Anda di halaman 1dari 6

TUGAS SEJARAH UMUM TENTANG

BIOGRAFI KARTOSUWIRYO

Disusun oleh:
IMRON
XII IPS 2

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


KABUPATEN TEBO
SMA N 7 KAB.TEBO
TAHUN AJARAN 2016/2017
Biografi S.M. Kartosuwiryo

Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo demikian nama lengkap dari Kartosoewiryo,


dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi
daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana
budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.
Ayahnya, yang bernama Kartosuwiryo bekerja sebagai mantri pada kantor yang
mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang.

Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi
inilah, ayah Kartosoewiryo, mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi
saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya.
Kartosuwiryo, pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.

Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya gerakan pencerahan
Indonesia ketika itu, Kartosuwiryo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem
rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini
juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan
keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah
pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di
Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki
yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk
berbagai Serikat Buruh.

Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosuwiryo
berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau
Sekolah kelas dua untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan
sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya
pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche
Lagere School). Bagi seorang putra pribumi, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya
dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk
sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan
masyarakat Indo-Eropa.

Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosuwiryo mendapatkan pendidikan agama


dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi guru agamanya. Dia adalah tokoh
Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri
kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosuwiryo
Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosuwiryobersikap dalam
merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the
formative age-nya.

Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya
melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran
Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas
organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.

Selama kuliah Kartosuwiryo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia


mulai mengaji secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu terasuki oleh
shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya
untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering
meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan
oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari
berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.

Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki
organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-
pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo.
Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan
didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu
Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya.
Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena terasuki ilmu-ilmu Islam,
melainkan dituduh komunis karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi
yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang
zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang
memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah
seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya
sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas Kartosuwiryo

Semasa kuliah di Surabaya inilah Kartosoewirjo banyak terlibat dalam organisasi pergerakan
nasional seperti Jong Java dan Jong Islamieten Bond (JIB), dua organisasi pemuda yang berperan
penting dalam Sumpah Pemuda 1928. Selain itu ia juga masuk Sjarikat Islam (SI) dan banyak
dipengaruhi oleh pemikiran politik HOS Tjokroaminoto yang sangat mengangan-angankan
berdirinya sebuah baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negeri yang makmur dan diridhoi
Allah SWT). Ketika Syarikat Islam berubah menjadi Partai Sjarikat Islam Hindia Timur
(PSIHT), Kartosoewirjo dipercaya memegang jabatan sekretaris jenderal. Saat itu usianya masih
sangat muda, baru 22 tahun.

Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam Indonesia
(PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita
untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia
menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari
PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).

Kartosoewirjo amat kritis. Ia banyak menulis kritikan baik bagi penguasa pribumi maupun
pemerintah kolonial di Harian Fadjar Asia, surat kabar tempatnya bekerja sebagai wartawan dan
beberapa saat kemudian diangkat sebagai redaktur. Ketika Jepang menguasai Hindia Timur,
seluruh organisasi pergerakan dibubarkan. Jepang hanya memperbolehkan beberapa organisasi
yang dianggap tidak membahayakan kedudukan Jepang. Oleh karena itu PSIHT dibubarkan dan
berganti menjadi Madjlis Islam Alaa Indonesia (MIAI) pimpinan Wondoamiseno. Kala itu
Kartosoewirjo menjabat sebagai sektretaris Majelis Baitul-Mal, organisasi di bawah MIAI.

Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh
Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal
kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa
mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu
berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Quran. Ia tetap istiqomah pada
pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu
sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.

Pada masa perang kemerdekaan, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya
sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar
seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu
merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan
Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir
Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.

Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sebuah sumber menyatakan


bahwa sebenarnya Kartosoewirjo sudah terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaan sebuah
negara Islam. Namun atas pertimbangan kebangsaan dan kesatuan ia mencabut kembali
proklamasi tersebut dan bersedia turut menegakkan Republik Indonesia dengan syarat umat
Islam Indonesia diberi kesempatan untuk menjalankan syariat Islam.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam sila pertama Piagam Jakarta yang kemudian dihapus
sehingga hanya menyisakan kalimat Ketuhanan yang Maha Esa saja.

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut merupakan awal retaknya hubungan
Kartosoewirjo dan Soekarno, teman seperguruannya semasa masih dididik oleh HOS
Tjokroaminoto. Keduanya memang menunjukkan sikap dan prinsip politik berbeda.

Kartosoewirjo adalah seorang muslim taat yang mencita-citakan berdirinya negara berdasarkan
syariat Islam, sedangkan Soekarno nasionalis sekuler yang lebih mementingkan persatuan dan
kesatuan Indonesia dengan Pancasila-nya. Hal ini membuat Kartosoewirjo selalu berseberangan
dengan pemerintah RI. Ia bahkan menolak jabatan menteri yang ditawarkan Perdana Menteri
Amir Sjarifuddin.

Ketika wilayah Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta dan beberapa karesidenan di Jawa
Tengah sebagai hasil kesepakatan dalam Perjanjian Renville, Kartosoewirjo melihat peluang
untuk mendirikan negara Islam yang dicita-citakannya. Maka iapun memprokamasikan Negara
Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949. Jawa
Barat waktu itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda, sehingga klaim sejarah yang
menyatakan bahwa Kartosoewirjo merupakan pemberontak Republik Indonesia seharusnya
dipelajari kembali.

Pada tanggal 27 Desember 1949 pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk
sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam negara federasi
yang diakui kedaulatannya oleh Kerajaan Belanda itu, Republik Indonesia di Yogyakarta
merupakan salah satu dari 16 negara federal anggota RIS. Soekarno terpilih sebagai presiden
RIS, sedangkan jabatan presiden RI diserahkan pada Mr. Asaat. Terbentuknya RIS secara
otomatis membenturkan NII dengan RIS karena Negara Pasundan bentukan Belanda yang
menguasai wilayah Jawa Barat merupakan anggota federasi RIS. Konfrontasi memperebutkan
Jawa Baratpun meletus. RIS merasa berhak atas Jawa Barat berdasarkan hasil KMB, sedangkan
NII bersikeras mereka lebih berhak karena telah lebih dulu memproklamasikan diri sebelum
dibentuknya Negara Pasundan dan RIS.

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk


Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949.
Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi
Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk
menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan
Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan
panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.

Perang NII-RIS berlangsung selama 13 tahun. Dalam masa 13 tahun itu RIS berubah bentuk
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Negara Pasundan menjadi provinsi
Jawa Barat. Hal ini membuat NII semakin terpojok karena dengan bentuk baru RIS tersebut NII
seperti negara dalam negara
Akhir Perjuangan

Pada akhirnya tentara NKRI berhasil menghabisi perlawanan NII, ditandai dengan tertangkapnya
SM Kartosoewirjo selaku Imam Besar (presiden) NII di wilayah Gunung Geber pada 4 Juni
1962. Mahkamah militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan hukuman mati.
Mantan aktivis, jurnalis, sekaligus ulama kharismatik itupun menghembuskan napas terakhirnya
di depan regu tembak NKRI pada September 1962.

Pada masa Orde Baru (orde militerisme), Islamisme agaknya dipandang lebih berbahaya
daripada sekularisme, komunisme atau misionaris Kristen dan Yahudi. Bahkan Seminar TNI
Angkatan Darat (Agustus 1966) di Bandung malah bersikap antipati, menganggap gerakan Darul
Islam (DI) atau NII sebagai musuh bangsa nomor satu, baru menyusul PKI.

Sikap istiqamah yang ditunjukkan Kartosuwiryo terhadap cita-cita perjuangan yang telah
digariskannya patut diteladani oleh siapa saja (para aktivis) yang menyebut dirinya sebagai orang
pergerakan, apa pun ideologinya, dengan terlebih dahulu mengenyampingkan naluri sektarian
yang ada pada dirinya.

Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari
bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan
umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha
menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa
mereka itu mati), bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS.
2:154)

Tuduhan bahwa Kartosoewirjo sebagai pemberontak harus dikoreksi. Bukan saja demi
meluruskan sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan, namun juga agar kezaliman sejarah
tidak terus berlanjut terhadap tokoh yang kita hormati itu. Right?
Wallahua'lam. 1

1 www.wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai