Anda di halaman 1dari 31

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

(Case Report)

Disusun oleh:
Aulia Olviana S.Ked 1018011006
Tia Norma Pratiwi S.Ked 1018011023
Risa Andriana S.Ked 10180110
Faddly Hendarsyah S.Ked 1018011
Feri Eka Supratanda S.Ked 1018011119

Kepaniteraan Klinik Ilmu Forensik


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Bandar Lampung
RESUME

Seorang perempuan datang ke Pusat Pelayanan Terpadu RSUD Dr. H.


Abdul Moeloek sendiri, dengan membawa surat permintaan visum dari
Kepolisian Daerah Metro Jaya Resort Metropolitan Jakarta Timur dengan
nomor 429/VER/XI/2012/Res. JT. Surat ditujukan kepada Kepala RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek untuk dilakukan pemeriksaan fisik dan dibuatkan Visum
Et Repertum (VER).
Pada hari Jumat, tanggal 16 November 2012, pukul 16.00 WIB,
bertempat di rumah korban, korban mengaku telah telah diinjak kaki
kirinya dan dicekik lehernya oleh pelaku (suami korban). Kejadian ini
merupakan kejadian yang pertama kalinya. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan tumpul.
Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.

Korban diwawancara dan diperiksa oleh dokter muda Ilmu Kedokteran


Forensik dan dokter di Pusat Pelayanan Terpadu RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek dan dari hasil wawancara dan pemeriksaan terhadap korban,
maka dokter Pusat Pelayanan Terpadu membuat visum sementara yang
diberikan kepada polisi, baru kemudian dokter tersebut membuat Visum
et Repertum demi kepentingan peradilan.

1
ILUSTRASI KASUS

Pada hari Jumat, tanggal 16 November 2012, pukul 16.00 WIB,


bertempat di rumah korban, korban mengaku telah dianiaya oleh
pelaku (suami korban). Awalnya pada saat korban pulang bertugas
dari Palembang, setibanya dirumah korban dituduh oleh pelaku
telah berselingkuh oleh atasannya laki-laki di kantor. Kemudian
terjadi adu mulut, tetapi korban berusaha menghindari keributan
dengan cara berdiam di kamar. Namun pelaku bertambah marah
dan mencekik leher korban yang sedang berbaring di atas ranjang,
kemudian kaki korban ditarik dan diseret oleh pelaku sehingga
korban terjatuh ke lantai. Kemudian pelaku menginjak kaki kiri
korban dengan kaki pelaku. Lalu korban disudutkan ke tembok oleh
pelaku. Kemudian korban berusaha melawannya dengan melempar
raket nyamuk ke arah pelaku sambil berteriak. Kemudian korban
dan pelaku dilerai oleh anak korban dan tetangga. Setelah kejadian
tersebut pelaku mengancam akan membakar rumah orang tua
korban, dan bila korban melapor polisi maka orang tua korban akan
dibunuh. Selain itu pelaku juga mengancam akan mendatangi
atasan korban di kantor besok dan mengobrak-abrik kantor korban.
Korban dan pelaku dalam keadaan sadar, kejadian ini merupakan
kejadian yang pertama kalinya.

2
STATUS FORENSIK KLINIK
Hari/tanggal pemeriksaan: Sabtu, 17 November 2012, waktu pemeriksaan
pukul 13.15 WIB

I. IDENTITAS PASIEN/KORBAN
a. Nama : Sri Wahyuni
b. Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 20 November 1971
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Warga Negara : Indonesia
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : PNS
g. Alamat : Pinang Ranti RT 013/001, KelurahanPinang
Rantai,
Kecamatan Makassar, Jakarta Timur

II. IDENTITAS PENGANTAR


a. Nama : Heri Murtati
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Warga Negara : Indonesia
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
f. Hubungan dengan Klien : Kakak kandung
g. Alamat : Pinang Ranti RT 013/001,
Kelurahan Pinang
Rantai, Kecamatan Makassar,
Jakarta Timur

III. IDENTITAS PELAKU


a. Nama : Edi Rusmanto
b. Tempat/tanggal lahir : Palembang, 5 Mei 1969
c. Jenis Kelamin : Laki - laki
d. Warga Negara : Indonesia
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Tidak tetap
g. Hubungan dengan klien : Suami
h. Riwayat penggunaan obat-obatan (NAPZA) / alkohol : Tidak
ada

IV. ANAMNESIS/WAWANCARA

Korban datang dengan ditemani kakak kandung korban


pada tanggal tujuh belas November tahun dua ribu dua belas
pukul tiga belas titik lima belas Waktu Indonesia Barat ke Pusat
Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat Satu

3
Raden Said Sukanto Jakarta. Korban mengaku telah diinjak kaki
kirinya dan dicekik lehernya oleh pelaku (suami korban) pada
tanggal enam belas November tahun dua ribu dua belas pukul
enam belas titik nol-nol Waktu Indonesia Barat di rumah korban.
Kejadian bermula saat korban korban pulang bertugas dari
Palembang, setibanya dirumah korban dituduh oleh pelaku telah
berselingkuh oleh atasannya laki-laki di kantor. Kemudian terjadi
adu mulut, tetapi korban berusaha menghindari keributan
dengan cara berdiam di kamar. Namun pelaku bertambah marah
dan mencekik leher korban yang sedang berbaring di atas
ranjang, kemudian kaki korban ditarik dan diseret oleh pelaku
sehingga korban terjatuh ke lantai. Kemudian pelaku menginjak
kaki kiri korban dengan kaki pelaku. Lalu korban disudutkan ke
tembok oleh pelaku. Kemudian korban berusaha melawannya
dengan melempar raket nyamuk ke arah pelaku sambil berteriak.
Kemudian korban dan pelaku dilerai oleh anak korban dan
tetangga. Setelah kejadian tersebut pelaku mengancam akan
membakar rumah orang tua korban, dan bila korban melapor
polisi maka orang tua korban akan dibunuh. Selain itu pelaku
juga mengancam akan mendatangi atasan korban di kantor
besok dan mengobrak-abrik kantor korban. Korban dan pelaku
dalam keadaan sadar, kejadian ini merupakan kejadian yang
pertama kalinya.

V. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Keadaan Umum : Baik, kesadaran sadar penuh, emosi
stabil, kooperatif.
b. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
c. Nadi : 80 bpm
d. Pernafasan : 20 kali permenit
e. Suhu :36.5 C

VI. PEMERIKSAAN FISIK

4
Status Lokalis
1. Pada punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah,
jari manis, dan kelingking, jarak 11 cm dari mata kaki luar
ditemukan luka memar berbentuk tidak beraturan, batas tidak
tegas, warna biru keunguan, tidak bengkak, ada nyeri tekan,
dengan ukuran 7 x 4 cm.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan

VIII. TINDAKAN/PENGOBATAN

Tidak dilakukan tindakan atau diberikan pengobatan.

IX. KESIMPULAN

Seorang wanita mengaku berusia 40 tahun mengadu telah


dianiaya oleh pelaku (suami korban). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan
tumpul. Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan
pekerjaan.

5
R / 20 / VER-PPT / XI / 2012 / Rumkit
Bhy TK.I Halaman 6 dari 2 halaman

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.I R. SAID SUKANTO


INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
Jl. Raya Bogor, Kramat Jati, Jakarta 13510

Nomor : R / 20 / VER-PPT / XI / 2012 / Rumkit Bhy TK.I


Lampiran : -
Perihal : Hasil Pemeriksaan Visum et Repertum
a/n : SRI WAHYUNI

PRO JUSTITIA Jakarta,


17 November 2012
VISUM ET REPERTUM

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Muhhamad Harris dokter di Rumah
Sakit Bhayangkara TK.I R.Said Sukanto, berdasarkan atas permintaan tertulis dari
Resor Metropolitan Jakarta Timur, dengan suratnya nomor 429/VER/XI/2012/Res.
JT, tertanggal tujuh belas November dua ribu duabelas mengenai permintaan
visum tersebut di atas, maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal tujuh
belas November dua ribu dua belas, bertempat di Pusat Pelayanan Terpadu
Rumah Sakit Bhayangkara TK.I R.Said Sukanto telah melakukan pemeriksaan
atas korban yang menurut surat permintaan visum tersebut
adalah :-------------------
Nama : SRI
WAHYUNI----------------------------------------------------------------------------------------------------
---
Umur : 40
tahun.--------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------
Jenis Kelamin-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
:
Perempuan.-------------------------------------------------------------------------------------------------
----------
Warga Negara-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
:
Indonesia.---------------------------------------------------------------------------------------------------
----------
Pekerjaan :
PNS.-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------
Agama :
Islam.---------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------
Alamat : Pinang Rantai RT 13/01, KelurahanPinang Rantai, Kecamatan
Makassar, Jakarta Timur

6
7
R / 20 / VER-PPT / XI / 2012 / Rumkit
Bhy TK.I Halaman 8 dari 2 halaman

RIWAYAT
KEJADIAN :------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------
Pada hari Jumat, tanggal 16 November 2012, pukul 16.00 WIB, bertempat
di rumah orang tua korban, korban mengaku telah dianiaya oleh pelaku (suami
korban). Awalnya pada saat korban pulang bertugas dari Palembang, setibanya
dirumah korban dituduh oleh pelaku telah berselingkuh oleh atasannya laki-laki
di kantor. Kemudian terjadi adu mulut, tetapi korban berusaha menghindari
keributan dengan cara berdiam di kamar. Namun pelaku bertambah marah dan
mencekik leher korban yang sedang berbaring di atas ranjang, kemudian kaki
korban ditarik dan diseret oleh pelaku sehingga korban terjatuh ke lantai.
Kemudian pelaku menginjak kaki kiri korban dengan kaki pelaku. Lalu korban
disudutkan ke tembok oleh pelaku. Kemudian korban berusaha melawannya
dengan melempar raket nyamuk ke arah pelaku sambil berteriak. Kemudian
korban dan pelaku dilerai oleh anak korban dan tetangga. Setelah kejadian
tersebut pelaku mengancam akan membakar rumah orang tua korban, dan bila
korban melapor polisi maka orang tua korban akan dibunuh. Selain itu pelaku
juga mengancam akan mendatangi atasan korban di kantor besok dan
mengobrak-abrik kantor korban. Korban dan pelaku dalam keadaan sadar,
kejadian ini merupakan kejadian yang pertama kalinya.------------------------------------

HASIL
PEMERIKSAAN :-----------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran sadar penuh, emosi
stabil, kooperatif, tekanan darah seratus duapuluh per delapanpuluh milimeter
air raksa. Laju nadi delapan puluh dua kali permenit. Laju pernafasan duapuluh
kali permenit. Suhu tigapuluh enam koma lima derajat selsius. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan pada punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah, jari
manis, dan kelingking, jarak sebelas sentimeter dari mata kaki luar ditemukan
luka memar berbentuk tidak beraturan, batas tidak tegas, warna biru keunguan,
tidak bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran tujuh kali empat
sentimeter.-----------------------------------

KESIMPULAN :-------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------
Seorang wanita mengaku berusia empat puluh tahun mengadu telah
dianiaya oleh pelaku (suami korban). Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka
memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak
menimbulkan penyakit dan halangan
pekerjaan.-----------------------------------------------------------

8
Demikianlah Visum et Repertum ini saya buat dengan sebenarnya dan
menggunakan keilmuan saya yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.------------------

Dokter tersebut diatas,

PEMBAHASAN dr.Muhammad Harris.

Pada kasus ini korban datang ke Pusat Pelayanan Terpadu, dengan


membawa surat pengantar dari Resor Metropolitan Jakarta Timur untuk
dibuatkan Visum et Repertum. Dalam kasus ini, pembuatan Visum et
Repertum disertai dengan permintaan tertulis dari penyidik berupa Surat
Permohonan Visum serendah-rendahnya pembantu letnan dua sesuai
dengan pasal 133 ayat 1 KUHAP. Dengan demikian sesuai pasal 184 ayat
1 KUHAP, Visum et Repertum yang dibuat dapat dijadikan salah satu alat
bukti yang sah di pengadilan.
Dengan adanya SPV yang dibuat oleh penyidik maka doker
berkewajiban memberikan keterangan ahli sesuai dengan pasal 179 (1)
KUHAP yaitu Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan. Hasil pemeriksaan ini tertuang dalam
Visum et Repertum yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Pada korban, ditemukan luka-luka memar di punggung kaki kiri,
punggung jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking. Luka-luka
tersebut sesuai dengan luka akibat kekerasan tumpul.
Luka memar tersebut akibat pecahnya pembuluh darah sehingga
terjadi ekstravasasi darah ke jaringan sekitar dan manifestasinya berupa
pembengkakan. Luka memar tersebut diakibatkan oleh kekerasan tumpul.
Warna luka memar pada korban dapat menunjukkan waktu perkiraan
timbulnya suatu kekerasan. Pada korban, luka memar berwarna merah
keunguan menandakan kekerasan baru saja terjadi.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, kasus korban termasuk dalam
penganiayaan ringan karena pada umumnya yang dianggap sebagai hasil
dari penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa luka atau

9
dengan luka lecet atau memar di lokasi tubuh yang tidak berbahaya atau
yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Dalam kasus ini
apabila telah diputuskan, maka pelaku dapat dijerat dengan pasal 352 (1)
KUHP dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 2004 Bab III Larangan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Pasal 5 menjelaskan setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan Fisik
b. Kekerasan Psikis
c. Kekerasan Seksual
d. Penelantaran rumah tangga.
Pasal 6 menjelaskan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 huruf a, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat. Adapun ketentuan pidananya adalah (Pasal 44)
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf
a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda
paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana paling
lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat
puluh lima juta rupiah)
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau
denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Dalam kasus ini, sesuai dengan UU No. 23 tahun 2004, dapat
dimasukkan dalam kekerasan dalam rumah tangga yang berupa

10
kekerasan fisik. Atas tindakan pelaku terhadap korban yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).

11
TINJAUAN PUSTAKA
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin meningkat dari


tahun ke tahun. Pada tahun 2001 dicatat sebanyak 258 kasus KDRT,
kemudian 226 kasus pada tahun 2002, 272 kasus pada tahun 2003, 328
kasus pada tahun 2004 dan 455 kasus pada tahun 2005 dan terus
meningkat hingga sekarang1.
Dari data diatas, ditemukan korban adalah penduduk perkotaan yang
memiliki akses dengan jaringan relawan dan memiliki pengetahuan yang
cukup memadai mengenai KDRT hingga dapat melaporkannya ke instalasi
hukum1. Perlu diketahui bahwa kasus kejadian KDRT yang sebenarnya
dapat lebih tinggi daripada data yang dicatat karena kurangnya
pengetahuan mengenai KDRT di lingkungan penduduk dengan edukasi
rendah hingga hanya sedikit kasus KDRT yang dilaporkan.

Definisi
Berdasarkan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Tahun 2004, yang dimaksud dengan KDRT adalah Setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi:
suami, istri, dan anak (UU RI KDRT, 2004, hal 33-34)2.

Siklus Kekerasan dalam Rumah Tangga


Walker (1979) mengemukakan teori siklus kekerasan yaitu sebagai
berikut:
1. Tension-building phase
Disebut juga fase ketegangan, yaitu masa dimana ketegangan mulai
terjadi, terus mulai bertambah hingga memuncak. Korban merasa
tidak berdaya. Pelaku memiliki pandangan negatif dan kecurigaan
yang berlebihan terhadap korban.
2. Explosion or battering phase

12
Yaitu fase penganiayaan. Ketegangan yang memuncak pada fase
sebelumnya dilepaskan dalam bentuk kekerasan baik verbal
maupun fisik.
3. Honeymoon phase/calm phase
Merupakan fase terakhir atau penyesalan dimana pelaku merasa
bersalah dan menyesal telah melakukan kekerasan dan mengatakan
bahwa tidak bermaksud menyakiti korban. Pelaku meminta maaf,
dan memberikan hadiah kepada korban.

Siklus di atas dapat terulang terus-menerus.

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) mencatat berbagai macam bentuk kekerasan terhadap
perempuan dalam KDRT dalam pasal 5 sampai pasal 9.
Pasal 5 berbunyi Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan
cara: a. Kekerasan fisik, b. Kekerasan psikis, c. Kekerasan seksual, d.
Penelantaran rumah tangga.

1. Kekerasan Fisik
Pasal 6 menyebutkan Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Bentuk-bentuk kekerasan fisik tersebut dijabarkan lebih luas
oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK (2006) sebagai pukulan
dengan anggota tubuh, pukulan dengan tangan kosong, pukulan
menggunakan benda atau alat, pelemparan benda, pembenturan ke
dinding, sundutan rokok, penyiraman dengan cairan (air keras,
cucian, minyak panas), cambukan, diinjak-injak, dibakar, diiris,
dicubiti, dipelintir, dicekik dan diseret.

2. Kekerasan Psikis
Pasal 7 berbunyi Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

13
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang.
Karakteristik kekerasan psikis menurut analisis LBH APIK (2006)
meliputi makian, umpatan, hinaan, peludahan, suami menikah lagi
tanpa sepengetahuan istri, suami memiliki wanita idaman lain (WIL),
meninggalkan istri tanpa ijin, sifat otoriter, berjudi dan mabuk,
ancaman dengan benda tajam atau senjata api, pengambilan paksa
anak oleh keluarga suami, teror oleh keluarga suami, dan
melakukan hubungan seksual dengan orang lain di depan istri atau
anak.

3. Kekerasan Seksual
Pasal 8 berbunyi Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut, b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Menurut LBH APIK (2006) disebut kekerasan seksual apabila
didapati pemaksaan sepihak dalam melakukan hubungan suami
istri, melakukan hubungan suami istri dengan kekerasan, memaksa
melakukan hubungan suami istri dengan cara-cara yang tidak wajar,
menelanjangi istri dengan paksa, dan memaksa istri berhubungan
dengan orang lain.

4. Penelantaran Rumah Tangga


Pasal 9 berbunyi, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud
ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam luar rumah sehingga
korban berada dibawah kendali orang tersebut.

14
LBH APIK (2006) menambahkan karakteristik kekerasan
ekonomi antara lain: tidak diberi nafkah, diberi nafkah tetapi
terbatas/kurang, tidak boleh bekerja, harta bersama tidak dibagi,
eksploitasi kerja, sampai istri tidak dipercaya memegang uang. Inti
dari penelantaran rumah tangga adalah dimana akses korban
secara ekonomi dihalangi dengan cara korban tidak boleh bekerja
tetapi ditelantarkan, kekayaan korban dimanfaatkan tanpa seijin
korban, atau korban dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan
materi.

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya KDRT yaitu:

1. Masyarakat
Mengenai norma-norma daerah dimana laki-laki dapat
sepenuhnya mengendalikan perempuan, norma yang
memperbolehkan kekerasan sebagai bentuk pendidikan,
anggapan bahwa keperkasaan laki-laki ditunjukkan melalui
agresi dan dominasinya, kemudian peran gender yang kaku.
Seringkali perempuan diposisikan lebih rendah secara sosial,
ekonomi, status hukum sehingga menyebabkan ketidakadilan
gender. Norma budaya di negara berkembang cenderung
memposisikan perempuan setelah laki-laki dan adanya persepsi
bahwa perempuan adalah milik laki-laki sehingga tindakan
kekerasan dalam rumah tangga dapat disebut wajar.
2. Lingkungan
Meliputi: kemiskinan, status sosial ekonomi yang rendah,
pengangguran, kelompok sebaya yang berperilaku menyimpang,
pengisolasian perempuan dan keluarga dari lingkungannya.
Kurangnya kepedulian lingkungan terhadap KDRT juga dapat
menjadi faktor risiko karena beberapa lingkungan menganggap
bahwa KDRT adalah masalah keluarga yang tidak perlu disebar-
luaskan. Kemiskinan juga dapat menyebabkan tekanan mental
yang dapat memicu masalah dalam rumah tangga.
3. Hubungan

15
Meliputi: konflik perkawinan, kendali laki-laki terhadap harta
dan pengambilan keputusan dalam keluarga.
Penelitian mencatat bahwa perselisihan verbal secara
signifikan diikuti oleh kekerasan secara fisik pada istri yang
seringkali disebabkan karena laki-laki lebih dominan dalam
keluarga, tekanan perekonomian dalam keluarga dan aspek yang
lain seperti adanya perselingkuhan dan ketidakstabilan
hubungan.
4. Individu
Meliputi: kebanggaan sebagai laki-laki, trauma masa lalu,
tidak adanya atau penolakan figur ayah pada masa lalu, dan
penggunaan alkohol.
WHO mencatat bahwa laki-laki yang melakukan KDRT
menunjukkan ketergantungan emosional, harga diri rendah dan
ketidakmampuan mengendalikan emosi. Mereka juga
menunjukkan kebiasaan marah yang berlebihan dan lebih
mudah depresi termasuk memiliki gangguan kepribadian
antisosial dan agresif. Laki-laki pelaku KDRT memiliki
karakteristik individu yaitu usia muda, mengonkonsumsi
alkohol/pecandu alkohol, mengalami depresi, memiliki gangguan
kepribadian, serta memiliki riwayat kekerasan dalam keluarga.
Faktor individu dapat disebabkan oleh kebanggaan sebagai
laki-laki yang dianggap memiliki kemampuan lebih dari
perempuan, tidak adanya figur ayah atau penolakan figur ayah,
dan trauma kekerasan masa kecil.

Dampak KDRT
KDRT memiliki efek pada kesehatan fisik dan mental korban hingga
menyebabkan berkurangnya kesejahteraan perempuan dalam komunitas.
Dampak negatif yang dapat terjadi yaitu:

a. Dampak pada Kesehatan Fisik


WHO mencatat kehidupan perempuan korban KDRT mengalami
penurunan kesehatan fisik maupun mental yang dapat berdampak
serius hingga mengganggu kehidupan sehari-hari maupun

16
kematian. Korban-korban KDRT juga didapati sering mengalami
gangguan pencernaan seperti irritable bowel syndrome, dan
gangguan nyeri.
b. Dampak pada Kesehatan Reproduksi Wanita
Diskriminasi terhadap perempuan dan pandangan masyarakat
mengenai tugas utama perempuan yaitu merawat dan memenuhi
kebutuhan suami, anak, mertua dan orang tua. Perempuan yang
baik adalah perempuan yang tidak mendahulukan kebutuhan diri
sendiri. Sikap stereotipik tersebut dapat mengakibatkan
penelantaran kebutuhan wanita. Perempuan dapat mengalami
kesulitan melindungi diri sendiri dari kehamilan yang tidak
diinginkan atau penyakit menular seksual. Kekerasan seksual dapat
secara langsung melalui penularan penyakit seksual, infeksi, HIV,
dan kehamilan yang tidak diinginkan. Penelitian menunjukkan
bahwa stress akibat mempunyai banyak anak dapat meningkatkan
risiko terjadinya KDRT. Penelitian UNICEF di berbagai negara
menunjukkan tingginya tingkat kekerasan pada masa kehamilan
yang mengakibatkan risiko terhadap kesehatan ibu dan janin,
pemaksaan seksual penyebab kehamilan yang tidak diinginkan, dan
bahaya akibat komplikasi aborsi.
c. Dampak pada Kesehatan Psikologis
Situasi yang dihadapi korban KDRT seringkali kompleks hingga
menyebabkan tekanan mental dan status psikologis. Korban dapat
mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi,
kecemasan, dan berisiko terhadap perilaku bunuh diri. Hampir
seluruh korban KDRT mengalami gangguan emosional lebih tinggi
dan tidak sedikit yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Dampak
psikologis lainnya adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban
(memandang diri negatif).
Pada korban KDRT anak-anak, ditemukan gangguan tumbuh
kembang otak anak yang mengganggu pertumbuhan kognitif dan
sensorik. Gangguan tersebut dapat membentuk sifat sangat sensitif,
gangguan tidur, ketidakstabilan emosi, rasa ketakutan yang
berlebihan, sifat kekanak-kanakan, masalah berbahasa dan

17
kesulitan dalam toilet training. Anak-anak korban KDRT yang
tumbuh dewasa seringkali menunjukkan banyak masalah, baik
masalah belajar maupun komunikasi sosial. Gangguan kepribadian
seperti psikosomatik, depresi dan kecenderungan untuk bunuh diri
dapat terjadi. Anak-anak tersebut juga memiliki risiko tinggi dalam
penyalahgunaan obat-obatan, kehamilan remaja dan perilaku
kriminal.

Aspek Medikolegal KDRT


Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial dalam
menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta
perlindungan kepada korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU no. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No.4 tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, dan
Peraturan Presiden no. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap
Perempuan, UU no.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas dan fungsi
kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan
hukum terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari peran
lembaga sosial.

A. UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah


Tangga
UU yang disebut sebagai UU PKDRT tersebut diundangkan pada
tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 no.95. Fokus UU PKDRT adalah kepada upaya
pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam
rumah tangga.
UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga dilaksanakan berdasarkan: a. Penghormatan hak asasi

18
manusia, b. Keadilan dan kesetaraan gender, c. Nondiskriminasi, dan
d. Perlindungan korban.
Tujuan UU PKDRT disebutkan pada pasal 4 yaitu untuk: 1)
Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, 2)
Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, 3) Menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan 4) Memelihara keutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

B. Peraturan Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti


Kekerasan Terhadap Perempuan
Perpres Komnas Perempuan ialah merupakan penyempurnaan
Keputusan Presiden No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan. Perpres Komnas Perempuan Pasal 24
telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku Keppres no.181 Tahun
1998 tentang Komini Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara
hukum yang menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap
perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak
asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah dan
menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh UU RI
No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT sebagai berikut:
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 44

(1)Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam


lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
(3)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara paling lama 15

19
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,-
(empat puluh lima juta rupiah).
(4)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalanakan
pekerjaan atau jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau denda paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

UU No.23 Tahun 2004 Pasal 45

(1)Setiap orang yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah


tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 9.000.000,- (sembilan juta rupiah).
(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
atau jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

UU No.23 Tahun 2004 Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling
banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

UU No.23 Tahun 2004 Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah


tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,- (dua belas

20
juta rupiah) atau paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah).

UU No.23 Tahun 2004 Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan


47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir
atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau
matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah).

UU No.23 Tahun 2004 Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau


denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) bagi
setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1.
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat 2.

UU No.23 Tahun 2004 Pasal 50


Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan
pelaku dari korban dalam jaraj dan waktu tertentu maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.

Hukum Terhadap Kekerasan dalam KUHP

21
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka
akibat kekerasan, pada hakikatnya dokter diwajibkan untuk dapat
memberikan kejelasan tentang jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan
atau senjata yang menyebabkan luka serta kualifikasi luka. Kualifikasi luka
dibahas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu Bab XX pasal
351 dan 352 serta Bab IX pasal 90:

Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam,
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang
melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya,
atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengkibatkan kematian yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun

Pasal 354

22
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 356
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat
ditambah dengan sepertiga:
1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang
sah, istrinya atau anaknya;
2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau
karena menjalankan tugasnya yang sah;
3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang
herbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau
diminum.

Pasal 358
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di
mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika
akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada
yang mati.

Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.

23
Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencahariaan.
Kehilangan salah satu panca indera
Mendapat cacat berat.
Menderita sakit lumpuh.
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Dari pasal-pasal tersebut maka penganiayaan dibagi menjadi 4 jenis


tindak pidana, yaitu: (1) Penganiayaan ringan, (2) Penganiayaan
berdasarkan pasal 351 KUHP, (3) Penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat, dan (4) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian
Penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencahariaan. Penganiayaan ringan digolongkan sebagai luka derajat
satu. Bila akibat suatu penganiayaan seseorang mengalami penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencahariaan yang
bersifat sementara, maka disebut luka derajat dua. Bila penganiayaan
yang dilakukan mengakibatkan luka berat, yaitu yang secara permanen
menjadi halangan untuk mengerjakan pekerjaan, jabatan atau
pencaharian, atau hilang ingatan minimal 4 bulan seperti dalam pasal 90,
maka luka tersebut digolongkan menjadi luka derajat tiga.

Oleh karena istilah "penganiayaan" merupakan istilah hukum, yaitu


"dengan sengaja melukai atau menimbulkan perasaan nyeri pada
seseorang", maka didalam Visum et Repertum yang dibuat dokter tidak
boleh mencantumkan istilah penganiayaan, karena itu merupakan urusan
hakim. Demikian pula dengan menimbulkan perasaan nyeri sukar sekali
untuk dapat dipastikan secara objektif, maka kewajiban dokter di dalam
membuat Visum et Repertum adalah menentukan derajat luka.

Upaya Pemulihan Korban KDRT


Peraturan Pemerintah RI no.4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
menyebutkan pada pasal 1 ayat (1) yaitu, pemulihan korban adalah

24
segala upaya yang dilakukan untuk membantu memberikan penguatan
kepada korban agar lebih berdaya secara fisik dan psikis. Sedangkan
pasal 2 ayat (1) menyebutkan upaya penyelenggaraan pemulihan adalah
segala tindakan yang dilakukan yang meliputi memberikan pelayanan
kepada korban, pendampingan kepada korban. Sedangkan orang yang
melakukan pendampingan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani.
Bentuk-bentuk program pemulihan korban KDRT di Indonesia
menurut PP PKPKDRT pasal 4 yaitu: Pelayanan kesehatan, pendampingan
korban, konseling, bimbingan rohani, dan resosialisasi.

Pencegahan KDRT
Pencegahan KDRT terdiri dari (1) Pencegahan primer, (2) Pencegahan
sekunder, dan (3) Pencegahan tersier.
Tujuan dari pencegahan primer adalah memberikan intervensi
sebelum masalah terjadi, atau mencegah berkembangnya faktor risiko.
Pencegahan primer KDRT adalah melalui tindakan sebelum kekerasan
terjadi, meliputi edukasi mengenai KDRT, serta dilakukannya pendidikan
kesehatan remaja, program untuk mengurangi stereotipik gender untuk
pasangan KDRT.
Tujuan dari pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi
faktor risiko dan mengambil tindakan untuk mengurangi faktor risiko.
Tindakan yang dilakukan diantaranya adalah program skrining di lembaga
pelayanan kesehatan. Kunjungan rumah dapat dilakukan untuk program
skrining.
Pencegahan tersier dilakukan setelah masalah KDRT terjadi. Tindakan
pencegahan dirancang untuk meminimalkan dampak dan membantu
proses pemulihan, kesejahteraan, dan keamanan sesegera mungkin.
Pencegahan tersier pada KDRT meliputi semua tindakan pelayanan
kepada korban dan pelaku secara langsung ketika kekerasan terjadi.
Misalnya perawatan trauma fisik yang dialami korban, perencanaan
perlindungan, trauma psikologis, rumah aman, konseling, kelompok
suportif, pelayanan dan perlindungan untuk anak, dan koordinasi dengan
pihak-pihak terkait.

25
Pencegahan dan penanggulanagan kekerasan dalam rumah tangga
memerlukan upaya yang harus melibatkan berbagai lintas program dan
sektoral, dengan keterlibatan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan
masyarakat sedini mungkin.

26
KESIMPULAN

Seorang wanita mengaku berusia 40 tahun mengadu telah dianiaya


oleh pelaku (suami korban). Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka
memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak
menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Pangemaran DR. Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam


Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian
Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2005.
2. Budianto A, Wibisana W, Slamet P, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik,
Edisi Pertama, Cetakan Kedua. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997
3. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan
bidang kedokteran. Ed 1. Cetakan Kedua. 1994
4. Soesilo R. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan
Ulang Kesepuluh. Bogor : Poelita. 1988.
5. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Ed I. Jakarta : Bina
Rupa Aksara. 1989
6. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan ilmu kedokteran forensik
dalam proses penyidikan. Sagung seto :2008

28
Lampiran Surat Permintaan Visum

Lampiran Foto

29
Pada punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah, jari manis,
dan kelingking, jarak 11 cm dari mata kaki luar ditemukan luka memar
berbentuk tidak beraturan, batas tidak tegas, warna biru keunguan, tidak
bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran 7 x 4 cm.

30

Anda mungkin juga menyukai