Anda di halaman 1dari 19

EKONOMI PERTANIAN

PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Disusun Oleh:

NAMA : Putri Indah sari


NIM : 01021381419173
PROGRAM STUDI : Ekonomi Pembangunan
DOSEN PENGASUH : Prof. Dr. H. Syamsurijal, Ak, M.Sc.

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal
tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan sector yang
mendasari kehidupan setiap masyarakat di Indonesia. Potensi dari sector pertanian di Indonesia
didukung oleh ketersediaan sumber daya alam, serta kondisi iklim yang sangat baik untuk
bertani. Sehingga, sektor pertanian layak untuk dikembangkan secara berkelanjutan demi
kelangsungan hidup suatu bangsa.
Seiring dengan perkembangan pembangunan, peran pertanian mulai menurun setelah
prioritas pembangunan beralih ke sektor non pertanian. Masalah-masalah juga mulai muncul dan
cukup sulit untuk diatasi. Majunya pembangunan mengakibatkan tingkat pendapatan masyarakat
juga makin tinggi. Keadaan ini ternyata tidak selalu membawa dampak baik pada usaha
pertanian. Kenyataannya kenaikan pendapatan masyarakat yang makin tinggi secara proposional
akan menyebabkan kenaikan pendapatan yang dibelanjakan untuk produk pertanian semakin
menurun, ini akibat dari sifat produk pertanian yang memiliki elastisitas rendah. Sehingga
banyak produk pertanian yang tidak terjual secara baik, serta kenaikan nilai tambah yang sangat
kecil. Akibatnya penerimaan petani mejadi rendah dan akhirnya pendapatan petani secara umum
juga semakin rendah.
Kebijakan tentang murah pangan juga membawa implikasi masalah bagi petani, yakni
semakin menurunnya nilai tukar sektor pertanian dibandingkan dengan sektor industri.
Tujuan kebijakan meliputi pertimbangan stabilitas politik dan sosial, integrasi ekonomi
nasional, peningkatan keamanan pangan, peningkatan penerimaan ekspor, pencegahan
kekurangan gizi, pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, dll. Scopenya bisa lokal,
provinsi atau nasioanal. Penerapan kebijakan menyesuaikan dengan kendala yang muncul
disektor pertanian. Misal harga tidak stabil maka kebijakan yang diterapkan adalah stabilisasi
harga hasil usaha tani. Apabila ingin mengangkat kesejahteraan petani maka seluruh kebijakan
hendaknya diarahkan untuk peningkatan produktifitas pertanian baik fisik maupun nilai
tambahnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diajukan beberapa rumusan masalah,
antara lain :
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan pertanian?
2. Apa saja kebijakan pangan yang di permasalahkan?
3. Bagaimana strategi dalam upaya pembangunan kebijakan pertanian?
4. Apa saja permasalahan di bidang pertanian?
5. Strategi dan kebijakan pokok pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian?

1.3 TUJUAN
Adapun tujuan yang diperoleh dari rumusan masalah tersebut adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari kebijakan pertanian.
2. Untuk mengetahui permasalahan di bidang pertanian.
3. Untuk mengetahui strategi dalam upaya pembangunan kebijakan pertanian.
4. Untuk mengetahui permasalahan dibidang pertanian.
5. Untuk mengetahui strategi dan kebijakan pokok pembangunan pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian.

1.4 MANFAAT
Manfaat yang dapat kita petik dari makalah ini adalah kita dapat mengetahui tentang
permasalahan dan kebijakan pertanian yang ada di Indonesia sehingga dengan adanya
kebijakan pertanian ini, masyarakat dapat lebih memahami hal-hal apa yang perlu di
perhatikan dalam kegiatan usaha tani mereka mereka.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KEBIJAKAN PERTANIAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih
produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan
kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat
maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-
undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.
Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating
policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan
yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk
sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan
harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap
kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang
memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang dirugikan. Itulah
sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan
pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan sekaligus
mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang
lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal
dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.

BEBERAPA KEBIJAKAN DI BIDANG PERTANIAN


1. Kebijakan Harga
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan
biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan
pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk
mengadakan stabilitas harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani
tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat
mengandung pemberian penyangga (support) atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu
merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak
negara seperti; Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil pertanian seperti
gandum, kapas, padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa harga penyangga
dan atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk beberapa hasil
pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai untuk mencapai
tiga tujuan yaitu:
1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
2. meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade)
3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada tujuan pertama yaitu Stabilitas
harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula terjadi
kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian
di negara-negara yang sudah maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian
terlau rendah dibandingkan dengan penghasilan di luar sektor pertanian.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara yang
sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah produksi
dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga, pemerintah membuat perencanaan
produksi dan petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan produksi yang
diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi
kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga yang
menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan
pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini
mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti
menggeser kurva penawaran ke atas.

2. Kebijakan Pemasaran
Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat
mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang
sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran dari produsen ke konsumen,
dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika seperti
Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama Badan Pemasaran Pusat (Central Marketing
Board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani.
Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930
untuk industri bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia Badan Pengurusan Kopra,
Badan Pemasaran Lada pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan Badan pemasaran
Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada
tingkat petani, tidak ada keinginan untuk mengadakan penanaman baru dan usaha-usaha lain
untuk menaikkan produksi karena persentase harga yang diterima oleh petani relatif kecil
dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.
Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor, kebijakan ini
meliputi pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi petani. Pemerintah berusaha
menciptakan persaingan yang sehat di antara para pedagang dengan melayani kebutuhan petani
seperti pupuk, insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli sarana-
sarana produksi tersebut dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa
kebijakan pemasaran merupakan usaha campur tangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-
kekuatan pasar.

3. Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur produksi
misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan
perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari beberapa
lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah untuk mencapainya
dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan
unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya.
Oleh karena itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam
sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih mudah pada sektor industri.
Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu contoh dari
kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula
untuk mempercepat proses perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-komoditi
pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam
kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak dapat dipisahkan, dan
ketiganya saling melengkapi.
4. Kebijakan Pertanian dan Industri
Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:
1. Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung pada alam yang
kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya, sedangkan industri tidak
demikian.
2. Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan mentah yang
dengan kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak akan
naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri
3. Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi saja yang
menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain memegang
peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk).
Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai perbedaan dalam
respons permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih kecil
daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan radio, buku-buku, mobil
dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas permintaan beras dan bahan pakaian.
Hal ini disebabkan pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan
sektor pertanian maka elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih
besar daripada atas bahan makanan pokok.

5. Pendapatan Penduduk Desa dan Kota


Perbedaan kebijakan antar sektor pertanian dan industri dapat dilihat pula dalam
keperluan akan kebijakan yang berbeda antara penduduk kota dan penduduk desa. Perbedaan
pendapatan antara penduduk kota dan penduduk pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga
mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan perilaku ekonomi lain-lainnya.
Ada tiga hal yang meyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih tinggi dibanding
penduduk desa yaitu:
1. kestabilan dan kemantapan pendapatan penduduk kota lebih besar dibanding pendapatan
penduduk desa
2. lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi di
kota lebih banyak dibandingkan di desa
3. lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota yang memungkinkan rata-rata
produktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.
Salah satu upaya untuk mengurangi perbedaan pendapatan ini adalah dengan
Menambah persediaan modal di desa serta mengurangi jumlah tenaga kerja di pedesaan
dan diserap bagi lapangan industri di kota-kota. Dengan lebih banyaknya investasi di desa
misalnya dalam alat-alat pertanian yang lebih modern, huller , traktor dan juga dalam
pembangunan-pembangunan prasarana fisik seperti jembatan-jembatan baru, bendungan irigasi
dan lain-lain maka timbul adanya keperluan akan peningkatan keterampilan tenaga kerja.
Seorang petani yang mengerjakan sawah dengan bajak atau traktor dalam waktu yang sama akan
mampu menyelesaikan luas sawah yang lebih besar daripada petani lain yang hanya
menggunakan cangkul. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah:
1. Adanya tambahan modal yang berupa pajak dan ternak serta mesin traktor pada petani
pertama
2. Adanya keahlian dan keterampilan khusus yang diperlukan oleh petani yang menjalankan
bajak atau traktor itu.
Kedua unsur inilah yang menimbulkan perbedaan produktivitas tenaga kerja.

B. Permasalahan Pertanian
1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan dalam
Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan
produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian juga merupakan bagian dari hidupnya,
bahkan suatu cara hidup (way of live), sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-
aspek sosial dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi
semuanya memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari
segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh
petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan
kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan persoalan
ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang
harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini
sering pula disebut gestation period, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada
dalam bidang industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan
dari penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang
pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil
setiap hari sehabis ia menjual ikannya. Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola
penerimaan pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim
panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang
dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.

2. Tekanan Penduduk dan Pertanian


Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah persoalan
yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah penduduk. Malthus
dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai persoalan-persoalan penduduk dan
masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan bahan makanan. Penduduk bertambah lebih cepat
daripada pertambahan produksi bahan makanan. Penduduk bertambah menurut deret ukur,
sedangkan produksi bahan makanan hanya bertambah menurut deret hitung. Persoalan penduduk
di Indonesia tidak hanya dalam kepadatannya tetapi juga pembagian antardaerah tidak seimbang.
Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan pemusatan penduduk di kota-
kota besar. Tingkat pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran tinggi, sedangkan
angka kematian menurun. Menurunnya angka kematian disebabkan oleh kemajuan kesehatan dan
sanitasi.
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat dilihat dari tanda-
tanda berikut:
1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil
2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun
3. bertambahnya pengangguran
4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya hutang-hutang
pertanian.
3. Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan mengenai
ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari kata subsist yang berarti
hidup. Pertanian yang subsisten diartikan sebagai suatu sistem bertani dimana tujuan utama dari
si petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Namun dalam
menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak ada petani
susbsisten yang begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain. Dalam
kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan tanah yang
dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi lingkungan hidupnya.
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka memandang pertanian sebagai
sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi pertanian itu.
Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berarti bahwa petani susbsisten tidak berfikir dalam
pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam
bentuk pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi
dalam kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.

4. Mekanisasi, Pemecahan Masalah Efisiensi Kerja Petani


Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya pembangunan sektor pertanian
dipusatkan pada upaya mendorong percepatan perubahan struktural, meliputi proses perubahan
dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian yang maju dan modern, dari sistem pertanian
subsistem ke sistem pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan ketergantungan kepada
kedudukan kemandirian.
Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar yang meliputi pengalokasian
sumber daya (baik alam, manusia maupun mekanik), penguatan kelembagaan dan pemberdayaan
manusia. Dalam pelaksanaannya harus meliputi langkah-langkah nyata untuk meningkatkan
akses kepada aset produktif berupa teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk
tujuan-tujuan yang lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk antara lain pengolahan tanah,
pemberian air pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendlaian hama dan penyakit, dan
pemanenan secara bijaksana.
Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya tenaga petani yang terampil
dalam mengelola usaha taninya. Juga terbentuknya masyarakat petani yang maju, bersemangat
profesional sehingga mampu menghadapi tantangan dan permasalahan dalam melaksanakan
usaha taninya.

5. Perlunya Efisiensi
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian, pemakaian tenaga kerja di sektor
pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di Amerika Serikat kurang
lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja
manusia di Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya
perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam
jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja
(petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai
dengan produksi kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan
hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se efisien
mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat
menangani suatu bahan, masih belum mendapat perhatian secara serius. Padahal fungsi perbaikan
pertanian adalah menaikkan pendapatan, kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat
kecilnya efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi
pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya memberi landreform
(Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian Kredit Usaha Tani), tetapi perlu
juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja yang monoton dengan hasil yang rendah
menyebabkan petani mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan
petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-
gebrakan baru yang menggairahkan petani.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan produktivitas tinggi
masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang efisien selalu dihantui oleh
pembengkakan pengangguran terutama di wilayah perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga
pengangguran semu dalam sektor pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga
kerja semu ini karena efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau
memang karena distribusi kerja yang tidak merata.

6. Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, pembangunan sektor pertanian diarahkan
untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli, taraf hidup, kapasitas dan kemandirian
serta akses masyarakat pertanian dalam proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan
kuantitas produksi serta distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian
diarahkan pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri,
maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang sampai sekarang tampaknya
relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan mekanisasi pertanian (penggunaan alat dan
mesin pertanian). Sudah saatnya dimulai penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian
nasional meskipun tetap dilakukan secara selektif.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat dikembangkan dengan peningkatan
penggunaan alat dan mesin pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen.
Salah satu keuntungan yang diperoleh adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas
pemanfaatan sumber daya alam.

7. Mekanisasi Dan Distribusi Kerja


Penggunaan alat dan mesin pertanian saat ini memang sudah merupakan suatu kebutuhan.
Efisiensi tinggi saat ini harus mulai diperkenalkan kepada petani. Hal ini tentu beralasan karena
tenaga kerja yang digunakan saat ini tidak mempunyai kesinambungan (kontinuitas). Seorang
buruh tani hanya akan dibutuhkan pada saat pengolahan tanah dan panen. Pada proses lain
mereka kurang dibutuhkan, akhirnya terjadi pengangguran yang tidak kentara (disguised
unemployment). Pembuangan waktu yang lama dan sia-sia ini menyebabkan efisiensi menjadi
lebih rendah.
Berdasarkan data dalam Involusi Pertanian, pada saat pengolahan tanah, traktorisasi di
Indonesia sangat rendah dibanding negara lain. Pada hakikatnya Indonesia masih sangat
ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha.
Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian
traktor ini disebabkan oleh rendahnya perkembangan mekanisasi di Indonesia.

C. Strategi dan Kebijakan Pokok Pembangunan Pengolahan dan Pemasaran Hasil


Pertanian
Dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian, maka strategi kebijakan yang ditempuh harus mencerminkan visinya, yaitu:
tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dalam hubungan tersebut maka strategi pokok
pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah:

1. Meningkatkan Kapasitas dan Memberdayakan SDM serta Kelembagaan Usaha di


Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
Salah satu permasalahan yang mendasar dalam memajukan usaha pertanian di tanah air
adalah masih lemahnya kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaan usaha dalam hal
penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil. Hal tersebut disebabkan oleh karena
pembinaan SDM pertanian selama ini lebih difokuskan kepada upaya peningkatan produksi
(budidaya) pertanian, sedangkan produktivitas dan daya saing usaha agribisnis sangat ditentukan
oleh kemampuan pelaku usaha yang bersangkutan dalam mengelola produk yang dihasilkan
(pasca panen dan pengolahan hasil) serta pemasarannya. Adapun beberapa kebijakan operasional
terkait dengan strategi tersebut adalah:

1. Meningkatkan penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan di bidang pasca panen,


pengolahan serta pemasaran hasil pertanian;
2. Mengembangkan kelembagaan usaha pelayanan pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian yang langsung dikelola oleh petani/kelompok tani.

Ditinjau dari peranannya dalam sumbangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dan serapan tenaga kerja,sumbangan PDRB sektor pertanian sekitar 15,04%, dengan
menanggung lebih dari 36,42% tenaga kerja dapat dikatakan memiliki peranan yang tidak
proporsional (BPS, Februari 2014). Rendahnya sumbangan PDRB ini antara lain dipengaruhi
oleh rendahnya pendidikan tenaga kerja di sektor pertanian yang menyebabkan lambatnya adopsi
berbagai teknologi tepat guna dan minimnya pemanfaatan peluang-peluang untuk meningkatkan
produktivitas.
Permasalahan utama ketenagakerjaan di sektor pertanian, yaitu keberadaan usia tenaga kerja
produktif dan tingkat pendidikan. Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2010, sebanyak 11,5%
tenaga kerja di sektor pertanian sebagian besar merupakan tenaga kerja yang berusia antara 40
44 tahun dan disusul sebanyak 11,0% tenaga kerja kelompok usia 44 - 45 tahun. Dilihat dari sisi
pendidikan, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2012,
tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak sekolah sampai yang tamat sekolah dasar mencapai
74,5%, disusul oleh lulusan sekolah menengah pertama sebesar 15,7% dan lulusan sekolah
menengah atas sebesar 9.15%. Kondisi ini sangat timpang dengan ketenagakerjaan pada sektor
industri pengolahan dan jasa. Pada sektor industri pengolahan sebagian besar tenaga kerja
berlatar belakang pendidikan sekolah menengah atas dengan proporsi 14,8% dan pada berbagai
sektor jasa sebagian besar tenaga kerja berlatar belakang pendidikan sekolah menengah atas
dengan proporsi 33,4%. Ketimpangan ini yang menyebabkan perbedaan pendapatan rata-rata
tenaga kerja di sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan dan jasa.

Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Berdasarkan Tingkat Umur Tahun 2008 - 2012
Jenis Kelamin
Pertumb
Tahun TOTAL u- han
Laki- Pertumb Perempu Pertumb (%)
laki u- han an u- han
(orang (%) (orang (%)
) )
2010 23.781.23 0,36 14.917.81 0,02 38.699.043 0,23
3 0
2011 22.482.25 (5,46) 14.059.71 (5,75) 36.541.972 (5,57)
7 5
2012 22.339.14 (0,64) 14.090.11 0,22 36.429.250 (0,31)
0 0
2013 22.095.25 (1,09) 13.952.94 (0,97) 36.048.200 (1,05)
2 8
2014 21.903.06 (0,87) 13.866.08 (0,62) 35.769.148 (0,77)
3 5
Rerata
2010 - 22.520.18 (1,54) 14.177.33 (1,42) 36.697.523 (1,49)
2014 9 4
Umur Tenaga Kerja
Tahun
15-29 30-44 45-59 >60 Tahun Jumlah
2008 9.312.562 13.009.63 10.706.53 5.246.159 38.364.98
2009 6
9.273.128 13.062.56 4
10.871.77 1
5.402.522 38.609.99
2010 9
8.421.813 13.353.18 8
11.381.63 7
5.542.414 38.699.04
5 1 3
2011 8.416.895 12.782.13 10.484.74 4.858.199 36.541.97
2012 8.081.531 6
12.848.56 2
10.402.54 5.096.615 2
36.429.25
Rerata 2 2 0
Pertumbuha -3.41 -0.45 -0.61 -0.47 -1.25
n

2. Meningkatkan Inovasi Dan Diseminasi Teknologi Pasca Panen Dan Pengolahan.


Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan yang menitik beratkan kepada usaha
produksi (budidaya) selama ini adalah kurang memadainya upaya-upaya inovasi teknologi pasca
panen dan pengolahan serta diseminasinya. Hal tersebut mengakibatkan lemahnya daya saing
dan kecilnya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh petani, sehingga kesejahteraan tidak
meningkat dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk
pertanian maka perlu ditingkatkan upaya-upaya inovasi teknologi pasca panen dan pengolahan
hasil pertanian serta diseminasinya. Dalam hubungan tersebut, beberapa kebijakan yang akan
dilaksanakan adalah:
1. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan sumber-sumber inovasi teknologi seperti
lembaga riset, Perguruan Tinggi dan bengkel-bengkel swasta dalam rangka pengembangan
dan diseminasi teknologi tepat guna.
2. Mengembangkan bengkel alsin pascapanen dan pengolahan hasil
3. Mengembangkan sistem sertifikasi dan apresiasi (penghargaan) terhadap inovasi teknologi
yang dilakukan oleh masyarakat.
4. Mengembangkan pilot proyek dan percontohan penerapan teknologi pasca panen dan
pengolahan hasil pertanian.
5. Memberikan penghargaan dengan kriteria mutu, rasa, skala usaha, tampilan terhadap produk
olahan yang dihasilkan oleh para pelaku usaha.

3. Meningkatkan Efisiensi Usaha Pasca Panen, Pengolahan Dan Pemasaran Hasil


Kunci terpenting dalam rangka meningkatkan daya saing produk pertanian baik produk
segar maupun olahan hasil pertanian adalah mutu produk yang baik dan efisiensi dalam proses
produksi maupun pada tahap pemasarannya. Mutu produk dan efisiensi akan berpengaruh
langsung terhadap harga dari setiap produk bersangkutan. Kebijakan dalam rangka meningkatkan
mutu dan efisiensi produksi dan pemasaran hasil pertanian di antaranya adalah:
1. Revitalisasi teknologi dan sarana/ prasarana usaha pasca panen pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian;
2. Mengembangkan produksi sesuai potensi pasar;
3. Menerapkan sistem jaminan mutu, termasuk penerapan GAP, GHP dan GMP;
4. Mengembangkan kelembagaan pemasaran yang dikelola oleh kelompok tani di sentra
produksi;
5. Mengupayakan sistem dan proses distribusi yang efisien.
6. Memfasilitasi pengembangan kewirausahaan dan kemitraan usaha pada bidang pemasaran
hasil pertanian

4. Meningkatkan Pangsa Pasar Baik Di Pasar Domestik Maupun Internasional.


Pasar merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha agribisnis; oleh karena itu
maka pengembangan pemasaran harus selalu dilakukan sejalan dengan pengembangan usaha
produksi. Seperti usaha industri pada umumnya, sistem usaha produksi pertanian atau agribisnis
dimulai dengan salah satu kegiatan pemasaran yaitu Riset Pasar. Dari kegiatan riset pasar
dihasilkan informasi pasar yaitu antara lain berupa potensi pasar dan harga. Sub sistem
selanjutnya adalah perencanaan produksi, termasuk penentuan desain produk, volume dan waktu.
Dalam sistem budidaya pertanian, perencanaan tersebut lazim disebut sebagai penentuan pola
tanam atau penentuan luas tanam untuk tanaman semusim. Hal tersebut perlu dilakukan dalam
rangka menjaga stabilitas harga produk yang bersangkutan tetap berada pada tingkat harga yang
wajar berdasarkan keseimbangan kebutuhan dan pasokan atas produk yang bersangkutan. Sub
sistem selanjutnya adalah kegiatan pemasaran yang meliputi: promosi, penjualan dan diakhiri
dengan distribusi (delivery). Dalam hubungan tersebut maka beberapa kebijakan dalam
pengembangan pasar ialah:
1. Mengembangkan kegiatan riset pasar
2. Meningkatkan pelayanan informasi pasar;
3. Meningkatkan promosi dan diplomasi pertanian;
4. Mengembangkan infrastruktur dan sistem pemasaran yang efektif dan adil.
5. Rasionalisasi impor produk pertanian.
5. Pendekatan Pengembangan Industri Melalui Konsep Cluster Dalam Konteks
Membangun Daya Saing Industri Yang Berkelanjutan
Pokok-pokok rencana aksi, dalam jangka menengah ditujukan untuk memperkuat rantai
nilai (value chain) melalui penguatan struktur, diversifikasi, peningkatan nilai tambah,
peningkatan mutu, serta perluasan penguasaan pasar. Sedangkan untuk jangka panjang
difokuskan pada upaya pembangunan industri pertanian yang mandiri dan berdaya saing tinggi.
Adapun prioritas cluster industri pertanian yang akan dikembangkan dalam jangka menengah
meliputi :
1. Pengembangan Industri yang memiliki daya saing (Competitive Industry)
a. Industri Pengolahan kakao dan cokelat,
b. Industri Pengolahan Buah,
c. Industri Pengolahan Kelapa,
d. Industri Pengolahan Kopi,
e. Industri Pengolahan Tembakau,
f. Industri Kelapa Sawit, dan
g. Industri Karet dan Barang Karet
h. Industri Pasca Panen Produk Segar
2. Pengembangan Industri Strategis
a. Industri Perberasan
a. Industri Kedele
b. Industri Jagung
c. Industri Gula
d. Industri Daging dan Susu
3. Pengembangan Industri Rumah Tangga
- Industri pangan lokal, camilan dan pengolahan produk samping.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih
produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan
kesejahteraan petani meningkat.
Beberapa kebijakan di bidang pertanian Kebijakan Harga kebijakan pemasaran,
kebijakan structural, kebijakan pertanian dan industry, pendapatan penduduk desa dan kota.
Itulah beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah indonesia. Yang diharapkan dapagt
meningkatkan hasil produk pertanian indonesia.
Beberapa permasalahan pertanian jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan
penerimaan pendapatan dalam pertanian, tekanan penduduk dan pertanian, pertanian subsisten,
mekanisasi pemecahan masalah efisiensi kerja petani, perlunya efisiensi, tuntutan inovasi dan
mekanisasi dan distribusi kerja.
Untuk mengatasi permasalah diatas pemerintah kini tengah gencar mengatasi
permasalahan yang ada dalam bidang pertanian Indonesia misalnya dengan pengembangan
teknologi permodalan untuk para petani ditambah dan pengusahaan peningkatan hasil pertanian.
DAFTAR PUSTAKA

Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES,Yogyakarta, 1977


Suyastiri, Ni Made. "Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal Dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaaan Di Kecamatan Semin
Kabupaten Gunung Kidul." Jurnal Ekonomi Pembangunan 13.1 (2008): 51-60.
Pangan, Dewan Ketahanan. "Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 20062009."

Anda mungkin juga menyukai