Permaslahan Dan Kebijakan Pertanian
Permaslahan Dan Kebijakan Pertanian
Disusun Oleh:
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan yang diperoleh dari rumusan masalah tersebut adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari kebijakan pertanian.
2. Untuk mengetahui permasalahan di bidang pertanian.
3. Untuk mengetahui strategi dalam upaya pembangunan kebijakan pertanian.
4. Untuk mengetahui permasalahan dibidang pertanian.
5. Untuk mengetahui strategi dan kebijakan pokok pembangunan pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian.
1.4 MANFAAT
Manfaat yang dapat kita petik dari makalah ini adalah kita dapat mengetahui tentang
permasalahan dan kebijakan pertanian yang ada di Indonesia sehingga dengan adanya
kebijakan pertanian ini, masyarakat dapat lebih memahami hal-hal apa yang perlu di
perhatikan dalam kegiatan usaha tani mereka mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEBIJAKAN PERTANIAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih
produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan
kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat
maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-
undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.
Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating
policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan
yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk
sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan
harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap
kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang
memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang dirugikan. Itulah
sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan
pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan sekaligus
mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang
lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal
dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.
2. Kebijakan Pemasaran
Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen, pemerintah dapat
mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang
sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai pemasaran dari produsen ke konsumen,
dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika seperti
Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama Badan Pemasaran Pusat (Central Marketing
Board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani.
Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930
untuk industri bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia Badan Pengurusan Kopra,
Badan Pemasaran Lada pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan Badan pemasaran
Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada
tingkat petani, tidak ada keinginan untuk mengadakan penanaman baru dan usaha-usaha lain
untuk menaikkan produksi karena persentase harga yang diterima oleh petani relatif kecil
dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.
Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor, kebijakan ini
meliputi pula pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi petani. Pemerintah berusaha
menciptakan persaingan yang sehat di antara para pedagang dengan melayani kebutuhan petani
seperti pupuk, insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli sarana-
sarana produksi tersebut dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa
kebijakan pemasaran merupakan usaha campur tangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-
kekuatan pasar.
3. Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki strukutur produksi
misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan
perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari beberapa
lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah untuk mencapainya
dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan
unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan petani dengan segala aspeknya.
Oleh karena itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam
sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih mudah pada sektor industri.
Pengenalan baru dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu contoh dari
kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula
untuk mempercepat proses perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-komoditi
pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra, lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam
kenyataannya pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak dapat dipisahkan, dan
ketiganya saling melengkapi.
4. Kebijakan Pertanian dan Industri
Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:
1. Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena tergantung pada alam yang
kebanyakannya di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya, sedangkan industri tidak
demikian.
2. Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan bahan-bahan mentah yang
dengan kemajuan ekonomi dan kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak akan
naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri
3. Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-faktor ekonomi saja yang
menentukan tetapi juga faktor-faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain memegang
peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk).
Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori ekonomi sebagai perbedaan dalam
respons permintaan dan penawaran atas perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil pertanian jauh lebih kecil
daripada hasil-hasil industri. Misalnya elastisitas harga atas permintaan radio, buku-buku, mobil
dan lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas permintaan beras dan bahan pakaian.
Hal ini disebabkan pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada pendapatan
sektor pertanian maka elastisitas pendapatan atas permintaan barang-barang hasil industri lebih
besar daripada atas bahan makanan pokok.
B. Permasalahan Pertanian
1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan dalam
Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan
produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian juga merupakan bagian dari hidupnya,
bahkan suatu cara hidup (way of live), sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-
aspek sosial dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi
semuanya memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari
segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh
petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan
kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan persoalan
ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang
harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini
sering pula disebut gestation period, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada
dalam bidang industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan
dari penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang
pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil
setiap hari sehabis ia menjual ikannya. Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola
penerimaan pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim
panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang
dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.
5. Perlunya Efisiensi
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian, pemakaian tenaga kerja di sektor
pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di Amerika Serikat kurang
lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja
manusia di Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya
perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam
jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja
(petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai
dengan produksi kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan
hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se efisien
mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat
menangani suatu bahan, masih belum mendapat perhatian secara serius. Padahal fungsi perbaikan
pertanian adalah menaikkan pendapatan, kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat
kecilnya efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi
pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya memberi landreform
(Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian Kredit Usaha Tani), tetapi perlu
juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja yang monoton dengan hasil yang rendah
menyebabkan petani mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan
petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-
gebrakan baru yang menggairahkan petani.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan produktivitas tinggi
masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang efisien selalu dihantui oleh
pembengkakan pengangguran terutama di wilayah perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga
pengangguran semu dalam sektor pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga
kerja semu ini karena efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau
memang karena distribusi kerja yang tidak merata.
6. Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijakan pembangunan nasional, pembangunan sektor pertanian diarahkan
untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli, taraf hidup, kapasitas dan kemandirian
serta akses masyarakat pertanian dalam proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan
kuantitas produksi serta distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian
diarahkan pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri,
maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang sampai sekarang tampaknya
relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan mekanisasi pertanian (penggunaan alat dan
mesin pertanian). Sudah saatnya dimulai penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian
nasional meskipun tetap dilakukan secara selektif.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat dikembangkan dengan peningkatan
penggunaan alat dan mesin pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen.
Salah satu keuntungan yang diperoleh adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas
pemanfaatan sumber daya alam.
Ditinjau dari peranannya dalam sumbangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dan serapan tenaga kerja,sumbangan PDRB sektor pertanian sekitar 15,04%, dengan
menanggung lebih dari 36,42% tenaga kerja dapat dikatakan memiliki peranan yang tidak
proporsional (BPS, Februari 2014). Rendahnya sumbangan PDRB ini antara lain dipengaruhi
oleh rendahnya pendidikan tenaga kerja di sektor pertanian yang menyebabkan lambatnya adopsi
berbagai teknologi tepat guna dan minimnya pemanfaatan peluang-peluang untuk meningkatkan
produktivitas.
Permasalahan utama ketenagakerjaan di sektor pertanian, yaitu keberadaan usia tenaga kerja
produktif dan tingkat pendidikan. Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2010, sebanyak 11,5%
tenaga kerja di sektor pertanian sebagian besar merupakan tenaga kerja yang berusia antara 40
44 tahun dan disusul sebanyak 11,0% tenaga kerja kelompok usia 44 - 45 tahun. Dilihat dari sisi
pendidikan, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2012,
tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak sekolah sampai yang tamat sekolah dasar mencapai
74,5%, disusul oleh lulusan sekolah menengah pertama sebesar 15,7% dan lulusan sekolah
menengah atas sebesar 9.15%. Kondisi ini sangat timpang dengan ketenagakerjaan pada sektor
industri pengolahan dan jasa. Pada sektor industri pengolahan sebagian besar tenaga kerja
berlatar belakang pendidikan sekolah menengah atas dengan proporsi 14,8% dan pada berbagai
sektor jasa sebagian besar tenaga kerja berlatar belakang pendidikan sekolah menengah atas
dengan proporsi 33,4%. Ketimpangan ini yang menyebabkan perbedaan pendapatan rata-rata
tenaga kerja di sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan dan jasa.
Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Berdasarkan Tingkat Umur Tahun 2008 - 2012
Jenis Kelamin
Pertumb
Tahun TOTAL u- han
Laki- Pertumb Perempu Pertumb (%)
laki u- han an u- han
(orang (%) (orang (%)
) )
2010 23.781.23 0,36 14.917.81 0,02 38.699.043 0,23
3 0
2011 22.482.25 (5,46) 14.059.71 (5,75) 36.541.972 (5,57)
7 5
2012 22.339.14 (0,64) 14.090.11 0,22 36.429.250 (0,31)
0 0
2013 22.095.25 (1,09) 13.952.94 (0,97) 36.048.200 (1,05)
2 8
2014 21.903.06 (0,87) 13.866.08 (0,62) 35.769.148 (0,77)
3 5
Rerata
2010 - 22.520.18 (1,54) 14.177.33 (1,42) 36.697.523 (1,49)
2014 9 4
Umur Tenaga Kerja
Tahun
15-29 30-44 45-59 >60 Tahun Jumlah
2008 9.312.562 13.009.63 10.706.53 5.246.159 38.364.98
2009 6
9.273.128 13.062.56 4
10.871.77 1
5.402.522 38.609.99
2010 9
8.421.813 13.353.18 8
11.381.63 7
5.542.414 38.699.04
5 1 3
2011 8.416.895 12.782.13 10.484.74 4.858.199 36.541.97
2012 8.081.531 6
12.848.56 2
10.402.54 5.096.615 2
36.429.25
Rerata 2 2 0
Pertumbuha -3.41 -0.45 -0.61 -0.47 -1.25
n
KESIMPULAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih
produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan
kesejahteraan petani meningkat.
Beberapa kebijakan di bidang pertanian Kebijakan Harga kebijakan pemasaran,
kebijakan structural, kebijakan pertanian dan industry, pendapatan penduduk desa dan kota.
Itulah beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah indonesia. Yang diharapkan dapagt
meningkatkan hasil produk pertanian indonesia.
Beberapa permasalahan pertanian jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan
penerimaan pendapatan dalam pertanian, tekanan penduduk dan pertanian, pertanian subsisten,
mekanisasi pemecahan masalah efisiensi kerja petani, perlunya efisiensi, tuntutan inovasi dan
mekanisasi dan distribusi kerja.
Untuk mengatasi permasalah diatas pemerintah kini tengah gencar mengatasi
permasalahan yang ada dalam bidang pertanian Indonesia misalnya dengan pengembangan
teknologi permodalan untuk para petani ditambah dan pengusahaan peningkatan hasil pertanian.
DAFTAR PUSTAKA