Anda di halaman 1dari 4

Konsep Demokrasi Ekonomi VS Strategi Persaingan Partai

Politik Jelang Elisaun Jeral 2012 di Timor-Leste


By: Nur Huda da Costa Gomes de Libahira,SE.MM

Satu proses peristiwa politik yang bernilai jutaan dollar sebentar lagi akan dimulai.
Proses ini adalah proses pemilihan umum nasional yang disebut Elisaun Jeral
(Istilah Bahasa Portugis) yang akan membentuk pemerintahan baru, yang nantinya
akan berkulminasi pada pemilihan Presiden, perdana menteri dan pembentukan
kabinet baru Timor-Leste pada 2012. Besar harapan masyarakat bahwa proses ini
nantinya akan juga membawa perubahan dan perbaikan pada pembangunan
nasional khususnya pembangunan pada sektor perekonomian dalam negeri
khsusunya pada produk lokal yang sampai saat ini masih menjadi masalah yang
misterius. Kesadaran akan perlunya perubahan, ide yang kuat dan rasional, serta
keberanian untuk mengambil kebijakan dan berkata tidak adalah beberapa hal
yang povo maubere harapkan akan muncul dari pemerintahan yang nanti terpilih
dari proses yang akan menghabiskan uang jutaan dollar tersebut. Definisi
pemerintah di sini tidak terbatas pada teori Trias Politica (eksekutif, legislatif dan
yudikatif) tetapi semua komponen bangsa bersatu dalam mengisi kemerdekaan
dengan pembangunan.Tantangan bagi partai pemenang adalah menciptakan
lapangan kerja bagi masyarakat (pemudah), mereformasi sistem pendidikan
nasional, memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, membangun infrastruktur
dan pembrantasan KKN yang ditinggalkan rezim AMP.

Dalam sebuah proses demokrasi politik, tidak akan jauh berbeda dengan
marketing management. Di dalamnya ada pelaku, sistem serta interaksi, di mana
kualitas dari berbagai aspek ini akan menentukan tingkat produktivitas dan
efisiensi dari output yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Untuk konteks pasaran
politik di Timor-Leste, kualitas individu, sistem yang terbentuk dan proses interaksi
yang terjadi dapat menentukan sampai di mana kualitas keberpihakan satu
kebijakan, efisiensi pengambilan keputusan dan efektivitas implementasi
kebijakan dalam satu periode kepemimpinan. Dengan adanya kesamaan ini, maka
menarik bila sebuah kerangka konsep ekonomi digunakan untuk menganalisis
konsep pembangunan dan political marketing secara nasional yang cetak birunya
belum terlihat dengan jelas sampai saat ini. Dalam hal ini, satu analisis kinerja
kerja yang biasa digunakan dalam pembangunan ekonomi yang akan digunakan di
Timor-Leste. Kerangka ini pada dasarnya menjelaskan bahwa performance
pemerintahan nanti akan tergantung pada perilaku dari para pembuat kebijakan
itu sendiri.

Dari sisi struktur politik yang ada, industri dan pasaran politik nasional dewasa ini
telah memasuki era baru yaitu; bertambahnya jumlah partai politik dan tentu
nantinya setiap partai akan menghadapi persaingan yang ketat dalam merebut hati
masyarakat untuk mendapatkan legitimasi dari povu maubere yang terlampau
ketat. Menghadapi elisaun jeral (Pemilihan umum) 2012, Tribunal Recurso sudah
mengakreditasi 23 partai (FRETILIN, CNRT, FRENTI MUDANSA, UNDERTIM, UDT,
CHUNTO, PD, ASDT, TRABALISTA, KOTA, PDC, PNT, PDRT, PDN, PPT, PLPAl, PSD) dan
kemungkinan akan ada partai baru dalam waktu dekat. Sehingga bisa dibayangkan
betapa kompleksnya proses interaksi dan kompetisi antar partai yang sebentar lagi
akan bergulir, terutama bila dikaitkan dengan industri politik yang bersifat multi-
partai yang ada di negara ini. Padahal, secara teoritis yang dinisbahkan bukan
sebuah persaingan politik yang ketat, akan tetapi persaingan yang sehat dari
sebuah political market dengan tujuan yang sama untuk mengsejahteraan dan
memakmurkan seluruh rakyat Timor Lorosae. Persaingan yang ketat, namun tidak
sehat, hanya akan menghasilkan perilaku sebuah partai dalam menghalalkan segala
cara (Teori Politic Machiavelli), dan kekurangfokusan pada kebijakan. Lebih jauh,
jumlah partai yang besar juga tidak diikuti dengan ragam tawaran ideologi dan
program kerja dalam jumlah yang banyak serta berbobot. Sebab, bila di teliti lebih
jauh, sesungguhnya banyak partai yang memiliki kesamaan platform ideologi dan
program kerja (PD, CNRT & FRETILIN), atau bahkan ada partai yang tidak memiliki
sama sekali atau hanya sekedar ikut meramaikan proses demokrasi (Consep Triall &
Error) atau sekedar ingin mendapatkan dana pemilihan dari pemerintah.

Sesungguhnya, perilaku ini tidak lain hanya sebuah pragmatisme politik dari para
elite dan pemimpin partai di Timor-Leste sebagai negara baru. Satu langkah awal
yang tentu saja buram dan sekadar merefleksikan ketidaksadaran sementara
mereka dalam mengindentifikasi persoalan bangsa. Ia juga cerminan
ketidakmampuan melahirkan pemikiran dan terobosan baru bagi political market
yang semakin lama semakin menjenukan. Lebih dari itu, meningkatnya partai
dalam sistem demokrasi politik mestinya juga bisa dibarengi dengan lahirnya era
terbangunnya sistem demokrasi ekonomi. Sebab, seperti halnya kebutuhan
terhadap demokrasi politik, demokrasi ekonomi diharapkan hadir dalam
penyelenggaraan kegiatan ekonomi secara terintegrasi dan komprehensif dengan
tujuan memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada setiap individu untuk
memanfaatkan akses sumber daya ekonomi yang adil. Jika dalam demokrasi politik
akses sumber daya terbentuk maka ada kesempatan setiap individu untuk
menyalurkan kepentingannya secara bebas, maka dalam demokrasi ekonomi akses
sumber daya terwujud dalam keadilan setiap warga negara Timor untuk
memperoleh hak kehidupan ekonomi yang adil. Dari perspektif inilah keberadaan
demokrasi ekonomi penting untuk diperjuangkan di Timor-Leste, karena dalam
realitasnya kemampuan setiap individu untuk mendapatkan akses sumber daya
ekonomi tidaklah sama.

Demokrasi ekonomi sendiri dalam lintasan sejarah dunia telah mendapatkan


tempat yang penting dalam teori ilmu ekonomi yang diajarkan di setiap universitas
karena terdapat dua perkembangan yang saling berkaitan. Pertama, pengalaman
historis para karyawan pada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di beberapa
negara maju dalam mengajukan tuntutan lebih sering karena hanya mendapatkan
janji-janji mengenai kondisi kerja dan keputusan yang memengaruhi mereka. Ini
terjadi mula-mula di tempat kerja atau perusahaan dan biasanya dikaitkan dengan
partisipasi buruh dalam manajemen internal perusahaan. Kedua, ada kesadaran
yang meningkat di antara para teoritisi bahwa demokrasi politik tidak sejalan
dengan sistem ekonomi kapitalisme. Demokrasi politik yang menyertakan setiap
individu dalam proses pengambilan keputusan ternyata tidak selalu mendapatkan
tempat yang laik dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena sistem yang terakhir
ini mengandaikan adanya pemusatan pengambilan keputusan hanya pada segelintir
pemilik modal. Hampir bisa dipastikan bahwa proyek demokrasi ekonomi yang
digagas di suatu negara selalu mendapatkan perlawanan dari pelaku ekonomi yang
dirugikan oleh proyek yang ada, atau bisa pula penolakan itu dimungkin datang
dari lembaga kekuasaan politik yang dikikis pendapatannya akibat diberlakukannya
demokrasi ekonomi disuatu negara. Oleh karena itu, tantangan penerapan
demokrasi ekonomi bukan hanya datang dari sistem ekonomi kapitalis, tapi juga
sistem ekonomi sosialis. Dalam sistem ekonomi kapitalis, ide demokrasi ekonomi
pasti meresahkan pemilik modal karena dengan penerapan demokrasi ekonomi
sebagian dari kepemilikannya harus dibagi dengan buruh, misalnya dalam bentuk
kepemilikan saham. Jika ini yang terjadi, maka kewenangan pemilik modal untuk
menentukan seluruh keputusan perusahaan menjadi sangat berkurang. Sebaliknya,
dalam sistem ekonomi sosialis, meskipun secara eksplisit negara menghendaki
adanya pemerataan ekonomi dalam masyarakat, tetapi tetap saja demokrasi
ekonomi masih sangat merisaukan bagi penguasa karena harus menyerahkan
sebagian faktor produksi kepada kepentingan rakyatnya.

Berlandaskan pada gambaran ini, hal pertama yang bakal terjadi di Timor Leste,
jika demokrasi ekonomi hendak diwujudkan dalam kerangka negara RDTL, adalah
akan adanya perlawanan dari pelaku ekonomi domestik. Pemilik modal akan terus
berupaya untuk menggagalkan munculnya kebijakan redistributif yang dilakukan
oleh pemerintah. Kebijakan redistribusi kepemilikan faktor produksi, misalnya
penataan ulang kepemilikan tanah, banyak yang gagal diwujudkan karena
intervensi yang sangat dalam dari pemilik modal. Demikian halnya dengan
pembagian profit dalam suatu perusahaan, pemilik modal selalu bergeming dengan
sikapnya bahwa tenaga kerja tidak layak mendapatkan hal itu karena mereka telah
mendapatkan gaji yang pantas. Ancaman domestik lainnya yang bisa menghambat
demokrasi ekonomi adalah munculnya kebijakan-kebijakan siluman yang
dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu, seperti monopoli, fasilitas ekspor
dan impor. Biasanya yang mendapatkan previlege semacam itu adalah pemilik
modal yang bisa membeli kebijakan pemerintah dan segmen masyarakat yang
memiliki koneksi dengan kekuasaan, entah karena jalinan kekerabatan maupun
pertemanan.

Dengan mencermati kondisi ini, demokrasi ekonomi dari perspektif domestik bisa
diagendakan melalui dua jalur. Pertama, ketimpangan kepemilikan aset ekonomi
telah menyebabkan tergangunya keuntungan ekonomi secara proporsional
terhadap masing-masing pelaku ekonomi. Alasan sederhana, tenaga kerja atau
buruh hampir tidak memiliki kekuatan apapun untuk menentukan berapa besar
bagian keuntungan ekonomi yang harus jatuh kepadanya, sebaliknya pemilik modal
mengontrol seluruh pembagian laba ekonomi yang ada. Terhadap permasalahan ini
ada dua rekomendasi yang disarankan oleh kelompok Marxian, yakni buruh
mengorganisasi diri dan membentuk partai politik agar aspirasinya bisa disuarakan
di parlemen; dan menuntut pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan redistribusi
ekonomi, baik lewat instrumen pajak, upah minimum, maupun land reform.
Strategi ini diharapkan bisa mengembalikan kekuatan buruh untuk melakukan
baragaining secara sepadan dengan pemilik modal. Kedua, harus dimengerti bahwa
tidak akan pernah tercipta demokrasi ekonomi tanpa adanya persyaratan
demokrasi politik. Demokrasi politik diperlukan karena dengan begitu setiap
kebijakan ekonomi, pemerintah benar-benar merupakan hasil dari aspirasi seluruh
rakyat, dan bukan hanya merupakan suara dari pemilik modal yang kebetulan
mampu membeli kebijakan pemerintah. Di luar itu, demokrasi politik dibutuhkan
agar setiap kebijakan redistribusi ekonomi yang ditawarkan oleh pemerintah tidak
dipenggal di tengah jalan oleh kaum pemilik modal. Pada akhirnya demokrasi
politik diharapkan bisa menjamin setiap individu mendapatkan kesempatan yang
sama untuk mengerjakan aktivitas ekonomi, tidak seperti dalam pemerintahan
kapitalisme dan pemerintahan otoritarian yang cuma menfasilitasi kepada pelaku
ekonomi yang mampu memberikan keuntungan paling besar terhadap dirinya.

Dengan karakteristik semacam itu, perjuangan proyek demokrasi ekonomi di


negara baru Timor-Leste merupakan suatu keharusan. Dalam konteks ini terdapat
beberapa kebijakan yang harus dilakukan oleh paket kepemimpinan hasil pemilihan
2012 untuk dapat mewujudkan demokrasi ekonomi di republik ini. Pertama,
melakukan restrukturisasi kepemilikan aset-aset ekonomi nasional sehingga lebih
menggambarkan adanya pembagian faktor produksi yang adil. Kedua, mencegah
munculnya praktik monopoli ekonomi yang menyebabkan tergangunya peluang bagi
mayarakat untuk bersaing secara sehat dalam kegiatan ekonomi. Ketiga,
menciptakan strategi pembangunan nasional yang mengarah kepada upaya
kemandirian ekonomi sehingga tidak tergantung kepada lembaga-lembaga
keuangan international atau negara-negara donor. Keempat, negara harus hadir
untuk melindungi pelaku ekonomi yang tersisih akibat persaingan ekonomi karena
secara alamiah kemampuan setiap individu memang berbeda, misalnya lewat
subsidi maupun program sosial kepada masyarakat sebagimana saya utarakan pada
artikel sebelumnya. Kurang lebih poin-poin itulah yang seharusnya diusung partai
besar (PD, CNRT & FRETELIN) dalam bentuk demokrasi ekonomi karena sebagian
besar sumber persoalan ekonomi berasal dari sana. Sayangnya, pasar politik Timor-
Leste masih jauh dari arah konsep demokrasi ekonomi yang ada. Sampai saat ini
sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada, partai atau calon kandidat presiden yang
mencoba mengagendakan strategi ekonomi politik melalui political propoganda
secara eksplisit dan jernih, sehingga yang muncul adalah program-program klise
dan seragam. Hal ini nampaknya belum melembaga dalam tradisi the role of the
game dari elit politik di republik ini, sehingga rakyat tidak tercerdaskan dalam
hiruk pikuk demokrasi politik yang akan berlangsung pada awal 2012. Proses politik
itu malah menjadi siklus pembodohan yang terjadi di negara kita pada setiap
periode pemilihan umum.

Anda mungkin juga menyukai