas tanah maupun yang di
bawah tanah. Demikian juga tumbuhan yang sudah matipun dapat melepaskan senyawa
alelopati lewat organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah (Anonim, Tanpa
tahun).

2.2 Mekanisme Alelopati

Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia antar tumbuhan, antar
mikroorganisme, atau antara tumbuhan dan mikroorganisme (Einhellig, 1995a). Menurut
Rice (1984) interaksi tersebut meliputi penghambatan dan pemacuan secara langsung atau
tidak langsung suatu senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu organisme (tumbuhan, hewan
atau mikrobia) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Senyawa kimia
yang berperan dalam mekanisme itu disebut alelokimia. Pengaruh alelokimia bersifat selektif,
yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme tertentu namun tidak terhadap organisme lain
(Weston, 1996).

Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, mungkin di akar, batang,


daun, bunga dan atau biji. Organ pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik pada setiap
spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan
menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon,
terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya,
kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino non protein, sulfida serta nukleosida.
(Rice,1984; Einhellig, 1995b). Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada stadium
perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik
(Einhellig, 1995b).

Alelokimia pada tumbuhan dilepas ke lingkungan dan mencapai organisme sasaran


melalui penguapan, eksudasi akar, pelindian, dan atau dekomposisi. Setiap jenis alelokimia
dilepas dengan mekanisme tertentu tergantung pada organ pembentuknya dan bentuk atau
sifat kimianya (Rice, 1984; Einhellig, 1995b).

Mekanisme pengaruh alelokimia (khususnya yang menghambat) terhadap


pertumbuhan dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui
serangkaian proses yang cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995b) proses tersebut
diawali di membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran
membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap
penyerapan dan konsentrasi ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata
dan proses fotosintesis. Hambatan berikutnya mungkin terjadi dalam proses sintesis protein,
pigmen dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh
hambatan tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel
yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran.

2.3 Penerapan Alelopati dalam Pertanian

Pada ekosistem pertanian alelopati dapat menurunkan atau meningkatkan produktivitas lahan,
tergantung pada pembentuk alelokimia (tanaman atau gulma), organisme sasaran dan
aktivitasnya. Oleh karena itu penerapannya memerlukan strategi tertentu, yang menurut
Einhellig (1995a), dan Caamal-Maldonado et al. (2001) adalah mengendalikan gulma dan
atau patogen melalui:
1. Pola tanam di lapang. Untuk ini diperlukan tanaman non-produksi (yang selanjutnya
disebut tanaman X), yang bersifat alelopat terhadap gulma atau patogen namun tidak
terhadap tanaman produksi, dan pemanfaatannya melalui: a) rotasi tanam: dengan
menanam tanaman X di antara waktu tanam tanaman produksi, b) cover crop:
tanaman X ditanam sebagai tanaman penutup tanah, c) tanaman sela: X ditanam di
antara tanaman produksi, atau d) mulsa: organ tanaman X yang diketahui sebagai
pembentuk alelokimia dijadikan sebagai mulsa. Pemilihan pola tanam didasarkan atas
sifat morfologi dan fisiologi tanaman X, organ pembentuk alelokimia, mekanisme
pelepasan, sifat alelokimia dan sebagainya.

2. Produksi pestisida alami dari alelokimia. Alelokimia yang menghambat gulma atau
patogen diformulasi dan diproduksi secara marketable menjadi pestisida alami
(herbisida, fungisida, bakterisida dan sebagainya).

3. Pemuliaan tanaman untuk memperoleh kultivar tanaman produksi yang alelopatik


bagi gulma pesaingnya. Pada jenis tanaman tertentu mungkin telah ada varitas alami
yang bersifat demikian. Bagi jenis tanaman yang belum mempunyai, kultivar seperti
ini perlu dikembangkan melalui pemuliaan tanaman secara konvensional (hibridisasi,
seleksi, dan identifikasi) maupun non-konvensional (transformasi gen, fusi protoplas,
dan lain-lain).

2.4 Manfaat Dan Peranan alelopati

1. Untuk mengendalikan gulma dan penyakit

2. Mencegah timbulnya pencemaran

3. Menambah ketersediaan unsur hara

4. Meminimalkan kerugian dari akibat radiasi matahari dengan pengelolaan iklim mikro,
pengelolaan air dan pengendalian erosi.

Penerapan alelopati dalam pertanian secara garis besar adalah untuk mengendalikan
gulma dan penyakit menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan atau mikroorganisme,
yaitu meminimalkan serangan hama (termasuk gulma) dan penyakit pada tanaman melalui
pencegahan dan perlakuan yang aman. Penggunaan pestisida yang berasal dari tumbuhan
bersifat relatif aman, karena berbeda dengan bahan kimia sintetis, bahan alami mudah terurai
sehingga tidak akan meninggalkan residu di tanah atau air, dan oleh karena itu tidak
menimbulkan pencemaran. Penanaman tanaman produksi maupun non-produksi yang
alelopatik terhadap gulma atau patogen bahkan dapat dikatakan tidak menimbulkan efek
negatif terhadap lingkungan dan manusia, dan murah bagi petani sehingga petani tidak perlu
menambahkan input dari luar.

Pemanfaatan tanaman non-produksi alelopatik melalui rotasi tanam, cover crop, dan tanaman
sela dapat berperan ganda. Selain untuk mengendalikan gulma atau patogen, teknik ini dapat
mengoptimalkan ketersediaan unsur hara, karena kedua jenis tanaman tersebut biasanya
dipilih yang mempunyai kedalaman akar dan kebutuhan hara yang berbeda, sehingga masing-
masing mendapatkan hara dalam jumlah cukup dan tidak terjadi eksploitasi unsur hara.
Pemanfaatan sisa organ tanaman tersebut sebagai mulsa juga dapat berperan ganda, yaitu
meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari dengan pengelolaan iklim mikro,
pengelolaan air dan pengendalian erosi. Dengan menutup permukaan tanah maka radiasi
matahari tidak langsung mengenai tanah sehingga menurunkan suhu tanah, mengurangi
evaporasi (penguapan air tanah) dan akibatnya ketersedian air tanah tetap memadai. Mulsa
yang berasal dari bahan tanaman juga dapat mencegah erosi, karena humus yang berasal dari
mulsa merupakan bahan organik yang memiliki retensi air yang cukup tinggi sehingga air
terserap ke dalam tanah dan tidak dapat menghanyutkan permukaan tanah.

Rohman dan I wayan Sumberartha (2001) menyebutkan bahwa senyawa-senyawa


kimia tersebut dapat mempengaruhi tumbuhan yang lain melalui penyerapan unsur hara,
penghambatan pembelahan sel, pertumbuhan, proses fotosintesis, proses respirasi, sintesis
protein, dan proses-proses metabolisme yang lain. Lebih lanjut, Anonim (tanpa tahun)
menjelaskan tentang pengaruh alelopati terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai
berikut:
1. Senyawa alelopati dapat menghambat penyerapan hara yaitu dengan menurunkan
kecepatan penyerapan ion-ion oleh tumbuhan.
2. Beberapa alelopat menghambat pembelahan sel-sel akar tumbuhan.
3. Beberapa alelopati dapat menghambat pertumbuhan yaitu dengan mempengaruhi
pembesaran sel tumbuhan.
4. Beberapa senyawa alelopati memberikan pengaruh menghambat respirasi akar.
5. Senyawa alelopati memberikan pengaruh menghambat sintesis protein.
6. Beberapa senyawa alelopati dapat menurunkan daya permeabilitas membran pada sel
tumbuhan.
7. Senyawa alelopati dapat menghambat aktivitas enzim.

DAFTAR PUSTAKA

Caamal-Eldonado JA, Jimenez-Osornio JJ, Torres-Barragin A, Anaya AL. 2001. The use of
allelopathic legume cover and mulch species for weed control in cropping system.
Agronomy Journal. 93: 1. 27 36.
Einhellig FA. 1995a. Allelopathy: Current status and future goals. Dalam Inderjit, Dakhsini
KMM, Einhellig FA (Eds). Allelopathy. Organism, Processes and Applications.
Washington DC: American Chemical Society. Hal. 1 24.
Einhellig FA. 1995b. Mechanism of action of allelochemicals in allelopathy. Dalam Inderjit,
Dakhsini KMM, Einhellig FA (Eds). Allelopathy. Organism, Processes and
Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 96-116.
Plucknert, Winkelmann DI. 1992. Technology for sustainable agriculture. Scientific
American. 182 186.
Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayers A. 1999. Pertanian Masa Depan. Diterjemahkan
oleh Y. Sukoco. Yogyakarta: Kanisius.
Rice EL. 1984. Allelopathy. Second Edition. Orlando FL: Academic Press.
Weston LA. 1996. Utilization of allelopathy for weed management in agrosystem.
Agronomy Journal. 88:6. 860 866.

http://iqbalali.com/2008/01/23/alelopati/

Diposkan oleh NURRIJAL di 10.08 Tidak ada komentar:


Beranda
Langganan: Entri (Atom)

Anda mungkin juga menyukai