Anda di halaman 1dari 4

AKU BERSUJUD DALAM PERTAUBATANKU

Kabut pagi masih terlalu pekat, wanita tua itu harus memperhatikan dengan teliti
setiap langkah kaki pada tubuh rapuhnya yang telah lama terserang
rematik.Dalam remang tampak tubuhnya yang bungkuk,tengah menggendong
bakul besar tempat sayuran jualannya,sedang kedua tangannya tak mau kalah,dua
tenggok goreng-gorengan pun ia jinjing dengan semangat.mbok pariyem,begitulah
orang-orang kampung memanggilnya.wanita tua yang kini hidup sebatang
kara,atau dari sejak ia melihat dunia ini ia telah sebatang kara,entahlah, kenyataan
bahwa wanita tua itu tak punya suami ataupun sanak saudara bahkan anak
membuat orang orang kampung memanggilnya mbok pariyem yang sebatang
kara. Setiap hari sebelum fajar menyingsing, bahkan sebelum ayam- ayam beranjak
dari peraduannya lalu berkokok, meski dalam remang, ia mbok pariyem sudah
mendahului waktu yang telat datang padanya, melangkah pasti meski tubuhnya
kini semakin membungkuk karena bakul sayuran jualannya.Ia menjadi penjual sayur
dan gorengan kelililing, tak hanya di kampungnya iapun berkeliling kekampung lain
yang jauh dari kampungnya.setiap pagi sebelum fajar ia mulai berkeliling,biasanya
ia akan berjualan di kampung terjauh yang masih mampu ia lalui, seperti orang
yang bepergian lalu kembali pulang, kampungnya sendiri justru menjadi tempat
terakhir ia berjualan. Orang orang begitu mengenal mbok pariyem dengan baik,
bahkan keramahan, kebijaksanaan, dan kelembutan hatinya membuatnya akrab
dengan semua orang.Mbok pariyem seperti sosok kharismatik yang datang
membawa sebakul kedamaian dan dua tenggok kesenangan pada setiap orang
yang menjumpainya.

Pagi ini ia berjualan lagi, seperti biasanya.Baginya berjualan sayur bukan lagi
menjadi pekerjaan agar ia mendapatka uang, lebih dari itu hal ini justru telah
menjadi kehidupan baginya. Bakul sayur dan tenggok berisi gorengan gorengan
itulah yang membuatnya tak sebatang kara. Meski kabut pagi ini terlalu tebal, atau
si mbok yang terlalu pagi memulai jualannya , entahlah!,membuat langkahnya
terseok seok.tubuhnya yang membungkuk dan semakin membungkuk serta
rematik yang sudah sejak lama menggerogotinya membuat langkahnya tak secepat
biasanya,meskipun begitu mbok pariyem tetap bersemangat. Ia berangkat dari
rumahnya sebelum adzan subuh berkumandang.Rumahnya agak jauh dari
pemukiman penduduk, ia perlu menyebrang sungai dan melewati perkebunan,
barulah ia dapat menemukan rumah rumah penduduk. Terlebih dulu ia akan
menyinggahka diri di mushola kampung untuk sejenak menafakuri lantunan asma
Allah yang agung, danbergegas merendahkan jiwa dalam sebungkuk sujud
sebelum ia berkeliling kekampung sebelah. Tiap kali dalam sujudnya ia tersedu,
merintih pilu,seolah tengah mengadukan sesuatu pada-Nya,mungkin tentang
kesendiriannya, tentang hidupnya yang penuh luka, atau bercerita tentang
kebahagiaannya menjadi seorang penjual sayur,tak ada yang mengerti,tak ada
yang memahami jalan pikirannya,ataupun mampu meraba isi hati wanita tua itu.
Setelah dirasa pengaduan itu cukup, mbok pariyem bangkit kembali, tersenyum
lebar pada wajahnya yang terlanjur berkerut,menggendong kembali bakulnya dan
dua tenggok jinjingannya,ia berlalu meninggalkan mushola dan melanjutkan
perjalanannya.

Dalam setiap langkahnya ia tak berhenti melafadzkan asma Allah yang agung,
sesekali tampak matanya berkaca kaca. Ada kerinduan mendalam yang tampak di
matanya.Setelah sampai di kampung sebelah, mbok pariyem pun mulai
menawarkan dagangannya, namun sepertinya pagi ini kampung masih
sepi.sayur,,,,sayur,,,,reng goreeeng.. mbok pariyem tetap bersemangat
sayur,,sayur,,, sayang tetap tak ada yang keluar rumah dan menyerbunya seperti
hari lalu. kenapa begitu sepi? katanya dalam hati, ia menunggu lama namun
kampung masih tetap sepi, kampung ini seperti tak berpenghuni lagi atau tak ingin
menampakan diri?...mbok pariyem tampak gusar,hingga bagaskara terik tak satu
orang juapun menghampirinya. Mbok pariaiyem tak patah semangat, ia mencoba
mengetuk setiap pintu rumah penduduk, satu persatu rumah langganannya ia
datangi, nihil tak satupun mmembukakan pintu apalagi membeli
dagangannya.Mbok pariyem memutuskan untuk beranjak kekampung berikutnya,
kampung berikutnya, dan kampung berikutnya lagi,tetap tak ada yang mebeli
dagangannya.Tampak gelisah wajahnya, lalu ia duduk dibawah pohon beringin yang
sepertinya mampu menutupinya dari matahari yang telah bertengger pada puncak
tertingginya. Bayangnya telah beralih kebelakang tubuhnya,ia bangkit dan
meninggalakan dagangannya di bawah pohon beringin itu dan bergegas shalat
dhuhur.Beberapa saat berlalu ia kembali dan mengendong bakulnya lagi serta
menjinjing dua tenggok isi gorengan itu.Ia memutuskan untuk kembali
kekampungnya berharap akan ada orang yang membeli sayur ataupun
gorengannya.

sayur,,,sayur,,, seru mbok pariyem tanpa lelah,ia terus berkeliling , sekalipun ia


mulai menyadari bahwa tak ada seorangpun datang padanya dan membeli
dagangannya. Kini ia mulai tertunduk lesu, hari akan segera senja sementara
gorengan di tenggoknya menjadi dingin dan kaku tanpa berkurang satupun
jumlahnya, sedang sayuran digendongannya mulai layu.Tiba tiba dari kejauhan
tampak banyak orang berjalan kearahnya, mbok pariyem mencoba mengucek
kedua matanya yang di rasanya telah rabun, ia mencoba melihat dengan teliti,dan
memang benar orang-orang itu berjalan kearahnya. Riuh, mereka saling berteriak,
semakin dekat dan semakin jelas, orang-orang itu penduduk kampung.Salah
seorang dari mereka merampas bakulnya dan membuangnya ketanah, menarik
tenggoknya hingga gorengan tercecer di tanah.kami tidak mau makan sayur dan
gorenganmu,najis teriak lelaki itu sembari meludah kearahnya.Ia terkejut dengan
ucapan tetangga kampungnya itu, ia mencoba mengingat ingat barangkali kemarin
atau kemarin lusa,atau beberapa hari lalu ia melakukan sesuatu yang salah, namun
ia tak mengingat apapun.Seorang lagi datang padanya dan meneriakkan kata yang
sama,semua orang kini berteriak padanya tentang hal yang sama sekali tak ia
pahami.Ia menutup telinga rapat dan mencoba keluar dari kerumunan orang-orang
yang menerangkapnya,ia mencoba berontak , tiba- tibapelacur teriakan
seseorang membuatnya tak mampu berontak lagi .Tubuhnya yang bungkuk
tersungkur ke tanah dan air mata mengalir dari kedua matanya yang kelopaknya
telah keriput. sungguh hanya Engkau yang maha berkehendak ya Rabb
rintihnya.Orang-orang itu mencerca dan menghujat mbok pariyem dan tak
membiarkannya menarik napas sedikitpun. Hujatan itu merobek senyum ramah
yang selama ini membuat orang mengenal sosok mbok pariyem. Sosok itu, sosok
yang selama ini menjadi sosok kharismatik orang-orang itu kini hanya sampah yang
ingin sekali mereka buang,tanpa satupun penjelasan nyata, entah darimana
datangnya kabar itu, bahwa mbok pariyem adalah seorang pelacur yang terusir dari
kampungnya sendiri, terlunta lunta hingga tua,itulah sebabnya ia tak bersuami dan
tak diakui oleh keluarga dan sanak saudara.Lalu ia datang ke kampung ini setelah
tua, membuat gubuk di perkebunan milik pemerintah, dan menjual sayur dan
gorengan. Selama ini tak ada seorangpun yang tahu asal usul mbok pariyem, yang
mereka tahu mbok pariyem dengan segala sifatnya yang bijaksana, ramah dan
menjadi sosok yang mengagumkan, ia begitu taat beribadah dan menasihati orang-
orang. Tepat tiga purnama sudah wanita tua itu datang dan menjadi bagian dari
kampung ini.Ia membawa banyak sekali perubahan, sembari menjual sayurnya ia
terus mendakwahkan kebenaran. Keshalihannya membuatnya menjadi sosok
kharismatik, namun pada purnama ketiga ini ia taklagi menjadi sosok itu,kini ia
hanyalah sampah yang ingin sekali dibuang bahkan di lenyapkan.

Seorang lelaki tua setengah baya berlari kearah kerumunan itu, ia mencoba
menyeludup kedalam kerumunan dan ingin sekalin menarik mbok pariyem keluar
agar ia dapat bernapas. Saudara,,saudara,tolong biarkan mbok pariyem
menjelaskannya,jangan hakimi dia seperti ini teriak lelaki yang juga adalah ketua
RT di kampung itu. Pak RT dia ini harus diusir,usir dia dari kampung ini ya usir
dia,, usir,,,,

dia hanya nenek tua yang lemah, tega sekali kalian, astaghfirullah,dia akan tetap
tinggal di sini di kampung ini,apapun masa lalunya, darimanapun asal usulnya, dia
nenek tua yang sebatang kara, Allah tidak pernah menghendaki hamba-Nya
menjadi penganiaya, jangan aniaya mbok pariyem tegas pak Rt baiklah kalau
pak RT tak mau mengusirnya, tapi dia tidak boleh keluar dari rumahnya teriak
seorang dari belakang, sembari pergi dengan amarahnya yang menyala,lalu orang-
orang itupun pergi satu persatu.

Mbok pariyem masih tersungkur di tanah, napasnya seolah tinggal diujung


tenggorokannya, tak pernah ada yang tahu bahkan mbok pariyem tak sedikitpun
mengira akan seperti ini. Ia tertunduk lemah, memandangi semut semut kecil yang
berantai saling bergandeng berjalan beriringan.Mulutnya masih terus melafadzkan
tasbih, air matanya tak henti mengalir,ia mengumpulkan sisa napas dan energi
untuk bangkit.Ia sempoyongan, pak Rt lalu membantunya berdiri, mengumpulkan
gorengan yang berceceran di tanah, serta sayuran yang telah carut marut. Pak Rt
memapah mbok pariyem dan mengantarnya kerumahnya di belakang pemukiman
penduduk. Allah,,Allah,,Allah rintih mbok pariyem lirih, tangisnya menderu
bersama arus sungai menuju rumahnya.

Langit terlalu mendung hingga mentari tak mau muncul pada kesedihan hati
seorang hamba.kini waktu seakan menghimpit masa dan keberadaannya,sebuah
masa lalu yang kelam menghantarnya pada hari saat purnama ketiga. Namun
seorang mbok pariyem menciptakan kecerahan hari- harinya, dalam setiap basuhan
air wudlunya, dalam setiap sujudnya, dalam setiap penghambaannya, dan dalam
setiap pertaubatannya yang nasuha, akan dosa yang selama ini meringkusnya
dalam kegelapan. Kini ia benar benar tersenyum membungkukan diri dalam
sujudnya lalu matanya tertutup menjumpai kehidupan abadi kembali pada sang
pemilik nyawa, bersama iman yang menyala didadanya bersujud dalam
pertaubatannya.

mbokmbok pariyemmbok..mbok?

innalillahiwainnalillahi rajiun

Penghambaan 2/02/2011

R.I wijayanti

Anda mungkin juga menyukai